Halaman

Jumat, 28 Agustus 2009

Aku Hanya Ingin Menulis, Terserah Mereka Mau Bilang Apa



Pada sebuah pilihan hati aku berdiri. Aku punya harapan kecil agar selaksa rasa ini bisa ditulis. Karena aku hanya mampu menulis. Supaya ini bisa dikenang atau jika mungkin diabadikan. Ya, aku sadar tidak ada sesuatu yang abadi. Tapi biarlah, biarlah sekali lagi aku menulis. Hanya menulis. Membuat segalanya bisa dikenang walau tanpa abadi.


Hai....

Sedang apa malam ini? ini sudah pagi untukku, entah bagimu. Masih malam mungkin. Dan engkau mungkin masih tidur. Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukan ini; mengingatmu. Takut aku mengganggu tidurmu. Tapi, semua ini di luar kemampuanku.


Dan sekarang kamu telah berada di depan lembaran putih ini...


Mungkin pada sebuah pagi. Ketika kamu membuka mata dari tidur indahmu semalam. Bersyukur atas kehidupan yang tuhan berikan padamu. Dan kemudian bergegas melaksanakan aktifitas. Ketika itu, aku ingin sekali melihatmu dalam keadaan yang paling alami.


Atau pada selembar senja, setelah kamu menyelesaikan segala kegiatan. Setelah kamu mandi dan membersihkan tubumu dari aroma siang-siang yang lelah. Ketika aroma sabun kemudian ganti melekat di kulit halusmu. Dan ketika itu aku ingin sekali melihatmu dalam keadaan yang paling alami.


Atau mungkin juga pada seujar malam yang sering kau rindukan. Pada sunyi sepi kesendirian. Pada detak jantungmu sendiri yang bisa kau dengar. Ketika kamu sendiri dan merenungkan hidupmu yang sekarang. Pada kekinian. Dan ketika itu, sekali lagi, aku ingin sekali melihatmu dalam keadaan yang paling alami.

Ini akan terdengar sedikit romantis, sayang...


Kamu ingat, ketika aku mengungkapkan seluruh perasaanku padamu pada sebuah siang terik di awal bulan penghujung hujan. Di dekat sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang lapar akan air. Aku harap kamu tidak bisa melupakannya. Ketika aku mengatakan “Dua tahun lagi, atau mungkin bisa lebih cepat, maukah menikah denganku?”


Waktu seperti melambat.


Ada rasa heran bercampur kegugupan pada wajahmu. Dan, ma’af, sayang...

diam-diam aku mengaguminya. Semakin manis.


Dalam segala carut marut hidup yang tidak pasti, mungkin kamu mempertanyakan ucapan itu. Kata-kata itu tidak terucap tiba-tiba. Bukan karena aku dirasuki jin penunggu pohon yang di bawahnya aku berdiri ketika mengatakannya. Bukan juga karena pengaruh siang yang terik dan monoksida yang terlalu banyak kuhirup dari kendaraan yang lalu lalang di jalan itu. Dan tentu saja, juga bukan karena aku berada di bawah ancaman siluman kodok yang bersembunyi pada rerimbun semak yang ada di belakangku. Bukan. Bukan karena itu aku mengatakannya.


Setiap sesuatu punya alasan dan pertimbangan, seberapapun kecilnya. Tidak lepas juga dalam masalah ini. Yang pertama, menikah adalah sunah nabi, dengan mengikuti sunah nabi berarti aku juga mengikuti perintah Allah. Jadi alesan utamaku menikah adalah karena Allah. Ini bukan sesuatu yang naif, bukan? Malahan sesuatu yang fitrah. Yang kedua, karena menikah adalah kesiapan mental. Dan aku merasa punya mental untuk itu. Menundanya berarti merendahkan mental yang sejauh ini terbentuk. Diluar semua itu, kata-kata itu sudah sering aku ucapkan dalam segala bentuk fisualisasi dalam kepalaku.


Aku tahu, kamu tidak butuh penjelasan panjang lebar ini. Aku tahu itu, matamu yang mengatakannya. Namun sekali lagi, biarlah ini menjadi sekedar tulisan.


Tidak banyak yang kuharapkan. Bahkan tidak ada yang kuharapkan. Ya, aku tidak mengharapkan apa pun. Apakah ini terdengar aneh?...


Begini maksudku: apalah arti harapan ditengah-tengah kemasabodoan dunia. Seberapa berartinya harapan ditengah-tengah ke-skeptis-an. Bukankah kita hidup dalam lingkungan yang murni pesimis. Atau parahnya lagi pada lingkungan yang tidak punya harapan. Pada ujung dunia. Pada ujung penderitaan, sayang. Kita hidup pada tatanan dunia yang kacau balau walaupun belum hancur. Ditengah dunia yang absurd ini, kamu tahu.... kita seperti sisifus yang mendorong batu besar ke atas sebuah gunung. Makin banyak langkah yang kita ambil, makin berat batu terasa.


Manusia optimis mungkin berpikir kalau segala sesuatu bisa diselesaikan. Bisa dirubah. Bisa diatasi. Tapi kenyataannya, manusia optimis yang sukses seperti itu hanya ada pada buku-buku... hanya ada dalam workshop dan training. Justru orang-orang optimislah yang paling gampang jatuh pada sikap pesimis. Karena dalam pandangan mereka cuma ada dua kutub. Optimis atau pesimis. Berhasil atau gagal. Sudah.


Tapi tidak denganku! Aku bukan orang yang terlalu optimis memang, namun aku juga bukan pesimis. Kalau boleh memilih —karena dunia ini pilihan, aku ingin digolongkan sebagai manusia-manusia bertahan. Bertahan untuk tidak pesimis. Dunia ini bukan hitam dan putih, sayang! Pesimis dan optimis adalah penyederhanaan yang terlalu jujur.

Manusia optimis adalah manusia menyerang! Klasifikasi ini seperti pola dalam pertandingan sepak bola. Bertahan dan menyerang. Keduanya punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pola menyerang menekankan usaha yang terus menerus untuk mendapatkan gol. Segala usaha dikerahkan. Namun sering sekali, pola ini malah melemahkan barisan belakang. Sementara pola bertahan adalah sebaliknya. Menahan sekuat tenaga serangan dari lawan. Bertahan untuk tidak kemasukan gol adalah prioritas utama. Tentu, sambil menunggu dengan sabar kesempatan menyerang. Menunggu lawan lelah dan lemah, maka pada kesempatan itulah penyerangan akan lebih telak.


Lalu kemudian aku ingin bertanya, apa artinya orang-orang optimis di tengah-tengah absurditas ini? Untuk kita yang setiap hari dihadapkan pada realitas. Terkadang ada pikiran: sulit untuk merubah sesuatu yang terlanjur sudah rusak. Tentu kita tidak dapat menyambung arang yang patah.... kita hanya dapat bersyukur terhadap sisa arang yang yang masih ada sambil menjaga sekuat tenaga agar sisa yang ada itu tidak patah kembali. Namun, dalam penjagaan yang susah payah itu, suatu saat, arang itu akan patah kembali. Apakah kita akan pasrah. Tidak! Belum saatnya! Yang mesti kita lakukan adalah sadar! Sadar bahwa segalanya mungkin patah dan tidak takut dengan kepatahan. Kita akan kembali lagi bersyukur atas sisa patahan yang masih tersisa dan kembali menjaga dengan sabar patahan yang telah mengecil itu agar tidak patah kembali. Sampai akhirnya kita tersadar bahwa arang itu kembali patah. Dan yang kita lakukan adalah kembali bertahan. Di tengah-tengah situasi yang hampir tanpa harapan ini, mental yang seharusnya ada adalah mental bertahan. Bertahan dan bertahan.
Dan aku butuh sedikit senyummu untuk itu.


Cuma itu.


Ma’af kalau penjelasanku barusan terkesan arogan, Dee...


Aku akan membumi.


Sejujurnya, masih banyak hal yang ada di dunia ini yang tidak kumengerti adanya. Bahkan sama sekali tidak kuketahui. Aku lemah atas pengetahuan itu. Karena itu, walaupun segala pendapat yang barusan kutulis bernada pasti, aku masih mau menerima laku kritik dari siapa saja. Juga kamu, tentu. Kehidupan yang akan kita jalani nanti tentu akan berbeda dari kehidupan yang sekarang. Masalah yang ada sekarang bisa menjadi bukan masalah di kemudian hari. Begitupun sebaliknya. Dan masalah-masalah baru pasti akan selalu ada. Seperti biasanya, aku akan senang dengan masalah-masalah itu. Bukankah memang kehidupan sendiri adalah masalah?


Dan akhirnya —memang akan selalu ada akhirnya, terimalah aku dengan segala kekurangannya.


Mungkin butuh waktu bagimu dan juga bagiku untuk mengerti. Maka dari itu, simpanlah kertas ini dalam tidur-tidur indahmu selanjutnya. Sebab apa yang diucapkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tapi yang tertulis, tetap tertulis.