Halaman

Minggu, 23 Januari 2022

Memandang Orang Lain dengan Pandangan Kasih Sayang

Tercatat dalam hadits sahih, sebuah kisah tentang pendosa yang telah membunuh 100 orang. Secara ringkas, cerita itu sebagai berikut: seorang dari masa sebelum nabi Muhammad telah membunuh 99 orang, kemudian ingin bertaubat. Dia mencari tempat bertanya dan berjumpa seorang abid, ahli ibadah.

Pembunuh ini bertanya, "Aku telah membunuh 99 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima?". Sang abid menjawab, "Tidak bisa!". Lantas abid itu dibunuh, maka dia telah membunuh genap 100 orang.

Pembunuh ini mencari lagi dan berjumpa dengan seorang alim. Ia bertanya, "Aku sudah membunuh 100 orang, tapi aku ingin bertaubat. Apakah taubatku akan diterima". Orang alim itu menjawab, "Oh, tentu diterima".

Orang alim itu memberi tahu, kalau si pembunuh ingin sungguh taubat, maka ia harus pindah dari daerah ini, karena masyarakatnya berperangai sangat buruk. “Pergilah ke negeri anu, disana banyak orang beribadah, ikutilah mereka".

Si pembunuh pergi dan meninggal di tengah perjalanan. Berdebatlah antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Masing-masing mengklaim orang ini bagian dia.

Malaikat rahmat berkata, “Orang ini sudah berkeinginan untuk bertaubat". Malaikat azab menjawab, "Tapi kan belum sampai ke tujuannya".

Allah mengutus malaikat lain untuk menengahi, kemudian diminta untuk mengukur jarak mana yang lebih dekat, dari tempat berangkat ke tujuan.

Setelah diukur, ternyata mayat itu lebih dekat hanya sejengkal kearah tujuan. Maka orang itu menjadi bagian malaikat rahmat dan masuk surga.

Kurang lebih seperti itu ringkasan ceritanya.

Kebanyakan orang mengutip cerita tersebut untuk menekankan pada aspek pertaubatan. Bahwa seberapa banyak dosa yang manusia buat, ampunan Tuhan pasti lebih besar bagi mereka yang sungguh-sungguh bertaubat.

Tidak ada yang keliru dari poin tersebut, hanya saja saya punya perspektif lain. Saya membayangkan orang-orang, yang mungkin tidak tahu bahwa pembunuh yang mati itu telah bertaubat dan taubatnya diterima Tuhan, beramai-ramai mensyukuri kematiannya. Semua berbahagia dengan kematian tersebut. Mungkin ia dikuburkan di daerah terpencil dan diberi tanda penghinaan. Intinya setelah kematian, dia masih diperlakukan sebagai orang yang berdosa oleh masyarakat sekitar.

Mengapa saya membayangkan itu? Karena itu lumrah terjadi di masyarakat. Orang-orang yang merasa paling benar menganggap para pendosa, bahkan orang-orang yang tidak berkeyakinan sama dengan mereka sebagai orang yang laknat dan patut dihina setelah kematian. Mereka perpendapat bahwa para pendosa dan kafir di mata mereka sudah pasti menerima azab dan akan masuk neraka. Mereka seakan-akan mengetahui dengan pasti keimanan dan kebaikan seseorang. 

Benar memang bahwa orang-orang yang berbuat baik dan beriman akan dimasukan ke dalam surga sementara orang-orang yang berbuat buruk dan ingkar akan dimasukan neraka. Tapi pertanyaan kemudian adalah siapa yang menentukan seseorang baik dan beriman? Siapa yang tahu akhir hidup seseorang? Bukankah Tuhan semata yang mengetahui dan menentukan hal itu?

Makna dari cerita dalam hadits tersebut adalah kesadaran bahwa akhirat atau surga dan neraka mutlak ketentuan Tuhan. Bahwa Allah memberikan Hidayah dan menerima taubat kepada siapa saja yang Ia kehendaki.

Saya tidak sedang menyarankan untuk kita menghormati atau mengagungkan orang yang kita anggap berbuat dosa atau bahkan menganjurkan berbuat dosa. Sama sekali tidak. Saya menekankan bahwa akhirat adalah urusan Tuhan, kita sebagai manusia tidak diberikan kesanggupan untuk mengetahui akan seperti apa akhir hidup kita. Maka berhentilah menjadikan diri kita sebagai Tuhan dengan seakan-akan mengetahui keputusan di akhirat nanti. Bisa jadi karena kesombongan, kita yang selama ini dipandang orang baik, ternyata di akhir hanyat melakukan hal buruk yang dibenci Tuhan, menjadi munafik dan mati dalam keadaan berdosa. Namun masyarakat sekitar menganggap kita orang baik, dimuliakan dan dikuburkan dengan penghormatan yang tinggi. Hal itu bisa saja terjadi.

Di akhirat nanti Tuhan yang akan mengadili dengan seadil-adilnya tentang kesalahan, dosa dan perselisihan apapun, termasuk perselisihan agama. Orang-orang yang beragama percaya bahwa Tuhan Maha Adil, kita sebagai manusia hanya berharap dan terus berharap bahwa saat kita mati nanti dalam keadaan baik di mata Tuhan, sambil juga memandang orang lain dengan pandangan kasih sayang.

Masyhur apa yang dikatakan sahabat nabi, Salman Al Farisi, bahwa kehidupan di dunia ini tidak final, maka ia menolak penghormatan di dunia karena tidak ada yang bisa memastikan akan seperti apa kehidupan di akhirat nanti. Ia bilang, “Jika nanti aku masuk surga, maka aku terhormat. Namun jika aku masuk neraka maka berarti aku hina!”

Wallahu ‘alam bissawab

Minggu, 02 Januari 2022

warna langit pukul 09:05

        Untuk DS


pukul 09:05 aku menatap punggung seseorang
juga layar yang berganti-ganti warna dan
suara dari pengeras yang berharap didengar

ruangan tidak bisa memenjara pikiran
sesuatu menyergap dari segala mata angan
meruapkan aroma deretan pinus di hutan
yang pucuk-pucuknya menggapai awan

pukul 09:05 aku merindukan 
langit yang walaupun sudah 
kuduga warnanya
tetap memberi kejutan dan liburan

Tahannuts

Kawan yang sudah bertahun-tahun tidak saya temui itu mengirim pesan melalui WA dan menanyakan kenapa saya mendeaktifasi akun Facebook.

Saya menjawab dengan canda kemudian serius. Sedang Tahannuts atau Uzlah, saya bilang. Gak ngerti, dia merespon. Biarin, saya jawab sambil tertawa.

“Awas, ya,” Ia mengancam, kemudian mengirimkan definisi yang ia dapatkan sendiri entah dari mana.

“Aku dari dulu gak suka FB,” ia menjelaskan ketika saya bertanya. Sebenarnya ia juga menonaktifkan Facebook, jadi ia mengirim pesan di WA bukan karena tidak bisa mencari saya di Fb, tapi karena saya tidak bisa memberi Gift di akun WeSing. Tentang kenapa ia punya akun WeSing dan saya adalah kawan satu-satunya yang ia harapkan Gift-nya, tidak akan saya ceritakan di sini.

Ia kawan wanita yang dulu sangat dekat. Dulu kami sering berbagi cerita dan banyak hal bersama. Sampai kami tiba di suatu titik untuk berpisah. Ia terluka karena kepergian saya, sementara saya menangis karena meninggalkannya. Kami sama-sama menderita, tapi akhirnya waktu yang menyembuhkan, karena waktu memberi kami jarak dan juga kesadaran.

Tentang memberi jarak pada segala hal, itu yang sedang saya lakukan. Tahannuts atau menyendiri adalah tradisi nabi-nabi. Nabi Muhammad mendapat Wahyu pertama ketika beliau ber-Tahannuts di gua Hira, setelah beliau melakukan itu secara rutin pada waktu tertentu. Tahannuts merupakan kesinambungan ajaran atau tradisi penganut ajaran Hanif yang sumbernya sampai kepada kakek beliau Nabi Ibrahim. Walau dengan praktik yang sedikit berbeda, tradisi ini sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa.

Secara prinsip Tahannuts yang saya lakukan sama. Menyendiri dari hiruk-pikuk dunia guna semacam recharge dan memikirkan ulang banyak hal. Itu adalah jalan yang seharusnya diambil manusia secara rutin berapapun usia mereka, karena rutinitas sering membuat manusia kehilangan ruh.

Tentu ini berbeda dengan budaya asketisme ekstrim yang sama sekali tidak ingin berhubungan dengan kesenangan dunia. Meninggalkan hal-hal duniawi selama-lamanya menurut saya adalah tindakan yang tidak manusiawi. Agama tidak mendorong hal itu, tapi menganjurkan untuk menjauh sejenak untuk merenung kemudian kembali mengingat dan memberi arti yang pantas untuk setiap hal. Manusia membutuhkan jeda untuk bisa kembali menentukan mana yang sejati, dan mana yang permainan serta senda gurau.

Wallahu a’lam bissawab.