Halaman

Jumat, 27 November 2009

Ketika Kau Tertidur

Aku lupa kapan pertama kali mengenalmu.

Lagi-lagi pada lipatan waktu yang tak tercatat. Mungkin ketika para kurcaci waktu melindungimu dari sihir perempuan gila yang ingin supaya kau musnah.

Dan kau pun hanya tertidur.

Dalam balutan sutra hijau dan tersenyum. Tidur yang paling indah yang pernah kau sajikan. Sampai datang seorang pangeran yang terobsesi dengan petualangan.

Dan kau pun hanya tertidur.

Diam.

Pangeran tampan pergi meninggalkanmu di tengah hutan, karena tak tahu yang mesti ia lakukan. “Tidurnya menyisakan perih.” Katanya kepada para hulubalang sambil ngeloyor pulang.

Dan kau pun hanya tertidur.

Ketika malam menyelimutimu dengan kedamaian, dan gerimis mulai membasahi sutra hijau yang kau kenakan.

Dan kau pun hanya tertidur.

Ketika musim terus berganti dan para pangeran berlalulalang bahkan tanpa memandang. Burung-burung akhirnya membuat sarang di rambutmu yang ikal dan hangat. Laba-laba memintal benang di wajahmu. Dan kurcaci waktu hanya diam termagu.

Dan kau pun hanya tertidur.

Sampai datang satu musim lagi. Suatu musim yang ia melupakanmu dan kamu melupakannya. Di musim yang teduh tanpa hujan. Panas tanpa kekeringan. Musim yang paling sempurna yang pernah dibuat tuhan. Semua berbahagia kecuali kamu. Karena kamu masih tertidur.

Dan kaupun hanya tertidur.

Sampai suatu hari dimana para musim enggan tuk menyapamu lagi. Setelah hewan-hewan hutan tidak lagi peduli. Dan para pangeran mati. Dan panggung sepi. Dan drama telah selesai.

Dan kaupun masih tertidur.

Menyunggingkan senyum kemarin yang telah bercampur kegetiran abab mulut. Matamu terbuka dan kembali tertutup. Terbuka dan kembali tertutup. Terbuka dan kembali tertutup. Terbuka dan memandangku tajam.

Bangkit dan mendekati,

penonton barisan depan yang tak pernah sedetikpun matanya terpejam.


Bekasi, 27 Nopember 2009

Kamis, 12 November 2009

Ambiguitas Sastra dan Tanggungjawab Sosial

Pernah ada seorang sahabat yang mengirim SMS yang menjelaskan bahwa novel BaRung (Badung Kesarung) adalah sebuah rekayasa, adalah sebuah pembohongan publik.

Awalnya, ketika menerima SMS itu, saya luar biasa tidak terima dan ingin sekali memberikan pembelaan saat itu juga. Namun, kemudian saya sadari bahwa pembelaan itu hanya akan semakin memperlihatkan kepicikan saya. Karena dalam hal ini, pembaca selalu benar. Merekalah yang menilai. Penulis tidak berhak turut campur untuk menilai karyanya sendiri. Kalaupun pembaca menilai novel itu sebagai novel sampah, penulis seharusnya menerimanya dengan legawa.

Dalam kasus saya, ada pro dan kontra. Ada yang senang dengan novel itu ada juga yang tidak. Memang novel ini tidak seheboh Da Vinci Code-nya Dan Brown. Atau Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur–nya Muhiddin M. Dahlan. Atau bahkan seperti Satanic Verse-nya Salman Rusdie. Saya pun tidak berniat untuk membuat kontroversi besar seperti mereka. Sama sekali tidak.

Tulisan ini saya tulis karena saya merasa punya tanggungjawab untuk menjelaskan apa yang telah saya tulis. Saya akan mendahuluinya dengan menjelaskan tentang apa yang mendasari saya menulis novel.

Novel sebagai salah satu bagian dari sastra muncul telah lama sekali. Ide pertama tentang novel di Eropa dimulai oleh Rebelais dan Cervantes. Rebelais melahirkan Gargantua and Pantagruel sementara Cervantes mengarang Don Quixote (Kundera, The Art of the Novel; 1988). Menurut Kundera, sastra memiliki satu spirit, yaitu ambiguitas, maka musuh utamanya adalah agelaste. Agelaste adalah bahasa Yunani yang artinya orang-orang yang tidak bisa tertawa dan tidak punya sense of humor. Kaum agelaste adalah yang berpendirian bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang jelas, sehingga semua orang niscaya akan berpikir tentang hal yang sama, tentang kebenaran yang tunggal. Kaum agelaste yakin bahwa pengetahuan mereka tentang diri mereka sama persis dengan diri mereka.

Memang dalam keseharian, kita selalu menghindari ambiguitas. Kita selalu menghindari makna ganda dalam berbicara. Itu semua agar pendengar menangkap dengan jelas apa yang kita bicarakan. Agar tidak ada kesalahpahaman. Lebih dari itu, agar pendapat yang kita sampaikan bisa lebih diterima dengan mudah. Saya pun setuju dengan itu.

Namun, dalam lingkup yang lebih luas lagi, ketika pikiran-pikiran manusia saling bertentangan, kita menyadari bahwa dunia berisi berbagai macam pendapat yang mustahil disatukan. Begitulah ambiguitas dalam novel. Ambiguitas ini seakan-akan ingin mengatakan bahwa kebenaran itu relatif. Oleh karenanya, maka karakter novel seharusnya selalu bersifat polifonik. Ia menampung banyak suara yang datang serempak, saling mendahului dan berlapis-lapis, dengan tidak ada kata putus tentang suara siapa yang benar.

Nah, berdasar pada pemahaman bahwa novel itu ambigu, dan berangkat dari sebuah tema yang sungguh sederhana bahwa kebebasan butuh konsekuensi yang besar, maka saya menulis novel ini.

Novel ini bergenere komedi dan diberikan label pelit (personal literature) oleh Bukune sebagai penerbit. Kemungkinan besar banyak yang memahami bahwa isi di dalamnya adalah kisah nyata sang pengarang. Padahal, sudah saya jelaskan dalam pembukaan di novel itu bahwa tidak semua cerita di dalamnya kisah nyata yang pernah saya alami. Ini penting saya jelaskan karena tidak sedikit sahabat-pembaca yang menilai novel ini sebagai autobiografi.

Saya setuju dengan ungkapan, “pengarang mati setelah karyanya selesai”, yang mengindikasikan kemandirian sebuah karya. Bahwa sebuah karya, setelah selesai dibuat, menjadi sesuatu yang ‘lain’ dari penulis. Memang ada bagian dari penulis, tapi hanya sebagian. Tidak ada identifikasi bahwa penulis adalah karya atau karya adalah penulis. Analogi ini seperti hubungan ibu dan anak. Lebih dari itu, pembaca menjadi bebas mengartikan sebuah karya tanpa takut berlainan dengan apa yang dimaksud oleh penulis. Karena dalam karya itu penulis sudah tidak ada, ia telah mati.

Disamping itu, saya juga setuju bahwa tulisan (cerita dalam hal ini) dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembaca. Bahkan bisa sampai merubah cara seseorang menilai sesuatu. Maka ketika itu terjadi, mau tidak mau penulis menjadi bagian tak terpisahkan dari pengaruh itu. Pendapat ini tentu tidak bertentangan dengan pemahaman ‘pengarang mati setelah karyanya selesai’, karena seperti yang diteorikan oleh M.H.Abrams (The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Critical Tradition; 1953), pada dasarnya karya sastra menampilkan empat sisi: pengarang, masyarakat (universe), teks karya dan pembaca.

Dalam kasus saya,
Citra Mufthi, sahabat-pembaca, pernah berkomentar....

G0od!
Q dah bLi bkux, bGuz bgt dEch!
Q iKt saLud! Dgn bku nie,, q bsa l0l0z dr pKsaAn 0rtuq bwt msUkin q ke pSntren, jd q bSa bukTiIn law msUk pSntren g' mNjamin saNtri yg bÆk,,
he... :-) thAnkZ!

Saya menanggapi kalimat ‘masuk pesantren gak menjamin santri yang baik.’ dengan satu kesadaran bahwa tidak ada yang salah dengan kalimat itu.

Begini, ada
survey yang menyatakan bahwa anggota DPR adalah anggota dewan yang paling tidak dipercayai masyarakat. Banyak terjadinya korupsi, kolusi, perzinahan dan lain sebagainya. Sampai pernah diabadikan dalam lagu Slank. Dalam masyarakat luas sudah termaindset bahwa anggota DPR buruk. Namun, beberapa pakar politik yang tahu ada beberapa anggota DPR yang masih bersih, mengatakan “gak semua anggota DPR buruk, masih ada mereka yang baik.”. Di tengah orang-orang yang buruk itu masih ada orang-orang baik. Simpelnya: banyak orang buruk sedikit orang baik.

Nah, kebalikannya dari itu, pondok pesantren telah termaindset dalam kepala masyarakat sebagai tempat berkumpulnya orang-orang baik. Lulusan ponpes adalah orang-orang yang dihormati. Namun seperti institusi lainya yang punya cela, begitu juga pesantren. Sehingga timbulah ungkapan “gak semua anak pondok baik, ada juga yang buruk.” artinya masih banyak yang baik daripada yang buruk. Lagipula, di belahan dunia mana yang terdapat orang baik seluruhnya?

Kemudian jika ada sahabat-pembaca yang memutuskan untuk tidak mau masuk pesantren, menurut hemat saya itu semata-mata karena pilihan mereka untuk tidak mau masuk pesantren. Bukan karena pemahaman bahwa ‘gak semua anak pondok itu baik’, karena sekali lagi itu adalah kesimpulan yang wajar. Sehingga saya berkesimpulan bahwa novel itu bukan sebab tapi hanya pemicu.

Dan dengan ini, mudah-mudahan saya telah menyelesaikan tanggungjawab saya untuk menjelaskan; kepada para sahabat-pembaca juga terutama kepada Allah.


Your Humble Writer

Nailal Fahmi


Minggu, 06 September 2009

Kau Ada

Pada selembar pagi
cobalah pergi ke kebun belakang
dimana suara burung dan alam merdu terdengar

sesekali cobalah bangun pada tengah malam
ketika degup jantungmu jernih berdebar

bukan untuk apa
tapi tuk pikir dan renungi
bahwa Kau ada


Bekasi, 6 September 2007

Jumat, 28 Agustus 2009

Aku Hanya Ingin Menulis, Terserah Mereka Mau Bilang Apa



Pada sebuah pilihan hati aku berdiri. Aku punya harapan kecil agar selaksa rasa ini bisa ditulis. Karena aku hanya mampu menulis. Supaya ini bisa dikenang atau jika mungkin diabadikan. Ya, aku sadar tidak ada sesuatu yang abadi. Tapi biarlah, biarlah sekali lagi aku menulis. Hanya menulis. Membuat segalanya bisa dikenang walau tanpa abadi.


Hai....

Sedang apa malam ini? ini sudah pagi untukku, entah bagimu. Masih malam mungkin. Dan engkau mungkin masih tidur. Sebenarnya aku tidak sampai hati melakukan ini; mengingatmu. Takut aku mengganggu tidurmu. Tapi, semua ini di luar kemampuanku.


Dan sekarang kamu telah berada di depan lembaran putih ini...


Mungkin pada sebuah pagi. Ketika kamu membuka mata dari tidur indahmu semalam. Bersyukur atas kehidupan yang tuhan berikan padamu. Dan kemudian bergegas melaksanakan aktifitas. Ketika itu, aku ingin sekali melihatmu dalam keadaan yang paling alami.


Atau pada selembar senja, setelah kamu menyelesaikan segala kegiatan. Setelah kamu mandi dan membersihkan tubumu dari aroma siang-siang yang lelah. Ketika aroma sabun kemudian ganti melekat di kulit halusmu. Dan ketika itu aku ingin sekali melihatmu dalam keadaan yang paling alami.


Atau mungkin juga pada seujar malam yang sering kau rindukan. Pada sunyi sepi kesendirian. Pada detak jantungmu sendiri yang bisa kau dengar. Ketika kamu sendiri dan merenungkan hidupmu yang sekarang. Pada kekinian. Dan ketika itu, sekali lagi, aku ingin sekali melihatmu dalam keadaan yang paling alami.

Ini akan terdengar sedikit romantis, sayang...


Kamu ingat, ketika aku mengungkapkan seluruh perasaanku padamu pada sebuah siang terik di awal bulan penghujung hujan. Di dekat sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir sungai yang lapar akan air. Aku harap kamu tidak bisa melupakannya. Ketika aku mengatakan “Dua tahun lagi, atau mungkin bisa lebih cepat, maukah menikah denganku?”


Waktu seperti melambat.


Ada rasa heran bercampur kegugupan pada wajahmu. Dan, ma’af, sayang...

diam-diam aku mengaguminya. Semakin manis.


Dalam segala carut marut hidup yang tidak pasti, mungkin kamu mempertanyakan ucapan itu. Kata-kata itu tidak terucap tiba-tiba. Bukan karena aku dirasuki jin penunggu pohon yang di bawahnya aku berdiri ketika mengatakannya. Bukan juga karena pengaruh siang yang terik dan monoksida yang terlalu banyak kuhirup dari kendaraan yang lalu lalang di jalan itu. Dan tentu saja, juga bukan karena aku berada di bawah ancaman siluman kodok yang bersembunyi pada rerimbun semak yang ada di belakangku. Bukan. Bukan karena itu aku mengatakannya.


Setiap sesuatu punya alasan dan pertimbangan, seberapapun kecilnya. Tidak lepas juga dalam masalah ini. Yang pertama, menikah adalah sunah nabi, dengan mengikuti sunah nabi berarti aku juga mengikuti perintah Allah. Jadi alesan utamaku menikah adalah karena Allah. Ini bukan sesuatu yang naif, bukan? Malahan sesuatu yang fitrah. Yang kedua, karena menikah adalah kesiapan mental. Dan aku merasa punya mental untuk itu. Menundanya berarti merendahkan mental yang sejauh ini terbentuk. Diluar semua itu, kata-kata itu sudah sering aku ucapkan dalam segala bentuk fisualisasi dalam kepalaku.


Aku tahu, kamu tidak butuh penjelasan panjang lebar ini. Aku tahu itu, matamu yang mengatakannya. Namun sekali lagi, biarlah ini menjadi sekedar tulisan.


Tidak banyak yang kuharapkan. Bahkan tidak ada yang kuharapkan. Ya, aku tidak mengharapkan apa pun. Apakah ini terdengar aneh?...


Begini maksudku: apalah arti harapan ditengah-tengah kemasabodoan dunia. Seberapa berartinya harapan ditengah-tengah ke-skeptis-an. Bukankah kita hidup dalam lingkungan yang murni pesimis. Atau parahnya lagi pada lingkungan yang tidak punya harapan. Pada ujung dunia. Pada ujung penderitaan, sayang. Kita hidup pada tatanan dunia yang kacau balau walaupun belum hancur. Ditengah dunia yang absurd ini, kamu tahu.... kita seperti sisifus yang mendorong batu besar ke atas sebuah gunung. Makin banyak langkah yang kita ambil, makin berat batu terasa.


Manusia optimis mungkin berpikir kalau segala sesuatu bisa diselesaikan. Bisa dirubah. Bisa diatasi. Tapi kenyataannya, manusia optimis yang sukses seperti itu hanya ada pada buku-buku... hanya ada dalam workshop dan training. Justru orang-orang optimislah yang paling gampang jatuh pada sikap pesimis. Karena dalam pandangan mereka cuma ada dua kutub. Optimis atau pesimis. Berhasil atau gagal. Sudah.


Tapi tidak denganku! Aku bukan orang yang terlalu optimis memang, namun aku juga bukan pesimis. Kalau boleh memilih —karena dunia ini pilihan, aku ingin digolongkan sebagai manusia-manusia bertahan. Bertahan untuk tidak pesimis. Dunia ini bukan hitam dan putih, sayang! Pesimis dan optimis adalah penyederhanaan yang terlalu jujur.

Manusia optimis adalah manusia menyerang! Klasifikasi ini seperti pola dalam pertandingan sepak bola. Bertahan dan menyerang. Keduanya punya kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pola menyerang menekankan usaha yang terus menerus untuk mendapatkan gol. Segala usaha dikerahkan. Namun sering sekali, pola ini malah melemahkan barisan belakang. Sementara pola bertahan adalah sebaliknya. Menahan sekuat tenaga serangan dari lawan. Bertahan untuk tidak kemasukan gol adalah prioritas utama. Tentu, sambil menunggu dengan sabar kesempatan menyerang. Menunggu lawan lelah dan lemah, maka pada kesempatan itulah penyerangan akan lebih telak.


Lalu kemudian aku ingin bertanya, apa artinya orang-orang optimis di tengah-tengah absurditas ini? Untuk kita yang setiap hari dihadapkan pada realitas. Terkadang ada pikiran: sulit untuk merubah sesuatu yang terlanjur sudah rusak. Tentu kita tidak dapat menyambung arang yang patah.... kita hanya dapat bersyukur terhadap sisa arang yang yang masih ada sambil menjaga sekuat tenaga agar sisa yang ada itu tidak patah kembali. Namun, dalam penjagaan yang susah payah itu, suatu saat, arang itu akan patah kembali. Apakah kita akan pasrah. Tidak! Belum saatnya! Yang mesti kita lakukan adalah sadar! Sadar bahwa segalanya mungkin patah dan tidak takut dengan kepatahan. Kita akan kembali lagi bersyukur atas sisa patahan yang masih tersisa dan kembali menjaga dengan sabar patahan yang telah mengecil itu agar tidak patah kembali. Sampai akhirnya kita tersadar bahwa arang itu kembali patah. Dan yang kita lakukan adalah kembali bertahan. Di tengah-tengah situasi yang hampir tanpa harapan ini, mental yang seharusnya ada adalah mental bertahan. Bertahan dan bertahan.
Dan aku butuh sedikit senyummu untuk itu.


Cuma itu.


Ma’af kalau penjelasanku barusan terkesan arogan, Dee...


Aku akan membumi.


Sejujurnya, masih banyak hal yang ada di dunia ini yang tidak kumengerti adanya. Bahkan sama sekali tidak kuketahui. Aku lemah atas pengetahuan itu. Karena itu, walaupun segala pendapat yang barusan kutulis bernada pasti, aku masih mau menerima laku kritik dari siapa saja. Juga kamu, tentu. Kehidupan yang akan kita jalani nanti tentu akan berbeda dari kehidupan yang sekarang. Masalah yang ada sekarang bisa menjadi bukan masalah di kemudian hari. Begitupun sebaliknya. Dan masalah-masalah baru pasti akan selalu ada. Seperti biasanya, aku akan senang dengan masalah-masalah itu. Bukankah memang kehidupan sendiri adalah masalah?


Dan akhirnya —memang akan selalu ada akhirnya, terimalah aku dengan segala kekurangannya.


Mungkin butuh waktu bagimu dan juga bagiku untuk mengerti. Maka dari itu, simpanlah kertas ini dalam tidur-tidur indahmu selanjutnya. Sebab apa yang diucapkan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Tapi yang tertulis, tetap tertulis.

Kamis, 23 Juli 2009

Farih

gambar surga
pada tembok sekolah
taman kanak-kanak


Juli 2008

Sabtu, 18 Juli 2009

Kalo Ada yang Bilang Hidup Itu Adalah Kumpulan dari Bagaimana Seseorang Mempengaruhi Orang Lain atau Sebaliknya, Maka Saya Setuju

Hari ini saya inget saat pertama kali ngelamar seseorang.

Sebelomnya memang ada sebuah novel yang mempengaruhi saya.

Emm... tunggu, tunggu... sebenernya, novel itu yang mempengaruhi saya atau saya yang mencoba terpengaruh dengan novel itu ya?

Whatever lah!

Judul novel itu Alchemist karangan Paulo Coelho. Novel itu bercerita tentang Santiago, seorang anak petani sederhana, yang memutuskan untuk menjadi gembala. Setelah ia menjadi gembala, ia bermimpi tentang harta karun yang terpendam jauh di sebuah tempat. Ia mengikuti kata hatinya untuk menjual seluruh dombanya dan melakukan perjalanan untuk membuktikan mimpinya itu. Dari keputusannya menjual semua dombanya demi membuktikan mimpiya, mungkin banyak orang berpikir kalau dia adalah orang yang suka tantangan dan mungkin juga sedikit bodoh.

Lebih jauh membaca novel ini, rasanya saya terbawa nuansa magis yang bikin saya ngerasa ‘mesti-nyelesain-novel-itu-sampai-habis-sekarang-juga’. Sampe sekarang, setiap lagi ada waktu luang dan lagi suntuk, saya selalu baca ulang novel itu. Dan setiap saya baca, saya selalu menemukan hal-hal baru yang bisa saya pelajari. Saking ‘bersayapnya’ kata-kata di novel itu, terkadang saya bilang ke diri saya sendiri waktu lagi baca ulang, ‘Anjrit! Perasaan dulu gak ada kata-kata ini deh?’

Kata-katanya penuh makna, bersayap, kritis dan menghadirkan nuansa yang dapat menyentuh hati tiap orang yang membacanya. Indah luar biasa.

Setelah santiago sampai pada sebuah tempat dalam perjalanan menemukan harta karunnya itu, ia bertemu seorang wanita. Wanita yang sama sekali baru ia kenal, yang baru kali itu ia bertemu.

Demikian petikannya:

Akhirnya seorang wanita muda tampak mendekat. Dia tidak berpakaian hitam. Wanita itu membawa buyung di bahunya, kepalanya tertutup kerudung, tetapi wajahnya tidak bercadar. Si anak lelaki mendekatinya, untuk menanyakan tentang alkemis.

Pada saat itu waktu seakan berhenti bergerak, dan Jiwa Dunia bergolak di dalam dirinya. Ketika ia menatap mata gelap gadis itu, dan melihat bibirnya yang setengah tertawa dalam kebisuan, dia pun belajar bagian paling penting dari bahasa yang dikuasai seisi dunia ini —bahasa yang bisa dipahami siapa pun di bumi, di hati mereka. Bahasa cinta. Bahasa yang lebih tua daripada manusia, labih kuno daripada padang pasir ini. Sesuatu yang meletupkan daya yang sama manakala dua pasang mata beradu pandang, seperti terjadi pada mereka di sumur ini. Gadis itu tersenyum, ini jelas perrtanda —pertanda yang sedang ditunggu-tunggu anak lelaki itu, tanpa menyadarinya sepanjang hidupnya. Pertanda yang selama ini dicari-carinya bersama domba-dombanya, di dalam buku-buku yang dibacanya, diantara kristal-kristal itu, dan dalam keheningan padang pasir ini.

Bahasa dunia yang murni. Bahasa yang tidak membutuhkan penjelasan, seperti halnya jagat raya ini tidak membutuhkan penjelasan dalam perputarannya di ruang-ruang waktu yang tak berujung. Yang dirasakan si anak pada saat itu adalah: dia sedang berhadap-hadapan dengan satu-satunya wanita dalam hidupnya, dan tanpa dijelaskan dengan kata-kata, gadis itu juga merasakan hal yang sama. Anak itu yakin sekali akan hal ini, melebihi keyakinannya akan hal lain apa pun di dunia. Orangtuanya dan kakek-neneknya telah mengatakan, dia mesti jatuh cinta dulu dan kenal betul akan gadis yang hendak dijadikan pasangan hidupnya. Tapi orang-orang seperti itu mungkin barangkali tidak pernah belajar bahasa universal. Sebab jika kau mengerti bahasa tersebut, mudah saja memahami bahwa ada seseorang di dunia ini yang menanti-nantimu, entah di tengah padang gurun atau di kota besar. Dan disaat dua orang ini bertemu dan mata mereka beradu pandang, masa lalu dan masa depan tidak lagi penting. Yang ada hanyalah saat ini, serta keyakinan yang amat sangat bahwa segala sesuatu dibawah matahari ini digoreskan oleh satu tangan yang sama. Tangan yang telah membangkitkan rasa cinta, menciptakan kembaran jiwa untuk semua orangn di dunia. Tanpa cinta semacam itu, mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti.
Dan saya terpengaruh.

Rabu, 15 Juli 2009

Kapan Waktu yang Paling Tepat untuk Melamar Seseorang?

Semua orang yang udah nikah pasti pernah ngalamin ini; memilih waktu yang tepat untuk melamar seseorang. Dan mungkin sulitnya relatif sama. Beberapa Minggu yang lalu gue ngobrol dengan seorang temen kuliah tentang pernikahan. Dia cerita kalo cowoknya udah mao ngelamar, tapi dia malah bilang: “nanti aja, sayang, abis aku lulus kuliah. Kalo sekarang waktunya kurang tepat!”

Ya, ya, ya... waktunya kurang tepat.


Dan

Setelah itu, gue jadi mikir kapan sebenernya waktu yang tepat untuk menikah?


Kalo dikatakan waktu yang tepat untuk menikah, jika udah punya pekerjaan dan punya penghasilah tetap, punya rumah, punya kendaraan dan punya uang untuk melaksanakan acara resepsi, bukankah terlalu sulit?


Dan, ma’af, mungkin juga terlalu dangkal.


Sementara kesiapan mental adalah satu hal yang paling utama. Lebih penting dari hanya sekedar hitung-hitungan diatas kertas tentang biaya yang akan dikeluarkan untuk acara resepsi, uang yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk keprluan-keperluan lain.


Sementara, pernahkah orang berpikir tentang sebuah keluarga yang hidup dari gaji suami yang tukang becak?
Seperti di keluarga cemara.

Kemudian...


Bisakah tukang bakso hidup dengan seorang istri dan tiga orang anaknya?
Bisakah seorang banker yang gajinya puluhan juta hidup dengan seorang istri dan dua orang anak? Bisakah seorang artis yang menikah dengan artis lainnya hidup dengan berkecukupan dan nyaman?

Semua jawaban pertanyaan-pertanyaan itu adalah relatif....


Dan Nabi Kita pernah bersabda: menikah itu Sunnah-ku, siapa yang tidak mengikuti Sunnah-ku maka mereka bukan termasuk golonganku.

Tinggal apa standar hidup masing-masing orang. Makin tinggi standar hidup seseorang, semakin susah ia menikah.

Mungkin.

Jumat, 12 Juni 2009

Penulis muda pada sebuah puisi

Pada suatu sore, seorang penulis muda datang ke sebuah toko buku besar di kotanya. Ia bertanya tentang sebuah buku yang baru saja diterbitkan. Pelayan toko menunjuk dan menuntun anak itu ke rak di mana buku itu dipajang.

“Ini buku karangan saya, Mas!” kata penulis muda itu dengan bangga ke pelayan toko sambil mengangkat buku itu dengan bangga.

“Oya?” kata pelayan toko datar.

“Saya boleh mebeli buku ini, Mas!” lanjut si anak antusias.

“Oh, ya silahkan!”

“Apa tidak ada diskon?”

“Tidak ada.”

“Sama sekali tidak ada?”

“Sama sekali tidak ada.”

“Tapi uang saya kurang, Mas.”

“Anda kan penulisnya?” kata pelayan toko sambil meletakan buku itu ke tempat semula, “Bukankah penulis mendapat royalty dari buku karangannya?”

“Ya, tapi itu kan perenambulan.” Kata anak itu, “Apakah aku harus menunggu sampai enam bulan lagi?” lanjutnya dalam hati.

“Yah, itu cukup untuk membuat karya baru lagi, kan?” kata pelayan toko sambil pergi meninggalkannya.

Ia keluar dari toko itu dengan kecewa. Tapi dalam hatinya ia bertekad ingin membeli buku itu. Sekedar untuk kenang-kenangan lah.

Ditengah jalan pulang, ia melihat tukang pakaian bekas. Dalam hatinya terbersit keinginan yang tak sempat ia ucap, “Ah, mungkin harga celanaku cukup untuk membeli bukuku sendiri.”


Bekasi, Juni 2009


Sabtu, 06 Juni 2009

Badung Kesarung; Sebuah Kebadungan yang Komunal




Bayol ketawa cekikikan dan memantau buruannya itu dari jauh. Lima belas menit mereka memantau masih belum ada reaksi apa-apa. Bayol pun mengeluarkan ide lain.

“Sekarang lo kelitikin kakinya!” sabda Bayol kepada pengikutnya.

Si Bateks pengikut setia Bayol rela menjadi martir untuk tugas suci itu. Dia ngambil kalam dari dalam Quran yang biasa dipake buat menunjuk bacaan ketika ngaji. Kebetulan kalam itu adalah kalam bulu angsa.

Faisal yang memang belum sadarkan diri, masih asyik dengan ngoroknya. Entah mimpi apa dia dalem tidurnya itu. Mungkin mimpi bersetubuh sama hamster. Tanpa banyak basa-basi Bateks ngelitikin kakinya Faisal. Faisal kegelian dan ingin menyepak. Tapi malang nasib dia karena jempol kakinya terhubung tali dengan tititnya. Seiring sepakan kuda Ambon kegelian itu, Faisal bangun lalu berteriak keras, “AAARRRGGGHHH!!!”

“HAHAHAHA!!!” Bayol ketawa puas.

Bayol adalah jenis orang-orang yang menganggap kelucuan adalah jika orang lain menderita. Jadi bahan kejahilan mereka biasanya pun menyangkut dengan kekonyolan-kekonyolan yang terkadang gak masuk pikiran. Contohnya seperti yang mereka lakukan pada Faisal Ambon tadi.

BERIKUT adalah cuplikan dari Badung ke Sarung; Santri Badung tanpa Sarung. Sebuah novel karya Nailal Fahmi.

Sekilas membaca judul novel ini orang akan tahu bahwa kisahnya mungkin bercerita tentang santri yang badung. Namun lebih dari itu, novel ini menyajikan kebadungan yang mempunyai arti. Kebadungan yang alami dan apa adanya. Sejenis kebadungan yang menggelitik alam bawah sadar pembaca dan diam-diam berkata dalam hati, ‘Astagfirullah! Kok mirip gue ya!’


APA KATA MEREKA

"Badung ke Sarung, asik juga dibaca di sore hari sambil ngupi dan ngupil... Asal jangan ketuker aja. Yang dikorek kupi dan yang diseruput upil. Hiiiiii... Lucu, dan menyegarkan, hahahaha...."
Agung Novelzyius, Penulis Muda dan personel Foto Band


“Gue suka sama ceritanya!! Terutama pas Bang Fach cerita tentang seorang anak raja yang berkelana mencari kebebasan itu. Good story!!”

Rizal Khadafi, Mahasiswa UI Program Komunikasi Periklanan


"Permainan kata, tarian gaya bahasa, bertabur jenaka.
Tapi tidak menghilangkan makna"

Dian Purnama Putra, Freelance Journalist

“Ha ana dza. Novel ini mampu merekonstruksi pemikiran dan kepribadian santri untuk jadi lebih baik.”

Muchammad Nathiq, SHI, Ketua Pondok Pesantren Al Arifiyah, Pekalongan

Jumat, 20 Maret 2009

Rindu

Malam ini, seperti juga beberapa malam sebelumnya, hujan memaksa anak itu menepi ke pinggir jalan. Di bawah lampu penerang jalan, rintik-rintik air langit itu seperti ribuan jarum.

Aku memandangi kucuran air dari sebuah talang. Lelah dan kantuk menyerang. Dibenaknya hanya ada satu keinginan; segera pulang.

Bilamanakah hujan akan reda? Lama sekali menunggu hujan reda. Tapi entah di batas waktu yang mana ia ingat seorang gadis. Segalanya tentangnya. Andai kamu ada di kota ini, menepi menunggu hujan seperti yang kulakukan? Ah, tentu saja itu hanya angan-angan, batinnya.

Sekarang ini mungkin kamu sedang asik di depan televisi di dalam rumahmu yang hangat bersama adik-adikmu membicarakan kegiatan seharian tadi. Mengharapkan kehadiranmu di sini hanyalah hayalan kosong. Tapi salahkah orang punya hayalan? Salahkah seseorang punya angan-angan? Walau itu kosong? Bagi orang sepertiku hayalan itu penting. Membuatku masih bertahan hidup. Tiba-tiba ia merasa melankolis.
 
Tentu, sekali lagi ini hanya harapan, aku berharap kamu ada disini. Jika begitu, semoga hujan masih mau berlarian sampai menusuk di sela-sela fajar yang masih jauh menyingsing. Semua itu tidak masalah jika kamu ada di sini. Sekedar menemaniku. Walaupun tidak bicara. Semalaman akan menjadi sejenak. Sebuah relatifitas perasaan.
 
 
2008
 

Minggu, 22 Februari 2009

Sebuah Percakapan Dengan Masa Depan

Suatu sore, seorang anak yang telah lelah berlari berkilo-kilo meter, sampai pada sebuah tebing di pinggir pantai sebelah barat kota itu. Sambil mengatur nafasnya yang masih tersenggal, ia menatap lanskap jingga yang berseteru dengan biru samudra.

“Apakah benar aku sudah sampai?” ia berbisik ragu dalam hati.

Kedua tangannya bertopang pada kedua lututnya. Keringat terus bercucucuran dari sekujur tubuh. Pakaiannya basah oleh peluh, sementara bau matahari tercium dari rambutnya.

Lelah mengepung sekujur jasadnya.

Ia mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Hebat! Hebat! Sebuah keputusan besar!” tiba-tiba angin berhembus meniupkan suara seorang laki-laki tua. Seperti suara seorang kakek yang telah puas mengecap pengalaman hidup.

“Siapa itu?” Si Anak bingung dan melihat sekeliling.

Tak ada seorang pun.

“Selamat datang, Nak! Kapal layarmu telah sampai di gerbang samudra!” lanjut suara itu.

Sang anak terus berputar-putar mencari-cari arah suara itu berasal.

Nihil.

Suaranya begitu halus hampir tak terdengar namun begitu jernih hingga tak mungkin disangkal.

“Siapa kau!” teriak anak itu lagi.

“Tapi ini hanya gerbang, Hai Bocah!” terdengar suara halus itu lagi.

Debur ombak menghentak-hentak dasar tebing melempar percikan air laut.

“Siapa kau?!” Anak itu berteriak makin frustasi. Ia tahu tidak akan mendapat jawaban apa-apa.

Awan berarak dihembus angin barat yang hangat.

“Lagi pula kapal kecilmu terbuat dari kertas,” suara halus itu melanjutkan. Si Anak mendengarkan pasrah, “sungai yang membawamu ke laut apa tidak membuatmu sadar betapa lemahnya kapalmu?”

Debur ombak membentur dinding karang membuat percikannya sampai pada lidah Si Anak. Asin.

“Lalu kenapa?” anak itu menjawab sekenanya. Ia mengantungkan pandangannya ke arah samudra luas. Sepertinya suara itu berasal dari sana. Mungkinkah suara Sang Samudra?

“Apakah kau tahu sebesar apa gelombang yang akan kau hadapi di tengah samudra nanti, Hai Anak Sok Berani?! Tahukah kamu gelombang-gelombang yang bergulung-gulung itu akan membuat kapalmu tenggelam ke dasar laut yang dalam.” suara itu bergetar menciutkan nyali Si Anak.

Si Anak sedikit ketakutan dan menggigil. Angin barat yang hangat berhembus menembus sela-sela pakaiannya yang masih penuh peluh. Ia menatap Samudra lepas.

“Aku kapal kecil yang terkucil tidak akan gentar dengan sesumbar dan komentar.” ucapnya dengan suara serak menggema, “Aku terkomposisi dari orang-orang sakti. Akan berevolusi meraih sugesti.”

Hening.

Samudra tak bersuara.

Si Anak melanjutkan.

“Membuatku optimis walau hidup di tengah orang-orang konservatif.”

Angin sendu dari arah timur membawa suara Si Anak yang serak itu ke tengah laut lepas. Menggemakan keserakan yang absurd.

Samudra menelan surya yang makin merah.

Bumi menggelap.

Minggu, 25 Januari 2009

Mencari Jalan Pulang

Masih ingatkah pada malam itu, ketika kamu memegang tanganku begitu erat di Terminal Lebak Bulus. Ketika kita kehabisan bis pulang. Diam-diam aku senang melihat kekalutanmu. Membuatku diperlukan.

Aku senang menyesatkan diriku sendiri. Aku senang berada dalam keadaan mencari jalan pulang. Itu hobiku jika ada waktu luang. Tersesat di jalan-jalan kota. Menyadari realitas di sekeliling. Bertemu dan berkenalan dengan tukang bubur, tukang koran, sopir angkot, orang-orang baru. Sekedar berputar-putar tanpa tujuan dengan motorku. Bensih habis. Uang habis. Pulsa habis. Ban bocor. Dan menyadari yang kulakukan sia-sia.

Namun aku puas dengan pengalaman itu. Orang menganggapku tidak mendapat apa-apa. Aku berpendapat tidak mendapatkan apa-apa itulah yang kudapat. Jadi aku mendapat apa-apa; Pencarian jalan pulang.

Berkelana ke tempat-tempat jauh lalu mencari jalan pulang selalu mengusik kesadaran. Membuatku tertantang untuk menemukan berbagai macam kemungkinan. Waktu bertanya ke preman terminal, “Permisi bang, bis yang ke Bekasi lewat mana ya?”

“Oh, lewat sana!” katanya dengan tampang yang dibuat garang sambil menunjuk perempatan lampu merah di ujung jalan.

Sesampainya di lampu merah, pertanyaan yang sama aku lontarkan, “Misi pak, bis yang ke Bekasi lewat sini kan?” dan dijawab, “Oh, gak lewat sini!”

Seseorang menipu. Dua orang membohongi. Tiga orang mendustai. Sama saja bagiku. Bukan berapa banyaknya orang yang membohongi tapi adakah orang yang bisa kupercayai. Kemanakan harus kulabuhkan kepercayaan itu. Aku muak diombang-ambing keadaan sekaligus senang. Kesenangan yang absurd. Kesenangan untuk bisa memberi makna pada kejujuran.

Dan terima kasih telah ikut tersesat dan mencari jalan pulang bersamaku. Terima kasih masih mau di sisiku. Disaat seperti itu yang paling penting adalah bertanya dan saling mempercayai. Bukan menuduh dan menyalahkan.

Pegang erat tanganku.

Dan mari berbagi kepercayaan di tengah jalan pulang!


Bekasi, 25 Januari 2009