Halaman

Rabu, 29 Januari 2020

anak kecil dalam diri

ia anak kurus yang gelisah
tidak pernah beranjak dewasa dan besar
tapi selalu jernih dan tegar

ia anak dalam diriku bicara,
bukankah dunia ini sudah membosankan?
jadi buat apa keabadian?

pertanyaan itu membuat liang di dada
seperti lubang gelap di langitlangit
menakuti mata yang menatap
ketika panas membuat kepalaku berat
dan degup jantung terdengar seperti langkah raksasa

masa depan selalu datang cepat
aku yang selalu terlambat mengenal diri
memunguti serpihan diriku di masa lalu
sepotong pagi dalam pantulan jendela setelah hujan
padang hijau dengan lumpur di kaki menodai ujung
baju anak yang berlari di pematang

menggali kebenaran di rak kitab-kitab suci
aku benci bersikap tidak adil
aku benci keras kepala pada hal yang tidak masuk logika sederhana
memahami kesatuan sumber hirukpikuk ini bermula
apakah kebebasan sungguh membebaskan untuk berpikir?

ia anak dalam diriku tidak mau pulang,
bermain-main dengan kemungkinan-kemungkinan

aku di sini menunggu
cahaya matahari masuk ke dalam mataku 
yang belum juga buta

Pertanyaan Keimanan

“Sebelum ada Allah itu ada apa?” Safa bertanya beberapa saat sebelum tidur. Matanya terlihat lelah, tapi pertanyaan yang ia tujukan ke saya itu tajam dan butuh penjelasan.

Pertanyaan itu melambungkan saya pada ingatan masa kecil. Saya ingat waktu MI (Madrasah Ibtidaiyah), mungkin umur 7 atau 8 tahun, saya membayangkan suatu saat akan mati dan masuk surga. Tentu saja, karena saya anak baik, pikir saya waktu itu. Kemudian saya hidup di surga selama-lamanya. Dan tiba-tiba pertanyaan itu muncul; berapa lama selama-lamanya?

Pertanyaan itu menghantui saya kecil selama berhari-hari. Dalam tidur yang sendirian, saya menatap langit-langit yang berlubang dengan perasaan resah. Seakan-akan lubang itu ada di dalam dada. Ruang kosong yang dalam dan gelap. Tentu saya belum bisa melukiskan perasaan yang berkecamuk saat itu seperti sekarang. Jika bisa digambarkan mungkin yang berkecamuk itu seperti: seberapa lama selama-lamanya? Bukankah dunia ini sudah membosankan? Jadi buat apa keabadian? Kemudian ada apa setelah selama-lamanya? Kekosongan?

Saya berpikir sejenak menimbang jawaban untuk Safa, “Allah itu yang awal dan yang akhir. Tidak ada sesuatu sebelum Allah.”

Safa terdiam, bola matanya naik kemudian berkomentar, “Aku nggak ngerti.”

“Allah itu bukan seperti manusia yang lahir, hidup, kemudian mati. Allah itu tidak dilahirkan, Allah ada tanpa kelahiran, dan juga tidak punya akhir.”

Safa tidak bereaksi, saya kemudian meneruskan, “Lihat, jari bapak ada berapa?” saya menunjukan 5 jari.

“Ada lima.” Safa menjawab.

“Apa jari sebelum telunjuk?”

“Jempol”

“Apa jari setelah telunjuk?”

“Tengah”

“Apa jari sebelum jempol?”

“Gak ada”

“Ya, begitulah Tuhan. Tidak ada sesuatu sebelum Allah. Dan Allah adalah yang pertama tanpa permulaan. Satu-satunya. Tempat bergantung segala sesuatu. Tidak lahir dan melahirkan. Tidak ada sesuatupun seperti Allah.”

Saya menerjemahkan surat Al-Ikhlas. Tentang contoh lima jari, itu pelajaran Tauhid yang saya dapat waktu kelas 1 Tsanawiyah. Saya tidak tahu apakah Safa yang baru berumur tujuh tahun mengerti pembahasan teologi seperti ini.

Pertanyaan seperti ini juga pernah ditanyakan Nada waktu seumur Safa. Nada pernah bertanya pada ibunya, “Bu, apakah keyakinan kita benar?”

Saya percaya setiap orang yang jujur pada diri sendiri pasti akan sampai pada pertanyaan itu. Pada saya pertanyaan itu muncul ketika berumur 14 atau 15 tahun. Sekitar kelas 3 Tsanawiyah. Krisis keimanan di usia-usia itu memang sering terjadi. Pencarian akan kebenaran pada usia itu menggebu. Tapi untuk anak usia 7 tahun, saya agak terkejut.

Jika pertanyaan itu diajukan setelah Nada dewasa, mungkin saya akan mengajaknya melakukan perbandingan agama-agama. Membandingkan nabi atau pembawa agama. Membandingkan kitab suci. Membandingkan ajaran. Dan membandingkan penganut. Mungkin juga saya akan mengajak membaca The Road to Mecca – Leopold Weiss yang menginspirasi Dr. Jonathan Brown. Atau berdiskusi tentang trilogy Even Angel Ask - Jeffrey Lang, seorang atheis yang menemukan Islam lewat Al Quran. Saya tidak tahu apakah buku-buku itu masih akan relevan dengan pencariannya, atau dia akan menemukan keyakinan sendiri melalu pencarian sendiri. Saya percaya setiap zaman punya tantangan sendiri dan setiap orang punya pencarian masing-masing. Satu hal yang akan terus sama, bahwa kejujuran, kerendahhatian, usaha mencari kebenaran dan pertolongan Allah, akan membawa siapapun menemukan keyakinan yang sejati.

“Allah itu bentuknya apa?” Safa masih di atas Kasur. Matanya terlihat ngantuk tapi belum mau tidur.

“Allah itu tidak berbentuk apapun yang seperti makhluk. Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah.”

Safa mendengarkan. Saya melanjutkan, “Allah Maha Pengasih. Maha Penyayang. Dan Allah juga dekat. Lebih dekat dari urat leher kita. Ia Maha Mengetahui. Mengetahui apa yang lalu, yang akan datang dan apa yang terjadi saat ini bahkan yang ada di hati kita.”

Safa masih diam. Saya bertanya balik, “Menurut kamu, Allah itu bentuknya seperti apa?”

“Bulet.”

“Oke.” Saya tidak menyanggah, malah bertanya, “Allah baik ga?”

“Baik.”

“Kenapa baik?”

“Karena memberi kita makan.”

Malam itu Safa minta lampu kamar tidak dimatikan karena ia takut gelap. Ia minta lampu dimatikan nanti kalau dia sudah tidur. Saya tetap mematikan lampu tapi menemani di kasurnya. Saya memeluk Safa sampai ia tertidur. Sampai saya tertidur. Saya bangun tengah malam dengan tangan kram dan besoknya sebelah tangan saya pegal seharian.

Kamis, 09 Januari 2020

Saya Belajar...

  • Saya belajar bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang mencintai. Yang bisa kita lakukan adalah menjadi orang yang dicintai. Sisanya terserah mereka.
  • Saya belajar sebesar apapun kepedulian saya kepada mereka, mereka tidak akan membalas kepedulian itu.
  • Saya belajar bahwa butuh bertahun-tahun untuk membangun kepercayaan, dan hanya butuh beberapa detik untuk menghancurkannya.
  • Saya belajar bahwa kita boleh terpesona pada satu hal paling tidak untuk lima belas menit. Setelah itu sebaiknya kita mendapat pelajaran.
  • Saya belajar untuk memilih antara mengendalikan sikap atau sikap itu yang mengendalikan saya.
  • Saya belajar seberapa mesra dan menggebu suatu hubungan di awal, gairahnya akan memudar dan sebaiknya ada perasaan lain untuk menggantikan.
  • Saya belajar bahwa kadang-kadang orang yang kita kira akan menertawakan ketika susah adalah orang yang membantu untuk bangkit kembali.
  • Saya belajar bahwa ketika saya marah, saya punya hak untuk marah.
  • Saya belajar bahwa persahabatan sejati terus tumbuh, bahkan ketika berada di tempat yang jauh. Sama halnya dengan cinta sejati.
  • Saya belajar bahwa hanya karena seseorang tidak mencintai seperti yang kamu mau, bukan berarti mereka tidak mencintaimu sepenuh hati.
  • Saya belajar bahwa kedewasaan itu adalah tentang pelajaran yang kita dapat dari pengalaman, bukan tentang seberapa banyak ulang tahun yang dirayakan.
  • Saya belajar bahwa keluarga tidak selalu ada untukmu.
  • Saya belajar bahwa tidak peduli seberapa baik seorang teman, mereka sesekali akan menyakitimu.
  • Saya belajar bahwa dimaafkan oleh orang lain tidak selalu cukup. Terkadang kita harus memaafkan diri sendiri.
  • Saya belajar bahwa seberapapun hancur hatimu, dunia tidak akan berhenti hanya untuk kesedihanmu.
  • Saya belajar bahwa latar belakang dan keadaan mungkin mempengaruhi kita, tetapi kita bertanggung jawab untuk menjadi seperti apa.
  • Saya belajar bahwa hanya karena dua orang berdebat bukan berarti mereka tidak saling mencintai. Dan hanya karena mereka tidak berdebat, bukan berarti mereka akur.
  • Saya belajar bahwa kita tidak perlu berganti teman jika kita sadar bahwa teman memang berubah.
  • Saya belajar bahwa dua orang bisa melihat hal yang persis sama tapi dengan perspektif yang sama sekali berbeda.
  • Saya belajar bahwa sekuat apapun kita mencoba melindungi anak kita, pada akhirnya mereka akan terluka juga, dan kita akan terluka dalam proses itu.
  • Saya belajar bahwa hidupmu bisa berubah dalam hitungan jam oleh orang-orang yang bahkan tidak mengenalmu.
  • Saya belajar bahwa sulit untuk menentukan batas antara bersikap baik dan tidak melukai perasaan orang lain dengan membela apa yang kita yakini. 
Diterjemahkan dari: Paulo Coelho

Minggu, 05 Januari 2020

Kawan yang Sulit Ditemui

Kita tentu punya kawan yang jika ada kumpul-kumpul, tidak pernah datang. Bukan karena ada halangan atau rumah jauh, tapi memang tidak mau hadir. Tidak membalas pesan, seluruh social media tidak aktif, dan nomor telpon berganti-ganti. Dalam kasus saya, kawan itu bernama Tato Sumarto.

Saya lupa kapan terakhir ketemu Tato. Saking lamanya saya membayangkan bertahun-tahun yang akan datang, suatu malam, di atas kasur sebelum tidur, sambil mengecek HP masing-masing, saya dan istri akan bercakap-cakap.

“Bang, inget Tato gak?” mungkin istri saya bilang.

“Tato yang mana ya?”

“Itu, Tato dulu temen di 10.”

“Ooohh,” saya mulai ingat, “Kenapa dia? Meninggal?”

“Engaaak.” Istri saya menjawab cepat.

“Eh, kirain.” Saya menjelaskan, “Biasanya kan pertanyaan ‘inget si anu gak?’ atau ‘kenal si anu gak?’, itu pertanyaan standar buat membuka kabar duka cita.”

“Enggak. Dia katanya mau pergi haji naik rakit gedebong pisang.”

Beberapa waktu lalu, tanpa diduga Tato datang ke acara kumpul-kumpul dadakan. Ternyata ia masih sama. Kami masih sama. Dengan sense of humor yang sama. Beberapa kawan mengenang nostalgia ketika kita masih sama-sama kerja bareng. Saya tidak punya kenangan-kenangan melancholy penuh tangis tawa seperti itu. Oh, selain kenangan bergantian menyediakan buka puasa bersama waktu Ramadhan. Oh, juga kenangan menginap karena kerja terlalu larut. Oh, juga acara-acara bersama, jalan-jalan bersama, asmara dan. Sial. Banyak juga ya.

Sekarang kami telah berpisan tempat kerja, tempat kerja lama yang dulu menyatukan kami sudah tidak ada. Saya ingat di tempat itu Tato pernah bertanya pertanyaan yang saya belum jawab sampai sekarang. Beberapa waktu setelah saya menikah, dia tanya, “Bang, apa bedanya waktu lu masih singgel sama sekarang udah nikah?”

Sengaja saya tidak menjawab dengan jelas waktu itu. Supaya ia penasaran, terjebak dan ingin menikah. Sekarang ia sudah terjebak pada pernikahan. Pada ketakutan-ketakutan dan tantangan yang kadang absurd. Memang kesengsaraan perlu dibagi-bagi bukan?

Saya mendukung Tato untuk mengedepankan mental masa bodo terhadap pandangan-pandangan orang lain tentang dirinya. Paling tidak sampai lumba-lumba dalam perutnya berubah jadi naga.