Halaman

Sabtu, 13 Agustus 2011

Ini Hari Libur

Hari ini saya bisa berleha-leha di kasur sambil membaca buku. Kegiatan favorit yang jarang sekali saya lakukan akhir-akhir ini. Di hari libur seperti ini, enak sekali berleha-leha, kawan. Memanjakan diri. Mandi siang hari. Menghibur diri dengan melakukan kegiatan sekehendak hati.


Hari ini saya libur karena menunggu sampai tempat kerja saya direnovasi. Dan waktu tiga hari libur ini tentu saya akan manfaatkan sekenyang-kenyangnya. Sebenarnya bisa saja saya menonton TV untuk mengabiskan liburan ini, apalagi beritanya juga cukup seru: kepulangan Nazarudin, buron yang sedang dicari interpol, dari Colombia. Tapi saya memilih sinis terhadap berita itu. Kejadian memulangkan koruptor atau yang sejenisnya setelah kabur ke negeri orang bukan terjadi kali ini saja. Tentu kita masih ingat Gayus Tambunan yang dijemput dari Singapura kemudian dibui. Dan beberapa hari setelahnya ia malah berjudi di Makau. Hah! Ada-ada saja kelakuan para penjahat kita!


Makanya, begitu ada berita tentang tertangkapnya Nazarudin dan pemulangannya yang konon menghabiskan 4 milyar itu, saya tidak tertarik lagi, apatis mungkin. Jengah dengan kelakuan para politikus negeri ini. Gampang sekali buat mereka pergi ke luar negeri bahkan mengajak anak istri. Buat kita rakyat jelata hanya bisa menonton saja. Sambil sesekali mengutuki.


Apa sebenarnya yang terjadi pada sebagian besar penguasa negeri ini? Saya yakin mereka mengerti bahwa korupsi itu merugikan orang lain, mencuri, berdosa. Saya yakin sekali mereka mengerti, mereka paham. Tapi di negeri ini pemahaman tidak berbanding lurus dengan perbuatan. Berapa banyak orang yang mengerti merokok itu menggangu kesehatan tapi tetap saja merokok. Dalam kasus rokok mungkin banyak orang berdalih kecanduan. Tapi, begitu jugakah dengan korupsi?


Saya bisa menebak apa yang akan terjadi dengan kasus Nazarudin: tidak ketahuan ujung pangkalnya, menghilang digantikan episode-episode lain yang lebih seru. Begitulah jika menonton televisi. Informasi-informasi yang diberikan kadang malah membuat pesimis. Program-program lainnya pun tidak kalah memuakkan. Tayangan yang itu-itu saja. Lawakan Sule yang slapstick dan itu-itu saja. Gaya joget cuci-bilas-jemur ala penonton Dahsyat yang itu-itu saja. Juga waktu sahur yang banyak diisi lawakan yang itu-itu saja dan sumpah gak lucu. Ya, mungkin begitulah sistem kapitalisme berlaku, dimana konsumen yang menjadi penggeraknya. Maka, di hari libur ini saya memilih untuk membaca buku.


Emm, tapi kenapa juga saya harus membenci tayangan TV ya? Bukankah karena tayangan TV yang seperti itu jadi saya memilih untuk membaca buku? Bukankah itu berarti baik? Bukankah jika tayangan TV bagus saya tidak punya kesempatan untuk membaca beberapa buku yang belum sempat dibaca? Bukankah itu berarti baik?


Bagi saya, dan kawan-kawan penggila buku yang lain, membaca buku adalah surga dunia! Sehingga waktu luang untuk bisa membaca buku dengan khusuk tidak bisa tergantikan dengan apapun. Emm, mungkin yang bisa menggantikannya hanya jalan-jalan keliling eropa gratis. (lebay)


Ini tak ubahnya dengan orang yang mempunyai hobi-hobi yang lain seperti bermain sepak bola, travelling atau memancing. Mereka yang gila dengan hobinya rela melakukan apapun untuk pemenuhan atas hobi-hobi itu. Tapi hobi juga bisa dijadikan pekerjaan. Dan beruntunglah bagi yang pekerjaannya adalah hobinya. Karena berarti mereka bisa mengerjakan apa yang mereka suka dan sekaligus mendapat penghasilan. Pasti menyenangkan.


Ngomong-ngomong soal hobi, apa hobi para pejabat kita ya? Ah, jangan-jangan hobi mereka sebelum jadi pejabat adalah korupsi, karena kelihatannya mereka menikmati sekali. Dan kalau begitu mereka mendapat tiga keuntungan: 1. Melakukan hobi, 2. Mendapat penghasilan. 3. Mendapatkan uang melimpah.


Senin, 01 Agustus 2011

Puasa Ramadhan Bagi Wanita Hamil dan Menyusui

Pada bulan Ramadhan 1431 H (2010 M) tahun kemarin, istri saya tidak berpuasa karena sedang menyusui. Dalam keadaan normal, istri saya selalu berpuasa di bulan Ramadhan. Namun karena anjuran dokter kandungan yang khawatir puasa akan menghambat produksi ASI yang mengakibatkan tidak tercukupinya ASI untuk si bayi, maka istri saya tidak berpuasa. Apalagi ini anak pertama saya, jadi wajarlah jika saya dan istri sangat hati-hati sekali karena belum berpengalaman sebelumnya.
Dalam hal tidak puasa untuk wanita hamil dan menyusui karena khawatir terhadap dirinya atau bayi, para ulama sepakat memperbolehkannya.[1] Namun ntuk konsekwensinya, ada beberapa perbedaan pendapat antara mereka. Paling tidak ada 6 pendapat yang berbeda tentang hal ini:
1.     Wanita hamil yang tidak berpuasa hanya wajib menganti puasa dan tidak wajib membayar fidyah. Sedangkan wanita yang menyusui wajib menganti puasa dan membayar fidyah. Ini pendapat mazhab Maliki, al-Laits[2] dan pendapat imam Syafi’i dalam kitab al-Buwaithi.[3]
2.     Jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa karena khawatir terhadap anaknya saja, maka wajib baginya mengganti puasa di bulan lain dan membayar fidyah (memberi makan kepada fakir miskin dalam satu hari sebanyak satu mud (lebih dari 6 ons)). Ini pendapat mazhab Syafi’i,[4] Hambali[5] dan Mujahid.[6]
3.     Wanita hamil dan menyusui hanya berkewajiban membayar fidyah, tidak wajib mengganti. Ini pendapat Ibn ‘Abbas, Ibn Umar dan Sa’id bin Jubair dan al-Qasim bin Muhammad.[7]
4.     Wanita hamil dan menyusui hanya wajib mengganti dan tidak wajib membayar fidyah. Ini pendapat mazhab Hanafi,[8] Imam Syafi’i,[9] Auza’i, Zuhri, Sa’id bin Jubair dan lain-lain.[10]
5.     Wanita hamil dan menyusui tidak wajib mengganti dan tidak pula membayar fidyah. Ini pendapat mazhab Ibn Hazm al-Zahiri.[11]
6.     Memberi pilihan. Jika wanita hamil dan menyusui memilih fidyah, maka baginya cukup dengan fidyah dan tidak wajib mengganti. Sebaliknya, jika mereka memilih mengganti maka tidak wajib memberi fidyah. Ini pendapat Ishaq bin Rahwaih.[12]
Kesimpulan: tampak jelas bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang mewajibkan mengganti puasa tanpa harus membayar fidyah. Ini dalam kondisi ketika wanita hamil dan menyusui mampu mengganti. Namun jika mereka tidak mampu, maka wajib membayar fidyah. Dan berpuasa akan selalu bermanfaat bagi yang mampu melaksanakan. Wallahua’lam bissowab.


[1] Lihat Imam asy-Syaukani, Nailul Author, Kitab ash-Shiyam, hal.297-8
[2] Abdur Razzaq, Mushannaf Abdur Razaq, jld. 10, hal. 223.
[3] Al-Mawardi, al-Hawi, jld. 3, hal. 437.
[4] an-Nawawi, al-Majmu’, jld. 6, hal. 267.
[5] Ibn Qudamah, al-Mughni, jld. 3, hal.139.
[6] Ibn Abdil Barr, al-Istizkar al-Jami’ li Madzahib Fuqaha’il Amshar, jld. 20, hal. 223.
[7] Ibn Abdil Barr, Op. Cit, jld. 10, hal. 221-222.
[8] Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, jld. 2, hal. 449.
[9] an-Nawawi, Raudhah ath-Thalibin, jld. 2, hal. 249.
[10] Ibn Abdil Barr, Loc. Cit.
[11] Ibn Hazm, al-Muhalla, jld. 4, hal. 410.
[12] Al-Bagwai, Syarh as-Sunnah, jld. 6, hal. 316.