Halaman

Kamis, 15 April 2010

Menjadi Daun

Pada sebatang akasia hijau di sebuah sudut lereng pegunungan tumbuh sebatang tunas daun. Kecil dan merah. Sungai jernih nan sejuk tertidur dibawahnya membunyikan lagu alam yang paling subtil.

Suatu waktu, di tengah badai, daun yang mulai tumbuh besar dan kehijauan itu jatuh dalam pelukan bapak sungai. Mengalir dibawa takdir. Pasrah mengikuti lika-liku atau kelak-kelok arus yang seperti tak pernah selesai juga yang tak pernah sampai.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Suatu pagi di bulan juni, arus meninggalkannya pada sebuah batu besar. Menempel tak berdaya dibakar, terik matahari. Di atas batu, bertengger seekor bangau yang mengangkat sebelah kakinya. Sayup-sayup ia mendengar sang bangau bicara seakan pada dirinya sendiri, atau mungkin juga ia bicara padanya. “Aku ini hewan binal, dari kumpulannya terbuang kekal. Aku mau renggut sekuntum milenium lagi.”

Aha, bangau tua itu sedang membaca puisi rupanya, pikir daun. Daun mengenal puisi itu namun belum sempat memahaminya. Lebih tepatnya, ia dan puisi itu belum mau membuka diri masing-masing. Berpura-pura acuh.

“Apa yang kau lakukan pak bangau?” tanya daun. Pak bangau tidak memperhatikan pertanyaannya, sepertinya sedang berpikir dalam. Lama mereka diam. Sampai pak bangau gantian bertanya, “apa yang aku lakukan?! Kau tahu apa yang kulakukan ketika aku sedang mengangkat sebelah kakiku yang kanan?”

Kenapa ia membalikan pertanyaann itu padaku, pikir daun heran. Daun diterpa angin, menyerah.

“Aku tidak lupa untuk menurunkan sebelah kakiku yang kiri.” kata pak bangau yakin.

Setelah beberapa hari mempelajari cuaca di sekelilingnya, daun yang telah menjadi kering itu tertiup angin dan mengambang pada aliran sungai lagi.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Dalam perjalanan itu, ia bertemu seekor buaya lapar. Ia ditelan. Tertelan mungkin. Pada lambung buaya, ia melihat seekor rusa yang juga ikut tertelan. Ditelan mungkin. “buaya tidak pernah kenyang!” kata rusa, “kemarin ia menelan, ibuku, kakekku. Dan sekarang, aku.”

Daun tak banyak bicara. Disaat itu ia belajar untuk mendengarkan.

“kenapa ia tidak pergi ke laut yang punya ikan beraneka warna?” lanjut rusa berbelang kaki, “ia bisa makan sepuasnya tanpa harus hawatir kehabisan ragam.”

Irisan tajam belati tiba-tiba mengoyak lambung buaya ketika itu. Sinar matahari kembali masuk. Rusa dikeluarkan. Dan menjadi begitu bisu.

Daun dikeluarkan.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Perjalanan selanjutnya ia bertemu pemancing ikan. Daun kering telah belajar sopan santun dan mengatakan permisi ketika lewat di depan pemancing. Mau kemana kamu? Kata pemancing. Dari mana kamu? Tanyanya lagi. Siapa kamu? Apa maumu? Kenapa tubuhmu? Bagaimana nasibmu? Berapa umurmu? Bertubi-tubi.

Air sungai tetap mengalir. Disaat seperti apapun.

Ia belum sempat menjawab.

Dan akhirnya –memang akan selalu ada akhirnya— suatu sore yang cerah, ia sampai pada pelukan kakek tua samudra, bergolak-golak terbawa gelombang.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Suatu saat, pikirnya, jika ada yang bertanya lagi dari mana aku, aku akan menjawab.

“aku berasal dari sebatang akasia pada sudut lereng pegunungan dimana dibawahnya mengalir sungai.”

Tapi tidak akan ada lagi yang bertanya.



Bekasi, April 2008