Halaman

Sabtu, 26 November 2011

The Fine Line between Smart and Stupid is The Age

Nada, my one-year-old daughter, scooped food in the bowl to the floor. Her mother shook her head and said, "Smart girl."

I imagine 20 years later she does the same thing in front of her mother. What would her mother say?

Why does everything that a child doing considered smart, while the same thing but adults doing considered dumb?

Jika Takut Cintamu Ditolak, Maka Pindah Agama Saja

Suatu hari, karena merasa peduli, saya pernah ngasih saran kepada kawan saya, seorang wanita yang sering putus cinta, “Ya sudah, pindah agama saja!”

Ide itu bukan datang dari saya pribadi, tapi dari A.s. Laksana, salah seorang penulis yang pemikiran-pemikirannya saya kagumi. Dalam sebuah cerpen berjudul Teknik Mendapatkan Cinta Sejati yang dimuat di Koran Tempo Minggu, dia menulis:

Dalam pengalaman Seto, peristiwa remeh itu adalah rasa cintanya pada gadis penjual tiket di gedung bioskop Cilandak. Sejak itu secara sungguh-sungguh ia melatih diri di depan cermin, beberapa kali sehari, untuk menyampaikan kalimat-kalimat. Namun, Seto merasa makin hari situasinya makin sulit. Setiap kali berada di depan loket (Seto memilih film-film yang tidak diminati penonton sehingga loket itu sepi antrian), ia merasa kalimat-kalimatnya selalu tidak tepat. Akhirnya ia menyimpulkan bahwa gadis itu bukan ditakdirkan untuknya.

Lalu, demi mempertegas takdir itu, ia memutuskan berpindah agama sehingga kini agama mereka berbeda. Dan, ajaib, keputusan ini justru membuatnya lebih santai dan lebih fasih ketika suatu malam ia berdiri di depan loket pada jam pertunjukan terakhir.

“Hai,” katanya.

“Selamat malam,” jawab gadis itu dalam nada resmi dan profesional. Lalu ia menunjukkan denah tempat duduk dan Seto memilih sembarang tempat duduk. Ketika para penonton lain sudah memasuki gedung pertunjukan, Seto kembali ke loket.

“Sebenarnya ada yang mau saya sampaikan,” katanya.

“Silakan,” kata gadis itu.

“Boleh saya berterus terang?”

“Silakan.”

“Anda cantik sekali. Sayang agama kita berbeda. Jika kita seiman, saya pasti sudah melamar anda dari dulu-dulu.”

Urusan beres malam itu. Si gadis tersenyum, tidak menerima, tidak menolak. Hanya tersenyum, resmi dan profesional.

Pada kesempatan-kesempatan berikutnya, Seto melakukan hal serupa dengan gadis lain yang menurut ia sama cantiknya dengan gadis penjual tiket itu. Tiga kali Seto berpindah agama karena perempuan: untuk membuktikan bahwa cintanya ditolak karena mereka berbeda agama, dan bukan oleh sebab-sebab lain. Kurang tampan, misalnya.

Jika kau ingin menirukan caranya, lakukanlah. Teknik Seto akan membuatmu terhindar dari penderitaan akibat penolakan. Maksudku, jika seorang gadis menolakmu padahal agama kalian sama, itu bisa seperti kiamat bagimu. Kenapa seorang gadis menolakmu padahal kalian seagama? Ia akan bilang kau bukan tipenya. Atau, “Kita temenan saja, deh?” Atau, “Aku belum kepikiran untuk serius.” Atau, “Maaf, ya, aku masih ingin sendiri.” Apa pun jawabannya, yakinlah itu sinonim belaka dari fakta bahwa kau tidak menarik baginya.

Maka tirulah Seto agar kepalamu bisa tetap tegak dan gadis itu tak perlu berbelit-belit. Di luar itu, jika ia benar-benar mencintaimu, ia akan mengorbankan dirinya dengan berpindah agama mengikuti agamamu dan kalian akan menjadi pasangan yang berbahagia selama-lamanya, dengan agama baru.

Saya berikan cerpen tersebut dan dengan tenang mengatakan kepada kawan saya untuk pindah agama. Tapi bukannya berterimakasih dengan saran yang saya beri, kawan saya itu malah marah-marah. Saya katakana padanya bahwa cerita A.s. Laksana itu hanya kiasan, jangan menelannya bulat-bulat, itu karya sastra.

Saya katakan padanya, “Moral Message dari cerpen itu adalah jika kamu merasa seseorang bukan ditakdirkan untukmu maka cari saja orang lain yang kau takdirkan sendiri untukmu.”

Tapi tetap saja dia nggak terima. Ah, wanita itu memang berasal dari Venus. Saya nggak bisa menerka apa yang ada (atau tidak ada) di kepala mereka.

Maka saya berkesimpulan sendiri, jika ada seorang wanita mengeluh padamu tentang masalah-masalah hidupnya, maka dengarkan dan katakan saja dengan tulus, “Bertahanlah. Semoga Tuhan mengangkat seluruh bebanmu.”

Jangan berikan solusi, diam atau mengatakan kamu mengerti perasaannya, itu akan percuma.

Senin, 14 November 2011

Once Upon A Time in A Mall

She amazes with every new things around her…



… and enjoys watching and observing…



Playing is everything…



Playing… playing… and playing…



She may like something her father like, Reading… as proverb says, "Like father like daughter."



Eating for living, not living for eating…



Ordering a meal…

The Copycater

She observes the cat...



... and tries to imitate it.

This is The Selfishness of Time; It cannot be Repeated Even Just for A Second

Selasa, 08 November 2011

Ini tentang Dunia, Masalah dan Kefanaan Hidup

Malam itu gue pulang kerja dengan perasaan super capek. Ini bukan sejenis capek karena habis ngebajak sawah satu hektar. Ini capek yang kalo lo rebahan di tempat tidur jam sembilan malem, lo baru bisa mejamin mata jam tiga pagi. Pikiran mengawang-awang tanpa juntrungan.

Dengan keadaaan seperti itu, gue berharap di rumah istri gue telah nyediain makanan. Anak gue menyambut dengan senyuman yang paling manis, seperti biasanya. Gue akan makan malam dengan cepat dan istirahat dengan cepat. Dan segala macam kecapekan akan menguap.

Tapi sesampainya di rumah, pintu-pintu sudah terkunci rapat dan beberapa lampu sudah dimatikan. Gue segera membuka pintu dan mendapati makanan telah dingin di atas meja makan. Istri gue mungkin sudah terlelap di dalam kamar, sama lelahannya dengan gue bahkan lebih.

Gue punya dua pilihan:

1. Ngomel dan gondok dalem hati
2. Terima saja dan melanjutkan hari seperti biasa

Gue ambil pilihan kedua.

I thought, it can still be fine anyway. Even though it may not be as hoped. Kalo gue bertindak dan berpikiran buruk, keadaan akan semakin memburuk. Maka gue pergi ke dapur dan memanaskan makanan sendiri.

...

Ada orang yang pernah bilang kalo masalah hidup ini hanyalah sebatas apa yang kita pikirkan. Sesuatu akan menjadi baik jika pikiranmu baik, juga sebaliknya.

Awal mendengar kalimat itu, mati-matian gue nggak percaya. Gimana lo bisa baik-baik saja kalo keadaannya duit lo abis digasak maling dan rumah lo kebakaran? Atau lo dihianatin orang yang paling dipercaya? Atau lo nggak juga dapet-dapet jodoh? Gimana kalo keadaannya kita tinggal di sebuah Negara terkorup dengan lingkungan yang penuh dengan kekerasan dan kemaksiatan?

Bisakah masih berpikir segala sesuatunya baik-baik saja?

...


Ya.

Finally, gue mengakui... kalo hidup itu akan berjalan baik-baik saja, tinggal kita yang menjalani hidup bisa mengakuinya atau nggak...

Gue pernah nonton film The Road, sebuah film kelam hasil adaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Cormac McCarthy. Dalam film itu dunia digambarkan berada pada masa kegelapan, tanpa harapan. Dunia redup tanpa sinar matahari. Tanpa bahan makanan. Orang-orang makan dengan cara yang paling kuno, membunuh orang lain. Sementara banyak orang yang putus asa, memutuskan untuk bunuh diri. Yang masih bertahan menjadi orang baik, kelaparan dan mati. Yang sudah tidak tahan, menjadi kanibal.



Hidup ini fana, kawan. Dan, adakah kefanaan dan kesia-siaan hidup perlu diabadikan? Nggak perlu kayaknya. Walaupun mungkin kefanaan itu juga jadi penyelamat. Karena pada kenyataanya, dunia atau kehidupan memang bukan tempat yang strategis untuk ditinggali, tapi merupakan tempat yang tepat untuk mencari ceceran kesempatan —karena kefanaan dan kesia-siaan ternyata masih menyisakan beberapa kesempatan.

Pada bagian yang paling buruk sekalipun pasti ada kebaikan. Karena menjalani hidup dengan baik adalah dengan terus bertahan menjadi baik.

Dan malam ini gue membaca sebuah status dari Gus Yahya Cholil Staquf, ‎"Bagi mereka yang sempurna keyakinannya akan kasih-sayang Allah, barangkali kekuatiran dan kesedihan itu konyol."

Sabtu, 05 November 2011

Sebuah Percakapan di Telpon

Nelpon istri ngomongin tentang Nada yang sekarang udah hampir 14 bulan, “Nada lagi apa?” kata gue di telpon.

“Tuh lagi maen boneka. Tapi lagi nggak mau makan nasi tuh, Bang!”

“Loh? Kenapa?”

“Tauk tuh. Kayaknya sih lagi mau tumbuh taring.”

OKAY. Nggak mao makan nasi dan tumbuh taring. It can simplified with, “She was bitten by Edward Cullen.”

Kamis, 03 November 2011

I am a Good Boy

There is a question that has been in my mind since I was kid; how long will we live in the heaven after we death?

After graduating Elementary School, I continued my study to Islamic Boarding School. I asked that question to my teacher who understood about that, and I got varied answers. One of them answered that the life in hereafter was eternal. Endless.

“Won’t we get bored in the heaven, sir?” I who was really sure entering the heaven asked.

“It won’t!” the teacher explained, “Everything is different between the earth and the hereafter.”

According to his explanation, there will be nobody who pees and poops. There will be very beautiful angels and rivers as white as milk and as sweet as honey. There will not be any fights and riots, everyone loves each other. Everything will be perfect there!

On the other hand, in the hell, the sinful people will be tortured with the very hot fire. Some say, if someone steps on the fire stone there, even the smallest one, it will be enough to boil his brain!

Yes, how scary the hell is! And how tempting the heaven is!

But honestly, I was confused when the teacher gave that explanation. And it was too hard to understand for me as a child. I thought; will the wives be jealous when their husbands surrounded by the pretty angels? Where will the waste in my stomach go if we never poop and pee?

Besides, I still want to be a good person. It is like Ahmad Dani feat Crisye Song, if the heaven and the hell don’t exist, will you still pray to God?

I have a story about that.

In one early Sunday morning, I rode Fikri, my brother, to Depok by Honda-Astrea70-released-in-80 motorbike for a job interview. If I am not mistaken, it was a few days after Ied Mubarok day.

When the there was a tree junction, I slowed my bike. We slipped through the crowd very smoothly. But suddenly, from the left back side, there was some one riding a motorcycle very fast and hit the motorcycle in front of him. Screeeeeech!!!! CRASH!!! Two motorcycles hit the ground. It was horror. Everything seemed like in a slow motion. The world seemed like slowing down and then paused in a moment…

Fortunately, both the motorcycle riders were saved; include one more person who sat behind one of the rider. They weren’t dead. But unfortunately, one of the motorcycles that hit the ground was mine! At first I didn’t know what was really going on. All I know that suddenly there was a strong push from my left back side that caused my bike went trembling and finally hit the ground.

After a while we came back to reality. The people around the crime scene helped us to walked aside. As the innocent one, I tried to be calm.

“How are you? You’re alright, aren’t you?” the man who hit me asked. In my mind I wanted to be angry and shouted at him, but that didn’t happen. I saw that his motorcycle was damaged. It was worse than mine. And I could see he is older than I am. And maybe he was having a complicated mind or problem when he was riding motorcycle.

“I am OK! What about you?” I answered his question. And he explained the chronological event. I forgot the conversation. And with my maturity and a predicate as a good boy, I shake his hand. Before that, we exchanged our identity cards each other. And without my knowing he went somewhere. So my brother and I sat on the side of the road and didn’t know what to do.

And suddenly…. There was a middle-aged man greeted us.

“Wa’alaikum salam!” Fikri and I answered together. Before he came to us we saw him asking some mineral water in the shop near us but he didn’t get the water.

“Is Depok near or still far from here, boys?” the middle-aged man asked.

“Yes, sir! It’s still far from here! We also want to go there but we are having misfortune” I answered.

“We have some water, you may take it.” Fikri said.

“Where are you from?” I asked curiously.

“My wife is in a hospital to give a birth” he gave unasked information, “but I didn’t have enough money to pay the hospital. So, I decided to borrow some money from my relatives in Cikarang. When I arrived in their house, they weren’t there. They went hometown. And because I didn’t have any money, so I have to go to Depok from Cikarang on foot…. “

...

Walk from Cikarang?! It's around 50 kilometers far from here!

Yup, at that time my conscience said: ‘Come on Nailal! Help him!” we felt pity and decided to give some money to him. It wasn’t much, but it was enough for public transportation cost to Depok. He finally left after thanking us. And my text messages to some friends were answered relatively disappointing.

It was only a story about my experience. And as long as there is someone needs help, I will always try to do my best.

Maybe there is a question in your mind; why do I never feel enough to help people? I have simple answer; it is because I believe that I will be helped, that some one will help me some day when I need one. Allah still want to help His servant as long as the servant still want to help his/her brother, Rasulullah has ever said that.

Yes, it was true, bro! After helping the middle-aged man, Fikri and I tried to do as he did. Walking home. Not to mention carrying the damaged Honda-Astrea70-released-in-80 motorbike. But there was another thing happened. We finally didn’t go home on foot, because not so far from the crime scene, we got helped by a thin-long-haired-parking-man. He asked what was going on and then he checked my motorcycle right away without even asked permission. But he did ask for a screwdriver and pliers that was put under the motorcycle seat to fix the motorcycle handlebar.

Then.

Hocus Pocus… Abracadabra… the handlebar was fixed! My motorcycle could run again eventhough it wasn’t as fast as before. We got home with some bruises, but most importantly, we were safe and sound.

Rabu, 02 November 2011

Ibadah Sosial Lebih Utama daripada Ibadah Individual




Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Islam Aktual menjelaskan empat hal yang mengindikasikan bahwa ibadah sosial itu lebih utama daripada ibadah individual.

Pertama, Nabi mencontohkan dalam sabdanya, “Aku sedang salat dan aku ingin memanjangkannya, tetapi aku dengar tangisan bayi, aku pendekkan salatku, karena aku menyadari kecemasan ibunya dengan tangisan anaknya” (HR. Bukhari & Muslim). Dalam hadits lain juga Rasulullah mengingatkan para imam agar memperpendek salatnya bila di tengah jamaah ada orang yang sakit, orang lemah, orang tua, atau orang yang mempunyai keperluan.

Dengan hadits ini bisa kita simpulkan, bila ibadah individual bersamaan waktunya dengan urusan ibadah sosial yang penting, maka ibadah individual boleh diperpendek atau ditangguhkan, walaupun bukan untuk ditinggalkan.

Kedua, ibadah yang mengandung aspek sosial kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar daripada ibadah yang bersifat individual perseorangan. Karena itu, salat jamaah lebih tinggi nilainya daripada salat munfarid (sendirian) dua puluh tujuh derajat menurut riwayat yang sahih dalam hadits Bukhari, Muslim, dan ahli hadits yang lain.

Ketiga, bila ibadah individual dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan ibadah sosial. Bila shaum (puasa) tidak mampu dilakukan, maka menunaikan fidyah, yaitu makanan bagi orang miskin harus dibayarkan. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan Ramadhan atau istri dalam keadaan haid, tebusannya ialah memberi makan kepada orang miskin.

Namun sebaliknya, bila orang tidak baik dalam urusan ibadah sosial, maka aspek ibadah individualnya tidak bisa menutupinya. Yang merampas hak orang lain tidak dapat menghapus dosanya dengan salat tahajud.

Orang-orang yang melakukan kezaliman tidak hilang dosanya dengan hanya membaca zikir atau wirid seribu kali. Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa ibadah individual tidak akan bermakna bila pelakunya melanggar norma-norma kesalehan sosial. “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan”, Dan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”, demikian peringatan beliau. Sedangkan dalam Al-Quran, orang-orang yang salat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal perbuatan, dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah (Surat Al-Ma’un).

Keempat, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal kebajikan dalam bidang sosial kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah. Dalam hubungan ini, kita menemukan hadits yang senada yaitu, “Orang-orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus puasa” (HR. Bukhari & Muslim). Pada hadits yang lain, beliau juga bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Maukah engkau aku beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan sedekah? (para sahabat menjawab, tentu). Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar” (HR. Abu Dawud & Ibn Hibban). Dan beliau juga bersabda, “Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada salat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada puasa tiga bulan” (HR. Ad-Dailami).

Hadits-hadits tersebut menunjukkan dengan transparan bahwa amal-amal kebajikan yang bersifat sosial kemasyarakatan, seperti menyantuni kaum fakir miskin, mendamaikan pihak yang bertengkar, meringankan penderitaan orang lain, dan berusaha menuntut ilmu pengetahuan, mendapatkan ganjaran pahala yang lebih besar ketimbang ibadah-ibadah sunnah. Jadi dalam ajaran Islam, ibadah sosial memiliki nilai kemuliaan yang jauh lebih tinggi, besar, dan mulia ketimbang ibadah individual.

Wallahu ‘alam bissowab