Halaman

Rabu, 09 April 2014

Soal Memenangkan Indonesia: Mau Urun Angan atau Turun Tangan? Oleh Anies Baswedan

Indonesia harus diurus oleh orang baik: bersih dan kompeten. Republik ini didirikan oleh para pemberani. Kaum terdidik yang sudah selesai dengan dirinya. Efeknya dahsyat. Bung Karno dan generasinya membuat sebangsa bergerak. Semua merasa ikut punya Indonesia. Semua iuran tanpa syarat demi tegaknya bangsa merdeka, berdaulat. Ada yang iuran tenaga, pikiran, uang, barang dan termasuk iuran nyawa. Tapi merdeka itu bukan cuma soal menggulung kolonialisme, merdeka adalah juga soal menggelar kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Kini pada siapa Republik ini akan dititipkan untuk diurus?

Besok kita akan menentukan. Semua yang terpilih dalam Pemilihan Umum ini akan mengatasnamakan kita semua 24 jam sehari, 7 hari seminggu selama 5 tahun ke depan. Semua perkataan, perbuatan yang dilakukan adalah atas nama kita semua. Semua Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang dibuatnya akan mengikat kita semua.

Di saat tantangan bangsa ini masih banyak yang basic seperti pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, transportasi, atau energi maka apapun partai-nya, tantangan yang harus dijawab sama. Di saat hambatan terbesar negeri ini adalah korupsi, dan hulunya korupsi adalah urusan kekuasaan maka apapun partainya akan berhadapan dengan otot kokoh koruptor yang sama.

Pemilu ini bukan soal warna partai. Ini soal orang bermasalah dan tak bermasalah. Orang bermasalah ada di berbagai partai. Begitu juga orang baik tersebar di semua partai. Pemilu kali ini harus jadi ajang kompetisi orang tak bermasalah, orang baik lawan orang bermasalah.

Kita harus memastikan bahwa orang yang terpilih akan hadir untuk mengurus bukan menguras negara. Ini Pemilu ke-4 di era demokrasi, sudah saatnya jadi ajang kebangkitan wong waras, kebangkitan orang bersih, dan jadi penghabisan orang bermasalah.

Indonesia membutuhkan kemenangan orang baik. Kita perlu orang bersih dan kompeten berbondong-bondong menang dalam pemilihan umum. Persyaratan utama bagi orang-orang baik untuk kalah dan tumbang dalam pemilu adalah orang-orang baik lainya hanya menonton dan tak membantu.

Indonesia kini penuh dengan penonton: ingin orang baik menang di Pemilu, ingin Indonesia jadi lebih baik tapi hanya mau iuran harap, urun angan. Ada keengganan kolektif untuk terlibat, untuk membantu.

Keengganan dan skeptisisme itu sering dilandasi pandangan: buat apa membantu toh orang-orang baik justru terjerat korupsi. Ini seperti urusan sepatu kotor. Buat apa membersihkan sepatu, toh bisa terkotori lagi. Tapi kalau dibersihkan rutin, dipakai dengan baik, dijaga dari cipratan kotor maka sepatu itu akan aman, akan bersih. Kalau pun terkotori, tugas kita adalah memastikan bahwa sepatu itu rutin dibersihkan.

Di Republik ini, tugas kita adalah lima tahun sekali membersihkan pengurus Indonesia dan mengisinya dengan orang-orang tak bermasalah. Kalaupun ada yang terkena masalah, biar diganjar hukuman dan kita ganti. Lalu tiap 5 tahun kita “kirim” orang baik lagi.

Sejak kapan kita jadi bangsa yang suka putus asa? Tugas kita adalah mensuplai orang baik terus menerus. Kita harus jaga stamina, perjalanan bangsa ini masih amat panjang dan stok orang baik di Republik ini masih amat banyak. Tak ada alasan untuk pamer keluh kesah dan “nglokro”.

Kita bersyukur saat melihat ada orang baik mau repot-repot masuk politik. Lihat bermunculan orang-orang baik yang terpilih jadi gubernur, bupati, walikota atau anggota dewan perwakilan. Makin panjang deretan nama orang bersih dan kompeten, orang baik yang terpanggil, mau turun tangan. Tetapi mereka semua hanya bisa menang, memegang otoritas jika orang baik lainnya bersedia untuk terlibat dan membantu.

Permasalahan yang dihadapi begitu banyak orang baik yang jadi caleg adalah mereka cenderung dijauhi. Yang menjauhi sering justru lingkungan terdekatnya. Politik di Indonesia hari ini amat rendah nilainya di depan publik. Korupsi yang dilakukan oleh para politisi telah merendahkan makna politik dan politisi.

Politik dan politisi tidak lagi dipandang sebagai arena perjuangan dan pejuang. Kerja politik dipandang sebagai mata pencaharian dan segalanya harus dirupiahkan. Para calon yang baik itu tergerus oleh opini bahwa semua calon itu sama: sekadar cari kuasa untuk menguras -bukan untuk mengurus-negeri. Orang baikpun makin sedikit yang mau turun tangan. Makin sedikit orang baik yg “siap” dituding sama dengan kelakuan para penguras negeri.

Jika orang-orang baik hanya mau jadi pembayar pajak yang baik, lalu siapa yang akan mengatur penggunaan uang pajak kita? Keputusan soal kesehatan, pendidikan, perumahan atau tenaga kerja misalnya adalah keputusan politik. Di arena yang oleh publik dipandang rendah, kotor dan tak bernilai itulah keputusan tentang hajat hidup orang serepublik ini dibuat. Patutkah kita diamkan?

Masih adakah caleg baik? Ya, Indonesia masih punya stok orang baik; orang bersih dan kompeten. Tapi mereka tidak akan bisa menang, mendapatkan otoritas untuk mengatasnamakan kita, untuk mewakili kita, jika kita semua tidak ikut membantu. Sekali lagi, korupsi dalam politik itu merajalela bukan semata-mata karena orang jahat jumlahnya banyak tetapi karena orang-orang baik memilih diam, mendiamkan dan bahkan menjauhi.

Republik ini adalah milik kita semua. Bukan milik segelintir orang, apalagi orang-orang yang sanggup membayar siapa saja untuk berbuat semaunya. Berhenti cuma urun angan. Harus mau turun tangan!

Tak semua orang harus ikut partai politik tapi saat pemilu jangan pernah diam, membiarkan orang-orang bermasalah melenggang tak ditantang, tak dihentikan. Pada saat pemilu, harus muncul kesadaran kolektif bahwa ini bukan upacara politik, ini kesempatan menempatkan orang baik jadi pengurus negeri.

Cari dan kenali orang baik dalam Daerah Pemilihan. Atau sekurang-kurangnya orang tak bermasalah. Jangan cari manusia sempurna, takkan ketemu. Cari orang bersih dan kompeten. Lihat track-recordnya, bukan cuma warna partainya. Dan anak-anak generasi baru sudah terlibat, contohnya www.orangbaik.org yang dibuat oleh anak-anak umur 25 tahunan untuk melihat track record semua caleg. Kalau perlu datangi caleg tersebut bukan untuk memberitahu akan mencoblos tapi beritahu bahwa siap untuk membantu untuk bisa menang.

Bantu orang-orang tak bermasalah di sekitar kita yang terpanggil untuk ikut mengurus Republik, agar mereka bisa menang. Jangan pernah takut mendukung. Di era non-demokratis dulu, sikap mendiamkan dalam sebuah pemilu adalah sikap perlawanan; kini mendiamkan adalah sikap pembiaran atas status-quo. Bukan warna partainya, tapi warna track-recordnya. Ini adalah sikap yang melampaui warna partai; semangatnya adalah mengisi dengan orang baik.

Kini kita menyaksikan gelombang baru yang sedang bangkit. Generasi baru yang bergerak dan membantu karena percaya, ide dan integritas. Bukan generasi yang mau menjual dukungan karena rupiah.

Pilihan untuk membantu orang baik di dalam Pemilu adalah pilihan sejarah. Hari ini mungkin nampak tak populer, masih nampak aneh jika ada kemauan untuk terlibat dan membantu para caleg tak bermasalah.

Dunia bergerak ke arah perbaikan tata kelola yang baik (good governance). Korupsi tidak bisa langgeng, ia makin hari makin tergerus. Bayangkan suatu saat kelak, generasi anak-anak kita hidup di era baru dan bertanya: Ayah-ibu, di zaman politik Indonesia masih penuh korupsi, apakah Ayah-Ibu ikut korupsi, atau diam, atau ikut melawan?

Saat itulah pilihan sejarah tadi menemukan jawabnya: jika hari ini Anda mau berbuat, mau terlibat maka sekurang-kurangnya Anda bisa menjawab dengan rasa bangga. “Ayahmu, Ibumu tidak membiarkan dan tak pernah jadi bagian yang membuat Republik ini keropos. Di saat orang berduit membayar dukungan, Ayahmu, Ibumu tak menjual dukungan. Ayah-ibumu membantu orang-orang baik dengan tanpa dibayar. Harga diri Ayah-Ibumu tidak bisa dirupiahkan!”

Izinkan anak-anak kita bangga saat sadar bahwa mereka mewarisi negeri yang Ayahnya, Ibunya ikut meninggikuatkan. Di saat ada kesempatan mengubah wajah kita sendiri, wajah Indonesia kita, maka kita tak cuma diam. Kita pilih ikut bersihkan Indonesia, jadikan orang baik sebagai pemegang amanah di negeri kita.

Anies Baswedan

Lihat tulisan di aniesbaswedan.com: http://aniesbaswedan.com/tulisan/soal-memenangkan-indonesia-mau-urun-angan-atau-turun-tangan

Senin, 07 April 2014

Golput, Inlander dan Masyarakat Madani

“Sudah kukatakan padamu, Kawan, di negeri ini, mengharapkan bahagia datang dari pemerintah, agak sedikit riskan” ― Andrea Hirata –

Terberkatilah mereka yang telah menentukan pilihan. Mereka yang berpendirian dan yakin terhadapnya. Terberkatilah mereka yang mempunyai keyakinan Teguh dan Mario. Oke becanda. Hehe..

Seperti biasa, melalui tulisan ini gue nggak ingin mengubah orang yang sudah punya pendirian. Hanya ingin berbagi perspektif dengan cara yang elegan; menulis.

Akhir-akhir ini di berbagai forum dan media, sepertinya telah terjadi sebuah penggiringan opini bahwa golput adalah kumpulan para perusak tatanan bernegara dan pendosa. Pendosa karena pilihan mereka untuk golput telah merendahkan kualitas demokrasi di Indonesia yang pada akhirnya mengakibatkan tidak meningkatnya kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. [berat bener bahasanya]

Mmm… Apakah memang begitu?

Gue sih nggak setuju. Menurut gue golput bukanlah sekelompok orang yang sedang bingung terhadap pilihannya, atau orang yang takut disalahkan ketika mereka menetapkan pilihan, bukan juga orang pemalas yang nggak punya usaha untuk merubah bangsanya. Menurut gue kesimpulan itu terlalu terburu-buru bahkan dangkal.

Secara sederhana golput adalah sebuah sikap terhadap situasi yang ada saat ini. Malah menurut gue, golput adalah sikap yang paling rasional dan konsekuen. Rasional karena merupakan konsekuensi atau akibat dari situasi politik saat ini. Mereka nggak menemukan pilihan yang baik, oleh karena itu mereka nggak memilih. Kalau mereka memang menemukan pilihan yang baik, tentu mereka akan memilih. Konsekuen kan?

Seakan nggak mau kalah, kemudian jargon “the lesser of all evils” muncul. Menurut gue jargon ini konyol. Ya, memilih terbaik diantara yang terburuk adalah kata kata yang aneh. Kalau kita memilih, pilihlah hal yang bagus. Memilih yang terbaik diantara yang terburuk sama artinya dengan memilih yang buruk.

Kemudian apakah menjadi golput adalah yang terbaik saat ini? Gue nggak ingin mengatakan itu. Gue hanya ingin mengatakan bahwa golput adalah pilihan politik yang harus dihormati dan bukan malah disalahkan dan bahkan dianggap menjadi biang masalah. Seakan-akan semua permasalahan yang ada di negara ini adalah kesalahan golput, dan akan selesai jika orang-orang semua tanpa terkecuali pergi ke bilik suara untuk mencoblos.

Ingat pemilu 2009? Gue pernah membaca sebuah analisa mengenai koruptor dari partai-partai berdasarkan jumlah perolehan suara partai pada pemilu tersebut. Analisa tersebut seolah ingin menghubungkan antara jumlah suara pada pemilu 2009 dengan jumlah koruptor dari partai-partai yang dipilih. And you know what? The result is shocking! Partai yang banyak dipilih adalah juga merupakan partai pemasok koruptor terbanyak. Lalu masih mau menyalahkan golput?

Begini. Mari kita berpikir dengan logika sederhana. Demokrasi kita menganut sistem suara mayoritas. Bagaimana seandainya yang mayoritas —fakta di beberapa pemilu menunjukan hal tersebut— adalah golput? Apakah itu artinya semua calon atau partai yang terpilih menjadi nggak valid? Jargon demokrasi menyebutkan bahwa suara rakyat suara Tuhan, sementara mereka yang golput juga rakyat. Maka jika golput menjadi suara terbesar, berarti Tuhan memihak kepada golput.

Oke, biarkan logika sederhana itu mengawang-awang. Gue nggak akan membahasnya lebih lanjut karena lebih tertarik membahas hal yang lebih esensial dibanding menyalahkan golput. Gue ingin mengingatkan terutama kepada diri sendiri tentang arti dari kepemimpinan. Karena pemimpin yang baik muncul dari masyarakat yang baik, begitupun sebaliknya. Masyarakat yang kotor hanya akan menghasilkan pemimpin yang bandit. And remember, leaders are made not born.

Maka mari mulai dari diri sendiri dan lingkungan terkecil yaitu keluarga. Karena dari sanalah bangsa ini bisa kuat, begitu kata Ayah Edy. Itulah yang disebut masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mandiri tanpa harus bergantung pada pemerintah. Bukan masyarakat inlander yang hanya mengharapkan keselamatan dan perubahan dari seorang figur ratu adil.

Dari diri sendiri, mari kita memulai untuk mengaplikasikan nilai-nilai humanisme dalam kehidupan sehari-hari. Mari kita menumbuhkan sistem pendidikan yang berbasis moral dan proses, bukan hanya sekedar nilai yang pada akhirnya hanya menumbuhkan mental korup. Mari kita nggak saling bunuh hanya karena perbedaan cara ibadah. Nggak bermental instant ingin cepat kaya seperti yang ditulis buku-buku best seller sampah tentang cara instant menjadi kaya dengan membeli property tanpa uang dan tanpa modal.

Hal terpenting dan harus disadari adalah peningkatan kehidupan dan kesejahteraan suatu masyarakat harus dimulai dari masing-masing orang dalam masyarakat tersebut, bukan hanya pada figur seorang pemimpin. Selama masih banyak individu yang bermental budak, oportunis dan manja, maka kesejahteraan akan sulit terwujud.

Untuk mengakhiri tulisan ini gue ingin mengutip Anis Baswedan, “Republik ini maju bukan semata-mata karena satu-dua orang hebat, tapi karena begitu banyak rakyat hebat yang bekerja bersama-sama.”
Itu.

Selasa, 01 April 2014

Tentang Perbedaan Awal Puasa dan Lebaran

Bulan puasa tahun lalu saya berpuasa tanggal 9 Juli 2013. Menurut saya itu adalah tanggal satu Ramadhan. Sementara pemerintah melalui mentri agama menyatakan bahwa tanggal satu Ramadhan jatuh keesokan harinya, yaitu pada tanggal 10 Juli.

Kalau ada yang bertanya kenapa saya puasa berlainan dengan pemerintah, biasanya saya jawab dengan enteng dan bercanda, “Gue udah lama gak percaya pemerintah.” :)

Namun ada komentar yang kemudian menyebar setelah penetapan oleh pemerintah itu, salah satunya yang diberikan oleh seorang habib terkemuka. Ia mengatakan bahwa orang yang berpuasa berlainan dengan pemerintah itu bathil. Ia mengutip sebuah hadits nabi yang berbunyi, “Jika kalian melihat hal yang tak kalian sukai pada penguasa kalian maka bersabarlah, karena yang memisahkan diri dari jamaah muslimin sejengkal saja, lalu ia wafat maka ia wafat dalam kematian jahiliyah." (Sahih Bukhori)

Dalam menanggapi hal tersebut, tentu saja yang berpuasa tanggal 9 merasa tertampar dan tidak bisa menerimanya, bahkan kawan saya ada yang sampai marah-marah di jejaring sosial. Saya pribadi sebenarnya juga tidak terima, tapi saya memilih diam dan berencana akan menjawab posting tersebut suatu saat nanti.

Mengapa saya menunda berkomentar dan diam saja?

Alasan pertama adalah masing-masing orang bertanggungjawab terhadap apa yang ia lakukan, apalagi ini menyangkut ibadah. Sehingga untuk apa berdebat panjang lebar kalau memang masing-masing sudah punya pendirian, sudah punya dalil masing-masing? Alasan yang ke dua adalah tidak elok sepertinya bertengkar di tengah menyambut bulan yang sangat dihormati umat Islam di seluruh dunia ini, apalagi sampai mengatakan seseorang bathil.

Atas dua alasan itu, maka sekarang sepertinya telah tiba untuk saya menjelaskan tentang keputusan puasa lebih awal itu. Mudah-mudahan tidak ada yang tersinggung dan marah-marah lagi, mengingat waktunya yang sudah lewat cukup jauh. Dan seperti biasa, tentu saja ini alasan pribadi saya tanpa bermaksud mempengaruhi orang lain yang sudah berpendirian. Ini hanya salah satu perspektif di tengah banyak perspektif lain. 

Hal awal yang ingin saya katakan adalah saya tidak menyangkal hadits riwayat Bukhori tersebut. Namun begitu, perlu juga dijelaskan konteks ketika nabi mengucapkannya. Kemudian hal selanjutnya adalah saya akan menjelaskan keputusan saya berpuasa tanggal 9 Juli lalu dengan terlebih dahulu menjelaskan tentang apa yang disebut dengan 1 Ramadhan.

Penentuan jumlah hari dan awal bulan untuk kalender Qomariyah didasarkan pada pergerakan bulan mengelilingi bumi selama rata rata 29,5 hari sekali. Artinya secara teori setiap 29,5 hari telah berganti bulan baru. Namun dalam prakteknya angka ini dibulatkan menjadi 29  atau 30. Dalam penanggalan Masehi atau Qomariyah, satu hari sama sama terhitung 24 jam. Namun perbedaan terjadi pada penetapan awal hari.

Dalam sistem penanggalan Masehi, awal hari dimulai ketika jarum jam menunjukkan pukul 00.00 waktu setempat. Sementara hari dalam penanggalan Hijriyah dimulai saat matahari terbenam di wilayah masing-masing. Berdasarkan perhitungan bahwa 1 bulan Syaban = 29,5 hari, maka pada hari ke 29 bulan Sya’ban dilakukan observasi apakah saat matahari terbenam bulan sudah tepat mengelilingi bumi satu putaran atau belum. Atau lebih gampangnya apakah hilal atau bulan baru sudah terlihat atau belum.

Jika sudah 1 putaran penuh bulan mengelilingi bumi maka selepas manghrib di tempat itu sudah jatuh tanggal 1 Ramadhan. Jika belum 1 putaran penuh maka sehari setelah observasi, (juga selepas maghribnya) baru dinyatakan 1 Ramadhan.

Nah, pada Ramadhan lalu itu, salah seorang kawan saya menyatakan bahwa dia menyaksikan beberapa orang bersumpah telah melihat hilal tidak begitu jauh dari daerah saya tinggal. Ketika mendengar berita tersebut, ada dua pilihan di tangan saya; mempercayai atau tidak mempercayai. Namun saya cenderung kepada mempercayai mereka. Alasannya cukup simple; apa dasar saya untuk tidak mempercayai orang-orang muslim —yang bisa dipercaya— yang sudah bersumpah melihat hilal?

Nah, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah setiap orang bisa melihat hilal? Dan apakah pengelihatan setiap orang di daerah yang berbeda itu sama?

Jawaban yang paling logis dari pertanyaan itu adalah tidak. Ini kira-kira sama saja dengan menanyakan apakah tanggal 1 Januari di satu daerah sama dengan daerah lain? Tentu berbeda, walaupun hanya berbeda jam saja. Itu yang disebut perbedaan subtantif. Artinya memang benar ada fakta empirik yang secara substansi menyebabkan perbedaan itu. Apalagi ditambah dengan perbedaan interpretasi, yaitu kemampuan interpretasi masing masing “pakar” yang berwenang dari masing masing kelompok.

Sebenarnya posisi bulan relatif terhadap matahari dan pengamat di bumi merupakan sebuah pergerakan yang dapat dihitung dan diprediksi dengan akurasi yang memadai.  Demikian pula perhitungan mengenai angka pasti umur bulan saat maghrib tanggal 29 Sya’ban. Lalu kenapa awal bulan tidak bisa disamakan saja, paling tidak dalam suatu negara?

Saya ingin menjelaskan satu hal yang juga turut campur dan (seakan-akan) meruncingkan perbedaan ini; perbedaan politis. Saya pikir itulah yang menjadi pendorong utama terjadinya perbedaan.

Oleh karena itu, patut juga diwaspadai bahwa perbedaan interpretasi semacam ini bisa menjadi pintu masuk terjadinya perpecahan umat. Itu sebabnya beberapa orang yang lebih cermat seringkali membaca fenomena adanya pihak tertentu yang dengan sengaja mengarahkan agar perbedaan semacam ini tetap ada dan selalu ada, meskipun sebenarnya bisa disatukan.

Pada prinsipnya, saya setuju bahwa perbedaan itu rahmat. Sehingga bagi seseorang yang tidak memiliki keluangan waktu untuk menelaah lebih jauh ihwal penetapan tanggal 1 awal bulan Hijriyah, hendaknya mengambil sikap untuk mengikuti ulama setempat atau yang lebih mereka percayai, sambil tetap memberikan kelonggaran dan menghormati saudara muslim lainnya untuk mengikuti pemimpin mereka masing-masing. Berlakulah toleran terhadap sesama muslim. Tidak ada gunanya saling menghujat.

Dan pesan saya bagi ulama yang “diberi” kewenangan untuk menentukan awal bulan, hendaknya terus melengkapi diri dengan ilmu astronomi dan senantiasa membuka diri untuk menerima informasi baru baik berupa metode maupun data empirik yang mungkin lebih modern, agar menjadi penyempurna atas metoda dan data yang sudah ada.

Wallahualam bissowab.