Halaman

Kamis, 26 Februari 2015

Desain Sampul Terbaik - ISLAMIC BOOK AWARD 2015

"I don't believe in the kind of magic in my books. But I do believe something very magical can happen when you read a good book." — J.K. Rowling


Hari ini saya mengucapkan selamat kepada buku Di Bawah Bendera Sarung yang memenangkan Desain Sampul Terbaik dalam ISLAMIC BOOK AWARD 2015. Selamat kepada desainer sampulnya Kang Agung Wulandana, Mbak Dyah Agustine sebagai editor dan Mizan Pustaka sebagai penerbit.




Bagi yang belum baca buku ini, berikut beberapa review:


Di Bawah Bendera Sarung

by 
really liked it 4.00  ·   Rating Details  ·  7 Ratings  ·  2 Reviews
"Saudara-saudara sekalian yang terhormat," kata menteri yang katanya sering puasa Senin-Kamis itu memulai sambutan.

"Meskipun Bapak-bapak Kiai yang ada di sini tahajud siang-malam, belum tentu lebih mulia dari seorang yang mengerti teknologi," lanjutnya berapi-api.

Mendengar sambutan itu banyak dari kiai yang tersinggung, tapi nggak mungkin langsung mendebatnya. Menit berikutnya, para kiai satu demi satu meninggalkan ruangan. Para santri beranggapan bahwa para kiai mungkin tersinggung karena pak menteri melecehkan keberadaan mereka di mata para santrinya. Tapi, ternyata bukan. Di luar ruangan, seorang kiai berkomentar tentang sambutan sang menteri, "Mana ada tahajud siang-malam."




Apa jadinya jika seorang jebolan pesantren menuliskan pengalaman hidupnya sebagai santri dengan sudut pandang humor?
 (less)
Paperback134 pages
Published September 2014 by Pastel

COMMUNITY REVIEWS

(showing 1-10 of 10)
Vivi
Dec 27, 2014Vivi rated it really liked it
Shelves: indonesia
kocak dan lucu. sayangnya ceritanya kurang banyak. :p.
Apriastiana Dian
Dec 12, 2015Apriastiana Dian rated it really liked it
Tadinya ngira kalau buku ini murni nyeritain kehidupan di pesantren, tapi ternyata cuma di beberapa bab aja. Plusnya dari buku ini mungkin dari humor Islami yang disuguhkan.
Nida Fadilah
Nida Fadilahmarked it as to-read
May 06, 2015
Ali
Alirated it really liked it
Mar 22, 2015
Ananda
Anandarated it really liked it
Jan 09, 2015
Ipink
Ipinkrated it it was amazing
Nov 06, 2014
Nailal Fahmi
Sep 24, 2014Nailal Fahmi rated it really liked it  ·  (Review from the author)
Dyah
Dyahrated it liked it
Jul 13, 2015

Minggu, 22 Februari 2015

Sepotong Kebijakan

Iblis sedang berbicara kepada teman-temannya ketika seorang pemuda berjalan di depan mereka. Mereka menyaksikan ia lewat untuk kemudian membungkuk dan mengambil sesuatu.

“Apa yang dia temukan?” tanya salah satu teman Iblis.
“Sepotong kata-kata bijak.” jawab Iblis.
Teman-teman Iblis terlihat sangat khawatir. Semua hal telah mereka lakukan untuk menjerumuskan manusia, tapi dengan sepotong kata-kata bijak yang ditemukan pemuda itu, ia bisa terselamatkan. Tapi Iblis tetap bergeming, menatap jauh ke ufuk.
“Apakah kamu tidak khawatir?” kata salah satu temannya, “Dia menemukan sepotong kata-kata bijak!”
“Saya tidak khawatir.” jawab Iblis.
“Apakah kau tahu apa yang akan ia lakukan dengan sepotong kata-kata bijak itu?” kata temannya yang lain.
“Seperti biasa, dia akan menyampaikan ke orang lain, bukan ia resapi untuk dirinya sendiri. Keegoisan telah ada pada darahnya, sehingga ia hanya ingin menuntut orang lain berbuat baik. Dan kalian tahu? Dengan setitik egoisme, semua kata-kata bijak yang ia pungut semakin menjauhkannya dari kebijakan.”

Rabu, 18 Februari 2015

Rubik dan Sebentuk Energi

Suatu pagi, sepulang kerja, saya mampir ke tukang photocopy untuk membeli sampul plastik untuk beberapa buku. Di sana, saya melihat ada beberapa rubik digantung di atas etalasa kaca depan, ketika saya pegang, salah satu rubik itu jatuh dari gantungannya. Mungkin ini jalan untuk benda ini jadi milik saya, pikir saya waktu itu. Sejujurnya saya masih percaya pertanda. Maka saya beli dan bawa rubik itu pulang.

Sampai di rumah, Nada memegang rubik itu dengan tampang heran bercampur senang, sambil tak henti-hentinya bertanya. Ini apa, Pak? Mainnya gimana? Kok bisa diputer? Ini buat Nada? Dedek boleh ikutan main? Seperti anak kecil seusianya yang selalu penasaran, matanya berkilat-kilat melihat mainan yang baru pertama kali ia lihat, tanpa peduli bagaimana cara memainkannya.

Sampai ketika ia berhasil mengacak-acak warna-warni itu, dia datang kepada saya dan meminta disusun ke bentuk awal. Di situlah saya baru sadar; saya nggak bisa. Nada terus meminta, melihatnya senang dengan mainan itu, saya menyanggupi untuk membuat rubik itu ke bentuk awal.

Dua hari belajar, dengan bantuan internet, saya menghapal rumus rubik dan mampu menyusun kembali ke bentuk awal. Saya memberikan rubik yang telah sempurna itu ke Nada, ia senang, dan itu juga membuat saya senang. Ia memainkannya, maksud saya mengacak-acaknya lagi, dan memberikan pada saya untuk disempurnakan. Saya melakukan lagi. Ia kembali mengacak dan saya kembali membentuknya. Begitu terus sampai beberapa kali, dan kemampuan saya untuk menyelesaikan makin cepat, dan bagi saya membentuk rubik menjadi hal yang tidak lagi sulit.

Saya pernah memegang dan mengutak-atik rubik, tapi menyelesaikan ke bentuk sempurna baru kali itu saya lakukan. Berhasil menyelesaikan rubik bukanlah hal yang terlalu membahagiakan buat saya, bahkan menurut saya biasa saja. Dengan sedikit usaha, semua orang bisa melakukannya, tapi tentu saja tidak semua orang mau melakukan usaha itu. Saya mempelajarinya dengan hati yang ringan, dengan niat bahwa saya punya janji kepada Nada. Jadi tujuan saya menyelesaikan rubik bukan untuk menyelesaikan rubik, tapi karena ingin melihat Nada senang. Saya pikir itulah energi yang menggerakan; menjadikan usaha yang cukup sulit —terutama buat saya, menjadi tidak terasa sama sekali. Saya semakin menyadari energi itu ketika tahu bahwa kawan saya yang telah beberapa tahun berlajar tapi tidak juga bisa. Saya pikir dia bukan tidak mampu, tapi kekurangan motifasi. Kekurangan energi.


Tiba-tiba saya ingat energi cinta. Tentang bahwa sejarah baru berubah ketika kita mampu memanfaatkan kekuatan cinta. Seperti kita memanfaatkan tenaga angin, tenaga air, atau tenaga atom. Begitulah, rubik itu datang kepada saya untuk mengajarkan tentang energi cinta. And when it comes, I lose control.

Minggu, 15 Februari 2015

Keadilan dan Kebaikan Bagi Semua

“Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil. Berbuat adillah karena ia lebih mendekati ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q. S. Al Maa’idah: 8)

"It is a man's own mind, not his enemy or foe, that lures him to evil ways." – Buddha

Setelah pembunuhan 3 orang Muslim oleh seorang atheis di Chapel Hill kemarin (February 10, 2015), banyak Muslim yang menghujat pemberitaan media mainstream Amerika yang tidak adil. Melalui tulisan ini saya tidak ingin menambah kritikan tersebut, hanya mau menanyakan hal yang lebih esensial; kapan media bertindak adil dan tidak memihak?

Saya hawatir bukan media yang bertindak tidak adil, tapi para penonton atau pembaca yang menginginkan pemberitaan tidak adil itu. Bagaimanapun mereka jualan, dan penjual menjual apa yang diinginkan pembeli. Sama seperti di Indonesia ketika terjadi konflik Israel-Palestine, hampir seluruh media mainstream di Indonesia membela Palestine. Ketika itu, pernahkah kita memprotes bahwa media mainstream di Indonesia memihak? Tidak, karena kita memang menginginkan berita yang memihak itu. Kita memilih untuk membaca, melihat dan mendegarkan media yang memihak Palestine daripada Israel.

Kemudian media yang memihak Palestine berkilah bahwa mereka telah adil memberitakan, kemudian media yang memihak Israel (iya di sana, bukan di Indonesia) berkilah bahwa mereka telah berlaku adil. Kemudian mereka yang membenci Yahudi mengatakan kejahatan itu merupakan konspirasi Yahudi. Kemudian sebagian pembenci Islam mengatakan itu adalah bukti ajaran Islam yang brutal. Dan tidak ada yang mau dikritik apalagi disalahkan.

Jadi jika ada yang berteriak media jangan memihak, memang sudah sejak lahir mereka telah memihak. Bahkan bukan hanya media yang memihak, para penonton pun memihak, memihak pada apa yang ingin mereka dengar dan lihat. Jika ada yang tidak sesuai dengan keinginan mereka maka mereka berteriak media memihak, tapi jika media menayangkan apa yang ingin mereka dengar, mereka bilang media telah adil.

Keberpihakan media memang menjadi masalah, namun keberpihakan para penikmat media adalah masalah lain. Pada akhirnya semua tergantung kepada individu masing-masing, kita yang mememegang remot kontrol TV masing-masing kan? Kita juga bebas memilih bacaan mana yang ingin kita baca.

Pertanyaan selanjutnya adalah; bisakah kita meminta diri sendiri untuk bersikap adil sebelum menyuruh orang lain melakukannya?

Begini, saya pernah mendengar seorang pemuka agama ditanya ketika ada orang yang mengatasnamakan agama menyerang atau melakukan aksi kekerasan, “Itu bukan perbuatan orang-orang yang beragama.”

Setengah bercanda saya mau bilang, mungkin orang yang tidak beragama kesal sehingga melakukan penembakan di Chapel Hill kemarin. Setelah itu, mungkin saja ada pemuka atheis yang mengatakan perkataan yang kurang lebih sama, “Itu bukan perbuatan orang-orang yang tidak beragama.”

Ah, itu hanya candaan saya saja. Inti dari candaan itu adalah kritik kepada diri sendiri; kita membenci stereotiping sambil tetap menstereotipkan hal-hal lain. Ketika orang Muslim melakukan kekerasan, kita mengatakan jangan stereotiping, jangan menyalahkan agama tapi orangnya. Tapi ketika ada seorang Yahudi misalnya melakukan hal yang sama, kita membenci seluruh agamanya. Apakah itu adil?

Intinya, lewat tulisan ini saya ingin mengatakan bahwa tindak kejahatan atau tindakan kekerasan kepada orang lain adalah berdasarkan tindakan dan pikiran mereka sendiri. Apakah agama dan keyakinan memberikan kontribusi? Tentu saja, tapi agama dan keyakinan versi mereka, dengan tafsiran mereka. Agama bisa dipilih-pilih, diambil salah satu yang menarik bagi seseorang karena enak dan sesuai dengan seleranya. Emha Ainun Nadjib pernah bilang, “Semua pemeluk Islam berjuang dengan pandangan-pandangannya masing-masing mendekati sejatinya Islam. Sehingga tidak ada satu kelompok pun yang legal dan logis untuk mengklaim bahwa Islam yang benar adalah Islamnya kelompok ini atau itu. Kalau ada teman melakukan perjuangan "islamisasi", "dakwah Islam", "syiar Islam", bahkan perintisan pembentukan "Negara Islam Indonesia" – yang sesungguhnya mereka perjuangkan adalah Islamnya mereka masing-masing.”

Kemudian, bisakah sumber dari agama dipersalahkan? Bisa saja, tapi ingat, sumber itu tidak berdiri sendiri, ada konteks ketika sumber/dalil itu turun, ada juga penafsiran yang beragam. Apapun agama atau bukan agamanya, tindakan baik akan selalu baik dan tindakan jahat akan selalu jahat. Orang berlaku jahat karena ia ingin berlaku jahat, walaupun ia meniatkan kebaikan. Seperti kata Gandhi, "I object to violence because when it appears to do good, the good is only temporary; the evil it does is permanent."

Saya tidak sedang membela atau menentang siapun di sini, hanya ingin berlaku adil. Jadi mari berlaku adil dan baik kepada semua orang, walau mereka yang kita benci.


Wallahu'alam bissowab