“Nuhun pisan, Bang!” katanya ketika saya ingin menyalami dan menyelamati di pelaminan.
“Bangsat lu, Ga!” respon saya sambil memeluknya.
Kami tertawa bersama.
Itu hari pernikahan kawan saya
Rangga. Dalam usia yang belum menginjak 30, ia sudah menikah dua kali. Tentu tidak ada yang pantas dibanggakan akan perkara itu, kecuali anda Vicky Prasetyo.
Seminggu sebelum itu, saya main ke rumahnya, kunjungan pertama kali ke sana. Sore itu cerah dengan langit biru yang jernih, saya tiba di depan rumahnya ketika ia sedang siap-siap mengayak pasir. Di atas pintu depan rumah tertera plat bertuliskan KPR-BTN, tanpa nomor RT/RW.
“Sambil ngaduk ya, Bang,” Ia sedang merenovasi rumah bagian belakang. Saya duduk di kursi kecil, menemaninya mengaduk pasir dan semen sambil bercerita banyak hal. Terakhir kami bertemu sekitar 3 tahun yang lalu, banyak cerita yang terlewat.
Ia bercerita kalau setelah kegagalan pernikahannya yang pertama, sempat trauma dan enggan menikah lagi. Status duda membuatnya minder menjalin hubungan yang serius.
“Lu pernah bilang trauma, trus apa yang buat lu yakin sekarang?” tanya saya sambil menyeruput kopi dingin. Ia memutuskan untuk menikah lagi kali ini, dengan wanita yang baru dikenalnya, bahkan belum setahun.
“Gak tau, Bang.” Katanya sambil menyendok adukan ke dalam ember. Ia berhenti sebentar, duduk kemudia meneruskan, “Hidayah, mungkin.”
“Sama yang dulu juga lu bilang gitu,” saya tertawa.
“Iya, ya?” ia menggaruk kepala dan ikut tertawa, “ya pokoknya gitu lah, Bang.”
Walaupun tidak lengkap, ia pernah bercerita tentang kisah cintanya dari semenjak kuliah. Hubungannya dengan teman kuliah yang ia pacari beberapa tahun, yang masing-masing keluarga sudah pernah bertemu, akhirnya gagal dan putus. Tentu ia tidak menyerah, ia mencari pengganti dan memilih satu dari dua mantan, yang kemudian berlanjut pada pernikahan. Sayang pernikahan itu tidak berlangsung lama. Ia bercerai. Terpuruk. Sampai kemudian ia menjalin hubungan dengan yang berbeda agama, yang akhirnya juga kandas. Dan sekarang, ia menikah untuk yang kedua kali.
Pernikahan dilaksanakan tanggal 19 Juli. Karena masih masa pandemi, maka acara dilangsungkan dengan sederhana. Tanpa pesta mewah atau tamu undangan, hanya dirayakan dua keluarga mempelai. Tanggal 18 Juli, sehari sebelum hari pernikahan, saya menelponnya. Meminta alamat lokasi acara.
“Besok jadi jubir ya, Bang.” ia meminta dari seberang telpon. Sebelumnya memang ia sudah meminta, tapi belum pasti dan akan dikabari lagi, tentu bukan sehari sebelum hari H.
“Serius, Ga? Lah gua kira gak jadi. Emang gak ada keluarga yang bisa?” tanya saya.
“Gak ada, Bang. RT di sini juga baru, jadi gak mau.”
Dan begitulah saya, menjadi juru bicara mempelai pria dengan pemberitahuan yang sangat mendadak. Itu pengalaman pertama saya sebagai jubir pengantin. Di dalam kendaraan menuju lokasi, saya berkali-kali mengusap-usap tangan karena gugup, sementara Rangga yang menjadi calon mempelai kelihatan sangat santai. Maka “bangsat” adalah kata yang sangat cocok untuk menggambarkan keadaan itu. Seingat saya, ketika menikah saya tidak senervous itu.
Singkat cerita, alhamdulillah acara pernikahan berlangsung lancar sampai akhir. Peran yang diberikan juga bisa saya lakukan dengan baik, walau tidak istimewa. Saya senang bukan hanya karena tidak ada kendala tapi juga karena akhirnya kawan saya bisa move on dan menemukan keberanian untuk berumah tangga kembali.
Ia bilang pernikahan ini terjadi karena Hidayah, atau mungkin lebih tepat kalau saya sebut Ilham, atau Petunjuk Allah yang timbul di hati. Petunjuk ini bisa bermacam-macam, bisa melalui mimpi, bisikan di hati, tanda, isyarat dan hal-hal lain. Namun Petunjuk Tuhan pada sebuah pilihan adalah satu hal, dan mempertahankan pilihan itu adalah hal lain. Manusia tidak bisa mempersalahkan petunjuk yang ia anggap dari Tuhan atas sebuah pilihan, jika dikemudian hari pilihan itu diketahui menjadi pilihan yang buruk. Karena bersandar dan pasrah hanya pada “Petunjuk Tuhan” saja tidak cukup. Manusia juga diberikan tanggungjawab untuk berusaha dan belajar, ditimpa cobaan dan musibah untuk menguji keimanan. Maka seperti banyak orang katakan, memulai itu mudah, yang sulit adalah mempertahankan.
Saya mengenal Rangga sebagai anak yang baik, mudah bergaul, senang membantu, asik diajak bercanda, dan banyak hal baik lain. Ia bilang saya adalah orang yang rajin belajar, tapi sejujurnya saya banyak belajar dari perjalanan hidupnya. Darinya saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.
Kenangan seindah atau seburuk apapun pada akhirnya hanya ada dalam ingatan. Terhadap pengalaman yang buruk kita menyesal, bertanya mengapa hal itu bisa terjadi, mengapa kita bisa melakukan hal seburuk itu. Pada pengalaman yang baik kita menjaga, terkadang mengenangnya, walau tidak sempurna. Bahkan kenangan-kenangan baik bisa hilang tak bermakna. Orang-orang yang pernah dekat, sekarang bisa menjadi sangat jauh atau dibenci, yang nomor telpon, social media dihapus, bahkan namanya tidak ingin didengar. Perasaan yang tidak dikendalikan pikiran, bisa membuat orang bertindak kejam. Sekejam melupakan dan menganggap seseorang tidak pernah ada. Semua sikap itu tentu pilihan. Sebagaimana kemampuan memaafkan dan merelakan juga sebuah pilihan.
Umur Rangga memang di bawah umur saya, namun saya percaya bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan. Einstein pernah bilang, “Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.”
Saya tidak mengatakan kawan yang paling tahu apalagi mengerti Rangga. Walaupun begitu, sebagai kawan, saya senang jika bisa membantu. Saya senang bisa menjadi bagian dari pernikahannya.
Sambil menunduk, saya mengangkat tangan mengamini doa yang dipimpin oleh penghulu.
“Allahumma alif baynahuma, kama allafta bayna adam wa hawa, wa allif baynahuma kama allafta bayna Yusuf wa zulaykha, wa allif baynahuma kama allafta bayna ‘ali ibni abi Talib wa fatimatazahra, wa allif baynahuma kama allafta bayna sayyidina Muhammad wa khadijatalkubra,”
“Ya Allah, satukan, lembutkan hati mereka berdua seperti Engkau menyatukan Adam dan Hawa, seperti Yusuf dan Zulaikha, seperti Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, seperti Sayyidina Muhammad dan Sayyidah Khadijah al-Kubro.”
Saya mengamini dan dengan sepenuh hati menambahkan, “Baarakallahu lakuma wa baarakaa alaikuma wa jamaa bainakumaa fii khoir. Mudah-mudahan Allah memberkahi kalian berdua, dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kalian berdua pada kebaikan.”
Allahumma aamiin.