“Sebelum ada Allah itu ada apa?” Safa bertanya beberapa saat sebelum tidur. Matanya terlihat lelah, tapi pertanyaan yang ia tujukan ke saya itu tajam dan butuh penjelasan.
Pertanyaan itu melambungkan saya pada
ingatan masa kecil. Saya ingat waktu MI (Madrasah Ibtidaiyah), mungkin umur 7 atau 8 tahun, saya membayangkan suatu saat akan mati dan masuk surga. Tentu saja, karena saya anak baik, pikir saya waktu itu. Kemudian saya hidup di surga selama-lamanya. Dan tiba-tiba pertanyaan itu muncul; berapa lama selama-lamanya?
Pertanyaan itu menghantui saya kecil selama berhari-hari. Dalam tidur yang sendirian, saya menatap langit-langit yang berlubang dengan perasaan resah. Seakan-akan lubang itu ada di dalam dada. Ruang kosong yang dalam dan gelap. Tentu saya belum bisa melukiskan perasaan yang berkecamuk saat itu seperti sekarang. Jika bisa digambarkan mungkin yang berkecamuk itu seperti: seberapa lama selama-lamanya? Bukankah dunia ini sudah membosankan? Jadi buat apa keabadian? Kemudian ada apa setelah selama-lamanya? Kekosongan?
Saya berpikir sejenak menimbang jawaban untuk Safa, “Allah itu yang awal dan yang akhir. Tidak ada sesuatu sebelum Allah.”
Safa terdiam, bola matanya naik kemudian berkomentar, “Aku nggak ngerti.”
“Allah itu bukan seperti manusia yang lahir, hidup, kemudian mati. Allah itu tidak dilahirkan, Allah ada tanpa kelahiran, dan juga tidak punya akhir.”
Safa tidak bereaksi, saya kemudian meneruskan, “Lihat, jari bapak ada berapa?” saya menunjukan 5 jari.
“Ada lima.” Safa menjawab.
“Apa jari sebelum telunjuk?”
“Jempol”
“Apa jari setelah telunjuk?”
“Tengah”
“Apa jari sebelum jempol?”
“Gak ada”
“Ya, begitulah Tuhan. Tidak ada sesuatu sebelum Allah. Dan Allah adalah yang pertama tanpa permulaan. Satu-satunya. Tempat bergantung segala sesuatu. Tidak lahir dan melahirkan. Tidak ada sesuatupun seperti Allah.”
Saya menerjemahkan surat Al-Ikhlas. Tentang contoh lima jari, itu pelajaran Tauhid yang saya dapat waktu kelas 1 Tsanawiyah. Saya tidak tahu apakah Safa yang baru berumur tujuh tahun mengerti pembahasan teologi seperti ini.
Pertanyaan seperti ini juga pernah ditanyakan Nada waktu seumur Safa. Nada pernah bertanya pada ibunya, “Bu, apakah keyakinan kita benar?”
Saya percaya setiap orang yang jujur pada diri sendiri pasti akan sampai pada pertanyaan itu. Pada saya pertanyaan itu muncul ketika berumur 14 atau 15 tahun. Sekitar kelas 3 Tsanawiyah. Krisis keimanan di usia-usia itu memang sering terjadi. Pencarian akan kebenaran pada usia itu menggebu. Tapi untuk anak usia 7 tahun, saya agak terkejut.
Jika pertanyaan itu diajukan setelah Nada dewasa, mungkin saya akan mengajaknya melakukan perbandingan agama-agama. Membandingkan nabi atau pembawa agama. Membandingkan kitab suci. Membandingkan ajaran. Dan membandingkan penganut. Mungkin juga saya akan mengajak membaca The Road to Mecca – Leopold Weiss yang menginspirasi Dr. Jonathan Brown. Atau berdiskusi tentang trilogy Even Angel Ask - Jeffrey Lang, seorang atheis yang menemukan Islam lewat Al Quran. Saya tidak tahu apakah buku-buku itu masih akan relevan dengan pencariannya, atau dia akan menemukan keyakinan sendiri melalu pencarian sendiri. Saya percaya setiap zaman punya tantangan sendiri dan setiap orang punya pencarian masing-masing. Satu hal yang akan terus sama, bahwa kejujuran, kerendahhatian, usaha mencari kebenaran dan pertolongan Allah, akan membawa siapapun menemukan keyakinan yang sejati.
“Allah itu bentuknya apa?” Safa masih di atas Kasur. Matanya terlihat ngantuk tapi belum mau tidur.
“Allah itu tidak berbentuk apapun yang seperti makhluk. Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah.”
Safa mendengarkan. Saya melanjutkan, “Allah Maha Pengasih. Maha Penyayang. Dan Allah juga dekat. Lebih dekat dari urat leher kita. Ia Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang lalu, yang akan datang dan apa yang terjadi saat ini bahkan yang ada di hati kita.”
Safa masih diam. Saya bertanya balik, “Menurut kamu, Allah itu bentuknya seperti apa?”
“Bulet.”
“Oke.” Saya tidak menyanggah, malah bertanya, “Allah baik ga?”
“Baik.”
“Kenapa baik?”
“Karena memberi kita makan.”
Malam itu Safa minta lampu kamar tidak dimatikan karena ia takut gelap. Ia minta lampu dimatikan nanti kalau dia sudah tidur. Saya tetap mematikan lampu tapi menemani di kasurnya. Saya memeluk Safa sampai ia tertidur. Sampai saya tertidur. Saya bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan saya pegal seharian.