Honda Jazz melaju membawa empat orang kelebihan lemak. Di jalan berlubang atau ketika melewati bumper yang tinggi, mobil itu berdecit sperti akan patah menjadi dua.
“Apaan tuh, Zy?” Tanya saya ketika mendengar bunyi aneh dari bawah mobil, saya khawatir As roda mobil patah.
“Gak papa...” Jawab Ozy di balik kemudi santai, seakan dia mau bilang, “Mobil gua udah biasa buat ngangkut hewan kurban.”
Pukul setengah sembilan malam itu, saya, Edo, Deni dan Ozy sedang menuju ke rumah Cepy. Cepy adalah kawan semasa Aliyah. Saya pribadi tidak terlalu dekat dengan Cepy, tapi punya beberapa kenangan. Saya masih ingat ketika suatu siang di hari sekolah belasan tahun yang lalu, ia bercerita, “Jadi dulu nyokap gua suka dengerin radio. Ada penyiar yang paling dia suka, namanya Burhanudin Cepy. Makanya waktu gua lahir dinamain Cepy Burhanudin.”
Kunjungan ke rumah Cepy memang sudah kami rencanakan sejak beberapa minggu lalu. Cepy yang tiba-tiba aktif lagi di Facebook banyak menulis status yang membuat siapapun yang membaca mengerutkan dahi. Ia pernah menulis, “guwe lagi solat geblek untung galak kalo mesra ngecret gue”.
Orang yang terlalu serius mungkin akan mengaggap Cepy penyebar bid’ah, “Anda penyebar bid’ah! Solat itu sudah ada aturannya! Tidak boleh dirubah-rubah! Solat itu; Solat Wajib, Solat Sunnah, Solat Zuhur, Asar dan lain-lain! Tidak ada yang namanya Solat Geblek! Apa itu Solat Geblek! Bid’ah ente!!!”
Untung kawan-kawan Facebook Cepy tidak ada yang sefanatik itu.
“Gua curiga Cepy skizrofrenia ringan. Kayak di film A Beautiful Mind. Tau kan lu?” kata saya ke Edo di kursi depan.
“Iya tau gua!” jawab Edo cepat sambil menghembuskan asap rokok, “skripsi gua kan bahas itu.”
“Nah!” saya merasa ada persamaan.
“Gua juga dulu pernah kena skizrofrenia.” Edo seperti bangga.
Saya tidak kaget Edo pernah punya penyakit jiwa. Bahkan saya curiga sejak lama otaknya hanya sebesar serpihan pilus yang kelindes truk pasir. Beberapa tahun yang lalu, ia pernah hilang entah kemana. Lenyap dan tidak bisa dihubungi sama sekali selama beberapa hari. Tidak ada yang tau bahkan orang-orang terdekatnya sekalipun. Sampai sekarang saya nggak bisa menemukan alasan lain selain karena otaknya menguap, diculik dedemit bukanlah alasan yang masuk akal. Wewe Gombel senior sekalipun akan berpikir dua kali untuk menculik laki-laki krisis identitas dengan perut buncit.
“Dulu waktu masih kuliah kan gue suka sama cewe,” Edo melanjutkan, “cewek itu udah punya pacar. Tapi pada waktu-waktu tertentu, terutama kalo gua lagi sendirian, dia kayak dateng ke kosan gua, kita ngobrol, dan gua ngerasain itu nyata gitu.”
“Itumah emang khayalan lu aja yang liar.” Saya menganggapi.
“Sialan lu!” Edo sewot.
“Tapi ini Cepy kayaknya serius..” Deni buka suara.
“Iya, lu ngerti kan, Gong?” saya bertanya retoris ke Deni Bagong, “Jadi Cepy kayak punya orang dalam pikirannya yang bener-bener nyata menurut dia. Kayak gua ngeliat lu sekarang ini. Senyata itu. Padahal orang itu gak ada.”
Kepada saya, melalui Facebook Messenger, Cepy pernah mengaku telah menikah, punya istri walaupun tidak serumah.
“Iya, iya…” Deni manggut-manggut.
Dari kami, empat orang di dalam mobil, hanya saya dan Ozy yang pernah bertemu dengan Cepy dalam beberapa bulan terakhir, dan itu interaksi yang buruk.
“Minggu lalu gua ke rumahnya, dia gak bisa diajak komunikasi sama sekali.” saya bercerita kepada Deni dan Edo, “Tapi waktu gua mau balik, gua udah di atas motor nih, motor gua udah nyalain, eh si Cepy manggil, ‘woy..!’, ya, gua balik lagilah ke rumah dia. Begitu turun dari motor, eh Cepy malah masuk ke dalem rumah. Pintunya ditutup. Dikunci. Aneh banget dah. Ya udah akhirnya gua balik.”
Pertemuan awal saya dengan Cepy memang konyol. Sore itu, ketika saya sampai, pintu rumah Cepy sedang terbuka, motor menghalangi di depan pintu seperti ingin dimasukan. Saya mengucap salam. Tidak ada yang menjawab. Saya mengulang beberapa kali masih tidak ada jawaban. Saya memberanikan diri melongok ke dalam rumah. Suasana di dalam rumah tanpa jendela depan itu gelap. Di ruangan yang remang, saya masih bisa melihat sosok Cepy sedang berjongkok tidak jauh dari pintu. Memegangi hape yang sedang dicaz.
“Cep! Ini Fahmi, Cep!” kata saya kemudian. Cepy tidak bergeming.
“Cep!” saya kembali memanggil. Tidak ada respon.
Akhirnya saya dan Kojel, kawan yang waktu itu menemani, mengobrol dan duduk di beranda rumah. Sekitar 15 menit kemudian Cepy keluar. Tanpa mengatakan sepatah kata, dengan pandangan kosong, ia memasukan motor ke dalam rumah, seakan tidak melihat keberadaan kami. Sebelumnya, Kojel yang tinggal tidak jauh dari rumah Cepy memang telah mewanti-wanti saya untuk tidak kaget dengan keadaan dan kelakuan Cepy. Hari itu saya pulang tanpa ada komunikasi dengan Cepy.
Maka malam itu, kami berniat langsung menyergap Cepy. Apapun yang terjadi, Cepy harus bisa kami ajak ke luar. Kendaraan semakin mendekati rumah Cepy, masuk gang sempit yang hanya bisa dilalui satu mobil kecil. Dari dalam mobil, kami melihat Cepy sedang berjongkok di pinggir jalan di sebrang rumahnya. Ozy mencari parkiran, sementara saya, Edo dan Deni turun dan segera menghampiri Cepy yang masih belum sadar akan kedatangan kami.
Singkat cerita, kami membawa Cepy ke luar. Kami mencari warung yang buka sampai larut malam. Sampai di sebuah angkringan, kami mendudukan Cepy di lesehan. Cepy berada di tengah, tubuh kurusnya diapit Edo dan Ozy. Di sana, sambil bercerita tentang apa yang menimpa dirinya, Edo menjejalkan telur punyuh ke mulut Cepy, seakan-akan ia anak kecil yang sulit makan.
“Udah cerita cep.” Edo memulai introgasi.
“Cerita apa?” Cepy bingung.
“Semuanya. Dari awal.” Edo menepuk pundak Cepy, “Nih, Cep. Semua orang punya masalah. Lu tau masalah gua?”
Tidak menunggu jawaban Cepy, Edo meneruskan, “Bini gua meninggal karena sakit. Ninggalin dua anak yang masih kecil. Lu bisa bayangin kondisi gua waktu itu? Stress gua waktu itu, depresi. Tapi Alhamdulillah sekarang gua bisa bangkit.“
“Santai aja, Cep.” Deni menyambung, “Kalo masalah gak punya duit, gak punya kerjaan, itumah masalah kecil. Masih banyak hal lain di hidup ini. Santai aja.”
“Apa ya?” Cepy ragu-ragu.
“Gini deh, elu ngerasa baik-baik aja nggak sekarang?” Edo kembali bertanya.
Cepy diam. Matanya menerawang. Bersiap-siap untuk bercerita, “Nih, misalkan kehidupan gue ada sepuluh. Tapi gue nggak inget semuanya. Ada satu, dua…” Cepi menunjukan dua jari, “nah, tiga, empat, lima nih ilang. Yang ada enam, tujuh sampai sepuluh. Suatu hari tiba tiba tiga-empat-lima nih muncul lagi.”
Saya mencoba mencerna apa yang digambarkan Cepy. Penjelasannya memang membingungkan, tapi tidak seburuk Ajudan Pribadi atau Vickynisasi.
“Jadi ingatan tentang lu udah nikah itu pernah ilang, terus sekarang muncul lagi?” tanya Edo.
“Nah itu!” Cepy menyetujui.
“Cep,” kata saya menanggapi, “apa yang membuat lu yakin, kalo kenangan-kenangan yang elu sebutin itu beneran terjadi?”
“Ya, karena ada aja dalem...” Cepy tidak menyelesaikan kalimatnya. Seperti kehilangan kata yang mau disebut. Ia membuat gestur supaya saya menebak apa yang ia ingin katakan.
“Ada di dalem...” Cepy mengulang, memberi isyarat di depan wajah.
“Apaan, Cep?” Deni bingung, “Muka?”
Cepy menggeleng, “Bukan...”
“Pikiran?” Edo menebak.
Cepy kembali menggeleng, “Dikit lagi...”
“Khayalan?” saya menebak.
“Bukan.. nih ini nih!” Cepi memeberikan gestur tangan memutar-mutar di kepala.
“Kepala?”
“Nah itu…”
Cep, Cep! Kepala dan pikiran kan maksudnya sama aja, kata saya dalam hati. Kesulitan Cepy dalam mengatakan sesuatu mengingatkan saya pada karakter Naoko dalam novel Norwegian Wood, yang diakhir cerita mati gantung diri di hutan.
“Jadi kenapa waktu itu, waktu Fahmi dateng, elu gak ngomong? Malah ditutupin pintu. Elu tau kan waktu itu Fahmi dateng?” Edo mencecar.
“Ya, kalo itu, gua minta maaf.” Cepy mengaku.
“Gak papa, Cep. Gua gak sakit hati sama sekali.” Saya menanggapi, “Gua paham waktu itu lu lagi kumat.”
Cepy kembali diam. Lagi-lagi matanya menerawang. Tubuh kurusnya dibungkus kaos kusam yang kegombrongan. Rambut ikalnya tidak terawat. Cepy yang saya kenal dulu adalah anak yang rapih, tapi malam itu ia terlihat seperti tidak peduli pada kebersihan dan penampilan diri.
“Gini Cep,” saya melanjutkan, “Apa yang lu alami itu namanya Skizrofrenia. Penyakit yang bikin pikiran lu kacau. Berprilaku aneh. Sulit ngebedain kenyataan dengan pikiran lu sendiri. Jadi apa yang lu bilang ingatan yang muncul lagi di dalam kepala lu itu sebenernya gak ada. Cuma waham, halusinasi, delusi.”
“Enggak.” Cepy membantah, “Itu ingatan gua yang kembali.”
“Oke, Cep.” Edo kembali menyela, “Tadi kan lu bilang, elu baru inget kalo dulu waktu SD udah nikah sama Riandini Dafirta disaksiin Abah Ikik. Sekarang gua tanya, masuk akal gak lu waktu SD nikah? Trus orang-orang yang lu sebutin sekarang itu mana? Ada gak temen-temen SD lu yang tau sama orang-orang itu?”
“Ya, tapi itu ada di ingetan gua. Di pikiran gua.” Cepy kekeuh.
“Itu, Cep. Semua itu gak ada. Cuma hayalan lu doang. Memang terasa seperti nyata, tapi sebenernya nggak.” Saya makin membombardir dengan argumen.
Ozy yang sedari tadi makan nasi kucing, akhirnya menengahi perdebatan yang sepertinya tanpa ujung, “Udah gini aja sekarang. Nikmatin aja nih yang ada di depan. Yang nyata. Sate nih nyata, telor punyuh nih nyata, gorengan nih nyata. Makan aja abisin, minum, ketawa-ketawa. Santai aja dulu. Gak usah dipikirin yang begituan mah.”
Saya memahami Ozy ingin mengingatkan bahwa Cepy saat ini memang bisa diajak ngobrol dan sadar, tapi itu belum cukup untuk membuat dirinya bisa diajak berbicara serius. Ini tak ubahnya seperti memberitahu ikan yang tidak pernah keluar dari dalam air tentang daratan.
Obrolan kami dengan Cepy sebenernya tidak melulu serius. Banyak guyon dan canda seperti biasa ketika kami kumpul. Mengenang masa lalu. Mengingat-ingat kenangan-kenangan waktu masih sekolah.
“Lu kalo urusan cewek serahin ke Deni.” Saya menepuk pundak Deni.
“Gimana, Den?” Cepy yang sebenarnya masih jomblo penasaran.
“Lu mau yang gimana, Cep?” Deni berbasa-basi, “Kalo prinsip gua ama cewe gini Cep, sebagai lelaki walaupun tampang pas-pasan tapi kalo cewek mau yang paling cakep.”
“Ngomong aja ama sandal jepit, Gong!” saya bersungut-sungut.
“Lah, Mi. Beneran. Namanya juga keinginan. Boleh dong yang paling bagus?”
“Iya, ya.” Saya menggaruk-garuk kepala. Dian Sastro sama Raisa udah nikah, kata saya dalam hati. Tinggal Chelsea Islan nih kesempatan terakhir.
Tidak terasa sudah tiga jam lebih kami mengobrol banyak hal. Ozy banyak menceritakan bagaimana dia dulu pernah terpuruk tidak punya kerja. Deni menawarkan Cepy untuk bekerja di tempatnya bekerja. Saya menyarankan Cepy untuk banyak beraktifitas di luar rumah. Untuk pergi ke masjid setiap kali mendengar azan. Cepy harus sadar bahwa ia menderita penyakit, dan orang-orang sekitarnya harus bisa membantu mendukungnya untuk bisa sembuh. Saya yakin Cepy berada di keluarga yang mengerti. Di tengah keluarga yang kurang pengetahuan, apa yang dialami Cepy akan dianggap gangguan jin dan berakhir dipasungan.
Saya ingat dialog Dr. Rosen dalam A Beautiful Mind, film biografi yang mengisahkan Jon Nash, ahli matematika peraih Nobel, yang menderita gangguan skizofrenia paranoida, “Bayangkan jika kamu tiba-tiba sadar bahwa orang-orang, tempat, dan peristiwa-peristiwa penting dalam hidupmu tidak terlupa, bukan juga hilang, tapi lebih parah, tidak pernah ada. What kind of hell would that be?” Cepy pernah menulis hal yang senada, “Jikalaulah ingatan masa lalu itu salah, mengapa ada di kepala, apakah mimpi, terasa bukan mimpi, bukan pula khayalan, jikalaulah benar ingatan masa lalu itu mengapa terpisah kemana?”
“Kalo ada apa-apa telpon gua, Cep.” Deni memasukan nomor telponnya ke hape Cepy.
Kami mengantar Cepy ke rumahnya, berbicara sebentar kemudian pamit untuk pulang. Edo memeluk Cepy dan mendoakan yang terbaik. Manusia tidak bisa memilih masalah yang akan dihadapi, tapi Tuhan menjanjikan akan memberikan masalah sesuai kemampuan manusia. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi jika saya mengalami apa yang dialami Edo, Ozy, Deni atau Cepy. Sayangnya, tidak ada seorangpun yang bisa memastikan masa depan.
Ada orang sombong yang beranggapan bahwa sesuatu tidak mungkin terjadi pada mereka. Sungguh mereka hanya orang-orang yang terlalu kerdil untuk kehidupan. Kehidupan itu sangat besar dan inti atau kesejatian hidup ada di dalam diri. Kebanyakan kita tidak sadar pada apa yang terjadi di dalam. Menghamba pada banyaknya viewer dan like. Menaruh harapan terlalu besar pada perhatian orang lain. Mensyaratkan banyak hal pada kebahagiaan. Banyak melihat kelebihan orang lain dan tidak pernah merasa puas. Puncak dari semuanya adalah hantaman depresi karena penolakan, kehilangan, dan perasaan ditinggalkan. Mungkin itu yang dialami Cepy ketika dihadapkan pada kematian ibunya. Entahlah. Tidak ada yang cukup memahami selain Cepy sendiri. Karena pada akhirnya, semua manusia akan sampai pada ujung pertarungan. Pertarungan terakhir untuk mengenal diri sendiri, melawan kesendirian, kehampaan, dan kesepian, bukan pada hingar-bingar yang ada di luar.
Saya berkendara pulang melewati lahan persawahan. Di atas motor, udara dini hari menepuk-nepuk wajah, bintang timur terang bersinar di langit gelap. Saya mendongak ke atas dan beberapa saat merasa kecil dan sendiri.
Hampir jam satu dini hari saya sampai rumah. Setelah membersihkan diri dan salat isa, saya berbaring di tempat tidur. Ayam jantan tetangga berkokok bersahutan. Saya butuh pelukan.