Halaman

Sabtu, 31 Desember 2011

This is What I Do When I Give You Nothing in Your Birthday



"Today you are You, that is truer than true. There is no one alive who is Youer than You."
— Dr. Seuss

10 Blog Terbaik yang Gue Ikuti di Tahun 2011

1. Nailul Huda (hoedamanis.blogspot.com)

Gue mengenal Hoeda pertama kali ketika kita sama-sama belajar di sebuah kampus di Jawa Tengah. Setelah drop out dari kampus itu, gue kehilangan jejak tulisan-tulisanya. Google yang biasanya tahu segala hal nggak bisa ngasih informasi apapun tentang dia. Baru setahun belakangan ini akhirnya gue menemukan blog tersebut.

Ini adalah salah satu blog yang rajin diupdate dan berisi banyak hal. Dari yang paling serius, paling porno sampai paling konyol. Berkunjunglah sekali-kali ke sana. Lo akan dibawa menjelajah melalui tautan-tautan pada sebuah tulisan yang membawa ke tulisan yang lain. Terus dan terus. Seperti labirin pikiran. Menyesatkan, juga mengasikan.

2. Wicaksono (ndorokakung.com)

Gue mengenal Bloger gaek ini dari bukunya yang berjudul Ngeblog dengan Hati. Sebelumnya, Mas Wicaksono atau lebih ngetren dipangil Ndoro Kakung memang sudah malang melintang di dunia per-blog-an. Dan gue memang terlambat mengenalnya juga mengenal dunia blog ini.

Dia menulis bahwa menjadi blogger itu bisa berarti siap memilih jalan yang sunyi. Berkarya untuk dirinya sendiri dan menghindar dari kemasyhuran. Sebab popularitas itu membelenggu. Ia bahkan rawan menjadi sasaran perli khalayak.

Tulisan-tulisan dalam blognya nggak mengurui dan nggak pernah lebih dari 500 kata. Dia bilang gemuruh di ranah blog mungkin mirip perjalanan kembang api. Seseorang dengan cepat terlontar bercahaya ke angkasa, bak bintang luncur dengan suara riuh. Tapi tak lama kemudian ia meredup, lalu menghilang di kegelapan malam, jatuh sebagai arang yang getas.

3. A. s. Laksana (as-laksana.blogspot.com)

Buku Creative Writing karya A. s. Laksana wajib dimiliki bagi yang butuh pencerahan tentang dunia penulisan. Mas Sulak, begitu ia biasa dipanggil, adalah seorang sastrawan yang punya pemikiran-pemikiran cerdas dan unik. Gue kagum. Kunjungilah blognya, gue jamin lo akan juga terkagum-kagum.

Kekaguman gue bukan hanya itu. Ia juga pembelajar sejati. Autodidak murni. Dia mungkin satu-satunya orang yang memahami metode Hipnosis Erickson hanya dari membaca buku.

4. Raditya Dika (radityadika.com)

Gue mengenal Kambing Jantan dari seorang kawan. Setelah membeli Cinta Brontosaurus, gue mulai mencari segala sesuatu tentang dia. Sampai akhirnya, kami bertemu pada sebuah pelatihan menulis yang dipelopori oleh Rotrac dan Gagas Media di Wahid Institute.

The rest of that is a history. Dia menelpon gue untuk menerbitkan karya gue yang pertama. Tulisan di blognya —walaupun akhir-akhir ini terlihat menurun tapi, tetap menghibur.

5. Panji Pragiwaksono (www.pandji.com)

Gue belajar tentang nasionalisme dari Panji. Penggiat stand up comedy ini juga punya pemikiran-pemikiran yang cemerlang yang sering dituangkan dalam blognya. Mengunjungi blognya terasa semangat optimisme yang sangat realistis.

6. Paulo Coelho (paulocoelhoblog.com)

Nggak perlu diperkenalkan lagi penulis kelas dunia ini, Paulo Coelho. Seperti buku-bukunya, blognya juga sangat menggugah dan inspiratif. Dan yang paling penting blog itu diupdate tiga hari dalam satu minggu. Penulis yang sungguh produktif.

7. Nanette (www.nannersp.com)

Nanette, ibu seorang putri ini tinggal di Amerika. Tanpa sengaja gue menemukan blog ini dan langsung menyukai tulisan-tulisannya. Ia bukan penulis, maksud gue belum pernah menerbitkan buku, tapi tulisan-tulisan dalam blognya menandakan ia seorang yang terbiasa belajar banyak hal.

Tulisan-tulisanya ringan. Tentang keseharian. Baju yang ia pakai. Pesta putrinya. Liburan. Pindah rumah. Yeah, all simple and ordinary thing. Sometimes wordless (as she said).

8. Fahd Pahdepie(fahd-isme.blogspot.com)

Nama penanya Fahd Djibran. Ia adalah pemikir yang serius. Pemuda peneliti ini sungguh mengagumkan. Gue mengenalnya dari goodreads.com. Buku-bukunya, walaupun gue belum memiliki semuanya, sungguh membuktikan keluasan wawasannya.

Berkunjung ke blognya, gue merasa disuguhi pemikiran-pemikiran optimis dan Islam yang damai. Anak muda yang keren.

9. Helvy Tiana Rosa (helvytr.multiply.com)

Sebelum berkunjung ke blog salah satu penulis Indonesia paling berpengaruh ini, gue nggak pernah tertarik untuk membaca tulisan-tulisannya, buku-bukunya. Tapi begitu baca salah satu postingan di blognya, gue ketagihan. Tulisannya begitu menyentuh. Humanis. Nggak mengurui dan tentang hal-hal yang sederhana yang luput dari pengamatan orang biasa. Helvy Tiana Rosa adalah wanita dengan hati malaikat.

10. Abdurahman Faiz (masfaiz.multiply.com)

Abdurahman Faiz adalah anak ajaib. Gue kehabisan kata-kata untuk mengambarkan keunikan anak kecil ini. Kunjungilah blognya lo akan tahua apa yang gue maksud. Anak dari pasangan Tomi Satryatomo dan Helvy Tiana Rosa ini lahir tahun 1995.

Gue hampir nggak percaya dia bisa nulis sebanyak dan sebagus itu. Benar benar anak ajaib. Di bawah ini gue kutipkan puisinya yang dia tulis untuk presiden penyair Sutardji Colzoum Bachri, padahal saat itu ia baru berusia 12 tahun.

MEMBACAMU

membacamu
kutemukan puluhan
bulan lonjong
tertawa
dan lumpur
membedaki
kakikaki
kuda luka

satu saja
teriakan matari
dan segala kata
mengejar merdeka!

18 Juli 2007


Ya, setelah banyak membaca, gue menyadari benar apa yang pernah dikatakan Voltaire, "Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir; semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun"

Rabu, 28 Desember 2011

Percakapan Ngaco

“De, Samsul mau berenti.” Kata gue memulai pembicaraan. (note: Samsul itu kawan di pabrik)
“Kenapa emang?” Kata istri.
“Gak tahan disiksa Sari” (note: Sari itu Bos)
“Hahahaha”
“Sakit dia. Gak biasa begadang. Stress juga mungkin sama kerjaannya.” Gue kasih alesan yang lebih masuk akal. FYI, sebagai security amatir begadang itu jadi sarat utama.
“Kok abang enggak?” Istri gue heran.
“Kamu gak liat mukaku nih. Stress kan?” *Sambil nunjuk muka sendiri*
“Apaan? Naek sepuluh kilo gitu stress?” Kata istri gue enteng, “trus yang gantiin siapa?”
“Ya anak baru lah.”
“Mudah-mudahan bukan cewek.” Istri gue berharap.
“Mudah-mudahan kayak Britney Spears.” Gue berharap.
“Mudah-mudahan Britney Spears yang punya titit.”

Gue bengong.
Abis itu ngakak.

Minggu, 25 Desember 2011

Pragmatism of Bilbo Baggins (Part II)



After he escapes from goblins’ cave, he is reunited with the dwarves and Gandalf and they continue their journey. They arrive in front of Mirkwood. Gandalf leaves them because he has an important thing to do. And the new adventure in the jungle begins without Gandalf.

Mirkwood is widely known because it has many dangers. It is very dark inside. The trees are very tall, big and seem tangled to one another so the sunshine cannot go through the leaves. The river is magically black spelled and cannot be drunk. And there are many creatures that they have never seen before. And again, in this situation Bilbo shows his pragmatism.

In the middle of the jungle, Bilbo and the dwarves are lost and meet the giant spiders. All dwarves are caught, made into some bundles and hanged in the branches. There is no other way, only Bilbo that can help them. And he decides to fight the spiders, using himself as a decoy instead of going away.

“’I am going to disappear,’ he [Bilbo] said. ‘I shall draw the spiders off, if I can; and you must keep together and make in the opposite direction. To the left there, that is more or less the way towards the place where we last saw the elf-fires.’” (The Hobbit, p.164)


It is not one time he helps the dwarves. After Bilbo rescues them from the giant spiders, the dwarves are caught by the elves of Mirkwood for trespassing the Elvenking. At that time, again Bilbo rescues them using the invisible ring.

When he is invisible, he follows the dwarves which lead him into a dungeon. His decision is very dangerous but not without his consideration. At the first he hesitates but finally decides not to leave their friends and enters to the Elvenking’s Halls to rescue them.

“Across the bridge the elves thrust their prisoners, but Bilbo hesitated in the rear. He did not at all like the look of the cavern-mouth and he only made up his mind not to desert his friends just in time to scuttle over at the heels of the fast elves, before the great gates of the king closed behind them with a clang.” (The Hobbit, p.172)


The doors of the halls can be opened and closed by magic. Even though Bilbo is invisible, it is still hard for him to find a way out to rescue the dwarves. But he finally finds one way out. He finds that the great gates in the Elvenking’s Hall are not the only entrance to the caves. A stream flows under part of the lowest regions of the palace. Where this underground watercourse comes forth from the hillside, there is a water-gate. But the portcullis is often open, for a good deal of traffic goes out and in by the water-gate.

Bilbo discovers the trapdoors and their use, and lurking there, listening to the talk of the king’s servants, he learns how the wine and other goods come up the rivers, or over land, to the Long Lake. When the barrels are empty, the elves cast them through the trapdoors, open the water-gate, and out the barrels floated on the stream. And Bilbo’s plan is using empty barrels, leaping into the stream after them.

From these two decisions, the thought of pragmatism is demonstrated. As it is delivered by James that pragmatism is not a stiff theory. It is an instrument that provides an umbrella for any thoughts as long as the thoughts can produce real and useful actions. Pragmatism also refuses theoretical argument, priority debate, ideological refute, moral value discussion, and so forth in order to take useful action immediately.

Bilbo’s acts that the writer describes previously are qualified in pragmatism view; real, immediate and useful actions. In addition, it strengthens the explanation that truth is made and expedient.

In Bilbo’s case, the benefit is for the dwarfs. This benefit is indeed partial. Not everyone gets the benefit from what has Bilbo done. For dwarfs, it is very useful, but it is not for the elves. At first, the elves would like to investigate the dwarfs about the reason they come to their forest. It is difficult —if we cannot call it impossibility, to provide benefit for everyone, for every side.

However, in The Hobbit the writer finds that in the end Bilbo is not selfish. He puts aside his own interest or benefit for a bigger and more important thing, which is for a common good. He arrives at Misty Mountain and Smaug is finally slain by Bard. Bilbo and the dwarfs take control of the treasure that once was under the dragon’s wings. Then the people of Lake Town helped by the elves demand to Thorin for their treasure that is also robbed by the dragon before, but Thorin refuses it arrogantly. So they warn that they will surround the mountain and will not let any dwarf pass. Of course Thorin does not give up easily. He asks for a help from Dain, his cousin in the Iron hills near the Lonely Mountain. Dain has more than five hundred well-armed dwarves.

At that time, again Bilbo shows his pragmatism. He takes Arkenstone, which belongs to Thorin’s father as one of his precious treasure, and gives it to Bard. Even to hide the stone is a dangerous act. Arkenstone “is worth more than a river of gold in itself, and to me [Thorin] it is beyond price. That stone of all the treasure I name unto myself, and I will be avenged on anyone who finds it and withholds it.” (The Hobbit, p. 268)

Bilbo’s decision to give Arkenstone to Bard, who is by right descent the heir of Girion of Dale, is basically because it is Bard who kills Smaug the dragon so Thorin’s treasure is free from the marauding dragon. Moreover, the treasure that the dragon has taken mostly comes from Girion and Esgaroth, the area of lake-men town. Further in the last battle Smaug destroys the dwellings of the men of Esgaroth. And the last but not least, Bilbo has thought for the sorrow and misery of Dale people. He does not want any clash occurred between the dwarfs and the alliance of the Lake Town people and the elves.

Arkenstone, in Bilbo’s thought, is capable to make Thorin talk it over and finally give the treasure that belongs to the Dale people. Therefore, a battle between the dwarfs and the alliance of the Lake Town people and the elves will not happen. Consequently, Thorin becomes very angry with him.

“’I gave it them!’ squeaked Bilbo, who was peeping over the wall, by now, in a dreadful fright.
‘You! You!’ cried Thorin, turning upon him and grasping him with both hands. ‘You miserable hobbit! You undersized-burglar!’ he shouted at a loss for words, and he shook poor Bilbo like a rabbit.
‘By the beard of Durin! I wish I had Gandalf here! Curse him for his choice of you! May his beard wither! As for you I will throw you to the rocks!’ he cried and lifted Bilbo in his arms.” (The Hobbit, p. 276)


In this situation Bilbo believes that peace will bring more benefit than a battle will. This is suitable with what William James says that a will precedes the truth where the will is accompanied by a desire to believe.

At first it seems that Bilbo’s act does not give him any benefit. He can even lose a fourteenth of Thorin’s treasure that will be given to him as payment for his service. In other words, what Bilbo has done inflicts such a loss for himself, but he believes that it will be useful for many people or sides and for peace. He puts the others’ benefit or common good over his own benefit. He says: “…Take it that I have disposed of my share as I wished, and let it go at that!” (The Hobbit, p. 277)

And finally, by his pragmatic act, the war between the dwarves and the alliance of the lake-town people and the elves can be avoided. The two groups unite to fight the evil goblins. The goblins can be defeated and the treasures are shared.

Through Bilbo’s decision, it seems that Tolkien wants to show that pragmatism is supposed to be able to give much benefit for many people instead of to one person. With that, it can be seen that good or truth is something that should be useful for many people.

Sabtu, 24 Desember 2011

Pragmatism of Bilbo Baggins (Part I)



The writer starts this finding by telling the basic theme of The Hobbit. Even the most common readers have to agree that the central theme of The Hobbit is struggling between good or truth and evil or wrong.

There have been many philosophers trying to explain the meaning of truth through their philosophical theories. The idealists say that ideas are true if the meaning of a sentence reflects the object adequately. While the rationalists believe that reason is the essential route to truth, which exists in the world of ideas.

In this study the writer shows the meaning of ‘good’ or ‘truth’ that might Tolkien tries to deliver in The Hobbit. The writer analyzes that there are some acts that indicate the meaning of truth as good by pragmatism view, especially the theory delivered by William James. He writes in his book Pragmatism: A new name for some old ways of thinking that truth as good is made and useful. Someone can say that something is true because it is useful or it is useful so it is true.

Moreover, the truth ideas are validated and verified through the real expedience or actions. The wrong ideas cannot be verified and validated through experience. It can be concluded that truth is every action that can bring the doer into good result and the result is useful and satisfying.

In The Hobbit the writer sees this useful-good is delivered by the author through Bilbo Baggins as the main character. Many Bilbo’s actions in the novel clearly show his pragmatism. This is the same thing with pragmatism that emphasizes on human actions. Pragmatism itself is taken from Greek 'pragma' which means action or work.

The writer finds that Bilbo’s decision in joining the adventure with thirteen dwarves is right in pragmatic view. At first Bilbo refuses Gandalf’s invitation because he considers there will be more bad things happened than the good ones.

“’I should think so - in these parts! We are plain quiet folk and have no use for adventures. Nasty disturbing uncomfortable things! Make you late for dinner! I can’t think what anybody sees in them,’ said our Mr. Baggins.”(The Hobbit, p. 4)


But Gandalf makes such a sign on the Bilbo’s door which approximately means; burglar wants a good job, plenty of Excitement and reasonable reward. Because of that sign, the dwarves and also Gandalf get together in Bilbo’s house and have a meeting there. When Thorin, son of the dwarves’ king, explains the adventure and also the dangers that might happen, suddenly Bilbo screams and shudders. The dwarves become doubtful to Bilbo, even Gloin, one of the dwarves says that at the first time he comes to the house Bilbo looks more like a grocer than a burglar. Bilbo is offended with the words and finally decides to join the adventure.

“’Pardon me,’ he [Bilbo] said, ‘if I have overheard words that you were saying. I don’t pretend to understand what you are talking about, or your reference to burglars, but I think I am right in believing’ (this is what he called being on his dignity) ‘that you think I am no good. I will show you. I have no signs on my door-it was painted a week ago-, and I am quite sure you have come to the wrong house. As soon as I saw your funny faces on the door-step, I had my doubts. But treat it as the right one. Tell me what you want done, and I will try it, if I have to walk from here to the East of East and fight the wild Were-worms in the Last Desert…’“ (The Hobbit, p. 18-19)


Pragmatism of William James offers a new method in seeing truth. He refuses truth as a static thing in an idea. It implies that truth is not an absolute thing but changeable. Moreover truth can be made. This point of view also guides to see that ideas are only instruments or equipment for reaching the goals. Thus motivation of the subject can determine the truth in an idea.

In Bilbo Baggins, the motivation of his act to join the adventure is his resentfulness because the dwarves oversimplify him. Of course, the writer does not directly say through the motivation of Bilbo’s act becoming right. The writer adds with verification that also becomes a requirement to prove that the acts that Bilbo takes are right. As stated by James that truth needs verification.

In a brief explanation, verification process to an idea is divided into two views: prospective and retrospective. Prospectively, an idea is true if it directs to do an action. In this case, verification process starts and the idea might be proven to be right. Retrospectively, verification process has reached the result. If the result is useful, the idea is the right one. Further William James states that “True is the name for whatever idea starts the verification-process, useful is the name for its completed function in experience”.

Bilbo’s decision in joining adventure causes many troubles for himself, Gandalf and the dwarves, but finally, his decision proves to be right according to the result of the action. In the end of his adventure, he gets the goal of the adventure; takes the treasure deprived by the marauding dragon Smaug.

One of Bilbo’s decisions in the adventure is when he bravely sneaks into a group of troll for stealing. It is because of some reasons. One of them is because he and the dwarves are wet by rain. They are also lost most of their supplies because their ponies that carry their supplies get scared and soon run away. While nobody knows where Gandalf has gone away, Bilbo has already been trusted as their experienced burglar. He sees a bon fire and smoke that indicate there is assign of life. When he approaches to the fire, he sees trolls having roast lamb. With all those reasons in addition to his belief, he decides to pick the trolls’ pockets in order to get something useful for him and the dwarves. Even though, at first he is not sure of his action, but he does it anyway.

“Bilbo knew it. He had read of a good many things he had never seen or done. He was very much alarmed, as well as disgusted… So he stood and hesitated in the shadows. Of the various burglarious proceedings he had heard of picking the trolls’ pockets seemed the least difficult…” (The Hobbit, p. 35-36)


The idea of his act is exactly the same as what James writes.

“If I am lost in the woods and starved, and find what looks like a cow-path, it is of the utmost importance that I should think of a human habitation at the end of it, for if I do so and follow it, I save myself. The true thought is useful here because the house which is its object is useful.” (Pragmatism, p. 203)


One event that cannot be put aside relating to Bilbo’s act that shows his pragmatism is when Bilbo gets lost in goblins cave and meets Gollum. They play the riddle. In the game, they make a bet. If Bilbo wins, Gollum will give a way out of the cave, but if he loses Gollum will eat him.

Bilbo knows that the riddle-game is sacred and of immense antiquity, and even wicked creatures are afraid to cheat when they play at it. But he asks a question that is not supposed to be a riddle. He skews in the game. He asks the ‘real’ question. He asks about something in his pocket. He realizes his fraud —even at the first it accidentally happened. Gollum also tells about Bilbo’s fraud but he still gives the question as a riddle.

“’Not fair! not fair!’ he [Gollum] hissed. ‘It isn’t fair, my precious, is it, to ask us what it’s got in its nassty little pocketses?’
Bilbo seeing what had happened and having nothing better to ask stuck to his question. ‘What have I got in my pocket?’ he said louder.” (The Hobbit, p. 79)


Bilbo’s decision that seems to be a pragmatic decision is when he jumps over Gollum and crawl past the Goblins to squeeze through the closing door wearing the ring that can make him invisible. The ring actually belongs to Gollum. Bilbo accidentally finds it before he meets Gollum.

Skipping Gollum when he is angry because his precious ring is taken and passing the goblin that are very angry because their leader was killed by Gandalf, not only need the courage but also need encouragement that can motivate him. He also needs to consider the benefit and the loss. And that what he does. He thinks that whatever the dangers of passing Gollum and goblins are much better than he should live in the goblins’ cave alone. He realizes the danger threatening him and his pragmatism shows him to act and finally he is free from goblins’ cave.

Continue reading, please click here.

Minggu, 11 Desember 2011

Cara Membeli Buku Secara Online

Ada banyak orang yang ingin membeli buku, tapi buku itu udah nggak ada lagi di toko buku. Nah, salah satu cara yang paling praktis adalah membeli secara online. Selain praktis karena kamu nggak perlu pergi ke toko buku, beli buku online juga dapet diskon.

Saya akan berikan salah satu contoh cara membeli buku lewat kutukutubuku.com. Pada dasarnya, setiap toko buku online punya prosedur yang sama. Saya memakai contoh kutukutubuku.com karena keterangan dalam websitenya lebih mudah namun untuk pembelian lebih murah, lengkap dan banyak hadiah saya sarankan bukukita.com.

BAGAIMANA CARANYA?

1. Daftar Jadi Anggota Kutukutubuku.com
2. Login Anggota di sebelah kanan atas homepage
3. Cari Buku berdasarkan judul atau pengarang di kolom search atau lewat kategori genre buku
4. Untuk membeli, klik tombol BUY
5. Di Halaman Shopping Cart, kamu bisa mengedit jumlah buku yang hendak dibeli atau mengeluarkan buku dari shopping cart dengan klik tulisan take out
6. Untuk lanjut berbelanja, klik tombol CONTINUE SHOPPING
7. Klik tombol CHECKOUT jika kamu sudah selesai berbelanja
8. Isi formulir data alamat pengiriman, pilih cara pembayaran, gift wrap setting, dll. Klik PROCEED jika sudah selesai
9. Di halaman order confirmation, cek ulang order anda, pastikan, jenis/jumlah buku, ongkos kirim & alamat pengiriman sudah benar. Klik PROCEED lagi
10. Tunggu konfirmasi yang akan di kirim ke email kamu

BAGAIMANA CARA PEMBAYARANNYA DAN BERAPA ONGKOS KIRIMNYA?

Cara Pembayaran:

1. Cash on Delivery (COD) hanya berlaku untuk daerah pengiriman di DKI Jakarta
2. Transfer Bank BCA atau MANDIRI
3. Western Union
4. Smart Dompet & Bank Sinarmas

Bank BCA cabang Pasar Minggu: 128-145-9215 a/n Aulia Halimatussadiah
Bank Mandiri cabang Pancoran: 0700-0045-09621 a/n Aulia Halimatussadiah
Smart Dompet No. 08811420334 / Bank Sinarmas No. 0002030209


Setelah kamu selesai melakukan transfer pembayaran, lakukan konfirmasi pembayaran melalui email kutubuku.id@gmail.com, atau telpon 021-7981283.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

• Jika kamu belum membayar lunas pesanan, maka paket tidak akan dikirim.
• Jika kamu memilih untuk membayar dengan transfer bank, silahkan menunggu konfirmasi dari kutukutubuku.com sebelum melakukan pembayaran. Mereka akan memastikan pesanan kamu lengkap dan siap kirim terlebih dahulu.


Ongkos Kirim:

1. Belanja di atas Rp 150.000,- Wilayah jakarta: GRATIS ONGKOS KIRIM (flat delivery)
2. Wilayah Jakarta di bawah Rp 150.000,- dengan pembayaran COD: Rp 10.000,- (flat delivery)
3. Wilayah Jakarta di bawah Rp 150.000,- dengan pembayaran Transfer: Rp 6.000,- (flat delivery)
4. Wilayah Bodetabek dengan pembayaran transfer: Rp 7.500,-
5. Di luar area di atas maka ongkos kirim disesuaikan dengan tarif TIKI JNE. (dihitung per kilo)

APA HARUS PUNYA REKENING TABUNGAN?

Nggak perlu. Untuk pembayaran lewat transfer bank, kamu bisa melakukannya bahkan tanpa punya rekening tabungan di bank tersebut. Caranya adalah seperti ketika kamu menabung.

• Pergi ke bank
• Ambil slip penyetoran
• Isikan dengan rekening yang tersebut di atas dan jumlah uang yang telah dikonfirmasi lewat email
• Antri di kasir
• Kasih uangnya
• Beres!

Sebenernya alesan saya nulis ini adalah karena Yunus Falah Kaban nanya tentang gimana cara beli Badung Kesarung yang udah nggak ada di toko-toko buku. Dan demikianlah cara untuk membeli buku secara online.

Stay online, Man!

Sabtu, 10 Desember 2011

Selamat Hari Natal

Ini kisah Nabi Isa Alaihissalam yang diabadikan di dalam Al Qur’an Surah Maryam ayat 22-33:
Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali. Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: "Ada anak sungai di bawahmu, goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu. Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'" "Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi digendongannya. Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali."
(Terjemahan ringkas ini ditulis oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab) 

Saya sadar pembaca blog ini sangat beragam, sehingga pasti akan ada perbedaan pendapat dalam menanggapi tulisan-tulisan di sini. Tapi, di sini saya tidak sedang ingin mengubah pendapat orang yang sudah punya pendirian. Saya hanya mau berbagi perspektif, dengan kedamaian. Saya dan setiap muslim percaya kepada Nabi Isa AS sebagaimana kami percaya kepada Nabi Muhammad SAW. Keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Namun saya juga menghormati dan menerima kaum Kristen yang percaya bahwa Nabi Isa Al Masih (Yesus Kristus) adalah Tuhan. 

Saya sudah membaca banyak perdebatan dari kalangan Islam-Kristen tentang ketuhanan Yesus dari mulai yang ilmiah dan sopan sampai yang kasar dan hanya berisi caci maki. Oleh karenanya saya tidak akan melanjutkan perdebatan itu di sini. Sekali lagi, saya menghormati perbedaan. 

Semenjak kecil, saya banyak membaca dan diceritakan tentang Nabi Isa. Berikut adalah mukjizat yang diberikan Allah kepadanya: 
  1. Lahir tanpa seorang ayah. (QS. Maryam: 27-33) 
  2. Mampu berbicara dengan manusia saat masih bayi. 
  3. Mengerti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Injil. 
  4. Membentuk tanah seperti burung kemudian meniupnya, dan tanah itu menjadi burung. 
  5. Mampu menghidupkan orang yang mati dari dalam kubur. 
  6. Mampu menyembuhkan orang buta dan yang berpenyakit belang. (QS. al-Maidah: 110-111) 
  7. Mampu menurunkan makanan dari langit. (QS. al-Maidah: 112-115)
  8. Mampu mengetahui apa yang seorang makan dan yang mereka simpan di rumah. (QS. Ali ‘Imran: 49) 
Setiap nabi mempunyai mukjizat yang berlainan satu sama lain. Mereka dianugrahi mukjizat sesuai dengan keadaan zaman ketika mereka diutus. Nabi Isa diutus di tengah-tengah kaum materialis yang mengingkari ruh dan hari kebangkitan. Sehingga Allah memberikan mukjizat-mukjizat yang menunjukan kesalahan pemahaman mereka. 

Penghormatan saya kepada Nabi Isa sama seperti penghormatan saya kepada nabi-nabi yang lain. Saya percaya bahwa Rukun Islam yang lima yaitu Syahadat, Sholat Lima Waktu, Puasa di Bulan Ramadhan, Membayar Zakat, dan Pergi Haji adalah ibadah-ibadah yang dilakukan nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad —tentu dengan beberapa perbedaan. Dan dengan menjalankan ibadah-ibadah tersebut berarti saya juga menghormati dan menjalankan ajaran Nabi-nabi yang lain. Bahkan Nabi Muhammad merayakan hari keselamatan Musa AS dari gangguan Fir'aun dengan berpuasa 'Asyura, seraya bersabda, "Kita lebih wajar merayakannya daripada orang Yahudi pengikut Musa AS." 

Dalam Al Quran, Allah mengabadikan ucapan selamat natal/harlah/ulang tahun Nabi Isa sebagaimana ayat yang saya kutip pertama kali di atas, "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup kembali." 

Apakah umat Islam juga seharusnya merayakan Natal Isa Al Masih atau Yesus Kristus? 

Ada dua pendapat dalam hal ini; melarang dan membolehkan. Yang melarang mengatakan bahwa walaupun berkaitan dengan Isa Al Masih, namun Natal dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al Masih berbeda dengan pandangan Islam. Jadi, mengucapkan "Selamat Natal" atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Golongan ini juga berpendapat bahwa tanggal 25 Desember bukan tanggal Isa/Yesus dilahirkan. 

Sekedar informasi tambahan, penolakan perayaan Natal pada tanggal 25 Desember ini juga terjadi di beberapa gereja. Mereka beranggapan bahwa Natal bersumber dari tradisi kafir. Encyclopedia Britannica 2000 dengan topik ‘Christmas’ mengatakan tanggal itu bertepatan dengan hari raya kafir Romawi yang menandai ‘hari lahir dari matahari yang tak terkalahkan’. Tapi orang Kristen yang merayakannya berpendapat bahwa perayaan Natal yang bertepatan dengan perayaan kafir itu bukan berarti bahwa umat Kristen waktu itu menyembah dewa-dewa kafir. Sebaliknya justru mereka ingin menjauhkan diri dari kekafiran. Lagipula belum ada peneliti yang mampu memberikan tanggal pasti kelahiran Yesus, maka tradisi perayaan Natal 25 Desember itu pun terus dilaksanakan. 

Sementara orang Islam yang berpendapat boleh mengucapkan “Selamat Natal”, memberikan sarat: jika mengucapkannya sesuai dengan kandungan "Selamat Natal" Qurani, dan mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana hal itu diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya ataupun Muslim yang lain. 

Hanya Allah yang tahu kapan Nabi Isa/Yesus dilahirkan. Namun hari ini saya ingin mengucapkan, “Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada hari Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.” 

Wallahu ‘alam bissowab

Minggu, 04 Desember 2011

Oh My Boy Band!

Ini berita bagus: gue udah mulai suka nonton Boy Band Indonesia.

Ehm, awalnya gue menganggap Boy Band Indonesia itu hanya ngejual tampang, jogetnya nggak kompak, pakeannya kayak bencong dan lain sebagainya.

Tapi suatu hari, waktu lagi ganti-ganti channel, gue liat ada kumpulan ABG nyanyi lipsing sambil joget kejang. Istri gue bilang, “Udah ini aja, bang!”
“Apaan? Orang-orang homo begini ditonton.” Kata gue sambil mau pindahin channel.
“Jangan! Lumayan buat bahan celaan.”

Yeah, mulai dari situ gue tau cara menikmati Boy Band.

Jumat, 02 Desember 2011

This is What the Girl Want to Hear from You

One day, in the afternoon, a wife starts a conversation with her husband.

Wife: do you still find me attractive?

(This is really damn question! If you say ‘NO’ it will hurt her. If you say ‘YES’ she will think, “Okay. I am still attractive. So it is still too long to be the unattractive one. BUT one day he will think that I’m not attractive! OH!”)

Husband: why do you ask?

(This is a question to make you know the motif)

Wife: just answer.

Husband: that’s not such a question I should answer.

(Don’t give up. Try harder to find the motif)

Wife: I think I’m not I used to be. I didn’t treat my self well.

(This is it the motif and also the stupidity! If you know you didn’t treat your self well so treat it well. Don’t ask someone to make you feel guiltless. Even she can answer her self)

Husband: just let it dark. You know, ignorance is blessing.

(This is how to avoid a major disaster)

Wife: and if I die in the next day, won’t you regret for the unspoken words I’d like to hear?

(This is what makes you feel guilty)

Husband: that’s not a question, even it’s a complexity!

Wife: I just asking am I still attractive or no? Is it so hard to answer?

Husband: what would you do with the answer?


Wife: Hmm… so it’s probably ‘NO’. Okay I get the answer then.

(SEE!)

Husband: that what I said a complexity. Not answering it makes you can justifiably the answer. Answering it makes you have argument to deny.

Wife: But this is not the question I’d like to deny. If you say yes then I’ll be smiling and more confident. If you say no that clarify a lot and I’ll try to improve my self. You make it complicated.

Husband: so which one do you prefer smiling without improving or improving without smiling?

Wife: The truth.

Husband: this is not a matter of truth or lie. Yes or no. true or wrong. This is not multiple choices. This is a marriage. Wider this is life.

Wife: I agree. However, sweet words and acts won’t hurt and even can sweeten the marriage life.


(This is what she needs from the beginning; SWEET WORDS!)

Moral of the conversation: What ever the question the girl only needs sweet words. So, be a liar guys!

What The Dark Tell to Me

Kamu tahu, Sayang. Kegelapan itu yang membuat bebintang menjadi cantik paripurna. Ia juga membuat lampu-lampu di bawah bukit berkedip-kedip. Dan di bawah sana, bebintang dan lelampu itu bertemu. Langit malam dan cahaya kerlap-kerlip itu seakan mengajarkan kita hukum semesta yang paling subtil bahwa kegelapan itu anugrah, ketidaktahuan itu hikmah. Dan hentikan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa dijawab lelaki bodoh ini.

Kamis, 01 Desember 2011

Search Box

I put the pointer in the search box and then type, "Nailal Fahmi"

The screen flashes briefly and then came the words, "Did you mean: Animal Farm"

Yeah! You’re rite, dumb!

Sabtu, 26 November 2011

The Fine Line between Smart and Stupid is The Age

Nada, my one-year-old daughter, scooped food in the bowl to the floor. Her mother shook her head and said, "Smart girl."

I imagine 20 years later she does the same thing in front of her mother. What would her mother say?

Why does everything that a child doing considered smart, while the same thing but adults doing considered dumb?

Jika Takut Cintamu Ditolak, Maka Pindah Agama Saja

Suatu hari, karena merasa peduli, saya pernah ngasih saran kepada kawan saya, seorang wanita yang sering putus cinta, “Ya sudah, pindah agama saja!”

Ide itu bukan datang dari saya pribadi, tapi dari A.s. Laksana, salah seorang penulis yang pemikiran-pemikirannya saya kagumi. Dalam sebuah cerpen berjudul Teknik Mendapatkan Cinta Sejati yang dimuat di Koran Tempo Minggu, dia menulis:

Dalam pengalaman Seto, peristiwa remeh itu adalah rasa cintanya pada gadis penjual tiket di gedung bioskop Cilandak. Sejak itu secara sungguh-sungguh ia melatih diri di depan cermin, beberapa kali sehari, untuk menyampaikan kalimat-kalimat. Namun, Seto merasa makin hari situasinya makin sulit. Setiap kali berada di depan loket (Seto memilih film-film yang tidak diminati penonton sehingga loket itu sepi antrian), ia merasa kalimat-kalimatnya selalu tidak tepat. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa gadis itu bukan ditakdirkan untuknya.

Lalu, demi mempertegas takdir itu, ia memutuskan berpindah agama sehingga kini agama mereka berbeda. Dan, ajaib, keputusan ini justru membuatnya lebih santai dan lebih fasih ketika suatu malam ia berdiri di depan loket pada jam pertunjukan terakhir.

“Hai,” katanya.

“Selamat malam,” jawab gadis itu dalam nada resmi dan profesional. Lalu ia menunjukkan denah tempat duduk dan Seto memilih sembarang tempat duduk. Ketika para penonton lain sudah memasuki gedung pertunjukan, Seto kembali ke loket.

“Sebenarnya ada yang mau saya sampaikan,” katanya.

“Silakan,” kata gadis itu.

“Boleh saya berterus terang?”

“Silakan.”

“Anda cantik sekali. Sayang agama kita berbeda. Jika kita seiman, saya pasti sudah melamar anda dari dulu-dulu.”

Urusan beres malam itu. Si gadis tersenyum, tidak menerima, tidak menolak. Hanya tersenyum, resmi dan profesional.

Pada kesempatan-kesempatan berikutnya, Seto melakukan hal serupa dengan gadis lain yang menurut ia sama cantiknya dengan gadis penjual tiket itu. Tiga kali Seto berpindah agama karena perempuan: untuk membuktikan bahwa cintanya ditolak karena mereka berbeda agama, dan bukan oleh sebab-sebab lain. Kurang tampan, misalnya.

Jika kau ingin menirukan caranya, lakukanlah. Teknik Seto akan membuatmu terhindar dari penderitaan akibat penolakan. Maksudku, jika seorang gadis menolakmu padahal agama kalian sama, itu bisa seperti kiamat bagimu. Kenapa seorang gadis menolakmu padahal kalian seagama? Ia akan bilang kau bukan tipenya. Atau, “Kita temenan saja, deh?” Atau, “Aku belum kepikiran untuk serius.” Atau, “Maaf, ya, aku masih ingin sendiri.” Apa pun jawabannya, yakinlah itu sinonim belaka dari fakta bahwa kau tidak menarik baginya.

Maka tirulah Seto agar kepalamu bisa tetap tegak dan gadis itu tak perlu berbelit-belit. Di luar itu, jika ia benar-benar mencintaimu, ia akan mengorbankan dirinya dengan berpindah agama mengikuti agamamu dan kalian akan menjadi pasangan yang berbahagia selama-lamanya, dengan agama baru.

Saya berikan cerpen tersebut dan dengan tenang mengatakan kepada kawan saya untuk pindah agama. Tapi bukannya berterimakasih dengan saran yang saya beri, kawan saya itu malah marah-marah. Saya katakana padanya bahwa cerita A.s. Laksana itu hanya kiasan, jangan menelannya bulat-bulat, itu karya sastra.

Saya katakan padanya, “Moral Message dari cerpen itu adalah jika kamu merasa seseorang bukan ditakdirkan untukmu maka cari saja orang lain yang kau takdirkan sendiri untukmu.”

Tapi tetap saja dia nggak terima. Ah, wanita itu memang berasal dari Venus. Saya nggak bisa menerka apa yang ada (atau tidak ada) di kepala mereka.

Maka saya berkesimpulan sendiri, jika ada seorang wanita mengeluh padamu tentang masalah-masalah hidupnya, maka dengarkan dan katakan saja dengan tulus, “Bertahanlah. Semoga Tuhan mengangkat seluruh bebanmu.”

Jangan berikan solusi, diam atau mengatakan kamu mengerti perasaannya, itu akan percuma.

Senin, 14 November 2011

Once Upon A Time in A Mall

She amazes with every new things around her…



… and enjoys watching and observing…



Playing is everything…



Playing… playing… and playing…



She may like something her father like, Reading… as proverb says, "Like father like daughter."



Eating for living, not living for eating…



Ordering a meal…

The Copycater

She observes the cat...



... and tries to imitate it.

This is The Selfishness of Time; It cannot be Repeated Even Just for A Second

Selasa, 08 November 2011

Ini tentang Dunia, Masalah dan Kefanaan Hidup

Malam itu gue pulang kerja dengan perasaan super capek. Ini bukan sejenis capek karena habis ngebajak sawah satu hektar. Ini capek yang kalo lo rebahan di tempat tidur jam sembilan malem, lo baru bisa mejamin mata jam tiga pagi. Pikiran mengawang-awang tanpa juntrungan.

Dengan keadaaan seperti itu, gue berharap di rumah istri gue telah nyediain makanan. Anak gue menyambut dengan senyuman yang paling manis, seperti biasanya. Gue akan makan malam dengan cepat dan istirahat dengan cepat. Dan segala macam kecapekan akan menguap.

Tapi sesampainya di rumah, pintu-pintu sudah terkunci rapat dan beberapa lampu sudah dimatikan. Gue segera membuka pintu dan mendapati makanan telah dingin di atas meja makan. Istri gue mungkin sudah terlelap di dalam kamar, sama lelahannya dengan gue bahkan lebih.

Gue punya dua pilihan:

1. Ngomel dan gondok dalem hati
2. Terima saja dan melanjutkan hari seperti biasa

Gue ambil pilihan kedua.

I thought, it can still be fine anyway. Even though it may not be as hoped. Kalo gue bertindak dan berpikiran buruk, keadaan akan semakin memburuk. Maka gue pergi ke dapur dan memanaskan makanan sendiri.

...

Ada orang yang pernah bilang kalo masalah hidup ini hanyalah sebatas apa yang kita pikirkan. Sesuatu akan menjadi baik jika pikiranmu baik, juga sebaliknya.

Awal mendengar kalimat itu, mati-matian gue nggak percaya. Gimana lo bisa baik-baik saja kalo keadaannya duit lo abis digasak maling dan rumah lo kebakaran? Atau lo dihianatin orang yang paling dipercaya? Atau lo nggak juga dapet-dapet jodoh? Gimana kalo keadaannya kita tinggal di sebuah Negara terkorup dengan lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan kemaksiatan?

Bisakah masih berpikir segala sesuatunya baik-baik saja?

...


Ya.

Finally, gue mengakui... kalo hidup itu akan berjalan baik-baik saja, tinggal kita yang menjalani hidup bisa mengakuinya atau nggak...

Gue pernah nonton film The Road, sebuah film kelam hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Cormac McCarthy. Dalam film itu dunia digambarkan berada pada masa kegelapan, tanpa harapan. Dunia redup tanpa sinar matahari. Tanpa bahan makanan. Orang-orang makan dengan cara yang paling kuno, membunuh orang lain. Sementara banyak orang yang putus asa, memutuskan untuk bunuh diri. Yang masih bertahan menjadi orang baik, kelaparan dan mati. Yang sudah tidak tahan, menjadi kanibal.



Hidup ini fana, kawan. Dan, adakah kefanaan dan kesia-siaan hidup perlu diabadikan? Nggak perlu kayaknya. Walaupun mungkin kefanaan itu juga jadi penyelamat. Karena pada kenyataanya, dunia atau kehidupan memang bukan tempat yang strategis untuk ditinggali, tapi merupakan tempat yang tepat untuk mencari ceceran kesempatan —karena kefanaan dan kesia-siaan ternyata masih menyisakan beberapa kesempatan.

Pada bagian yang paling buruk sekalipun pasti ada kebaikan. Karena menjalani hidup dengan baik adalah dengan terus bertahan menjadi baik.

Dan malam ini gue membaca sebuah status dari Gus Yahya Cholil Staquf, ‎"Bagi mereka yang sempurna keyakinannya akan kasih-sayang Allah, barangkali kekuatiran dan kesedihan itu konyol."

Sabtu, 05 November 2011

Sebuah Percakapan di Telpon

Nelpon istri ngomongin tentang Nada yang sekarang udah hampir 14 bulan, “Nada lagi apa?” kata gue di telpon.

“Tuh lagi maen boneka. Tapi lagi nggak mau makan nasi tuh, Bang!”

“Loh? Kenapa?”

“Tauk tuh. Kayaknya sih lagi mau tumbuh taring.”

OKAY. Nggak mao makan nasi dan tumbuh taring. It can simplified with, “She was bitten by Edward Cullen.”

Kamis, 03 November 2011

I am a Good Boy

There is a question that has been in my mind since I was kid; how long will we live in the heaven after we death?

After graduating Elementary School, I continued my study to Islamic Boarding School. I asked that question to my teacher who understood about that, and I got varied answers. One of them answered that the life in hereafter was eternal. Endless.

“Won’t we get bored in the heaven, sir?” I who was really sure entering the heaven asked.

“It won’t!” the teacher explained, “Everything is different between the earth and the hereafter.”

According to his explanation, there will be nobody who pees and poops. There will be very beautiful angels and rivers as white as milk and as sweet as honey. There will not be any fights and riots, everyone loves each other. Everything will be perfect there!

On the other hand, in the hell, the sinful people will be tortured with the very hot fire. Some say, if someone steps on the fire stone there, even the smallest one, it will be enough to boil his brain!

Yes, how scary the hell is! And how tempting the heaven is!

But honestly, I was confused when the teacher gave that explanation. And it was too hard to understand for me as a child. I thought; will the wives be jealous when their husbands surrounded by the pretty angels? Where will the waste in my stomach go if we never poop and pee?

Besides, I still want to be a good person. It is like Ahmad Dani feat Crisye Song, if the heaven and the hell don’t exist, will you still pray to God?

I have a story about that.

In one early Sunday morning, I rode Fikri, my brother, to Depok by Honda-Astrea70-released-in-80 motorbike for a job interview. If I am not mistaken, it was a few days after Ied Mubarok day.

When the there was a tree junction, I slowed my bike. We slipped through the crowd very smoothly. But suddenly, from the left back side, there was some one riding a motorcycle very fast and hit the motorcycle in front of him. Screeeeeech!!!! CRASH!!! Two motorcycles hit the ground. It was horror. Everything seemed like in a slow motion. The world seemed like slowing down and then paused in a moment…

Fortunately, both the motorcycle riders were saved; include one more person who sat behind one of the rider. They weren’t dead. But unfortunately, one of the motorcycles that hit the ground was mine! At first I didn’t know what was really going on. All I know that suddenly there was a strong push from my left back side that caused my bike went trembling and finally hit the ground.

After a while we came back to reality. The people around the crime scene helped us to walked aside. As the innocent one, I tried to be calm.

“How are you? You’re alright, aren’t you?” the man who hit me asked. In my mind I wanted to be angry and shouted at him, but that didn’t happen. I saw that his motorcycle was damaged. It was worse than mine. And I could see he is older than I am. And maybe he was having a complicated mind or problem when he was riding motorcycle.

“I am OK! What about you?” I answered his question. And he explained the chronological event. I forgot the conversation. And with my maturity and a predicate as a good boy, I shake his hand. Before that, we exchanged our identity cards each other. And without my knowing he went somewhere. So my brother and I sat on the side of the road and didn’t know what to do.

And suddenly…. There was a middle-aged man greeted us.

“Wa’alaikum salam!” Fikri and I answered together. Before he came to us we saw him asking some mineral water in the shop near us but he didn’t get the water.

“Is Depok near or still far from here, boys?” the middle-aged man asked.

“Yes, sir! It’s still far from here! We also want to go there but we are having misfortune” I answered.

“We have some water, you may take it.” Fikri said.

“Where are you from?” I asked curiously.

“My wife is in a hospital to give a birth” he gave unasked information, “but I didn’t have enough money to pay the hospital. So, I decided to borrow some money from my relatives in Cikarang. When I arrived in their house, they weren’t there. They went hometown. And because I didn’t have any money, so I have to go to Depok from Cikarang on foot…. “

...

Walk from Cikarang?! It's around 50 kilometers far from here!

Yup, at that time my conscience said: ‘Come on Nailal! Help him!” we felt pity and decided to give some money to him. It wasn’t much, but it was enough for public transportation cost to Depok. He finally left after thanking us. And my text messages to some friends were answered relatively disappointing.

It was only a story about my experience. And as long as there is someone needs help, I will always try to do my best.

Maybe there is a question in your mind; why do I never feel enough to help people? I have simple answer; it is because I believe that I will be helped, that some one will help me some day when I need one. Allah still want to help His servant as long as the servant still want to help his/her brother, Rasulullah has ever said that.

Yes, it was true, bro! After helping the middle-aged man, Fikri and I tried to do as he did. Walking home. Not to mention carrying the damaged Honda-Astrea70-released-in-80 motorbike. But there was another thing happened. We finally didn’t go home on foot, because not so far from the crime scene, we got helped by a thin-long-haired-parking-man. He asked what was going on and then he checked my motorcycle right away without even asked permission. But he did ask for a screwdriver and pliers that was put under the motorcycle seat to fix the motorcycle handlebar.

Then.

Hocus Pocus… Abracadabra… the handlebar was fixed! My motorcycle could run again eventhough it wasn’t as fast as before. We got home with some bruises, but most importantly, we were safe and sound.

Rabu, 02 November 2011

Ibadah Sosial Lebih Utama daripada Ibadah Individual




Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Aktual menjelaskan empat hal yang mengindikasikan bahwa ibadah sosial itu lebih utama daripada ibadah individual.

Pertama, Nabi mencontohkan dalam sabdanya, “Aku sedang salat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi, aku pendekkan salatku, karena aku menyadari kecemasan ibunya dengan tangisan anaknya” (HR. Bukhari & Muslim). Dalam hadits lain juga Rasulullah mengingatkan para imam agar memperpendek salatnya bila di tengah jamaah ada orang yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan.

Dengan hadits ini bisa kita simpulkan, bila ibadah individual bersamaan waktunya dengan urusan ibadah sosial yang penting, maka ibadah individual boleh diperpendek atau ditangguhkan, walaupun bukan untuk ditinggalkan.

Kedua, ibadah yang mengandung aspek sosial kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat individual perseorangan. Karena itu, salat jamaah lebih tinggi nilainya daripada salat munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajat menurut riwayat yang sahih dalam hadits Bukhari, Muslim, dan ahli hadits yang lain.

Ketiga, bila ibadah individual dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah sosial. Bila shaum (puasa) tidak mampu dilakukan, maka menunaikan fidyah, yaitu makanan bagi orang miskin harus dibayarkan. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan atau istri dalam keadaan haid, tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin.

Namun sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan ibadah sosial, maka aspek ibadah individualnya tidak bisa menutupinya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajud.

Orang-orang yang melakukan kezaliman tidak hilang dosanya dengan hanya membaca zikir atau wirid seribu kali. Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa ibadah individual tidak akan bermakna bila pelakunya melanggar norma-norma kesalehan sosial. “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan”, Dan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”, demikian peringatan beliau. Sedangkan dalam Al-Quran, orang-orang yang salat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal perbuatan, dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah (Surat Al-Ma’un).

Keempat, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal kebajikan dalam bidang sosial kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, kita menemukan hadits yang senada yaitu, “Orang-orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus puasa” (HR. Bukhari & Muslim). Pada hadits yang lain, beliau juga bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Maukah engkau aku beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan sedekah? (para sahabat menjawab, tentu). Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar” (HR. Abu Dawud & Ibn Hibban). Dan beliau juga bersabda, “Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada salat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada puasa tiga bulan” (HR. Ad-Dailami).

Hadits-hadits tersebut menunjukkan dengan transparan bahwa amal-amal kebajikan yang bersifat sosial kemasyarakatan, seperti menyantuni kaum fakir miskin, mendamaikan pihak yang bertengkar, meringankan penderitaan orang lain, dan berusaha menuntut ilmu pengetahuan, mendapatkan ganjaran pahala yang lebih besar ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Jadi dalam ajaran Islam, ibadah sosial memiliki nilai kemuliaan yang jauh lebih tinggi, besar, dan mulia ketimbang ibadah individual.

Wallahu ‘alam bissowab

Minggu, 30 Oktober 2011

Makian Saya untuk Indosat-M3

Beberapa Minggu terakhir ini banyak orang ribut tentang pulsa yang dicuri. Awalnya, saya pikir pencurian pulsa macam itu hanya terjadi pada mereka yang punya pulsa ratusan ribu. Jadi awalnya saya menganggap hal semacam itu nggak akan terjadi ke saya, karena saya paling banyak punya pulsa sekitar 10 atau 20 ribu. Sehingga, saya merasa sangat kesal ketika dengan pulsa yang sedikit itupun, operator itu tiba-tiba mengambilnya. Ini sangat menjengkelkan!

Ini bukan kekesalan karena SMS ‘mama minta pulsa’ yang jika dijawab akan menyedot pulsa yang bersangkutan. Bukan, bukan itu! Karena sejak pertama kali SMS itu muncul, saya nggak pernah merasa tertarik untuk membalas SMS model gituan. Butuh hal yang lebih provokatif lagi untuk bisa membuat saya menjawab SMS dari nomer yang nggak saya kenal. Ini tentang kekesalan karena saya nggak pernah tertipu SMS, juga nggak pernah ikutan program-program yang diberikan oleh operator, nggak juga punya pulsa yang jutaan, tapi kenapa beberapa minggu terakhir ini pulsa saya terpotong dengan sendirinya?

Saya pelanggan M3-Indosat, dan sekarang ini —seperti sebagian pelanggan yang lain, sedang sangat kecewa. Saya nggak mempermasalahkan jumlah pulsa yang mereka ambil, karena jujur saja seperti yang saya katakan di atas, saya bukan termasuk orang yang banyak menggunakan pulsa telepon dalam keseharian. Yang saya masalahkan di sini adalah cara mereka mengambil pulsa saya, uang saya, itu adalah termasuk tindak pidana pencurian yang jika di dunia nyata sudah pasti babak belur dihajar masa.

Saya menulis kekesalan saya di sini supaya lebih efektif dan nggak hanya sekedar caci maki sampah, berharap mudah-mudahan ada pihak Indosat yang membaca. Untuk memulai makian ini, terlebih dahulu saya akan berika beberapa fakta.

• Fakta pertama, pelanggan operator telekomunikasi di Indonesia secara umum mencapai hampir 200 juta. Maka jika rata-rata pelanggan memberikan 10 ribu rupiah seminggu, maka totalnya mencapai hampir 2 triliyun. Artinya, operator mendapatkan rata-rata 8 triliyun perbulannya.

• Fakta kedua, 90 persen lebih pelanggan adalah pelanggan pra bayar. Artinya, pelanggan membayar terlebih dahulu baru kemudian menerima fasilitas. Dengan kata lain juga, pelanggan menitipkan uang mereka yang telah berubah menjadi bentuk pulsa ke para operator.

• Fakta ketiga, Indonesia yang memiliki 240 juta penduduk mempunyai minimal 12 perusahaan telekomunikasi. Padahal, China yang penduduknya 1,3 miliar hanya memiliki tiga operator, sedangkan India dengan 1,1 miliar penduduk mempunyai tujuh operator seluler. Artinya, negara kita punya terlalu banyak operator telekomunikasi yang mengakibatkan persaingan nggak sehat. Bisa dilihat dari iklan yang saling memojokan satu sama lain. Nggak elegan sama sekali!

Masih banyak lagi fakta yang silahkan bisa ditemukan dari mesin pencari. Jujur saja, pencurian pulsa ini sungguh lebih rumit dari pencurian-pencurian model lain yang biasanya dilakukan oleh para kriminal kelas teri. Tukang ngamen contohnya, mungkin sebagian kita menganggap beberapa orang pengamen menjengkelkan dan termasuk para kriminal kelas teri ini. Kita menganggap begitu mungkin karena mereka sering mencaci jika tidak diberi uang. Tapi, semiskin atau sesusah apa pun hidup mereka, mereka nggak cukup gila untuk tiba-tiba merogoh dompet kita kemudian mengambil recehan sambil bilang, “Gue udah nyanyi dan elo semua udah nikmatin lagu gue, jadi gue ambil bayarannya!”

Seandainya ada yang nekad melakukan itu, seperti kebanyakan kriminal kelas teri lainnya, mereka akan mengalami pembengkakan di wajah secara sporadis karena bogem mentah masa. Tapi dengan pencuri pulsa yang bahkan tanpa melantunkan lagu sedikitpun ini, kita nggak bisa walau hanya menjotos hidung mereka sampai patah.

Tentang masalah ini sebenarnya Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring telah melakukan tindakan yang cepat. Yaitu dengan memanggil operator terkait kemudian diberikan peringatan. Bahkan dia mengatakan konsumen bisa mendapatkan kembali pulsa yang 'disedot' oleh operator nakal. Hal itu diatur dalam Peraturan Menkominfo No 1 tahun 2009 tentang Pelayanan Jasa Pesan Premium.

Yang kemudian menjadi masalah saya adalah saya tidak pernah mengikuti layanan Jasa Pesan Premium tapi pulsa saya habis begitu saja tanpa tahu rimbanya. Pertanyaan yang terus menggelantung di kepala saya adalah bisakah pulsa itu dikembalikan? Kalaupun bisa, bagaimana caranya?

Jika pulsamu tersedot, kemudian kamu mendatangi gerai operator telekomunikasi terdekat dan mengatakan, “Mbak, saya mau pulsa saya balik.”

“Berapa yang hilang memang?”

“Lima ribu.”

“Oke. Tunggu sebentar ya.”

Setelah menunggu beberapa lama si mbaknya ngomong, “Mana buktinya?”

Dan percakapan selanjutnya adalah caci maki kembali.

Dan ini makian saya kepada Indosat dan para operator maling lainnya, “Aturan mainnya gampang, Idiot! Kau kecewakan pelangganmu, maka mereka akan meneriakimu.”

Jumat, 28 Oktober 2011

Semuanya Basah di Matanya

Dari sebuah jendela, pada sebuah rumah yang belum jadi, ada sepasang mata menatap keluar. Mata yang dulu bisa menaklukan setiap tatap lelaki yang berani menyelaminya. Tapi sekarang mata itu redup, menyimpan jutaan kenangan redup, pada sisa waktu yang juga makin meredup.

Diluar rumah, cucu-cucu kesayangannya sedang bermain, menggelar sebuah sandiwara realis tentang pedagang dan pembeli, beberapa cucunya yang lain berkejaran saling memukul. Teriakan dan tawa mereka adalah nyanyian kehidupan, begitu ceria dan jernih. Angin sore berlarian disela-sela batang sengon yang berjajar di depan rumah kemudian mengoyang-goyang dedaunannya. Jajaran sengon yang setia itu seperti mencoba meraih dan menggapai-gapai sinar senja keemasan dari arah barat; rumah itu menghadap timur. Senja kala itu, seperti senja-senja yang kemarin, masih menyisakan beberapa sesal.

Sore itu ia kembali menangis, teringat peristiwa-peristiwa lampau yang pernah ia alami. Ia teringat suami keduanya yang hilang dibawa penjajah Belanda, ketika ia masih mengandung anak ketiga. Tentang suami terakhirnya yang kini telah berpulang mendahului. Tentang anak-anaknya yang jauh merantau dan hampir melupakannya. Juga tentang beberapa kenangan suram yang masih tersimpan dalam memorinya yang sederhana. Disaat sendiri seperti itu, merenung adalah satu-satunya hal yang sangat mungkin dilakukan; memandangi dunia dimana ia tak lagi menjadi bagian darinya.

Ia masih menatap keluar, lelehan air mata sengaja tidak dihapus karena akan percuma, ia masih ingin menangis —menangisi. Hal itu membuatnya puas, tenang. Ia masih mampu mengerjakan segala hal. Segala indra yang ada padanya masih berfungsi. Ia masih mendengar, melihat, mengecap, membaui dengan normal seperti orang-orang sehat lainnya, juga yang terpenting ia masih bisa berpikir dengan baik dan benar juga baku, seperti Bahasa Indonesia –hal yang mencirikannya sebagai makhluk Tuhan yang bernama manusia. Satu hal yang tidak bisa ia kerjakan; berjalan keluar rumah. Ia lumpuh.

Ada yang ia tunggu sore itu.

“Kapan anak itu datang?” ia bertanya pada anak perempuannya yang mengurusinya di rumah itu, yang tiba-tiba masuk kamar untuk mengambil piring-piring kotor sisa makan siangnya.

“Entah, mungkin sore ini.” Jawab anak perempuan itu singkat, sambil segera keluar kamar.

Dalam kamar itu ia duduk pada sebuah dipan, bersandar pada bantal-bantal yang susah payah ia susun dengan satu tangan. Tujuh tahun lalu strook membuat sebagian tubuhnya tidak berfungsi. Sekarang ia hanya bisa melakukan segalanya dari atas ranjang yang semakin riuh oleh waktu.

Sore itu, seperti yang dikatakan anak perempuannya, cucunya dari Jakarta akan datang. Dan akhirnya, anak yang ditunggu-tunggu itu datang.

“Apa kabar, mBah?!” anak itu menyapa sambil mencium telapak tangan kiri neneknya yang masih bisa digerakkan.

“Baik!” jawab nenek itu singkat dan spontan. Seketika mata mereka beradu, ada kerinduan yang tak terucap dari mata keduanya. Ia kembali menangis. Entah karena apa.

Anak itu meletakan barang-barang bawaannya ke dalam lemari kosong yang ada di kamar itu. Pakaian untuk satu minggu juga beberapa buku yang sengaja ia siapkan untuk menemani perjalanannya, ia tata sekenanya. Dipan yang besebrangan dengan dipan neneknya yang disiapkan untuknya, juga ia tata sekenanya. Setelah selesai dengan ritual rapi-merapikan itu, ia duduk pada dipannya, kemudian kembali menatap neneknya. Sekali lagi, mereka bersitatap.

“Kabar bapakmu, gimana? Ibumu? Adik-adikmu?” dengan suara patah-patah, si nenek mencoba membuka percakapan lagi, “kenapa tidak ikut kemari?”

Anak itu diam. Masih menatap mata si nenek, sambil menata nafas ia mencoba menjawab, berpikir untuk menjawab lebih tepatnya, karena ia tahu jawaban hanya akan menambah kesedihan neneknya. Bukan kali itu saja pertanyaan itu ditanyakan, dan bukan kali itu saja anak itu mencoba untuk diam atau mengalihkan pembicaraan. Si nenekpun sepertinya tahu, ia tidak memaksa.

Beberapa tahun yang lalu, jauh sebelum krisis ekonomi menerpa negerinya, anak itu dan keluarganya sering berkunjung ke tempat si nenek. Paling tidak setiap libur lebaran atau libur sekolah. Namun, seiring berjalannya waktu, seiring perputaran nasib yang tidak menentu, mereka tidak bisa terlalu sering berkunjung. Keadaan yang memaksa ayahnya untuk kehilangan pekerjaan. Keadaan pula yang memaksa dirinya untuk menggantikan ayahnya menjadi tulang punggung keluarga. Karena ia adalah anak tertua maka dialah yang bertanggungjawab untuk mengurusi adik-adiknya yang lain.

Senja kini berganti malam, mengubur siang-siang yang lelah. Percakapan-percakapan malam hari berganti pada percakapan hal-hal praktis, tentang perjalanan, keadaan, makanan juga tujuan kedatangan si anak.

“Aku cuma seminggu disini, mBah!” si anak menjelaskan, “hanya ingin menengok keadaan simbah.” Si nenek hanya menatap si anak dan tidak berkomentar, ia tahu sebentar lagi akan keluar penjelasan lain dari mulut cucunya itu.

“Sekarang memang aku belum dapat pekerjaan. Tapi aku sudah beberapa kali memasukan lamaran di beberapa perusahaan. Jadi tinggal menunggu panggilan. Kalaupun tidak ada panggilan sampai bulan depan, temanku juga ada yang menawariku pekerjaan, jadi simbah tidak usah khawatir.” Anak itu seakan-akan tahu kegelisahan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum dilontarkan neneknya. Walaupun ia sendiri tidak yakin dengan penjelasannya sendiri. Kegagalan terkadang membuat seseorang menjadi pesimistis.

Si nenek tidak banyak komentar malam itu. Dari suaranya ia tahu cucunya lelah dan ingin istirahat. Anak lelaki dari anak lelakinya yang sangat ia sayangi, karena cuma dia yang tidak ragu-ragu memeluknya jika ia butuh untuk dipeluk. Tidak peduli dengan bau yang tidak karuan yang keluar dari tubuh kakunya.

Burung dandang berbunyi getir dan jauh mengingatkan pada kematian yang terkadang juga getir dan jauh. Tangan-tangan dingin angin malam menggesekkan daun-daun, menimbulkan bunyi gemerisik. Sesaat sepi berkelebat.

Malam itu seperti malam-malam sebelumnya, kembali terulang rutinitas memejamkan mata. Biasanya, kegiatan itu diiringi dengan menghitungi dan mengingati jumlah anaknya yang delapan, cucunya yang tiga puluh dan cicitnya yang lima. Dalam bayangan si nenek, suatu pagi nanti, ketika ia bangun dari tidurnya yang sebentar, ia ingin berada pada sebuah taman; taman hijau yang luas dimana ia bisa melihat mega senja jingga dengan puas. Di taman itu ia ingin menari. Ia ingin berlarian-bahagia seperti anak kecil. Semilir angin mengibarkan rambutnya yang terurai. Dalam balutan gaun putih yang terjuntai, ia menarikan tarian jiwa yang paling rumit. Menarikan angin, api, bumi dan air. Bunga-bunga beraneka warna meruapkan beraneka aroma pada setiap inchi udara, menejukan rongga paru-parunya. Ia melompat, bersijingkat, meliuk, menari mengikuti kata hati. Berputar dan terus berputar seperti Darwis yang mabuk tuhan dalam lantunan dzikir. Cericit burung dan reriak sungai semakin menyempurnakan irama yang mengiringi tariannya. Tarian hanya dia yang tahu.

Itu yang ada dalam bayangannya.

Kenyataannya, setiap membuka mata dalam tidur yang sebentar, ia selalu menemukan dirinya masih berada di tempat yang sama. Pada dipan yang sangat ia kenal dan mengenalnya, menciumi bau tubuhnya sendiri juga kotoran-kotoran yang keluar dari dalamnya. Berpendar remang lampu yang sering membuatnya sulit memejamkan mata. Mendengarkan cicak, cericit tikus dan terkadang bunyi burung dandang yang getir dan jauh. Ditemani hal-hal itu, juga nyamuk-nyamuk nakal dan udara dingin malam yang menusuk-nusuk, ia terus bertahan. Bertahan untuk menahan tangis-tangisnya sendiri, sampai batas akhir hidupnya yang entah.


>>> In memoriam Simbah Aliyah binti Nawawi Allahu yarhamha wa 'afiha wa'fu'anha

Kamis, 27 Oktober 2011

It is easier to believe in God than denying Him



I just watched this movie yesterday. One quote left in my mind, "Be careful, Michael. Choosing not to believe in devil won’t protect you from it!”

Michael Kovak (Colin O'Donoghue) passes four years in a seminary school and abdicates his vows upon completion. However, after ordination, he writes a letter of resignation to his superior, Father Matthew, due to a lack of faith. But Father Matthew (Toby Jones) believes that Michael is called to be a priest. He later approaches Michael with an invitation to travel to Rome in order to attend a class on exorcism. Michael reluctantly accepts after being told by Father Matthew that he will be levied a $100,000 student loan if he leaves immediately, but that if he still desires to resign from his position after taking the class, then they will discuss it then (hinting that he may be free to leave).

During classes, he finds his self is skeptic and very tentative in his faith. Father Xavier (Ciarán Hinds) later asks Michael to see a friend of his, Father Lucas (Anthony Hopkins), who is a renowned Welsh Jesuit exorcist. However, Michael remains skeptical, even after witnessing several preternatural events.

The conflict had climax when Father Lucas begins behaving strangely, exhibiting signs of demonic possession. Finally, due to the condition of no one can perform the exorcism except him; Michael decides to perform the exorcism on his own. After constant rebuking by the demon and a long, drawn out fight, Michael regains his once lost faith and is able to force the demon. In the fight, the demon asks Michael to believe in him. Michael says, “Yes, I believe in you. So, I believe in God, too.” He completes the exorcism, and the powerful demon leaves Father Lucas.

Minggu, 16 Oktober 2011

SMS: Short Message Sialan

Menurut gue, bonus yang diberikan setiap operator telepon terlalu absurd. Dalam sehari ada operator telepon yang memberikan bonus seribu SMS. Gue ulangin, seribu SMS! Seribu SMS sehari? Siapa orang kurang kerjaan yang mau mengirim seribu SMS dalam sehari? Kecuali jaringan SMS ‘mama minta pulsa’ tentunya!

Ya, memang hape adalah sebuah pendewaan baru yang kadang-kadang kita gak sadari. Dan gue punya cerita konyol tentang itu.

***

“Bang, Gue punya pulsa SMS banyak!” suatu hari adik perempuan gue berkata tiba-tiba, “Iya kemaren gue nemu simkard di jalan. Kalo mau pake, pake aja!”

“Berapa pulsanya, Dek?” gue nanya kalem.

“Kemaren sih waktu gue nemu masih seratus, sekarang tinggal 80-an gitu deh. Abisin aja, masa berlakunya cuma sampe hari ini doang, Bang! Gue aje dari kemaren ngerjain temen-temen.”

“Oh gitu.”

Ketiban duren. Menurut gue, berita ini jauh lebih baik daripada SMS: ‘Anda mendapat pesan dari +085378910112 silahkan hubungi 007 untuk mendengarkan pesan.’

‘Selamat, kamu mendapat BONUS 10 SMS ke IM3, Mentari atau Matrix. Bonus berlaku di hari yang sama.’

‘Aktifkan nada I-ring anda atau anak anda akan kami bunuh!’

Di kepala gue waktu itu cuma ada satu tujuan; menggunakan pulsa itu seefisien mungkin buat ngerjain temen-temen.

Akhirnya, gue mulai petualangan itu. Dimulai dari Okta.

gue : Pagi! Oya, nama lo Okta kan?
Okta : Eh iya, emang napa? Lo dapet no gue dari sapa?

Dan, bla bla bla... gue sukses ngibulin Okta. Sampe mungkin ahirnya dia sadar lagi SMSan sama orang sarap, dan menutupnya.

Okta : Lo mah kagak nyambung kalo diajak ngobrol. Gue jadi capek ngomong ama lo.

Gue puas.

Setelah merasa cukup ngerjain orang untuk pagi itu, gue menukar simkard kembali dengan simkard gue, takut-takut ada SMS yang masuk. Dan sampai di sini kebohongan masih berjalan baik-baik saja.

Sampe akhirnya gue berangkat kerja, dan kartu mujarab itu masih gue simpan. Isinya masih sekitar 60 SMS. Sampe ditempat kerja gue mulai menemukan inspirasi buat ngisengin dan ngerjain orang lagi. Sampe di sini, gue merasa wajar-wajar aja.

Tapi kejadiannya berubah ketika gue memasukan simkardnya lagi. Ketika gue masukan simkard —yang ternyata pembawa masalah itu— ke hape lagi, ternyata ada dua SMS yang masuk dari nomer yang gak gue kenal.

No Gak Kenal 1 (NGK 1) : Nol nanti anterin gw nuker bra ya? Plis tuh bra ngak bisa gue pake masalahnya...
No Gak Kenal 2 (NGK 2) : Enol ni gw ema jadi gak kepasar nuker bh?

Mampus!

Ada dua orang yang gak gue kenal nanyain beha. Gue panik nyari sesuatu yang bisa dimakan, tapi hanya menemukan tumpukan kertas di atas meja kerja. Dan gue udah lama meninggalkan kebiasaan makan kertas.

Gue mulai menganalisa dan memutuskan apa yang akan gue lakukan selanjutnya.
1. Jujur bilang kalo simkard ini ditemuin adek gue kemaren di tengah jalan.
2. Gak gue jawab dan didiemin aja. Pura-pura pinter.
3. Pura-pura jadi Enol dan bales SMS itu dengan bilang “Oh sorry, BH lo mah urusan lo. Jangan bawa-bawa nama eike dwonk! Emang eike cewe apaan?”

Tapi… selanjutnya gue punya kecurigaan lain. Jangan-jangan ini SMS dari ibu-ibu yang biasa ngerumpiin beha. Ilfil gue balesnya. Ato malah bencong GOR yang lagi nyambi jadi tukang becak. Ato germo yang lagi ngumpulin berbagai macam, warna dan ukuran beha buat menambah kesaktiannya?

Gue bingung!

Di tengah kebingungan itu, gue sempet mikir sebaliknya, bagaimana kalo yang hilang adalah kartu gue. Kemudian ditemukan oleh mahkluk berkelamin ganda dan digunakan buat transaksi jualan beha?

Oke, walhasil, karena gue gak bisa bedain antara SMS dari cewek beneran atau cewe jadi-jadian, akhirnya gue beranikan diri buat jawab kepada dua nomer tersebut.

Gue : Gw gak tau enol. Ni no gw nemu di tengah jalan masih ada pulsanya trus gw pake. Sory bgt.

NGK 1 gak jawab. Tapi NGK 2 jawab.

NGK 2 : Cuape De....

Aduh! Cuape de…? Kecurigaan gue terbukti. Sangat khas bencong cara menjawab SMS-nya!
Tapi gue tetap positip tingking, kemudian bales.

Gue : Eh ni perlu gw balikin gak?
NGK 2 : Kayanya begitu, mendingan lu balikin aja deh. Lu pasti gak nyaman dunk di smsin ama orng yang gak lu kenal. Yakan? Btw posisi lu dimana, yang punya no ini tingalnya di daerah kranji.

Iya juga ya? Kalo nomer ini gak dibalikin, tiap hari bakal ada SMS yang nanyain beha mulu lagi?

Gue : Kranji? Dimananya? Rumah gw juga daerah situ.
NGK 2 : Lo tau wartel PUTRI AYU di belakang indomaret Inkopol? lu balikin ke situ aja. Ketemu ama gue. Tar gue balikin ke anaknya. Btw nama gw ema nama lo sapa?

Tapi tiba-tiba gue nyesel! SMS-nya masih banyak men! Dan gue masih mau ngerjain temen-temen. Sayang kan, masa berlakunya cuma sampe hari ini aja. Tanpa menjawab pertanyaannya, akhirnya gue bales.

Gue : Iya nanti gue balikin, tapi pulsanya dah gue pake coz sayang banget pulsanya berahir hari ini. Gak papa kan?
NGK 2 : Gak papa...
Gue : BTW sekarang gue ada di tempat kerja, balik sekitar jam 9 malem. Wartel lu masih buka jam segitu? lu penjaga wartel apa tukang parkirnya?
NGK 2 : Masih buka. Gue wartelnya. Puas lo?

Wah, bisa becanda juga nih bencong. Gue makin seneng. Gue makin ngeluarin pertanyaan dan pernyataan sarap.

Gue : Hahaha... bisa ngelucu juga lo. Tapi beneran ya. Gue gak tau soal bh yang tadi lu smsin.
NGK 2 : Ah sialan lo! Btw nama lo sapa? Masih manusia kan?

Tau aja dia kalo gue setengah manusia setengah kuda catur. Nama? Kasih tau gak ya? Kalo gue kasih tau, jangan-jangan dia kenal? Terus lapor polisi. Terus polisi melacak persembunyian gue. Terus besok harinya gue muncul di koran Lampu Merah.
Oh, bisa turun kredibilitas gue sebagai kuda catur! Ahirnya gue jawab.

Gue : Anjrit. Ya manusia lah. Nama gue banyak. Nyokap gue mangil gue Nak. Kayak kalo lagi nyuruh gue beli cabe:
“Nak, belikan ibu cabe!”
Trus biasanya gue jawab dg gaul “Yah ibu, gak liat anakmu ini lagi pacaran? Cabe deh!”
NGK 2 : Wakakaka... Oh lo masih manusia? Kirain yang suka makan pisang. Yadah krn lo gak mao ngasih tau nama lo, it’s OK. Jangan salahin gue kalo gue mangil lo NYET. Lo gak boleh marah, itu dah takdir buat lo.

Monyet!
Dia mangil NYET? Sebagai mamalia yang lebih cerdas sedikit dari Nyet gue gak terima. Tapi walopun begitu, gue mencoba tetap kul. Gue masih bisa untuk gak marah dan menjawab.

Gue : Sapa juga yang marah. Ngak lah. Gw cukup sabar kok. Gak mungkin juga gue marah sama lumba2 laper...
NGK 2 : Ya good lah! rata2 emang gitu. Makhluk kaya lo emang mesti sabar. Lo gak tinggal di hutan masalahnya. Lo bersosialisasi dengan manusia2 beradap. Jadi lo harus nyesuain diri, gak boleh liar juga... oke NYET?

Waduh, dia makin membabi buta manggil NYET. Jangan-jangan dia itu campuran antara bencong, monyet dan tong sampah.

Walopun sebenarnya emosi, gue gak boleh tersundut emosi dan ngatain dia, ‘dasar bencong-bercula-satu gak tau terima kasih!’. Disaat seperti ini, cara yang paling aman adalah menganggap SMSnya sebagai candaan. Gue ngebales,

Gue : Hahaha... selera humor lo tinggi juga. Gue curiga jangan2 selaen jadi gagang telepon, lo juga nyambi jadi badut ancol.

Tapi, kawan-kawan sekalian.....
Belum sempat gue baca balesan dari orang gila yang pertama. Tiba-tiba ada orang gila lainnya SMS.

NGK 3 : BDW. LO NGERJAIN GUE YA.. JAWAB JUJUR, SAPA DIRI LU SEBENERNYA. GAK DIBALES SMS GUE ITU TANDANYA LU PENGECUUUUUUUUUUT... BLZ GPL

Astagfirullah!

Bencong mana lagi neh? Gue mulai menganalisa lagi, jangan-jangan ini orang yang kemaren dikerjain adik gue? Atau Okta yang hampir mati penasaran dan mau bales dendam? Ato dari Presiden yang meminta gue jadi mentri pemberdayaan wanita dan waria? (OK, yang terakhir emang gak nyambung).

Dengan kesabaran tingkat tinggi dan masih gak terpancing emosi, gue bales.

Gue : Witzt.. sabar bang pitung. Lo sendiri siapa. Gw gak ngerasa ngerjain tuh!
NGK 3 : LOH KOK LO MALAH TANYA BALIK. BUKANNYA KEMAREN LO YANG SMS. EMANG LO SAPA?

Kayaknya dia makin sewot. Untuk meredam kesewotannya, gue merasa harus berkata jujur.

Gue : Ya udah jagan sewot gitu dunk. Keep cool. Gw nemu sim card ini dijalan trus masih ada pulsanya, yadah gw pake.
NGK 3 : ITU SIH ALASAN TIDAK MASUK AKAL. YA UDE JAWAB SEKARANG LO SAPA DAN ANAK MANA?

Nah loh? Kok jadi gue gak dipercaya gini? Memang gue sedang ngerjain temen-temen, tapi SMS yang barusan kan jujur. Kenyataan. Fakta. Ini gak adil. Kemana gue harus mengadukan ketidak adilan ini! Kemana?! (Lebay)

Tapi gue masih mencoba kalem. Tanpa menghiraukan pertanyaan bencong nyasar itu, gue jawab.

Gue : Cieee ileee makin kaya reman tanah abang nyari janda lu. Eh lu cewek ya?
NGK 3 : MALES AH JAWABNYA GW YANG TANYA DULUAN, LO MALAH TANYA BALIK. JAWAB DULU LO SAPA. LENGKAP YA.
1. NAMA LO
2. SEKOLAH
3. ANAK SAPA
4. HUMS LO
GPL

Waduh, makin membabi gila neh nanyanya. Pake nanya anak siapa lagi. Gue menganalisa lagi, jangan-jangan dia duda yang kebelet kawin yang lagi ikutan pencarian jodoh lewat SMS? Ah, masa bodo! Biar dia sadar kalo ternyata dia lagi SMSan sama orang setengah koper boy, gue bales.

Gue : Hahaha.. sekarang lo mirip tukang sensus yang lagi nyensus kambing yang mao dikawinin.

Akhirnya, mungkin urat tengorokannya putus dan menyudahi SMS bloon itu.

NGK 3 : UHHHHH NYEBELIN NGOMONG SAMA LO

Bener-bener SMS yang memakan seluruh perhatian!

SMS yang memakan energi dan pikiran itu ternyata bukan hanya membuat gue sedikit mengabaikan kerjaan, tapi juga bikin hape lowbat. Gue mengambil carger dan mengecaz hape yang kelelahan itu. Setelah satu jam, gue rasa hapenya udah punya energi lagi untuk melaksanakan tugas suci (baca: ngerjain temen-temen) selanjutnya. Kemudian gue berniat nerusin ngerjain Okta ato temen-temen yang laen.

Tapi kenyataan berkata lain, begitu hape dinyalahin, ternyata ada dua SMS dari nomer yang gak gue kenal lagi.

NGK 4 : Cewe gi ngapain, dah emam lum? Jangan lupa sholat. Dah mandi lum? Lo lagi dimana? Tar malem gw gak bisa nelpon lo. Jangan marah ya. Blz gpl

NGK 5 : Lis lagi ngapain? Dah sholat magrib apa belum? Lis gimana nonya maya udah pa blum?

Mampus lagi.

Abis analisa gue buat nganalisa dua SMS ini. Tadi Enol, sekarang Lis. Siapa sebenarnya Enol dan Lis? Apa mereka satu orang? Apakah dia masih berada di dunia nyata?

Kayaknya gue sudah cukup jauh diperbudak pulsa. Dan sepertinya gue harus sudahi permainan ini. Mencopot simkard pembawa masalah ini dan memberikannya kepada yang berhak. Daripada akan berjatuhan korban jiwa yang lebih banyak.

Lirik-lirik Lagu Cinta

Masih ingat, kawan? Ketika kamu memendam perasaan cinta kapada temanmu. Mulanya kamu merasa senang jika berada di dekatnya. Kemudian rindu jika berada jauh dengannya. Pokoknya perasaanmu waktu itu… Syahdu.

Bila kamu di sisiku hati rasa syahdu
Satu hari tak bertemu hati rasa rindu
‘Ku yakin ini semua perasaan cinta
Tetapi hatiku malu untuk menyatakannya

Syahdu (Rhoma Irama)


Masih ingat, kawan? Ketika kamu makin dekat dengannya. Sering berbagi canda. Berbagi cerita. Berbagi curahan hati. Dan kamu merasa begitu cocok. Akhinya kamu memutuskan untuk berani mengatakan cinta. Untuk mengatakan, “Jaidkanlah aku pacarmu”

Untaian bunga canda
Tempatkan kau lepaskan tawa
Tenang hati terbaca
Kini tiba waktuku
Untuk puitiskan sayang
Untuk katakan cinta

Reff :
Jadikanlah aku pacarmu
Kan kubingkai slalu indahmu
Jadikanlah aku pacarmu
Iringilah kisahku...

JAP (Sheila On 7)



Masih ingat, kawan? Ketika kamu begitu bahagia karena cintamu bersambut. Kamu merasa mendengar nyanyian dewa dewi. Kamu seakan-akan melihat sang rembulan datang dan menemanimu. Kamu begitu bahagia waktu itu. Ketika kamu jatuh cinta.

Bila aku jatuh cinta
Aku mendengar nyanyian
1000 dewa dewi cinta
Menggema dunia

Bila aku jatuh cinta
Aku melihat matahari
Kan datang padaku
Dan memelukku dengan sayang

Bila aku jatuh cinta
Aku melihat sang bulan
Kan datang padaku
Dan menemani aku

Bila aku jatuh cinta (Nidji)



Masih ingat, kawan? Ketika akhirnya, di tengah-tengah hubungan itu, kalian menemukan berbagai macam masalah. Kalian mencoba mengerti satu sama lain tapi gagal. Masalah yang sama selalu terulang dan menjadikan kalian makin menjauh. Sudah tidak cocok. Seperti air dan api.

Apa maumu?
Apa mauku
S’lalu saja menjadi satu masalah yang tak kunjung henti

Bukan maksudku
Bukan maksudmu
Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja

Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita saling memberi
Apa tak mungkin hati yang murni sudah cukup berarti?
Ataukah kita belum mencoba memberi waktu pada logika?
Jangan seperti selama ini, hidup bagaikan air dan api.

Air dan Api (Naif)



Masih ingat, kawan? Ketika kamu dihianati. Rasanya dunia runtuh. Hatimu seperti hancur berkeping-keping. Kamu menangis sejadinya. Kamu tidak bisa terima. Namun, seiring berjalannya waktu kamu pun berusaha untuk realistis. Kamu mencoba menyusun kembali serpihan hati yang remuk. Kamu kembali bangkit dan bisa melupakannya. Kamu bisa survive.

It took all the strength I had
Just not to fall apart
I'm trying hard to mend the pieces
Of my broken heart
And I spent oh so many nights
Just feeling sorry for myself
I used to cry,
But now I hold my head up high

I Will Survive (Cake)

Sabtu, 15 Oktober 2011

doa

Ya Tuhan, aku berdoa di sini bukan karena tidak mau berdoa di tempat lain, tapi karena ada seorang kawan yang bilang kalau Engkau punya account di sini. Katanya juga, Engkau berada di mana saja.

Ya Tuhan, sesungguhnya aku tidak yakin apakah doa ini diterima atau tidak. Karena seorang ustadz pernah bilang waktu umurku sebelas tahun, bahwa berdoa itu harus ikhlas agar dikabulkan. Dan aku merasa tidak ikhlas berdoa di sini.

Ya Tuhan, ketika aku mulai menulis ini aku sudah berfikir tentang pembaca. Akhirnya aku menulis agar ada yang membaca tulisan ini. Oh, maksudku ada yang membaca doa ini. Apakah jika aku menulis doa kepadamu agar orang lain tahu kalau aku sedang berdoa padamu itu berarti tidak ikhlas ya, Tuhan?

Ah, aku tidak bisa ikhlas jika begitu ya, Tuhan. Aku belum bisa menghilangkan keinginan agar tulisanku dibaca. Terbebas dari sifat riya. Walaupun terkadang aku menyemangati diri sendiri bahwa aku tidak membutuhkan pembaca. Tapi seringkali perasaan ingin dibaca itu muncul dengan sendirinya dan terkadang sangat kuat.

Ya Tuhan, jika memang doa ini tidak dikabulkan karena ketidaktulusan, maka aku hanya mampu pasrah. Aku cukup puas bisa sekedar memasukan namaku di inbox email-Mu. Itu sudah cukup. Aku tahu Engkau membaca setiap doa yang dikirimkan. Engkau juga maha tahu setiap doa yang terucap, tak terucap apalagi tertulis.

Ya ampun, jadi melantur seperti ini. Oke, biar aku tuliskan doaku ya, Tuhan.

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Tuhanku
kabulkanlah doaku
walau tercetak miring


Amin.

nb: Doa di atas adalah puisi berjudl 'Doa' karya Chairil Anwar, kecuali stanza akhir yang saya tambahkan

Rabu, 05 Oktober 2011

The Soul of Son Goku IV

Beberapa hari setelah kejadian Son Goku sering mogok, pembicaraan yang hangat di rumah adalah tentang dia. Dalam seminggu Son Goku sudah tiga kali mogok. Mungkin itu kesalahan gue juga karena lupa ngasih; 2.5 kilo beras ato uang 20 ribu (ini motor apa fakir miskin?).

Biasanya kalo gue sampe rumah dan cerita Son Goku mogok lagi, orang-orang di rumah berubah jadi ngerti mesin. Nyokap bilang, “Mungkin businya tuh! Besok diganti aja businya. Pembakarannya kurang bagus karena businya belum diganti tuh!” gue jawab iya.

Adek gue, anak ABG yang brilian, ngasih pendapat yang juga luar biasa brilian, “Udah, Bang! Lo ganti aja motornya.”

Gue cuma jawab kesel, “Iye, ntar gue ganti sama odong-odong!”

Tapi, gue punya kecurigaan lain. Menurut gue Son Goku mogok karena punya alesan. Bukan hanya semata-mata gue lupa ngisi bensin. Bukan semata-mata gue males ganti oli. Bukan semata-mata karena gue make kenalpotnya buat pemukul kasti.

Waktu Njay jemput di kampus, dia gak nganterin gue ke rumah. Malam itu ternyata Malam Haul Kiyai dan gue diajak untuk ngaji di kuburnya. Sepertinya Son Goku mau ngingetin gue tentang Haul Kiyai, karena begitu pagi-pagi gue ambil dia di kampus, ternyata dia sudah sehat dan bisa ditunggangi lagi.

Adapun malem waktu gue nganterin Nia, gue jadi inget percakapan gue dan bokap di pagi itu tentang rencana menganti motor. Dan gue yakin Son Goku mendengarnya.

Ini serius!

Menurut gue, hal itu sangat melukai perasaan Son Goku. Sekali lagi, ini serius dan ilmiah! Sebuah benda, seberapapun kecilnya, apalagi yang selalu dekat dengan kita, punya kemampuan merasakan seperti apa yang kita rasakan. Dia bisa sedih, senang bahkan jengkel.

Nabi aja ngasih nama ontanya, Duldul. Peralatan sendok, piring, sapu dan lain sebagainya juga dikasih nama. Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa beliau ngasih nama kepada hewan bahkan barang-barang yang kita anggap mati? Kenapa beliau memberikan penghargaan yang tinggi kepada mereka? Kenapa Sule yang udah jadi milyarder gak operasi idung?

Hari ini, Son Goku ngajarin gue satu hal, bahwa benda-benda, hewan dan lingkungan di sekitar yang kita klaim sebagai makhluk yang gak punya arti bahkan gak bernyawa ternyata memiliki perasaan seperti manusia. Mereka adalah makhluk Allah, yang punya manfaat masing-masing. Gak ada satupun yang Ia ciptakan sia-sia.

Seharusnyalah gue menjaga, menghargai serta merawat mereka.