Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu, kata Arai. Jika kau menginginkan sesuatu maka jagat raya akan membantumu untuk mewujudkannya, kata Paulo Coelho.
Gue selalu senang dengan orang-orang yang yakin akan kesuskesan diri mereka.
Banyak orang suka bermimpi. Bermimpi dalam arti punya keinginan yang ingin dicapai. Gue pengen punya mobil, ya suatu hari nanti gue pasti punya mobil. Gue pengen usaha, suatu hari nanti gue pasti jadi pengusaha. Gue pengen banget ke liling dunia... begitu kira-kira keinginan kita. Tapi, terkadang orang bingung bagaimana cara mewujudkannya.
Mimpi itu harus punya passion bukan hanya angan-angan. Orang yang bermimpi ingin ke Eropa harus lebih dulu tahu apa itu Eropa, keindahan-keindahanya, negara-negaranya dan segala hal tentang Eropa. Akan menjadi sesuatu yang lucu ketika seorang berkeinginan ke Eropa tapi yang dia tahu tentang Eropa sedikit.
Gue pernah bilang ke beberapa orang kawan dekat, “Suatu hari kalian akan liat nama gue di rak-rak buku gramedia.”
Tentu gue sadar apa yang gue katakana waktu itu. Semua orang dilarang mendahului takdir, tapi kadang keyakinan akan kemampuan diri sendiri diperlukan untuk menjadikan seseorang lebih percaya diri.
Gue memang suka membual, entah kenapa sepertinya ini ada kaitannya dengan kegemaran menulis. Ya, temen-temen udah pada tau kalo gue seneng membual. Kadang mereka anggap bualan itu serius. Pernah ada temen kerja nanya, “Eh, Lal! Kok duit lo gak abis-abis yak?”
“Ya iya lah, gue kan orang kaya. Gue kerja tuh cuma buat pengisi waktu aja. Daripada di rumah bengong.”
Dan biasanya mereka jawab, “Ya ya ya...”
Atau kalo ada kawan yang nelpon nanya gue lagi ada di mana. Bisanya gue jawab, “Lagi di Singapore nih. Lagi business travel.”
“Oh gitu ya?”
Biasanya orang akan langsung jujur, “Enggak gue becanda! Lagi di empang bokap gue nih.” Tapi gue malah jawab, “Iya lagi di Ochard Road nih lagi jalan-jalan. Tadi gue abis ketemu rekan bisnis. Sekarang lagi mao ke Chinatown mau beli oleh-oleh buat bini gue dan bla bla bla…”
“Lal!” Sampe akhirnya temen gue nyela, “Lo becanda kan?!”
Heh, mungkin itu cuma keisengan gue doang, tapi sebenernya gue juga punya passion terhadap buku. Gue suka membaca, suka membeli buku-buku. Setiap melihat buku mata gue berkilat-kilat senang. Gue percaya itulah passion gue.
Dari kegemaran membaca buku, gue mulai menulis. Gue mulai menulis apa dan dimana saja; puisi, cerpen, diary, blog, ulasan film, review buku dan lain-lain. Sampai akhirnya gue punya keyakinan bisa menulis buku. Dengan keyakinan itu, gue mulai mengerahkan kemampuan untuk menulis. Gue kirim tulisan itu ke penerbit, dan akhirnya jadilah buku.
Orang yang punya mimpi mau jadi penyanyi harus punya passion untuk mewujudkan impiannya itu. Dan mewujudkannya tentu butuh waktu, terkadang lama. Cita-cita itu bertahap. Mimpi itu nggak ujug-ujug. Ia nggak seperti durian runtuh.
Orang yang mau backpacking ke Eropa tapi nggak pernah jalan-jalan keliling Indonesia, terlalu jauh berangan-angan gue kira. Untuk mewujudkan hal-hal yang besar kenapa nggak mulai dari sesuatu yang kecil? Untuk punya mobil contohnya, kenapa nggak mulai dari punya motor?
Oya, terkadang passion nggak menghasilkan uang. Passion itu bisa dibilang seperti hobby. Pekerjaan menghasilkan uang, hobby/passion menghasilkan kesenangan juga kepuasan. Ya, your job is not your career, kata Steve Jobs. Gue udah berganti pekerjaan beberapa kali, tapi dimana pun dan jadi apapun, gue tetap menulis. Maka beruntunglah yang pekerjaannya adalah hobinya, adalah passion-nya.
Passion memberikan tingkat dedikasi yang tinggi terhadap sesuatu. Disitulah mimpi menemui pencapaiannya. Mimpi dengan passion untuk mencapainya. Ya, mimpi dapat terwujud dengan passion bukan hanya angan-angan.
"Seberapa indah mimpi, jika tetap mimpi?"
— Seno Gumira Ajidarma
-:(الراحمون يرحمهم الرحمن تبارك وتعالي/ ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء):-
Selasa, 31 Januari 2012
Jumat, 27 Januari 2012
Keyakinan
Waktu kecil, waktu masih MI (Madrasah Ibtidaiyah), gue tinggal di lingkungan dimana Islam dan Kristen tumbuh berdampingan. Kawan-kawan maen gue waktu itu tiga puluh persen Kristiani. Kami saling menghormati. Tiap hari Minggu gue sering ngeliat kawan-kawan pergi ke gereja yang agak jauh dari rumah mereka sambil bawa injil dengan bangga.
Mereka juga sering mendengar suara azan, ngaji atau ceramah yang mau nggak mau masuk telinga mereka dari corong-corong pengeras suara. Di sekolah, mereka juga berdoa dan membaca Qur’an. Kawan gue yang Kristiani bahkan hafal beberapa surat di Juz Amma, karena mereka sering mendengarkannya.
Setelah MI gue ngelanjutin ke pesantren. Gue nyantri enam tahun dan punya pemahaman yang militan tentag Islam. Sewaktu mondok, gue sering mengaitkan segala hal kepada Islam; Islam itu agama yang paling benar, segala sesuatu telah ada di dalam Qur’an, hukum yang harus kita gunakan adalah hukum Islam dan lain sebagainya.
Intinya gue senang dengan Islam, giat mempelajari apapun tentang Islam. Fanatik. Bahkan karena hanya Islam saja yang gue pelajari waktu itu, gue sampai menganggap semua agama selain Islam itu salah, buruk. Gue jug baca buku tentang Dialog Ketuhanan Yesus dan makin yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Sampai akhirnya gue masuk ke 'dunia' yang lebih besar, kuliah.
Sebenarnya waktu mondok gue juga banyak baca tentang Islam yang beragam. Islam Rasional-nya Harun Nasution, Islam Aktual-nya Jalaludin Rakhmat dan beberapa buku-buku yang lain. Tapi kemudian lingkungan kuliah lebih banyak lagi membuka mata gue kepada Islam yang lebih beragam; Mu’tazilah, Syiah, Murji’ah, Ahli Sunnah wal Jamaah, Wahabi dan lain-lain. Gue mengenal keragaman pendapat, keragaman golongan.
Di situ gue mulai mengerti bahwa tiap golongan punya pendapatnya masing-masing yang diklaim paling benar. Bahkan dengan dalil yang sama, bisa menghasilkkan pemahaman yang berbeda, penafsiran yang beragam. Qur’an yang satu dipahami oleh banyak kepala dengan beragam. Perdebatan antara golongan-golongan Islam itu bahkan telah terjadi semenjak zaman sahabat sampai sekarang. Masing-masing golongan sama-sama fanatik. Berbedaan itu akhirnya menyebabkan mereka saling berdebat, saling berperang, saling membunuh.
Sampai gue bertanya pada diri sendiri, “Mengapa mereka yang sama-sama Islam nggak bisa bersatu?”
“Apakah perbedaan menyebabkan satu golongan berhak membunuh golongan lain?”
“Apakah satu golongan boleh mengklaim diri mereka yang paling benar dan akan masuk surga, sementara golongan di luar mereka akan masuk neraka?”
“Bukankah hanya Allah yang berhak memasukan hamba-Nya ke neraka atau ke surga?”
“Bukankah menganggap diri sendiri benar dan yang lain salah adalah ketakaburan, dan bukankah ketakaburan itu penyebab iblis diusir dari surga?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala.
Sampai kemudian gue mulai belajar bagaimana menyikapi perbedaan. Nggak ada yang berhak ngomong, “Golongan saya paling benar dan yang lain salah.” Seharusnya kita mengikuti apa yang dikatakan Imam Syafi’i, “Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.”
Gue mulai muak dengan perdebatan serta pertengkaran yang sering terjadi karena alasan keprcayaan, karena perbedaan pendapat, karena perbedaan agama. Gue udah nggak fanatik dengan keyakinan gue lagi.
Fanatisme memang sebuah fase yang harus dilewati orang yang meyakini satu agama. Namun fanatisme akan pudar seiring makin dewasa pemikiran, ketika kita makin menghargai perbedaan, ketika kita makin menyadari bahwa keyakinan itu nggak bisa dipaksakan dan kebenaran punya perspektif yang beragam.
Kita tentu semua percaya bahwa nggak ada satupun orang yang berhak mengatakan dirinya paling benar dan menghina kepercayaan lain apalagi sampai melakukan kekerasan. Perbedaan itu adalah sunatullah. Mari kita terima dengan lapang hati. Marilah kita sebar kedamaian. Marilah sebarkan سلام, peace, damai.
Terkadang, sering gue denger dari masjid ada penceramah yang seharusnya memberikan kedamaian malah mengejek dan menjelekan agama lain, Kristen misalnya. Padahal apakah dia sadar kalo di daerah itu nggak semua orang beragama Islam. Gue membayangkan diri gue menjadi orang Kristen. Akan tersakiti banget hati ini. Atau gue ngebayangin di sebuah Negara dimana Muslim menjadi minorotas. Islam dihina di depan banyak orang. Menyakitkan.
Dulu memang gue pernah merasa kasihan waktu kawan deket gue yang beda agama selalu mengucap puji-pujian kepada tuhannya. Karena gue merasa tahu bahwa keyakinannya salah. Bahwa dia melakukan hal yang salah. Dia akan masuk neraka. Gue berharap dia masuk agama gue. Dia membaca buku-buku yang gue baca. Dia membaca Qur’an. Gue merasa kasihan karena dia nggak satu keyakinan dengan gue.
Tapi kemudian gue merasa kerdil, naif. Gue bertanya pada diri gue sendiri. Seberapa tahu gue tentang agamanya? Pernahkah gue membaca segala sesuatu tentang agamanya secara objektif, secara proporsional? Lucu sekali jika gue mengharapkan dia mengerti agama gue sementara gue nggak mau tahu tentang keyakinannya —kalaupun gue membaca buku-buku yang gue baca adalah buku tentang kesalahan agamanya. Maksud gue, bagaimana kalau dia juga berpikir seperti apa yang gue pikirkan. Dia mengharapkan gue membaca apa yang dia baca, meyakini apa yang ia yakini, masuk agama dia, dia mengasihani gue karena gue akan masuk neraka.
Egois sekali gue ini.
Apa yang salah dengan keyakinan orang lain? Kenapa kita jadi lebih sibuk dengan keyakinan orang lain daripada keyakinan kita sendiri? Mungkin benar apa yang dikatakan @gusmusgusmu, “Orang yg sibuk dengan keyakinan orang lain, boleh jadi karena kurang yakin dengan keyakinannya sendiri.”
Mereka juga sering mendengar suara azan, ngaji atau ceramah yang mau nggak mau masuk telinga mereka dari corong-corong pengeras suara. Di sekolah, mereka juga berdoa dan membaca Qur’an. Kawan gue yang Kristiani bahkan hafal beberapa surat di Juz Amma, karena mereka sering mendengarkannya.
Setelah MI gue ngelanjutin ke pesantren. Gue nyantri enam tahun dan punya pemahaman yang militan tentag Islam. Sewaktu mondok, gue sering mengaitkan segala hal kepada Islam; Islam itu agama yang paling benar, segala sesuatu telah ada di dalam Qur’an, hukum yang harus kita gunakan adalah hukum Islam dan lain sebagainya.
Intinya gue senang dengan Islam, giat mempelajari apapun tentang Islam. Fanatik. Bahkan karena hanya Islam saja yang gue pelajari waktu itu, gue sampai menganggap semua agama selain Islam itu salah, buruk. Gue jug baca buku tentang Dialog Ketuhanan Yesus dan makin yakin bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Sampai akhirnya gue masuk ke 'dunia' yang lebih besar, kuliah.
Sebenarnya waktu mondok gue juga banyak baca tentang Islam yang beragam. Islam Rasional-nya Harun Nasution, Islam Aktual-nya Jalaludin Rakhmat dan beberapa buku-buku yang lain. Tapi kemudian lingkungan kuliah lebih banyak lagi membuka mata gue kepada Islam yang lebih beragam; Mu’tazilah, Syiah, Murji’ah, Ahli Sunnah wal Jamaah, Wahabi dan lain-lain. Gue mengenal keragaman pendapat, keragaman golongan.
Di situ gue mulai mengerti bahwa tiap golongan punya pendapatnya masing-masing yang diklaim paling benar. Bahkan dengan dalil yang sama, bisa menghasilkkan pemahaman yang berbeda, penafsiran yang beragam. Qur’an yang satu dipahami oleh banyak kepala dengan beragam. Perdebatan antara golongan-golongan Islam itu bahkan telah terjadi semenjak zaman sahabat sampai sekarang. Masing-masing golongan sama-sama fanatik. Berbedaan itu akhirnya menyebabkan mereka saling berdebat, saling berperang, saling membunuh.
Sampai gue bertanya pada diri sendiri, “Mengapa mereka yang sama-sama Islam nggak bisa bersatu?”
“Apakah perbedaan menyebabkan satu golongan berhak membunuh golongan lain?”
“Apakah satu golongan boleh mengklaim diri mereka yang paling benar dan akan masuk surga, sementara golongan di luar mereka akan masuk neraka?”
“Bukankah hanya Allah yang berhak memasukan hamba-Nya ke neraka atau ke surga?”
“Bukankah menganggap diri sendiri benar dan yang lain salah adalah ketakaburan, dan bukankah ketakaburan itu penyebab iblis diusir dari surga?”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala.
Sampai kemudian gue mulai belajar bagaimana menyikapi perbedaan. Nggak ada yang berhak ngomong, “Golongan saya paling benar dan yang lain salah.” Seharusnya kita mengikuti apa yang dikatakan Imam Syafi’i, “Pendapat saya benar, tapi mungkin saja salah. Sebaliknya, pendapat orang lain salah, tapi bisa saja benar.”
Gue mulai muak dengan perdebatan serta pertengkaran yang sering terjadi karena alasan keprcayaan, karena perbedaan pendapat, karena perbedaan agama. Gue udah nggak fanatik dengan keyakinan gue lagi.
Fanatisme memang sebuah fase yang harus dilewati orang yang meyakini satu agama. Namun fanatisme akan pudar seiring makin dewasa pemikiran, ketika kita makin menghargai perbedaan, ketika kita makin menyadari bahwa keyakinan itu nggak bisa dipaksakan dan kebenaran punya perspektif yang beragam.
Kita tentu semua percaya bahwa nggak ada satupun orang yang berhak mengatakan dirinya paling benar dan menghina kepercayaan lain apalagi sampai melakukan kekerasan. Perbedaan itu adalah sunatullah. Mari kita terima dengan lapang hati. Marilah kita sebar kedamaian. Marilah sebarkan سلام, peace, damai.
Terkadang, sering gue denger dari masjid ada penceramah yang seharusnya memberikan kedamaian malah mengejek dan menjelekan agama lain, Kristen misalnya. Padahal apakah dia sadar kalo di daerah itu nggak semua orang beragama Islam. Gue membayangkan diri gue menjadi orang Kristen. Akan tersakiti banget hati ini. Atau gue ngebayangin di sebuah Negara dimana Muslim menjadi minorotas. Islam dihina di depan banyak orang. Menyakitkan.
Dulu memang gue pernah merasa kasihan waktu kawan deket gue yang beda agama selalu mengucap puji-pujian kepada tuhannya. Karena gue merasa tahu bahwa keyakinannya salah. Bahwa dia melakukan hal yang salah. Dia akan masuk neraka. Gue berharap dia masuk agama gue. Dia membaca buku-buku yang gue baca. Dia membaca Qur’an. Gue merasa kasihan karena dia nggak satu keyakinan dengan gue.
Tapi kemudian gue merasa kerdil, naif. Gue bertanya pada diri gue sendiri. Seberapa tahu gue tentang agamanya? Pernahkah gue membaca segala sesuatu tentang agamanya secara objektif, secara proporsional? Lucu sekali jika gue mengharapkan dia mengerti agama gue sementara gue nggak mau tahu tentang keyakinannya —kalaupun gue membaca buku-buku yang gue baca adalah buku tentang kesalahan agamanya. Maksud gue, bagaimana kalau dia juga berpikir seperti apa yang gue pikirkan. Dia mengharapkan gue membaca apa yang dia baca, meyakini apa yang ia yakini, masuk agama dia, dia mengasihani gue karena gue akan masuk neraka.
Egois sekali gue ini.
Apa yang salah dengan keyakinan orang lain? Kenapa kita jadi lebih sibuk dengan keyakinan orang lain daripada keyakinan kita sendiri? Mungkin benar apa yang dikatakan @gusmusgusmu, “Orang yg sibuk dengan keyakinan orang lain, boleh jadi karena kurang yakin dengan keyakinannya sendiri.”
Rabu, 25 Januari 2012
Cacimaki untuk Pengemudi?
Beberapa waktu lalu ada kejadian yang selalu diulang-ulang oleh media sampai sekarang. Tentang Sembilan orang yang meninggal karena ditabrak mobil Xenia. “Xenia Maut” begitu media menyebutnya. Yeah, kalau mobilnya Nissan mungkin akan lebih horror lagi.
Menanggapi kejadian itu banyak orang di twitter, facebook dan media sosial lainnya berkomentar, menghina dan mencaci maki. Bahkan banyak dari penghinaan tersebut keluar dari konteks. Penghinaan terhadap fisik misalnya. Banyak juga yang mengatakan dia nggak punya hati, bengis, kejam dan lain sebagainya.
Apakah seharusnya begitu?
Kesalahan Afriani Susanti adalah mengendarai mobil di bawah pengaruh ‘obat’. Dan mari kita buat sekenario yang agak lain. Bagaimana jika dia nggak menabrak orang-orang yang sedang jalan di trotoar? Bagaimana jika dia hanya menabrak trotoar yang kosong? Tentu pemberitaan nggak akan seheboh ini.
Mari kita pahami sekali lagi bahwa kesalahan dia adalah mengendarai mobil di bawah pengaruh narkotika. Itu saja. Dan kita boleh menyalahkannya tentang kebodohannya itu. Kelalaiannya itu. Keteledorannya itu. Namun ketika dalam keadaan itu ia menabrak orang-orang di jalan bukan malah menabrak pohon, papan reklame atau kecebur jurang itu menjadi masalah lain.
Jika kita mengatakan ia kejam, apakah logis? Ini seperti mengatakan orang gila itu nggak sopan. Ya, ia mengunakan narkotika itu salah, tapi mengatakannya kejam ketika menabrak orang-orang di jalan sepertinya kurang tepat. Karena sekali lagi ia sedang di bawah pengaruh obat, ia tidak sadar, ia sedang dalam keadaan ‘gila’.
Mari kita dudukan masalahnya ke tempat yang sebenarnya. Jangan lagi menghina fisiknya karena itu bukan masalahnya. Jangan pula keluarganya karena belum tentu begitu. Bisa jadi hinaan itu malah menjadi fitnah. Dan kita sebagai orang yang sadar, yang nggak dalam pengaruh narkoba, seharusnya bisa berkomentar secara lebih proporsional.
Menanggapi kejadian itu banyak orang di twitter, facebook dan media sosial lainnya berkomentar, menghina dan mencaci maki. Bahkan banyak dari penghinaan tersebut keluar dari konteks. Penghinaan terhadap fisik misalnya. Banyak juga yang mengatakan dia nggak punya hati, bengis, kejam dan lain sebagainya.
Apakah seharusnya begitu?
Kesalahan Afriani Susanti adalah mengendarai mobil di bawah pengaruh ‘obat’. Dan mari kita buat sekenario yang agak lain. Bagaimana jika dia nggak menabrak orang-orang yang sedang jalan di trotoar? Bagaimana jika dia hanya menabrak trotoar yang kosong? Tentu pemberitaan nggak akan seheboh ini.
Mari kita pahami sekali lagi bahwa kesalahan dia adalah mengendarai mobil di bawah pengaruh narkotika. Itu saja. Dan kita boleh menyalahkannya tentang kebodohannya itu. Kelalaiannya itu. Keteledorannya itu. Namun ketika dalam keadaan itu ia menabrak orang-orang di jalan bukan malah menabrak pohon, papan reklame atau kecebur jurang itu menjadi masalah lain.
Jika kita mengatakan ia kejam, apakah logis? Ini seperti mengatakan orang gila itu nggak sopan. Ya, ia mengunakan narkotika itu salah, tapi mengatakannya kejam ketika menabrak orang-orang di jalan sepertinya kurang tepat. Karena sekali lagi ia sedang di bawah pengaruh obat, ia tidak sadar, ia sedang dalam keadaan ‘gila’.
Mari kita dudukan masalahnya ke tempat yang sebenarnya. Jangan lagi menghina fisiknya karena itu bukan masalahnya. Jangan pula keluarganya karena belum tentu begitu. Bisa jadi hinaan itu malah menjadi fitnah. Dan kita sebagai orang yang sadar, yang nggak dalam pengaruh narkoba, seharusnya bisa berkomentar secara lebih proporsional.
Selasa, 17 Januari 2012
#TheAlchemist
Takdir adalah apa yang selalu ingin kaucapai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka. #TheAlchemist
Siapapun dirimu, apapun yang kaulakukan, jika kau sungguh2 menginginkan sesuatu, maka hasrat itu brsumber dari jiwa jagat raya #TheAlchemist
Nanti, kalau sudah tua, dia mau bpergian slama sebulan ke Afrika. Dia tdk sadar, orang bisa melaksanakan impiannya kapn saja #TheAlchemist
Pada akhirnya pendapat orang tentang pengembala dan tukang roti jadi lebih penting bagi mereka daripada takdir mereka sendiri #TheAlchemist
Di masa2 awal khidupn mereka, manusia sudh tau alasan kberadaan mereka. Barangkali itu juga sbabnya mreka mnyerah trlalu cpat #TheAlchemist
Kalau kau memulai dengan menjanjikan sesuatu yang belum kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk berusaha memperolehnya #TheAlchemist
Dan kalau setiap hari trasa sama saja, itu berarti orang2 tidak mnyadari hal2indah yang terjadi dalam hidup mereka setiap hari #TheAlchemist
Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes2 air di sendokmu #TheAlchemist
Aku akan menjadi getir dan tidak bisa lagi mempercayai orang2 lain, karena satu orang telah mengkhianatiku #TheAlchemist
Tapi aku seperti orang2 pada umumnya --hanya melihat apa yang ingin kulihat bukan apa yang sebenarnya terjadi #TheAlchemist
Ada hal2 yang tidak perlu dipertanyakan, supaya kau tidak melarikan diri dari takdirmu #TheAlchemist
"Maktub!" = telah tertulis, telah digariskan, telah ditakdirkan #TheAlchemist
Kalau bisa, aku ingin menulis ensiklopedi super lengkap tentang kata keberuntungan dan kebetulan. #TheAlchemist
Manusia tidak perlu takut akan hal2 yang tidak diketahui, kalau mereka sanggup meraih apa yg mereka butuhkan dan inginkan #TheAlchemist
Kalau kau menginginkan sesuatu sepenuh hatimu, saat itulah kau berada amat dekat dengan Jiwa Dunia. Ini merupakan daya positif #TheAlchemist
Bayangkan seandainya semua orang dengan seenaknya mengubah logam menjadi emas. Emas akan kehilangan nilainya #TheAlchemist
Sbab aku tdk hdp dmasa lalu/dmasa dpn. Aku hanya trtarik pd saat ini. Brbahagialah org yg bsa berkonsntrasi hnya utk saat ini #TheAlchemist
Mungkin Tuhan menciptakan padang pasir supaya manusia bisa menghargai pohon2 kurma itu #TheAlchemist
Janganlah engkau tak sabar, makanlah pada saat makan. Dan berjalanlah pada saat harus berjalan #TheAlchemist
Dicobanya menerima konsep bahwa cinta tidak berarti memiliki, tapi dia tidak bisa memisahkan keduanya #TheAlchemist
Setiap hari adlh utk dijalani, atau untuk menandai kepulangan kita dr dunia ini. Segalanya bergantung pd satu kata: "Maktub" #TheAlchemist
Di hatinya ia merasakan suka cita yang aneh: dia akan mati saat mengejar takdirnya #TheAlchemist
Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan orang #TheAlchemist
Orang2 bijak memahami bahwa alam semesta ini hanyalah citra dan tiruan akan surga #TheAlchemist
Dunia ini ada sekedar untuk menunjukan bahwa ada dunia yang lebih sempurna #TheAlchemist
Kau cukup merenungkan sebutir pasir saja, dan di dalamnya akan kau temukan keajaiban2 penciptaan #TheAlchemist
Kau takkan pernah bisa lari dari hatimu. Jadi, sebaiknya dengarkanlah suaranya #TheAlchemist
Katakan pada hatimu, rasa takut akan penderitaan lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri #TheAlchemist
Kalau kau punya harta berharga, dan kau coba menceritakannya pada orang lain, jarang sekali yang percaya pada ucapanmu #TheAlchemist
Biasanya justru karena takut matilah orang jadi lebih sadar akan hidup mereka #TheAlchemist
Apa yang terjadi satu kali tidak bakal terjadi lagi. Tapi apa yang terjadi dua kali, pasti akan terjadi untuk ketiga kali #TheAlchemist
Setiap orang di dunia ini apapun pekerjaannya, memerankan peran penting dalm sejarah dunia. Dan biasanya org itu tak menyadari #TheAlchemist
Siapapun dirimu, apapun yang kaulakukan, jika kau sungguh2 menginginkan sesuatu, maka hasrat itu brsumber dari jiwa jagat raya #TheAlchemist
Nanti, kalau sudah tua, dia mau bpergian slama sebulan ke Afrika. Dia tdk sadar, orang bisa melaksanakan impiannya kapn saja #TheAlchemist
Pada akhirnya pendapat orang tentang pengembala dan tukang roti jadi lebih penting bagi mereka daripada takdir mereka sendiri #TheAlchemist
Di masa2 awal khidupn mereka, manusia sudh tau alasan kberadaan mereka. Barangkali itu juga sbabnya mreka mnyerah trlalu cpat #TheAlchemist
Kalau kau memulai dengan menjanjikan sesuatu yang belum kau miliki, kau akan kehilangan hasratmu untuk berusaha memperolehnya #TheAlchemist
Dan kalau setiap hari trasa sama saja, itu berarti orang2 tidak mnyadari hal2indah yang terjadi dalam hidup mereka setiap hari #TheAlchemist
Rahasia kebahagiaan adalah dengan menikmati segala hal menakjubkan di dunia ini, tanpa pernah melupakan tetes2 air di sendokmu #TheAlchemist
Aku akan menjadi getir dan tidak bisa lagi mempercayai orang2 lain, karena satu orang telah mengkhianatiku #TheAlchemist
Tapi aku seperti orang2 pada umumnya --hanya melihat apa yang ingin kulihat bukan apa yang sebenarnya terjadi #TheAlchemist
Ada hal2 yang tidak perlu dipertanyakan, supaya kau tidak melarikan diri dari takdirmu #TheAlchemist
"Maktub!" = telah tertulis, telah digariskan, telah ditakdirkan #TheAlchemist
Kalau bisa, aku ingin menulis ensiklopedi super lengkap tentang kata keberuntungan dan kebetulan. #TheAlchemist
Manusia tidak perlu takut akan hal2 yang tidak diketahui, kalau mereka sanggup meraih apa yg mereka butuhkan dan inginkan #TheAlchemist
Kalau kau menginginkan sesuatu sepenuh hatimu, saat itulah kau berada amat dekat dengan Jiwa Dunia. Ini merupakan daya positif #TheAlchemist
Bayangkan seandainya semua orang dengan seenaknya mengubah logam menjadi emas. Emas akan kehilangan nilainya #TheAlchemist
Sbab aku tdk hdp dmasa lalu/dmasa dpn. Aku hanya trtarik pd saat ini. Brbahagialah org yg bsa berkonsntrasi hnya utk saat ini #TheAlchemist
Mungkin Tuhan menciptakan padang pasir supaya manusia bisa menghargai pohon2 kurma itu #TheAlchemist
Janganlah engkau tak sabar, makanlah pada saat makan. Dan berjalanlah pada saat harus berjalan #TheAlchemist
Dicobanya menerima konsep bahwa cinta tidak berarti memiliki, tapi dia tidak bisa memisahkan keduanya #TheAlchemist
Setiap hari adlh utk dijalani, atau untuk menandai kepulangan kita dr dunia ini. Segalanya bergantung pd satu kata: "Maktub" #TheAlchemist
Di hatinya ia merasakan suka cita yang aneh: dia akan mati saat mengejar takdirnya #TheAlchemist
Bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan orang #TheAlchemist
Orang2 bijak memahami bahwa alam semesta ini hanyalah citra dan tiruan akan surga #TheAlchemist
Dunia ini ada sekedar untuk menunjukan bahwa ada dunia yang lebih sempurna #TheAlchemist
Kau cukup merenungkan sebutir pasir saja, dan di dalamnya akan kau temukan keajaiban2 penciptaan #TheAlchemist
Kau takkan pernah bisa lari dari hatimu. Jadi, sebaiknya dengarkanlah suaranya #TheAlchemist
Katakan pada hatimu, rasa takut akan penderitaan lebih menyiksa daripada penderitaan itu sendiri #TheAlchemist
Kalau kau punya harta berharga, dan kau coba menceritakannya pada orang lain, jarang sekali yang percaya pada ucapanmu #TheAlchemist
Biasanya justru karena takut matilah orang jadi lebih sadar akan hidup mereka #TheAlchemist
Apa yang terjadi satu kali tidak bakal terjadi lagi. Tapi apa yang terjadi dua kali, pasti akan terjadi untuk ketiga kali #TheAlchemist
Setiap orang di dunia ini apapun pekerjaannya, memerankan peran penting dalm sejarah dunia. Dan biasanya org itu tak menyadari #TheAlchemist
Sabtu, 14 Januari 2012
Outline of The Alchemist by Paulo Coelho
Sebelum membaca tentang contoh outline ini, ada baiknya kamu membuka halaman tentang Delapan Sequel untuk Alur Cerita.
SET UP
1. Dunia Sempurna yang Semu
Santiago nama anak itu. Ia memutuskan hidup sebagai pengembala. Ia bahagia dan bangga akan keputusan itu. Padahal ayahnya menginginkannya menjadi pendeta, namun Anak itu menolak dan meyakinkan ayahnya tentang keinginannya untuk menjadi gembala. Akhirnya ayahnya mengizinkan. Anak itu merasa hidupnya bahagia karena selain ia hidup sesuai dengan keinginannya, ia juga menjadi pengembala yang cukup sukses. Dombanya sehat, banyak dan menghasilkan uang yang cukup. Ia bangga dengan semuanya itu sampai suatu saat, ketika ia sedang tidur pada sebuah gereja yang terbengkalai --dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah berdiri, ia bermimpi tentang harta karun di sebuah negeri yang jauh, negeri piramida-piramida.
2. Penyadaran
Awalnya ia menganggap mimpi itu hanya bunga tidur dan tidak bermakna apa-apa. Namun mimpi itu hadir kembali sekali lagi. Mimpi yang sama, betul-betul sama. Itu membuatnya sedikit terganggu dan berniat menanyakan arti mimpinya ke seorang peramal. Seorang peramal mengatakan bahwa mimpi tersebut adalah benar adanya. Ia akan menemukan harta karun di suatu negeri tempat piramida-piramida dibangun. Ada juga orang tua —yang menyebut dirinya raja Salem— mengatakan kepada Anak itu tentang makna mengikuti mimpi. Sang Raja juga memberikan dua buah batu yang ia sebut Urim dan Tumim untuk digunakan ketika Anak itu merasa bimbang dalam mengambil keputusan.
3. Persiapan Perjalanan
Anak itu memutuskan untuk membuktikan apakah mimpinya itu benar atau tidak. Ia telah yakin terhadap keputusannya. Dan karena untuk pergi ke negeri dalam mimpinya itu ia butuh uang, maka Ia menjual seluruh dombanya. Kemudian ia pergi menyebrang lautan. Pergi ke negeri dalam mimpinya, Mesir.
CLIMAX
4. Naik ke Atas
Anak itu menyebrangi laut. Dengan uang yang ia peroleh dari menjual seluruh dombanya, ia yakin akan cukup untuk pergi ke negeri tersebut. Segala hal sudah ia persiapkan. Ia melangkah menuju impiannya dengan percaya diri. Namun tidak berapa lama berselang setelah dia tiba di pelabuhan di seberang negerinya, seseorang menipunya. Uangnya dicuri. Seluruhnya.
5. Musim Badai
Ia terjebak di negri yang jauh dari negerinya tanpa uang. Tanpa bisa pulang. Tidak ada satupun orang yang ia kenal di tempat itu. Dan yang lebih parahnya lagi, ia tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Sementara Mesir, negeri piramida-piramida yang ada di mimpinya adalah negeri yang masih sangat jauh dari situ. Butuh uang yang tidak sedikit untuk sampai kesana. Dan ia menemukan dirinya tidak mungkin meneruskan perjalanan.
6. Kejatuhan
Ia menyadari keadaanya sekarang, ia tidak mungkin melanjutkan perjalanan. Satu-satunya hal yang ia pikirkan saat itu adalah pulang ke negerinya dan menjadi gembala lagi. Pada saat kelaparan dan mencari makan, ia bertemu dengan penjual kristal dan diterima sebagai pegawai di tokonya. Kesempatan bagus itu tidak ia sia-siakan. Ia menerima pekerjaan itu dengan senang hati. Yang ada di kepalanya saat itu hanyalah bagaimana ia mendapat uang untuk kembali ke negerinya, juga uang untuk membeli beberapa domba untuk dia gembalakan lagi. Ia telah mulai melupakan perjalanannya menuju negeri dalam mimpinya, bahkan ia berpikir betapa bodohnya ia menjual seluruh dombanya hanya untuk membuktikan kebenaran mimpinya.
CONCLUSION
7. Kebangkitan
Hari demi hari ia lalui dengan bekerja di toko kristal tersebut. Suatu saat, berkat inovasi-inovasinya, toko kristal itu maju pesat dan memperoleh keuntungan yang belum pernah diraih sepanjang sejarah toko itu berdiri. Pemilik toko kristal sangat bangga kepadanya, ia diberi upah sesuai dengan kerja kerasnya itu. Beberapa tahun kemudia ia telah memperoleh uang yang cukup untuk kembali ke negerinya, bahkan juga untuk membeli domba-domba yang lebih banyak dibanding yang pernah ia miliki dulu. Bukan hanya itu, ia juga telah belajar Bahasa Arab, bahasa yang dulu pernah tidak ia pahami sama sekali. Sekarang ia mengerti tentang kristal dan mungkin berminat untuk menjadi tukang kristal di negerinya. Namun ketika ia sedang bersiap-siap untuk pulang ke negerinya, ada satu hal yang mengugah kesadarannya kembali, yang mengingatkannya kembali kepada mimpinya; dua buah batu yang pernah diberikan oleh Sang Raja. Ia berpikir kembali. Ia berpikir bahwa ia bisa membeli domba-dombanya kapan saja, bahkan sekarang ia telah mengerti tentangn kristal, tapi untuk pergi ke tempat yang ada dalam mimpinya mungkin ia tidak akan bisa lagi kecuali saat ini. Akhirnya, dengan keyakinan seperti keyakinannya ketika memutuskan untuk menjadi gembala, ia memutuskan untuk pergi bersama rombongan karapan ke negeri piramida-piramida, ke negeri dalam mimpinya, ke negeri dimana ia akan menemukan harta karunnya; Mesir.
8. Dunia Sempurna
Dalam perjalanan Anak itu juga bertemu dengan beberapa kawan. Ia juga bertemu dengan seorang yang disebut Alchemist. Orang itu adalah orang yang bisa membuat logam menjadi emas dengan ramuan yang ia punya. Alchemist juga banyak memberikan pencerahan kepada Anak itu. Di tengah padang pasir, pada sebuah Oasis, Anak itu bertemu seorang wanita —yang entah kenapa— ia yakin adalah calon pendampingnya. Namanya Fatima. Anak itu berjanji kepada Fatima bahwa ia akan menikahinya suatu saat nanti.
Ia belajar banyak hal dari gurun dan orang-orang yang ia temui. Bahkan ia dipercaya untuk menjadi orang kepercayaan untuk salah satu suku di padang oasis tersebut. Ia dipercaya bisa meramal sesuatu yang akan datang dari 'visi'-nya. Di tengah gurun pasir ia juga menemui beberapa macam rintangan. Dari mulai peperangan antar suku, perampok dan lain-lain.
Setelah ia berhasil mengatasi berbagai macam rintangan tersebut akhirnya ia sampai di tempat yang sangat ia kenal dalam mimpinya. Namun sebelum ia sempat menggali harta karunnya ia bertemu perampok yang ingin membunuh dan mengambil uangnya. Sang perampok bertanya dari mana Anak itu berasal dan apa tujuannya datang ke tempat itu. Karena takut dibunuh, Anak itu menjawab sejujurnya bahwa ia pernah bermimpi tentang harta karun di bawah sebuah piramida dan ia datang ke sini untuk membuktikan mimpi tersebut. Tak disangka perampok tersebut tertawa. Ia mengatakan betapa bodohnya Anak itu percaya dengan mimpi. Perampok itu mengatakan bahwa dulu juga ia pernah bermimpi tentang harta karun yang ada pada sebuah gereja yang terbengkalai --dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah berdiri, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala mengembalakan domba mereka. Tapi ia tidak mempercayai mimpi tersebut.
Setelah mengambil seluruh uang yang dipunya Anak itu, sang perampok melepaskannya.
Anak itu kembali ke negerinya. Ia tidak mendapatkan harta karun di bawah piramida. Namun ia tidak menyesali perjalanan seribu satu rasa itu. Ia telah banyak belajar dari perjalanan membuktikan mimpi tersebut. Ia juga bertemu berbagai macam orang dan mendapatkan pengalaman yang sungguh luar biasa. Yang tidak mungkin ia dapati andai saja ia hanya menjadi seorang gembala. Ia puas bisa membuktikan mimpinya, karena tidak semua orang bias membuktikan mimpi mereka, walaupun bukti dari mimpi tersebut adalah salah.
Dengan pertolongan dari Alchemist akhirnya Anak tu sampai kembali ke negeri asalnya. Setibanya di negerinya, ada pikiran yang mengendap dalam ingatannya tentang perampok yang mengambil seluruh uangnnya di piramida. Perampok itu mengatakan tempat yang sangat tidak asing baginya; sebuah gereja tua penuh tanaman rambat yang sudah tidak digunakan, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala mengembalakan domba mereka. Anak itu pergi ke gereja yang sangat ia kenal itu —yang kata perampok tersebut ia pernah bermimpi menemukan harta karun di dalamnya, dan menemukan harta karun.
Dengan harta karun tersebut ia bisa membeli apapun. Namun yang ada dalam kepalanya hanya satu; kembali ke Oasis di sebuah gurun pasir jauh di seberang negerinya dan menikahi Fatima.
Nb: Saya membaca The Alchemist beberapa tahun yang lalu. Itu adalah novel yang tidak pernah bosan saya baca berulang ulang. Ketika menulis Outline ini saya tidak sedang membaca kembali novel tersebut. Alur cerita yang sangat jelas mungkin salah satu yang menjadikan The Alchemist terus mengendap dalam kepala saya walaupun saya telah membacanya bertahun-tahun yang lalu.
SET UP
1. Dunia Sempurna yang Semu
Santiago nama anak itu. Ia memutuskan hidup sebagai pengembala. Ia bahagia dan bangga akan keputusan itu. Padahal ayahnya menginginkannya menjadi pendeta, namun Anak itu menolak dan meyakinkan ayahnya tentang keinginannya untuk menjadi gembala. Akhirnya ayahnya mengizinkan. Anak itu merasa hidupnya bahagia karena selain ia hidup sesuai dengan keinginannya, ia juga menjadi pengembala yang cukup sukses. Dombanya sehat, banyak dan menghasilkan uang yang cukup. Ia bangga dengan semuanya itu sampai suatu saat, ketika ia sedang tidur pada sebuah gereja yang terbengkalai --dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah berdiri, ia bermimpi tentang harta karun di sebuah negeri yang jauh, negeri piramida-piramida.
2. Penyadaran
Awalnya ia menganggap mimpi itu hanya bunga tidur dan tidak bermakna apa-apa. Namun mimpi itu hadir kembali sekali lagi. Mimpi yang sama, betul-betul sama. Itu membuatnya sedikit terganggu dan berniat menanyakan arti mimpinya ke seorang peramal. Seorang peramal mengatakan bahwa mimpi tersebut adalah benar adanya. Ia akan menemukan harta karun di suatu negeri tempat piramida-piramida dibangun. Ada juga orang tua —yang menyebut dirinya raja Salem— mengatakan kepada Anak itu tentang makna mengikuti mimpi. Sang Raja juga memberikan dua buah batu yang ia sebut Urim dan Tumim untuk digunakan ketika Anak itu merasa bimbang dalam mengambil keputusan.
3. Persiapan Perjalanan
Anak itu memutuskan untuk membuktikan apakah mimpinya itu benar atau tidak. Ia telah yakin terhadap keputusannya. Dan karena untuk pergi ke negeri dalam mimpinya itu ia butuh uang, maka Ia menjual seluruh dombanya. Kemudian ia pergi menyebrang lautan. Pergi ke negeri dalam mimpinya, Mesir.
CLIMAX
4. Naik ke Atas
Anak itu menyebrangi laut. Dengan uang yang ia peroleh dari menjual seluruh dombanya, ia yakin akan cukup untuk pergi ke negeri tersebut. Segala hal sudah ia persiapkan. Ia melangkah menuju impiannya dengan percaya diri. Namun tidak berapa lama berselang setelah dia tiba di pelabuhan di seberang negerinya, seseorang menipunya. Uangnya dicuri. Seluruhnya.
5. Musim Badai
Ia terjebak di negri yang jauh dari negerinya tanpa uang. Tanpa bisa pulang. Tidak ada satupun orang yang ia kenal di tempat itu. Dan yang lebih parahnya lagi, ia tidak mengerti bahasa yang mereka gunakan. Sementara Mesir, negeri piramida-piramida yang ada di mimpinya adalah negeri yang masih sangat jauh dari situ. Butuh uang yang tidak sedikit untuk sampai kesana. Dan ia menemukan dirinya tidak mungkin meneruskan perjalanan.
6. Kejatuhan
Ia menyadari keadaanya sekarang, ia tidak mungkin melanjutkan perjalanan. Satu-satunya hal yang ia pikirkan saat itu adalah pulang ke negerinya dan menjadi gembala lagi. Pada saat kelaparan dan mencari makan, ia bertemu dengan penjual kristal dan diterima sebagai pegawai di tokonya. Kesempatan bagus itu tidak ia sia-siakan. Ia menerima pekerjaan itu dengan senang hati. Yang ada di kepalanya saat itu hanyalah bagaimana ia mendapat uang untuk kembali ke negerinya, juga uang untuk membeli beberapa domba untuk dia gembalakan lagi. Ia telah mulai melupakan perjalanannya menuju negeri dalam mimpinya, bahkan ia berpikir betapa bodohnya ia menjual seluruh dombanya hanya untuk membuktikan kebenaran mimpinya.
CONCLUSION
7. Kebangkitan
Hari demi hari ia lalui dengan bekerja di toko kristal tersebut. Suatu saat, berkat inovasi-inovasinya, toko kristal itu maju pesat dan memperoleh keuntungan yang belum pernah diraih sepanjang sejarah toko itu berdiri. Pemilik toko kristal sangat bangga kepadanya, ia diberi upah sesuai dengan kerja kerasnya itu. Beberapa tahun kemudia ia telah memperoleh uang yang cukup untuk kembali ke negerinya, bahkan juga untuk membeli domba-domba yang lebih banyak dibanding yang pernah ia miliki dulu. Bukan hanya itu, ia juga telah belajar Bahasa Arab, bahasa yang dulu pernah tidak ia pahami sama sekali. Sekarang ia mengerti tentang kristal dan mungkin berminat untuk menjadi tukang kristal di negerinya. Namun ketika ia sedang bersiap-siap untuk pulang ke negerinya, ada satu hal yang mengugah kesadarannya kembali, yang mengingatkannya kembali kepada mimpinya; dua buah batu yang pernah diberikan oleh Sang Raja. Ia berpikir kembali. Ia berpikir bahwa ia bisa membeli domba-dombanya kapan saja, bahkan sekarang ia telah mengerti tentangn kristal, tapi untuk pergi ke tempat yang ada dalam mimpinya mungkin ia tidak akan bisa lagi kecuali saat ini. Akhirnya, dengan keyakinan seperti keyakinannya ketika memutuskan untuk menjadi gembala, ia memutuskan untuk pergi bersama rombongan karapan ke negeri piramida-piramida, ke negeri dalam mimpinya, ke negeri dimana ia akan menemukan harta karunnya; Mesir.
8. Dunia Sempurna
Dalam perjalanan Anak itu juga bertemu dengan beberapa kawan. Ia juga bertemu dengan seorang yang disebut Alchemist. Orang itu adalah orang yang bisa membuat logam menjadi emas dengan ramuan yang ia punya. Alchemist juga banyak memberikan pencerahan kepada Anak itu. Di tengah padang pasir, pada sebuah Oasis, Anak itu bertemu seorang wanita —yang entah kenapa— ia yakin adalah calon pendampingnya. Namanya Fatima. Anak itu berjanji kepada Fatima bahwa ia akan menikahinya suatu saat nanti.
Ia belajar banyak hal dari gurun dan orang-orang yang ia temui. Bahkan ia dipercaya untuk menjadi orang kepercayaan untuk salah satu suku di padang oasis tersebut. Ia dipercaya bisa meramal sesuatu yang akan datang dari 'visi'-nya. Di tengah gurun pasir ia juga menemui beberapa macam rintangan. Dari mulai peperangan antar suku, perampok dan lain-lain.
Setelah ia berhasil mengatasi berbagai macam rintangan tersebut akhirnya ia sampai di tempat yang sangat ia kenal dalam mimpinya. Namun sebelum ia sempat menggali harta karunnya ia bertemu perampok yang ingin membunuh dan mengambil uangnya. Sang perampok bertanya dari mana Anak itu berasal dan apa tujuannya datang ke tempat itu. Karena takut dibunuh, Anak itu menjawab sejujurnya bahwa ia pernah bermimpi tentang harta karun di bawah sebuah piramida dan ia datang ke sini untuk membuktikan mimpi tersebut. Tak disangka perampok tersebut tertawa. Ia mengatakan betapa bodohnya Anak itu percaya dengan mimpi. Perampok itu mengatakan bahwa dulu juga ia pernah bermimpi tentang harta karun yang ada pada sebuah gereja yang terbengkalai --dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah berdiri, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala mengembalakan domba mereka. Tapi ia tidak mempercayai mimpi tersebut.
Setelah mengambil seluruh uang yang dipunya Anak itu, sang perampok melepaskannya.
Anak itu kembali ke negerinya. Ia tidak mendapatkan harta karun di bawah piramida. Namun ia tidak menyesali perjalanan seribu satu rasa itu. Ia telah banyak belajar dari perjalanan membuktikan mimpi tersebut. Ia juga bertemu berbagai macam orang dan mendapatkan pengalaman yang sungguh luar biasa. Yang tidak mungkin ia dapati andai saja ia hanya menjadi seorang gembala. Ia puas bisa membuktikan mimpinya, karena tidak semua orang bias membuktikan mimpi mereka, walaupun bukti dari mimpi tersebut adalah salah.
Dengan pertolongan dari Alchemist akhirnya Anak tu sampai kembali ke negeri asalnya. Setibanya di negerinya, ada pikiran yang mengendap dalam ingatannya tentang perampok yang mengambil seluruh uangnnya di piramida. Perampok itu mengatakan tempat yang sangat tidak asing baginya; sebuah gereja tua penuh tanaman rambat yang sudah tidak digunakan, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala mengembalakan domba mereka. Anak itu pergi ke gereja yang sangat ia kenal itu —yang kata perampok tersebut ia pernah bermimpi menemukan harta karun di dalamnya, dan menemukan harta karun.
Dengan harta karun tersebut ia bisa membeli apapun. Namun yang ada dalam kepalanya hanya satu; kembali ke Oasis di sebuah gurun pasir jauh di seberang negerinya dan menikahi Fatima.
Nb: Saya membaca The Alchemist beberapa tahun yang lalu. Itu adalah novel yang tidak pernah bosan saya baca berulang ulang. Ketika menulis Outline ini saya tidak sedang membaca kembali novel tersebut. Alur cerita yang sangat jelas mungkin salah satu yang menjadikan The Alchemist terus mengendap dalam kepala saya walaupun saya telah membacanya bertahun-tahun yang lalu.
Minggu, 08 Januari 2012
Muhammad
Rindu kami padamu ya rasul
Rindu tiada terperi
Berabad jarak darimu ya rasul
Serasa dikau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah kami membalas cintamu
Secara bersahaja
-Bimbo
Mungkin iman memang sesuatu yang absurd untuk dipetakan. Perjalanan keimanan bukanlah perjalanan yang linier, ia begitu fluktuatif. Kadang-kadang menurun seperti palung yang dalam, kadang-kadang melesat seperti sebuah lompatan kuantum. Hari ini bisa jadi kau membenci sesuatu, tetapi mungkin lain di hari yang lain.
Hinaan terhadap Nabi Muhammad kembali muncul. Seseorang boleh jadi sangat membenci Muhammad Rasulullah, seperti yang kita lihat belakangan di halaman-halaman web, tentang komik-komik yang menggambarkan Muhammad sebagai seorang amoral yang berusaha bersembunyi di balik firman Tuhan. Tetapi, kebencian bukanlah akhir dari segalanya, seseorang yang belum kita kenal itu bisa jadi hanya belum tahu apa-apa tentang Muhammad, lalu kebencian mengusai hatinya.
Kebencian bukanlah akhir dari segalanya, setidaknya itulah yang saya yakini ketika mengingat kembali kisah Umar Bin Khattab, juga Saint Paul dari Tarsus. Keduanya adalah contoh yang sempurna untuk menunjukkan bahwa kebencian hanyalah bagian dari absurditas iman yang kadang-kadang justru mengantarkan seseorang pada iman yang paling tinggi.
Umar bin Khattab semula adalah penentang Islam dan pembenci Muhammad yang paling keras. Bahkan ia berusaha membunuh Muhammad dan menghalang-halangi setiap orang yang menambatkan imannya pada keponakan Abu Thalib itu. Tetapi iman memang absurd, justru ketika ia mengenal Muhammad dari dekat, ia mengalami lompatan iman (leap of faith, meminjam istilah Kierkegaard) yang luar biasa. Pada gilirannya, dialah pembela Islam dan pelindung Muhammad yang paling keras. Umar Sang Pemberani, Singa Padang Pasir, begitulah Muhammad Rasulullah menjulukinya untuk keberanian dan pengorbanannya membela Islam dan melindungi Sang Rasul dari segala marabahaya.
Contoh lain juga mengabarkan hal serupa. Saul dari Tarsus, Silisia, seorang keturunan Yahudi pembenci Yesus dan penentang ajaran Kristiani. Pada gilirannya ia menjadi seorang apostle, seorang saint, yang sangat berpengaruh dalam sejarah persebaran iman Kristiani dan pembela Yesus nomor satu. Lalu ia dikenal kemudian sebagai Saint Paul atau Paulus, sosok penting dalam penyebaran iman Kristiani. Dalam kasus ini, lompatan iman kembali terjadi dengan absurditas yang sulit dimengerti.
Untuk menyebut nama lain, kita mengenal Mariam Jamila, Dr. Jenkins, dan lainnya yang mengalami hal serupa. Bahwa kebencian bukanlah akhir dari segalanya, kebencian mungkin hanyalah bentuk dari ketidaktahuan, atau ketidakingintahuan.
Lagi-lagi, penghinaan terhadap Muhammad Rasulullah muncul. Di tengah hiruk-pikuk orang-orang yang berteriak geram, saya hanya diam, sambil membayangkan Rasulullah yang agung itu sedang bertanya sendu: benarkan kalian mencintaiku? Ketika sampai pada pertanyaan itu, saya menimbang: haruskan saya marah dan turun ke jalan, membakar ban dan melempari apa saja—menuduh siapa saja? Ataukah saya harus memberitahu mereka, mengabarkan sosok Muhammad, yang di mata Goethe, adalah cahaya di atas cahaya. “Seorang manusia yang kompleks dan penuh kasih,” kata Karen Armstrong.
Bila Muhammad masih di sekitar kita, melihat penghinaan itu, ia mungkin akan mengatakan hal yang sama seperti saat ia dilempari batu dan dihinakan orang-orang di Thaif, dan Jibril yang sedih melihat itu menawarkan sesuatu pada Sang Nabi, “Bila Kau mau, Kekasih Allah, aku bisa membalikkan bumi dan menimpakan gunung kepada mereka.” Lalu Muhammad menjawab, “Tidak! Sesungguhnya mereka hanya belum tahu.”
Mereka hanya belum tahu, maka kebencian merambati hatinya dan meledakkan komik-komik itu di mana-mana. Andai saja mereka tahu, batin saya berbisik.
Maka, saya memutuskan untuk tidak meledakkan kemarahan di jalan-jalan, yang saya ingin lakukan hanyalah satu: saya ingin mengabarkan tentang siapa Muhammad Rasulullah pada sebanyak mungkin orang, pada siapa saja. Sebab, kejadian ini seperti menyentakkan kesadaran saya, seperti Rasulullah yang bertanya sendu: benarkah kalian mencintaiku?
No Religion is an Island. Tak ada agama yang menjadi pulau bagi dirinya sendiri, kata Abraham Heschel, seorang Rabi Yahudi. Mustahil bila agama-agama di dunia ini mengisolasi diri dari yang lain dalam menghadapi masalah-masalah kemanusiaan. Selama ini cara beragama kita seperti saling mengasingkan bahkan penuh persaingan. Kita masih terjebak pada logika kami dan mereka, aku dan kamu, seraya menjerembabkan mereka ke dalam penghinaan. Padahal sebuah agama tidak bisa hanya menjadi pulau yang bersendiri, tak bisa hanya mengandalkan kami, sebab mereka bisa jadi merupakan orang-orang yang menyempurnakan iman kita.
Jadi, lihatlah sisi lainnya. Mungkin komik-komik itu justru mengingatkan kita, benarkah kita sudah cukup mencintai Muhammad Rasulullah? Juga bisa jadi, komik-komik itulah yang menyadarkan kita bahwa selama ini betapa abai kita pada sosok Muhammad. "Saatnya menyebarkan cinta," itulah yang akan dikatakan Jalaluddin Rumi bila mengetahui semua ini. Bila mereka begitu rajin menghina dan mengolok-olok Muhammad Rasulullah, seberapa rajinkah kita memuji dan mengagungkannya?
Iman adalah sesuatu yang absurd dan tak bisa disimpulkan begitu saja. Bila kita mengabarkan cinta pada semua manusia, bila kita mengabarkan keagungan Muhammad pada semua manusia, orang-orang yang selama ini membencinya bisa jadi akan berbalik memendam cinta yang paling dalam. Bisa jadi, seperti Saul pada Yesus. Seperti Umar pada Muhammad.
Dikutip dari Fahd Djibran
Minggu, 01 Januari 2012
Apakah Hari Ini Satu Januari Duaribu Duabelas?
Kapan tangal satu Januari dirayakan sebagai tahun baru?
Tanggal 1 Januari dirayakan sebagai Hari Tahun Baru pertama kali dalam sejarah pada 1 Januari tahun 45 Sebelum Masehi.
Namun ada beberapa fakta yang berkaitan dengan Penanggalan Masehi ini. Diantaranya:
Sumber (National Geographic Indonesia, Air Hidup, Belajar Sampai Mati, Wikipedia)
Yeah, begitulah. Sampai saat ini pengunaan Kalender Masehi sudah dipakai dua ribu tahun lamanya, sehingga udah nggak mungkin dirubah lagi. Dan jika kita mengakui penelitian-penelitian tersebut, sesunguhnya kita berdiri pada waktu yang bukan yang seharusnya. Hari ini seharusnya bukan tanggal 1 Januari 2012. Kita berada pada waktu yang salah.
Selamat tahun yang katanya baru!
Tanggal 1 Januari dirayakan sebagai Hari Tahun Baru pertama kali dalam sejarah pada 1 Januari tahun 45 Sebelum Masehi.
Namun ada beberapa fakta yang berkaitan dengan Penanggalan Masehi ini. Diantaranya:
1. Julius Caesar mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Penanggalan baru tersebut dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Inilah kemudian yang disebut Kalender Julian. Sistem tersebut digunakan secara resmi di seluruh Eropa, hingga diterapkannya kalender Gregorian oleh Paus Gregorius XVIII pada 1582. Jadi ada dua penanggalan “Masehi” yang dikenal sampai sekarang, yaitu Kalender Julian dan Kalender Gregorian.
2. Pada tahun 1582 juga, Kalender Gregorian melakukan pengurangan hari. Kamis 4 Oktober 1582 langsung diikuti Jumat 15 Oktober 1582. Walaupun begitu, penanggalan yang banyak dipakai sekarang ini adalah penanggalan mengunakan Kalender Gergorian.
3. Kata “Masehi” berasal dari “Mesias” dalam bahasa Ibrani dan “Kristus” dalam bahasa Yunani. Jadi, jika ketika kita menyebut 50 SM (Sebelum Masehi) itu artinya 50 tahun sebelum kelahiran Kristus. Jika kita menyebut tahun 2012 M (Masehi) maka maksudnya 2012 tahun setelah kelahiran Kristus. Tapi Menurut beberapa penelitin, Yesus atau Nabi Isa bagi umat Islam lahir beberapa tahun sebelum itu. Ada yang bilang 4 tahun ada yang bilang 6 tahun sebelum itu. Artinya Yesus lahir “Sebelum Masehi”.
Sumber (National Geographic Indonesia, Air Hidup, Belajar Sampai Mati, Wikipedia)
Yeah, begitulah. Sampai saat ini pengunaan Kalender Masehi sudah dipakai dua ribu tahun lamanya, sehingga udah nggak mungkin dirubah lagi. Dan jika kita mengakui penelitian-penelitian tersebut, sesunguhnya kita berdiri pada waktu yang bukan yang seharusnya. Hari ini seharusnya bukan tanggal 1 Januari 2012. Kita berada pada waktu yang salah.
Selamat tahun yang katanya baru!
Langganan:
Postingan (Atom)