Halaman

Minggu, 22 Februari 2009

Sebuah Percakapan Dengan Masa Depan

Suatu sore, seorang anak yang telah lelah berlari berkilo-kilo meter, sampai pada sebuah tebing di pinggir pantai sebelah barat kota itu. Sambil mengatur nafasnya yang masih tersenggal, ia menatap lanskap jingga yang berseteru dengan biru samudra.

“Apakah benar aku sudah sampai?” ia berbisik ragu dalam hati.

Kedua tangannya bertopang pada kedua lututnya. Keringat terus bercucucuran dari sekujur tubuh. Pakaiannya basah oleh peluh, sementara bau matahari tercium dari rambutnya.

Lelah mengepung sekujur jasadnya.

Ia mencoba berdiri dengan sisa tenaga yang ia punya.

“Hebat! Hebat! Sebuah keputusan besar!” tiba-tiba angin berhembus meniupkan suara seorang laki-laki tua. Seperti suara seorang kakek yang telah puas mengecap pengalaman hidup.

“Siapa itu?” Si Anak bingung dan melihat sekeliling.

Tak ada seorang pun.

“Selamat datang, Nak! Kapal layarmu telah sampai di gerbang samudra!” lanjut suara itu.

Sang anak terus berputar-putar mencari-cari arah suara itu berasal.

Nihil.

Suaranya begitu halus hampir tak terdengar namun begitu jernih hingga tak mungkin disangkal.

“Siapa kau!” teriak anak itu lagi.

“Tapi ini hanya gerbang, Hai Bocah!” terdengar suara halus itu lagi.

Debur ombak menghentak-hentak dasar tebing melempar percikan air laut.

“Siapa kau?!” Anak itu berteriak makin frustasi. Ia tahu tidak akan mendapat jawaban apa-apa.

Awan berarak dihembus angin barat yang hangat.

“Lagi pula kapal kecilmu terbuat dari kertas,” suara halus itu melanjutkan. Si Anak mendengarkan pasrah, “sungai yang membawamu ke laut apa tidak membuatmu sadar betapa lemahnya kapalmu?”

Debur ombak membentur dinding karang membuat percikannya sampai pada lidah Si Anak. Asin.

“Lalu kenapa?” anak itu menjawab sekenanya. Ia mengantungkan pandangannya ke arah samudra luas. Sepertinya suara itu berasal dari sana. Mungkinkah suara Sang Samudra?

“Apakah kau tahu sebesar apa gelombang yang akan kau hadapi di tengah samudra nanti, Hai Anak Sok Berani?! Tahukah kamu gelombang-gelombang yang bergulung-gulung itu akan membuat kapalmu tenggelam ke dasar laut yang dalam.” suara itu bergetar menciutkan nyali Si Anak.

Si Anak sedikit ketakutan dan menggigil. Angin barat yang hangat berhembus menembus sela-sela pakaiannya yang masih penuh peluh. Ia menatap Samudra lepas.

“Aku kapal kecil yang terkucil tidak akan gentar dengan sesumbar dan komentar.” ucapnya dengan suara serak menggema, “Aku terkomposisi dari orang-orang sakti. Akan berevolusi meraih sugesti.”

Hening.

Samudra tak bersuara.

Si Anak melanjutkan.

“Membuatku optimis walau hidup di tengah orang-orang konservatif.”

Angin sendu dari arah timur membawa suara Si Anak yang serak itu ke tengah laut lepas. Menggemakan keserakan yang absurd.

Samudra menelan surya yang makin merah.

Bumi menggelap.