Halaman

Minggu, 31 Oktober 2021

Belok Kanan Planet Pluto

Dulu, basa-basi dari tuan rumah "Jangan kapok maen ke sini lagi ya!" dan "Udah nginep aja!" menurut saya hanya sekedar formalitas sopan-santun biasa, sampai saya tiba di Cabangbungin. Daerah yang konon kabarnya hanya berjarak setengah jam dari planet Pluto.

Cabangbungin memang bukan seperti Rengasdengklok yang terkenal dengan tempat penculikan proklamator. Ia lebih dikenal dengan istilah tempat penculikan anak dedemit.

"Lah banget jauh!" Tuan rumah berkomentar dengan bahasa yang lucu ketika kami masih di jalan, sekitar 35 kilo dari pusat peradaban terdekat. Lokasi yang ia share tidak membantu, karena ia memberi live location yang berubah-ubah. Memang aneh.

"Lurus aja, sampe ketemu desa, trus patokannya depot isi ulang," ia memberi arahan. Awalnya saya pikir, masih jauh dan lurus aja itu kalimat yang membingungkan. Karena bisa saja kami salah berbelok di jalan persimpangan entah dimana. Tapi instruksi itu benar. Di jalanan desa, kita tidak akan salah berbelok. Pilihannya adalah antara mengikuti jalan yang ada atau berbelok ke galangan sawah.

Saya tidak bertemu Robet sejak lulus Aliyah. Tentu Robet bukan nama sebenarnya, di kampung tidak ada orang tua yang mengambil resiko menamai anak dengan nama yang berpotensi menjadi penghuni neraka. Nama sebenarnya mengingatkan kita pada tokoh sufi wanita termasyhur; Rabi'ah al-Adawiyyah.

Itu kali pertama saya main ke rumahnya. Sehari sebelum kunjungan, grup WA kelas ramai karena Njay mengusulkan untuk berlebaran ke Kiyai Fachruddin dan mampir ke rumah Biah. Seperti biasa, beberapa orang menyetujui. Beberapa kawan memohon maaf karena tidak bisa ikut. Sisanya tidak berkomentar.
 
"Kita tunggu aja sampai jm 10. Kalo ga datang, ya kita tinggal." Kata saya ke Njay, ketika menunggu beberapa kawan lain yang bilang akan ikut.
 
Njay sepertinya selalu berpikir positif. Ia masih yakin Edo dan Erte akan datang. Ia tidak sadar sedang berhadapan dengan politisi tingkat akar rumput yang hobi ngerjain orang.
 
Pernah suatu hari, Deni Bagong si Erte mengerjai kawan kami Ihsan Sempak. Ketika Edo yang saat itu masih duda, akan melangsungkan pernikahan, Sempak berencana ikut. Kami berkumpul di rumah Edo dan berencana ikut rombongan besan.

"Lu bilang apa ke Sempak, Gong?" Tanya saya ke RT super sibuk itu.

"Gua suruh ke sini. Gua bilang kita tungguin."

"Lah kita bentar lagi mau berangkat, Lih!" Kata saya bingung.

"Biarin! Kita tinggal aja." Bagong nyengir, "kalo beneran dia sampe sini, baru kita share loc lokasi acara."

Memang niat Erte mau ngerjain. Karena bisa saja dia langsung share loc sehingga bisa langsung ke lokasi tanpa berjalan memutar. Benar saja. Sempak tiba di rumah Edo dan bersungut-sungut karena mendapati rumah telah sepi.
 
Kendaraan melewati depot isi ulang air minum yang menjadi patokan rumah Biah karena memang tidak terlihat di pinggir jalan. Biah menelpon meminta kami memutar balik. Entah bagaimana dia tau kendaraan sudah kebablasan? Apakah kendaraan kami satu-satunya yang lewat jalan itu, karena masyarakat masih menggunakan kuda dan pedati sebagai alat transportasi?

Kentung, sopir kami, memutar balik kendaraan di jalan yang saya pikir tidak akan ada ujungnya, akhirnya kami tiba di lokasi.
 
“Edo pernah kesini, Bi?” saya bertanya pada tuan rumah tidak beberapa lama setelah duduk di sofa.

“Pernah. Naek sepeda malah. Kirain mah sekarang mikut!”

“Mmm, tau gua sekarang kenapa dia gak mau ikut,” saya nyengir.

“Kenapa?” Biah penasaran.

“Kapok!” saya terbahak.

Setelah banyak cerita dan tertawa. Tuan rumah mempersilahkan kami makan. Hidangan dikeluarkan, dan saya menduga ia akan mengadakan acara syukuran panen raya. Banyak sekali makanan yang disajikan; bekakak ayam, sayur asem, telur asin, lalapan, dua macam sambel belum lagi kue lebaran yang tidak sanggup kami cicipi semua.
 
“Iya, kirain banyak yang ikut, jadi dimasakin banyak.” Biah berdalih, “Abisin pokoknya!”

Saya tidak menyalahkan kawan-kawan yang bilang akan ikut, tapi ternyata tidak bisa hadir. Semakin dewasa saya semakin bisa memaklumi. Kami bukan lagi anak 17 tahun yang hanya bangga pada komunalitas semu. Niat silaturahim dan kesenangan mengobrol dengan tuan rumah yang lama tidak bertemu merupakan kesyukuran yang tidak boleh dirusak dengan hal sepele. Begitulah seharusnya persahabatan yang tulus, memahami kondisi yang mungkin tidak lagi sama. Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah.

“Ayo Tung jamaah!” Saya mengajak Kentung Salat Asar setelah kenyang makan.
 
“Ntar dulu napa, masih bega ini perut,” Kentung bersandar di sofa.

Saya, Njay dan Fawwaz tidak menghiraukan Kentung dan memulai salat.

“Kiblatnya ke arah sini, Bi?” tanya saya ke tuan rumah.

“Iya, itu kan udah digelarin sejadah,” Biah menjawab sambil lewat.

Saya melantunkan Iqomah, Njay berdiri menjadi imam. Tidak lama setelah itu, dalam keadaan salat, belum selesai rakaat pertama, Biah setengah berteriak mengingatkan, “Eehh, kiblatnya salah!”

Dalam hati saya mengumpat, “Tadikan gua udah tanya, Markonah! Lu bilang iya!”
 
Saya menahan tawa dan menutup mulut dengan sebelah telapak tangan. Tawa saya pecah, begitu melihat Njay membatalkan salat sambil misuh, “Lah gimana sih?!”

Di ruang tengah Kentung terbahak, “Kualat lu, solat ninggalin gua sih!”




Sabtu, 30 Oktober 2021

Dunia tidak Akan Berhenti Hanya untuk Kesedihanmu

Kami bicara melalui telpon dan saya sedang di atas kendaraan ketika mendengar cerita itu. Ketika ia menceritakan hal getir tentang rumah tangganya, mata saya mulai berembun.

“Udah gak usah diterusin lagi,” kata saya akhirnya. Saya kira akan berbahaya berkendara sambil menangis.
 
Sebelum itu, saya dan istri berkunjung ke rumah yang terakhir saya kunjungi 18 tahun lalu. Belasan tahun seperti baru kemarin. Teras luas di depan rumah sudah dibangun menjadi tempat mengaji anak-anak. Pohon rindang di depan rumah juga sudah tidak ada berganti pot-pot kecil berhias tanaman-tanaman kecil.
 
Kami mengobrol banyak hal yang terlewat. Saya bertanya beberapa hal dan mengamati. Ada yang menggangu. Bukan pada apa yang ia katakan, tapi pada apa yang tidak ia ungkapkan. Usahanya untuk terlihat baik-baik saja membuat kalimat-kalimat yang keluar menjadi semacam bunyi tanpa isi. Ia bercerita bahwa saat itu ia sedang tahap berpisah dengan suaminya.

Saya tidak kenal dengan suaminya. Kami pernah sekali bertemu belasan tahun yang lalu dan itu pertemuan yang tidak berkesan. Seharusnya mudah bagi saya untuk membenci, karena ia telah sangat menyakiti kawan saya, tapi saya tidak bisa membenci orang yang sama sekali tidak saya kenal. Apalagi saya menduga bahwa suaminya mengalami gangguan jiwa.

Ketika menulis novel dengan karakter skizofrenia, saya banyak membaca reverensi tentang penyakit jiwa. Hal yang sangat sering disalahpahami kebanyakan kita adalah menganggap gangguan jiwa adalah hina. Padahal gangguan jiwa bukan aib dan tidak ada hubungannya dengan kurang iman, kurang ikhlas, azab, karma, pengaruh ilmu kebatinan, ngelmu tanpa guru, gangguan jin, tumbal pesugihan dan lain-lain.

Saya percaya bahwa penyakit jiwa adalah penyakit biasa, yang dapat menimpa siapa saja. Sama dengan penyakit fisik lain seperti migren atau usus buntu. Berbeda dengan penyakit fisik yang cenderung mudah dikenali, orang biasanya tidak sadar sedang mengalami gangguan jiwa. Selama pandemi, ada 67,3 persen masyarakat Indonesia mengalami depresi dan 32 persen mengalami gangguan jiwa. Bandingkan dengan stroke yang menjadi pembunuh nomor satu, dengan 29,2 persen dari total kematian di tahun 2017. Jadi gangguan jiwa adalah penyakit umum, dan kemungkinan ada lebih banyak orang dengan ganggan jiwa dari pada stroke di Indonesia.
 
INI bukan cerita yang mudah ditulis. Bagi yang mengalami, ini jenis cobaan yang mungkin tidak sanggup kamu tanggung, hingga pada suatu titik kamu mempertanyakan kembali apa yang Tuhan maksud dengan tidak memberi cobaan kecuali sesuai kemampuan. Tapi biarkan cerita ini menjadi pengingat bahwa kita masih manusia.

Suatu malam ia pulang kerja dengan membawa lelah yang mengelayuti kaki dan punggungnya. Sistem pabrik tidak pernah gagal membuatnya seperti robot. Ia masuk rumah dan mendapati seragam sekolah Dila, anaknya yang berumur 9 tahun, yang ia siapkan tadi pagi di atas meja sebelum berangkat kerja masih terlipat rapi. Itu berarti Dila tidak sekolah dan mungkin juga belum mandi sedari pagi.

Suaminya sudah tidak bekerja dan tidak bisa lagi diandalkan untuk melakukan hal yang bahkan sangat sederhana. Ia sering mendengar kata-kata yang tidak pantas dari suaminya. Dilarang beribadah. Diancam hal yang mengerikan jika pergi ke rumah orang tua. Tidak diperbolehkan bertemu siapapun, bahkan untuk bekerja.
 
Mereka sering bertengkar tentang hal yang sepele dan tidak masuk akal. Sudah berkali-kali ia disakiti sejak setahun belakangan bahkan sudah mengarah pada kekerasan fisik. Namun kesakitan terbesar bukan pada perlakuan buruknya, tapi pada kesadaran bahwa orang yang dulu ia kenal baik dan penyayang sekarang menjadi begitu berbeda.

Ia memikirkan Dila dan membayangkan perkembangan kejiwaan anaknya jika terus hidup di lingkungan yang depresif karena pertengkaran kedua orangtua. Suatu hari, ia memutuskan untuk membawa Dila keluar rumah dan tidak kembali lagi. Ia menggugat cerai suaminya, dan itu keputusan yang tidak mudah.

Saya bersedih dan prihatin terhadap masalah yang dihadapi kawan saya. Semua orang punya masalah hidup masing-masing, yang tidak bisa dibandingkan. Kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih menderita antara bercerai atau ditinggal mati anak, kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih pahit antara menganggur tidak punya penghasilan atau bekerja tapi selalu direndahkan atasan, kita tidak bisa membandingkan mana yang lebih suram antara tidak mendapat pasangan hidup atau berjuang untuk menikah beda agama. Orang-orang yang jika dilihat dari luar akan sama saja, bisa tersenyum dan bercanda, tapi di dalam mereka sedang bertarung dengan trauma. Dan sementara itu, di luar mereka bumi akan terus berputar, kehidupan akan terus berjalan, dunia akan begitu-begitu saja.
 
Saya belajar bahwa seberapapun hancur hatimu, dunia tidak akan berhenti hanya untuk kesedihanmu.
 
Segala masalah yang kita hadapi sebenarnya adalah peringatan bagi kesombongan manusia. Cobaan yang menimpa mengingatkan manusia sekali lagi tentang kelemahan. Bahwa segala yang kita punya tidak kekal, dan seperti yang sering kita dengar, kita berasal dari Tuhan dan akan kembali pada-Nya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Minggu, 10 Oktober 2021

Spiritualisme Pesantren

SUATU malam, setelah selesai pengajian, sambil makan nasi uduk, Aluy bercerita tentang mimpi bertemu Kiyai Jirin Allah Yarham.

Beberapa kali saya menginterupsi cerita Aluy dengan pertanyaan.

“Jadi Bang Sofwani pake baju apa waktu ngasih sarung ke Jamal?” saya bertanya.

Aluy agak bingung dengan pertanyaan itu. Tapi akhirnya menjawab, “Gak tau, lupa gua. Gak merhatiin. Putih kayaknya, pake sarung sama peci.”

Itu bukan pertanyaan iseng. Saya hanya sedang menguji konsistensi Aluy dalam bercerita.

“Ya udah terusin,” kata saya ke Aluy.

Ia meneruskan cerita tentang Pondok yang kebakaran, tentang hal random seperti Jamal yang tiba-tiba diberi sarung oleh Bang Sofwani (Allah yarham), dan puncaknya ia mendatangi Kiyai yang sedang duduk di depan masjid yang kemudian berpesan tentang satu hal.

“Bentar-bentar,” saya memotong lagi cerita Aluy, “Jadi Kiyai ngomong gimana tadi?”
 
“Lu pergi ke sono noh.” Aluy menirukan apa yang dikatakan Kiyai dalam mimpi.

“Lah tadi lu cerita Kiyai nyebut nama,” saya protes, “Giliran gua suruh ulang, lu gak sebut nama. Gak konsisten cerita lu.”

Aluy kemudian berkilah tentang inkonsistensi yang ia buat.

 
DARI Ilmu Hadits saya belajar bahwa ada dua hal yang perlu diselidiki tentang sebuah informasi. Pertama Sanad, yaitu orang yang menyampaikan informasi, dan yang kedua adalah Matan, atau isi dari informasi. Saya tidak punya alasan untuk meragukan kredibilitas Aluy sebagai penyampai cerita. Saya mengenalnya sejak ia mencoba jadi anak punk dengan sepatu boot tinggi, pakaian hitam dan rambut jigrag sambil membawa bulletin PutiHitam berisi pemikiran-pemikiran anti kemapanan, sampai sekarang dengan jidat yang makin lebar, rambut makin jarang dan mata makin sipit. Dalam pandangan saya, ia adalah seorang perawi yang Tsiqoh, yang bisa dipercaya.

Sementara isi informasi, lebih sederhana lagi mengukurnya, yaitu tidak bertentangan dengan sumber yang lebih Utama; Al Quran dan Al Hadits. Tidak ada pertentangan sama sekali antara cerita Aluy dengan Sumber Utama, karena ia bercerita tentang gambaran masa depan, atau yang ia tafsirkan sebagai masa depan. Dalam hal ini saya merasa perlu untuk melihat secara lebih teliti, atau meminjam istilah Ayu Utami, saya melakukan Critical Spiritualism; melihat dan menghargai yang spiritual tanpa mengkhianati nalar kritis.

Manusia cenderung menambah dan menginterpretasi cerita, itu hal yang wajar dan banyak terjadi, maka penting untuk kita membedakan antara melihat dan menafsir. Saya menguji cerita Aluy dan ia terbukti menampilkan inkonsistensi pada apa yang ia ceritakan. Pertama ia mengatakan bahwa Kiyai menyebut sebuah nama, yang ke dua ia bercerita, menirukan apa yang dikatakan Kiyai, tanpa menyebut nama. Dua informasi antara menyebut atau tidak menyebut nama ini sangat penting, maka saya menduga keras, ia menafsir. Karena boleh jadi dalam mimpi, Kiyai tidak menyebut nama, tapi kemudian Aluy menafsirkan perkataan itu dengan nama tertentu. Jadi yang diceritakan sudah tidak murni lagi apa yang ia lihat dan dengar dalam mimpi, tapi telah bercampur dengan penafsiran terhadap mimpi itu.

Kita tentu masih ingat bagaimana UAS pada saat Pilpres 2019 lalu bercerita mengenai pengelihatan dari beberapa ulama yang ia sebut sebagai Ulama Kasyaf tentang Prabowo. Faktanya Prabowo kalah dalam Pilpres 2019 dan orang ramai berkomentar. Apakah itu berarti apa yang UAS sebut sebagai mimpi atau pengelihatan dari Ulama Kasyaf itu salah? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Jika ingin dilihat secara lebih cermat, kesalahan yang terjadi ada pada penafsiran. Silahkan lihat videonya sekali lagi dan siapapun bisa melihat mana Visi asli, mana interpretasi. Jika ditafsirkan dengan benar, maka bisa jadi itu sesuai fakta yang terjadi sekarang atau bahkan nanti.
 
Pertanyaan kritis lain yang patut diajukan terkait hal seperti itu adalah; Apakah yang dilihat adalah sebagian atau keseluruhan? Apakah ada kejelasan tempat dan waktu? Apa motif yang melatarbelakangi? Karena umumnya Visi itu penuh metafora, multi tafsir dan tidak benar-benar jelas.

Malam itu, selain cerita Aluy, Guru Yahya selaku pemimpin Mudzakaroh bercerita tentang ibu yang didatangi arwah anaknya yang berbeda agama melalui mimpi, yang minta untuk terus didoakan. Tentang kesembuhan penyakit karena wasilah sebuah kitab yang ia baca. Tentang angka 36 yang ternyata sama dengan nomor surah yang sering ia amalkan. Dan beberapa kejadian dan keajaiban individual lain yang sering disebut suprarasional atau supranatural.
 
Hal-hal seperti itu nyata ada di tengah-tengah kita. Petunjuk Tuhan bisa datang melalui mimpi, pertanda, firasat atau hal lain yang tidak bisa dibuktikan atau diverifikasi. Maka saya tidak bisa menolak, namun tidak juga lantas membenarkan dengan segera. Saya menghormati hal-hal yang spiritual, bahkan percaya pada tawassul, namun juga tidak kehilangan nalar kritis. Sebagai seorang yang beriman, saya tidak pernah meragukan ada yang gaib. Logikanya sederhana, sesuatu yang tidak bisa didengar, dirasakan dan dialami panca indra bukan berarti tidak ada. Karena jika iya, maka kita akan terperangkap pada dunia materialisme yang kering. Namun juga perlu diingat, agama ini bukan hanya tentang spiritualisme semu, tapi juga nalar dan logika yang jernih.
 
Dalam menghadapi cerita gaib yang tidak bisa diverifikasi itu tentu kita harus menerapkan logika. Bukan berarti saya mengharapkan bahwa hal yang gaib bisa masuk akal. Dunia gaib dan dunia nyata memang tidak sama, maka mengharapkan hal gaib bisa masuk akal adalah tindakan percuma. Logika yang saya maksud adalah tentang ketentuan sebab akibat, tentang silogisme, tentang premis dan konklusi, atau dengan kata lain kita tetap memerlukan ilmu yang menetapkan alat pengatur nalar yang kalau dipatuhi akan mampu menjaga kita dari kesalahan berpikir.
 
Wallahu’alam bissawab.



Jumat, 01 Oktober 2021

Air Adem dan Ngomong Kanan

SAYA tiba di rumah Njay ketika ia sedang bermain dengan anaknya di depan rumah, di pelataran mushola. Hari itu kami berniat berkunjung, berlebaran ke pesantren Kiya Fachruddin, dan menjadikan rumah Njay sebagai titik kumpul.
 
"Ada selang, Jay? Gue mo nyuci motor," Tanya saya ke tuan rumah sambil melepas baju koko dan peci. Saya merasa kurang enak berkunjung ke rumah guru dengan motor yang mirip sapi sehabis karapan, "Sama lap sekalian ya,"

“Waz, ada kanebo gak?” Njay bertanya ke adik Iparnya. Fawwaz menunjukan lokasi kanebo dan saya mulai mencuci.

"Yang laen gimana nih? Jadi pada ikut gak?" Njay bertanya ragu. Sambil menyiram motor dengan air keran mushola, saya memberi gestur tidak tahu.


KAMI memutuskan untuk pergi menggunakan dua motor. Njay dan Fawwaz di satu motor. Saya sendiri di motor yang sudah mentereng baru dicuci.

Tidak beberapa lama kami berkendara, telpon saya berbunyi.

"Udah sampe mana, Mi?" suara Kentung melalui earphone yang saya sambungkan ke helm.

"Pom bengsin. Gak tau daerah mana." Jawab saya cepat. Saya menyebut plang apapun yg ada di tempat itu.

"Oh, masih deket. Mampir ke tempat gua dulu. Nanti bareng-bareng ke Bang Fachruddin naek mobil gua." Kentung meminta ikut.

"Kalo itu tanya ketua dah," kata saya mengarahkan Kentung untuk bertanya kepada Njay.

"Dari tadi gua telpon Njay gak diangkat,"

Beberapa menit setelah itu, kami sudah berada di dalam Fortuner hitam. Kentung membawa full team; istri dan anaknya. Saya, Fawwaz dan Njay di kursi tengah. Kentung dan Septi, di kursi depan. Dan dua anak Kentung di kursi belakang.

“Mi, gua mo cerita, tapi awas ya, jangan lu tulis!” dari belakang kemudi Kentung memberi peringatan, sambil fokus melihat jalan dan sesekali memaki.

“Udah cerita aja.” Saya merespon. Saya tidak mengerti kenapa beberapa kawan yang bercerita tentang dirinya, suka berpesan untuk tidak saya tulis. Kentung bukan orang pertama.

“Awas ya, kalo lu tulis. Fesbuk lu gua hack.” Kentung mengancam. Saya tertawa. Jadi kalau setelah saya posting tulisan ini tiba-tiba ada video tata cara mengajukan pinjaman online di sini, kita tahu siapa pelakunya.

“Gua tuh, beberapa kali diminta aer adem sama orang-orang.” Kentung memulai cerita, “Gua juga bingung kenapa.”
 
“Buat apaan?” saya penasaran.

“Ya gak tau! Buat macem-macem kali. Buat sakit, tapi kebanyakan buat usaha,”

“Orang yang minta tau lu bekas anak pondok kali?” saya menebak.

“Lah tau dah. Yang gua heran, yang dateng tuh bukan dari agama kita, Mi.” Kentung menjelaskan dengan serius.

“Lah manjur, Tung.” Saya memuji sambil tertawa, “Emang lu kasih aer apa?”

“Awalnya sih gua kasih aer zam-zam. Emang kebeneran lagi ada. Tapi lama-lama gua kasih aja aer keran.” Kentung menjelaskan sambil cekikikan.

“Wah, parah luh! Serius?” saya menggeleng. Njay dan Fawwaz tidak bisa menahan geli.
 
“Nih ada bini gua nih. Lu tanya aja langsung kalo emang gak percaya mah,” saya memandang Septi di kursi depan yang menganggukan kepala tanda mengiyakan. Saya tidak punya alasan untuk tidak percaya.

“Lah kadang-kadang gua ditelpon, Mi.” Kentung menjelasakan sambil memperagakan sedang ditelpon karyawan tokonya. Sebagai anak bontot, Kentung mengurus toko mabel keluarga, “’Ada yang dateng ke toko minta aer, bang.’ Ya gua suruh aja isiin botol akua bekas pake aer keran.”

Saya kembali menggeleng dan cekikikan karena keisengan dan kelakuan ajaib Kentung. Keisengan itu sebenarnya sudah ada sejak saya mengenalnya pertama kali pada saat kami di pondok Tsanawaiyah puluhan tahun lalu yang kemudian saya abadikan di novel Badung Kesarung.

Beberapa waktu lalu saat saya membaca karakter Buto dalam Novel Rapijali, pikiran saya segera memvisualisasi gambaran Kentung yang sejak dulu memang sudah berwujud bangsa jin; buncit, tajir, percaya diri, iseng, blak-blakan cenderung kasar tapi juga pada saat yang sama supel, setia kawan dan perasa bahkan melankolis.

Ia tipe anak yang suka mem-bully tapi juga bersedia dan menikmati ketika ia di-bully. Memanggil kawan-kawan lain dengan macam-macam julukan seenaknya seperti Idung Cutbray, Pantat Bebek, Siluman Bibir atau dengan enteng menyapa nama bapak mereka. Kebanyakan kawan dengan mental kurang terlatih akan minder dan sakit hati dengan ejekan itu, namun Kentung hanya bisa dihadapi dengan cara balas menampar dengan kualitas tamparan yang setimpal. Impas.
 
Pernah suatu hari kami berkumpul untuk tahlilan wafatnya istri kawan kami Edo. Tidak beberapa lama setelah saya duduk bersila diantara kawan-kawan yang lain, Kentung menyapa, “Gimana kabarnya Haji Wahab?”

“Bokap gua udah meninggal, Lih!” kata saya datar. Sapaan pertama sudah cari masalah, pikir saya. Tapi tentu itu pertanda keakraban.

“Oh,” Kentung menjawab pendek.

Ini saatnya saya memberi tamparan yang setara, “Haji Nalih gimana? Masih idup?”

“Alhamdulilah, sehat. Kalo kagak mah gua kagak bergaul sama rakyat jelata kayak lu lu pada. Udah foya-foya gua dapet lungsuran,”

Bangsat, maki saya. Dengan santai ia bercanda tentang kematian dan kami tergelak menikmatinya.


KAMI tiba di pelataran pesantren bertepatan dengan azan zuhur, kemudian segera berwudhu untuk salat berjamaah di masjid, berharap Kiyai Fachruddin akan menjadi imam. Namun ternyata beliau sedang ada tamu dan mungkin melakukan jamaah di dalam pesantren.
 
Selesai salat, kami menuju bagian dalam pondok. Angin sepoy-sepoy bertiup dari arah sawah di samping bangunan santri. Menuju saung bambu yang asri, kami berpapasan dengan rombongan yang berjalan keluar karena sudah selesai sowan. Saya membayangkan saung itu tidak penah sepi dengan jamaah yang datang silih berganti. Karena ketika kami sedang bercakap-cakap dengan Kiyai Fachruddin pun, ada beberapa orang yang datang nimbrung.
 
Tidak jarang tamu datang jauh dari luar kota, luar pulau bahkan sampai larut malam. Kiyai Fachrudin bercerita bahwa pernah ada tamu belum pulang padahal ia sudah sangat mengantuk. Akhirnya beliau tertidur ditengah para tamu yang sedang bercengkrama.

“Cuma kalau sudah spertiga akhir malam gitu, ngomongnya jangan ngomongin kiri, saya bilang,” Kiyai Fachruddin menjelaskan, “Ngomong kanan aja,”

Awalnya kami tidak terlalu paham apa yang dimaksud, tapi beliau menjelaskan, “Coba ente bayangin. Ada orang yang janjiin ente, bakal ngasih apa aja. Dia minta ente dateng pada waktu dan tempat tertentu. Dia bakal ngasih apa aja permintaan ente. Kira-kira ente mau dateng gak?”
 
Kami diam manggut-manggut. Beliau melanjutkan, “Itu baru orang. Coba sekarang yang janjiin itu Tuhan. Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: 'Siapa saja yang berdoa kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa saja yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberi, siapa saja yang memohon ampunan dari-Ku akan Kuampuni."

Kami mulai mengerti apa yang dimaksud ngomong kanan, kalimat positif, optimistic attitude atau istilah-istilah lain. Dalam sehari kita dibombardir banyak omongan kiri, baik yang berasal dari diri sendiri atau orang lain. Kata-kata negatif yang sering membuat nyali ciut. Tapi kita memiliki kuasa untuk memilih akan dikemanakan sampah kata-kata itu. Apakah akan mengotori hati atau kita bisa membuang sampah pada tempatnya. Sementara itu, pada waktu-waktu tertentu bicaralah pada diri sendiri, berdoa kepada Tuhan dengan kalimat-kalimat kanan, dengan kata-kata positif.

Saya sangat mengerti bahwa kata-kata adalah doa. Apalagi diucapkan oleh seorang guru yang mulia, seorang mursyid. Saya percaya bahwa sampai saya bisa menulis beberapa buku sekarang ini adalah karena berkah dan doa beliau. Saya masih ingat ketika beliau mengomentari saya selepas Muhadoroh bertahun-tahun lalu, beliau bilang saya pencerita yang bagus. Dan begitulah kata-kata baik itu membawa saya sampai saat ini.

Kiyai Fachrudin adalah seorang guru yang mengerti arti penting dari kata-kata. Saya merasakan itu ketika memperhatikan pilihan kata yang beliau ucapkan ketika bercakap-cakap dengan kami.
 
Di tengah percakapan, ketika ada waktu saya iseng menyela, “Kentung sering diminta aer adem, Guru.”
 
Kentung memandang saya dengan wajah kesal gua-tabok-beneran-lu-Mi. Kiyai Fachruddin menanggapi cerita saya dengan tertawa. Terutama ketika saya ceritakan tentang air keran.


SEBELUM pulang, Kentung memberi gestur seperti enggan beranjak, “Enak nih, Kiyai. Kalo lagi kabur dari rumah bisa ke sini,” Kentung sambil nyengir.
 
“Iya boleh. Asal kemari bawa aer adem ya,” Kiyai Fachruddin sambil tersenyum. Semua orang terbahak kecuali Kentung.

Di kendaraan arah pulang, Kentung sewot, “Bener-bener lu, Mi. Udah gua bilang jangan diceritain.”

Saya tertawa, “Lah lu bilang kan gak boleh gua tulis, bukan gua ceritain.”

“Iya, ya. Lupa gua lagi ngomong ama bekas anak pondok.” Kentung pasrah.

Saya meneruskan tawa disusul Njay dan Fawwaz.