Halaman

Sabtu, 28 Juli 2018

Pada Suatu Hari yang Biasa

Pada suatu siang—

Itu siang yang biasa di bulan April. Di langit siang mentari menyengat, lebih terik dari beberapa hari sebelumnya. Ia bergantung tepat di atas khatulistiwa, radiasinya bercampur dengan udara lembab dari timur. Kita berada di dalam kamar dengan pintu terbuka, ditemani suara ritmis kipas angin yang mengaburkan aroma ruangan dan membuat udara sedikit lebih sejuk. Di ruang tengah, anak-anak sedang bermain boneka. Kamu rebahan di atas kasur, dua bantal menjaga kepala. Aku memetik gitar, menyanyikan Thinking Out Loud. Kamu mengenakan daster yang telah luntur warnanya, sedang membuka ponsel, menyentuh dan sesekali menaik turunkan layar dengan ibu jari. 

“Ada hotel murah nih, Bang.” Kamu menyodorkan ponsel. 

Aku melihat dan membaca beberapa hal, “Boleh.”

Kamu memintaku untuk mengajukan cuti bahkan sebulan sebelum keberangkatan. Katamu kamu tak sabar menunggu untuk jalan-jalan.

Pada suatu malam—

Itu malam yang biasa di hari yang biasa. Anak-anak telah tertidur di dalam kamar. Jam di dinding mununjuk dua digit angka. Setiap ada suara motor yang mendekat pagar halaman, aku berharap itu kamu. Aku hampir tertidur ketika terdengar suara kendaraan berhenti di depan rumah, kemudian terdengar seseorang membuka pagar. Aku membuka pintu dan mendapati wajahmu yang sayu namun masih mencoba untuk tersenyum. 

Sup ayam dengan campuran kacang merah di panci telah dingin. Sambil membersihkan diri di kamar mandi, kamu bercerita tentang bis yang datang terlambat, motor yang hampir mogok dan murid-murid yang kurang ajar. Aku mendengarkan sambil memanaskan makan malam di atas kompor, sesekali merespon dengan gumaman dan pertanyaan.

Pada suatu sore—

Di atas kendaraan, di belakang punggungku, kamu menangis. Kesalahpahaman membuat kita berdebat, dan aku tahu telah keterlaluan. Aku mengarahkan sepion sebelah kiri untuk melihat dan menemukan matamu yang sembab, pundakmu berguncang. Lampu sen sebelah kiri berkedip dan kendaraan menepi. Aku menyesal, ingin meminta maaf tapi tidak ada suara yang bisa keluar, tercekat mandek di kerongkongan.

Pada suatu pagi—

Setelah mencuci beberapa piring kotor makan malam, aku menyiapkan sarapan kemudian membersihkan minyak yang menciprat dari atas kompor dan dinding dapur. Kamu tidak suka dapur yang berantakan dan kotor. 

Matahari bergelantung rendah di langit pagi. Anak-anak terbaring manis memeluk boneka kesayangan yang mereka mainkan sebelum terlelap. Kamu mengeluh tidak enak badan. Kamu masih meringkuk di dalam selimut coklat muda dengan rambut kusut ketika aku tawarkan untuk mengantar ke dokter. Kamu menolak, hanya minta ditemani dan dipijat menggunakan minyak angin beraroma campuran Jojoba, Zaitun dan Sereh. Cuma masuk angin, katamu. Walaupun akhirnya kamu protes bahwa pijatanku terlalu keras dan kasar. 

Pada suatu siang—

Itu siang yang biasa di hari yang biasa. Setelah membeli keperluan bulanan di sebuah supermarket, kita berkumpul di restoran bubur dan memilih tempat duduk di pojok ruangan. Aku meminggirkan troli belanja, kamu meminta kursi bayi kepada pelayan. Kamu terlihat bahagia, wajahmu terbias cahaya lampu neon jingga yang menggantung di langit-langit. 

Pelayan wanita dengan seragam merah berkerah hitam berdiri menunggu sambil bersiap mencatat pesanan. Kamu memesan Bubur Udang Telur Asin dan Pitan serta semangkuk besar bubur polos tanpa campuran, aku memesan Bubur Seafood. Di sebrang kursi kita telah bercengkrama satu keluarga muda dengan dua anak. Kamu bercerita tentang harga air mineral yang tiga kali lipat dari harga pada umumnya, tentang sahabatmu yang berubah, tentang drama korea yang baru saja kamu tonton, dan segala hal remeh lain. Aku mendengarkan. Katamu kamu senang berbagi hal-hal yang menarik dan menyenangkan denganku.

Pada suatu pagi—

Itu hari Minggu bulan Desember tahun 2015. Suasana masih redup ketika kita keluar rumah. Sinar surya menghangatkan pagi yang masih dingin. Hujan yang mengguyur sehari sebelumnya meruapkan aroma tanah. Kabut tipis di jalan mulai hilang, seiring lalu lalang kendaraan dan kegiatan yang mulai menggeliat. 

Di sebelah selatan, siluet punggung Gunung Gede yang masih berselimut kabut terlihat malu-malu. Sementara di belakang kita, samar-samar terlihat Gunung Salak yang kebiruan. Kita mengejar matahari. Angin dingin pagi melintasi padang sawah yang hijau kekuningan, menepuk-nepuk wajah, kemudian berlalu entah kemana. 

Suasana begitu jernih, tidak ada suara musik yang menyumbat telinga, tak banyak kendaraan yang melintas bersama atau berlawanan dengan arah kita. Diliputi semua itu, dari atas Revo, kita bercerita banyak hal tentang jembatan, sungai di bawah sungai, dan asal usul nama-nama tempat dan jalan. 

Pada suatu malam—

Itu malam yang biasa di hari yang biasa. Beberapa bulan sebelum kita menikah. Lampu penerang jalan berpendar memancarkan cahaya keemasan. Membuat gerimis seperti peri yang menitik dari tempat tak kasat mata. Di sebuah pom bensin, dalam naungan peron kita duduk bersisian berteduh mengunggu hujan reda. 

Sambil berbicara tentang banyak hal, ditengah air yang berderai, diam-diam aku berharap hujan berlangsung panjang. Aku suka udara dinginnya. Aku suka suara gemericiknya ketika menyentuh aspal yang hangat. Aku suka berada dekatmu. Aku tak risau dengan lembab di kepala yang bisa menyebabkan demam. Aku suka tangan kita yang bergandengan. 

Pada suatu pagi—

Suara bip mematikan AC di dinding. Setelah salat subuh, kita membagi tugas. Kamu membuat sarapan, mencuci piring dan menjemur pakaian. Aku menyuapi, memandikan dan mengajak Aira jalan-jalan. 

Nada merapihkan sajadah dan mukena kemudian membuat bintang pada jadwal hariannya. Bintang pertama untuk hari itu. Selesai dengan urusan sarapan, Safa meminta sekolah, bersikeras ingin tetap sekolah, walaupun kamu membiarkan jika ia tidak ingin masuk, karena sedang pilek. Kamu mengantar Safa ke sekolah sementara aku di rumah menemani Nada mengerjakan Reading Eggs dan membuat video kegiatan hari itu. Aira bermain bersama beberapa mainannya sambil berceloteh di dalam Playpen. Itu pagi sibuk yang biasa seperti pagi di hari-hari lain.

Pada suatu malam—

Itu malam yang biasa di hari yang biasa. Aku pulang dan mendapati rumah kosong. Kamu dan anak-anak sedang menginap. Langit mendung tanpa bintang mulai menurunkan gerimis. Tetes-tetes air terdengar tumpah ruah menghujam atap fiber. Bunyi tetes makin banyak dan makin banyak memenuhi atap, air mengucur turun ke halaman melalui cekungan genting kemudian mengalir menuju selokan. Sebagian menyerap masuk ke tanah kering pekarangan. Malam sunyi. Jalan-jalan sepi. Aku terduduk sendiri di dalam rumah memandangi jam di dinding sambil menunggu air di atas kompor mendidih. 

Rumah bukanlah rumah ketika tidak ada orang di dalamnya. Ia akan menjadi rumah jika kamu juga ada di sana. Tanpamu, ia hanya bangunan yang melindungi dari cuaca. Malam itu, ditemani rintik hujan di luar, seketika aku mengingat banyak hal. Kesendirian kadang membuatmu lebih mudah mengenang hal-hal yang telah lewat.

Aku ingat rasanya memegang tanganmu di tengah keramaian. Aku ingat caramu merajuk. Meruntuhkan pertahananku. Aku ingat leluconmu yang selalu bisa membuatku tertawa. Aku ingat lagu kita, yang sering kita nyanyikan dengan petikan gitar sumbang. Aku ingat percakapan panjang kita tentang rencana esok hari, film yang akan kita tonton setelah anak-anak tidur atau sekedar mengobrol tentang kegiatan seharian sambil kamu membersihkan jerawat di punggungku. Aku ingat tangismu ketika kita bertengkar, ketika kamu sakit, ketika anak-anak sakit, rumah kacau dan kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku ingat tawamu serta bagaimana tawa itu membuatku juga bahagia. Kamu bahagia dan aku ada dalam kebahagiaan itu. Aku ingat banyak hal sampai akhirnya kita tiba di sini. 

Kali ini, musim hujan masih datang terlambat, tapi pagi itu tiupan angin dingin dari Australia sampai juga ke dalam kamar. Dinginnya mengendap di sudut-sudut ruangan, menggigilkan jari-jari kaki. Kataku, “Kita merindu matahari ketika kedinginan.”

Siang hari lainnya hujan turun. Di ujung jendela buram itu, aku memandangi titik-titik air yang jatuh di halaman. Tempiasnya meninggalkan bercak hitam dan keropos di tepi jendela. Hujan selalu membuatku kangen akan matahari. Pada suatu musim kemarau ketika tidak ada pendingin ruangan. Pada terik yang mengeringkan kulit hingga gersangnya mendidihkan kepala. Pada sinar dan sepoy angin yang mengeringkan pakaian-pakaian di jemuran dalam beberapa jam.

Betapa mudah sebenarnya kita rindu pada hal-hal yang sederhana. Mungkin saja suatu hari nanti kenangan itu mengering, mengkerut seperti semangka yang terlalu lama terbuka, digantikan lupa dan uban yang memenuhi kepala. Jika saat itu tiba, aku ingin kamu tetap disini menemani. Menjadi musim panasku, yang mengeringkan sepasang kaus kaki basah dan meninggalkan rasa hangat di kalbu. Bersamamu, aku tak lagi merindu matahari.