Halaman

Jumat, 20 Maret 2009

Rindu

Malam ini, seperti juga beberapa malam sebelumnya, hujan memaksa anak itu menepi ke pinggir jalan. Di bawah lampu penerang jalan, rintik-rintik air langit itu seperti ribuan jarum.

Aku memandangi kucuran air dari sebuah talang. Lelah dan kantuk menyerang. Dibenaknya hanya ada satu keinginan; segera pulang.

Bilamanakah hujan akan reda? Lama sekali menunggu hujan reda. Tapi entah di batas waktu yang mana ia ingat seorang gadis. Segalanya tentangnya. Andai kamu ada di kota ini, menepi menunggu hujan seperti yang kulakukan? Ah, tentu saja itu hanya angan-angan, batinnya.

Sekarang ini mungkin kamu sedang asik di depan televisi di dalam rumahmu yang hangat bersama adik-adikmu membicarakan kegiatan seharian tadi. Mengharapkan kehadiranmu di sini hanyalah hayalan kosong. Tapi salahkah orang punya hayalan? Salahkah seseorang punya angan-angan? Walau itu kosong? Bagi orang sepertiku hayalan itu penting. Membuatku masih bertahan hidup. Tiba-tiba ia merasa melankolis.
 
Tentu, sekali lagi ini hanya harapan, aku berharap kamu ada disini. Jika begitu, semoga hujan masih mau berlarian sampai menusuk di sela-sela fajar yang masih jauh menyingsing. Semua itu tidak masalah jika kamu ada di sini. Sekedar menemaniku. Walaupun tidak bicara. Semalaman akan menjadi sejenak. Sebuah relatifitas perasaan.
 
 
2008