Halaman

Jumat, 12 Juni 2009

Penulis muda pada sebuah puisi

Pada suatu sore, seorang penulis muda datang ke sebuah toko buku besar di kotanya. Ia bertanya tentang sebuah buku yang baru saja diterbitkan. Pelayan toko menunjuk dan menuntun anak itu ke rak di mana buku itu dipajang.

“Ini buku karangan saya, Mas!” kata penulis muda itu dengan bangga ke pelayan toko sambil mengangkat buku itu dengan bangga.

“Oya?” kata pelayan toko datar.

“Saya boleh mebeli buku ini, Mas!” lanjut si anak antusias.

“Oh, ya silahkan!”

“Apa tidak ada diskon?”

“Tidak ada.”

“Sama sekali tidak ada?”

“Sama sekali tidak ada.”

“Tapi uang saya kurang, Mas.”

“Anda kan penulisnya?” kata pelayan toko sambil meletakan buku itu ke tempat semula, “Bukankah penulis mendapat royalty dari buku karangannya?”

“Ya, tapi itu kan perenambulan.” Kata anak itu, “Apakah aku harus menunggu sampai enam bulan lagi?” lanjutnya dalam hati.

“Yah, itu cukup untuk membuat karya baru lagi, kan?” kata pelayan toko sambil pergi meninggalkannya.

Ia keluar dari toko itu dengan kecewa. Tapi dalam hatinya ia bertekad ingin membeli buku itu. Sekedar untuk kenang-kenangan lah.

Ditengah jalan pulang, ia melihat tukang pakaian bekas. Dalam hatinya terbersit keinginan yang tak sempat ia ucap, “Ah, mungkin harga celanaku cukup untuk membeli bukuku sendiri.”


Bekasi, Juni 2009