Halaman

Minggu, 19 Desember 2010

Cerita Sarjana

Saya menyetop taxi dan melaju ke arah Jakarta, ke Balai Sudirman. Bersama ibu dan bapak, ingin menghadiri acara wisuda. Wis Udah. Acara perayaan peng-ahir-an study.

Setelah masuk gedung, bapak dan ibu duduk. Saya bingung. Saya tidak tahu harus ngapain lagi, harusnya kemarin saya ikut gladiresik. Harusnya saya punya lebih banyak teman di gedung itu, untuk sekedar bertanya.

Ah, ada panitia di sana. Saya bisa tanya sekalian ngobrol dan berkenalan. Hai, panitia ya? Kalo nomor satu tiga tujuh barisnya dimana ya? Saya bertanya ke seorang panitia. Cewek. Oh, iya di sini, dia menjawab.

Permulaan yang bagus. Makasi ya, saya berucap. Kok gak ada name tag-nya? Namanya siapa? Saya bertanya lagi. Hana, dia menjawab. Dan percakapan selanjutnya adalah:

Saya: semester berapa?
Hana: semester satu.
Saya: oh, baru ya.
Hana: iya.

Kemudian percakapan jeda beberapa lama…. Mungkin beberapa jam. Mungkin beberapa bulan. Iseng-iseng saya buat percakapan lagi. Percakapan iseng-iseng.

Saya: hana, ya?
Hana: iya tadikan udah kenalan.
Saya: ngak. Maksud saya, nama kamu kok familiar ya? Saya pernah liat foto kamu juga. Dimanaaa gituh. Di mading kayaknya.
Hana: masa sih? *sambil mesem-mesem. Ngingat-ngingat foto apa yang dia tempel di mading*
Saya: iya mading kampus. Ada tulisannya juga.
Hana: ah, enggak.
Saya: iya saya ingat. Tulisannya apa ya?…. wanted, kalo gak salah.
Hana: hahaha…

Acara berlangsung sesuai jadwal. Ah, seharusnya begini setiap acara, tertib waktu. Ada pidato ilmiah dari seorang profesor doktor. Ah, pasti bayarannya mahal. Benar-benar menghipnotis. Saya melihat beberapa teman setengah tertidur. Gak percuma professor itu dibayar mahal. Istri saya SMS di tengah acara, “Lagi apa?”. Saya jawab, “Lagi mau tidur.”

Pidato professor mengingatkan saya pada Hoeda Manis, penulis yang produktif itu. Buku terbarunya akan segera terbit, Learning is Easy, terbitan Elex Media Komputindo (oh ya, kalo kebetulan kamu baca tulisan ini Hoed, berarti kita impas ya. Dan aku tunggu kiriman bukunya. Hehe… ). Kalo penulis lain butuh popularitas dari fesbuk, Hoeda ngak. Mungkin dia berpikir fesbuk terlalu bising. Dia tipe penulis yang menulis karena ingin menulis. Karena senang. Aku adalah jasad kosong yang menyusuri jalan, dan menulis membuatku merasa memiliki jiwa, katanya pada setiap orang.

Oh, kenapa saya tiba-tiba ingat dia? Ya, mungkin karena pidato profesor itu mirip dengan pendapat Hoeda tentang pendidikan dan pembelajaran. Dia menulis: Jangan pernah meyakini sedetikpun bahwa sekolah dan pendidikan formal adalah satu-satunya cara pembelajaran. Sekolah dan pendidikan formal adalah semacam ‘pemaksa’ agar kita mau belajar. Orang-orang kebanyakan menilai kita sebagai orang yang belajar apabila kita bersekolah, dan mereka akan menilai kita sebagai seorang yang tidak belajar bila tidak sekolah. Atau dengan kata lain, kita akan menjadi pintar bila sekolah dan akan menjadi bodoh jika tidak sekolah.

Ya, sepertinya memang pemahaman itu yang dari dulu kita pegang, kawan. Bahwa sekolah adalah satu-satunya sarana pembelajaran. Sehingga sadar atau tidak kita menjadikannya sebagai ‘gengsi pendidikan’. Kita menjadikan pendidikan formal menjadi suatu gengsi. Mendapat nilai bagus menjadi sebuah gengsi. Kita kuliah, karena ingin meningkatkan gengsi —walaupun ada sebagian yang melakukannya dengan ogah-ogahan atau asal-asalan. Kita memiliki status yang jelas sebagai mahasiswa. Sebagai orang yang sedang belajar. Sebagai orang yang berpendidikan.

Dan ketika kita telah lulus dan punya title, kita pun masih ingin melanjutkan sekolah lagi. Apakah itu berarti kita kecanduan sekolah? Mungkin. Ivan Illich mengatakan bahwa sekolah dan segala bentuk pendidikan formal pada akhirnya tidak mencerdaskan siswa, melainkan hanya menciptakan ketergantungan atau perasaan kecanduan yang neurotic.

Sudah waktunya bagi kita untuk menyadari bahwa sekolah dan segala bentuk pendidikan formal hanyalah bagian kecil dari ruang lingkup pendidikan yang maha luas bernama kehidupan. Sekolah itu penting, tapi belajarlah yang terpenting. Belajar itu wajib, tapi sekolah sunah. Intinya tidak apa tidak sekolah, tapi tidak boleh tidak belajar.

Acara berakhir sesuai jadwal. Orang tua saya memilih menunggu di luar. Saya berfoto-foto dengan beberapa fans. Setelah berfoto, saya menyelinap ke luar gedung. Menyelinap dari kerumunan. Sendirian. Di luar telah menunggu kedua orang tua saya. Saya bersalaman dan mengucap terimakasih.

Kita naek angkot aja pak pulangnya, kata saya ke bapak. Oke, kata beliau. Ya, kehidupan telah mengajarkan saya untuk mengirit, kawan. Selamat menjadi sarjana. Selamat belajar. Selamat mencari makan, kawan.

Sabtu, 18 Desember 2010

Hanya untuk Membantu Mengingat Kembali, Maka Saya Perlu Menulis

Hari ini saya ngeliat buku jurnal. Di dalemnya ada kalender dari tahun 2007 sampe 2017. Saya sejenak ngeliat catetan-catetan dari tahun 2007 sampe 2010. Kesimpulan di kepala saya satu; perasaan baru kemaren saya disunat.

Rasanya saya hanya hidup hari ini aja. Hari-hari sebelumnya hanya ingatan, hanya sebentuk memori di kepala. Saya selalu ngebayangin otak manusia adalah sebuah CPU, yang punya memori dan kapasitas. Andaikan memori itu dicabut, kmungkinan saya gak akan inget hari kemarin. Dan hilanglah konsep waktu kemarin dan akan datang. Waktu itu gak ada, yang ada hanya saat ini.

Itulah guna catatan, untuk membantu memori di kepala saya mengingat-ingat. Jadi kalo memori di kepala saya konslet, saya akan meminta orang lain untuk mengingatkan tentang catatan-catatan ini: 2 April 2007, pertama kali saya masuk kerja. Saya dapet banyak temen, juga pacar. Saya mengumpulkan uang dan bisa beli laptop di bulan Nopember tanggal 2, 2008. Awal Juli 2009 buku pertama terbit. Dan tanggal 28 juli pada tahun yang sama —satu hari sebelum saya berusia 24— saya menikahi wanita yang saya suka. Tahun berikutnya lagi, tanggal 15 Maret, saya bisa kredit rumah. Enam  Juli 2010, anak pertama saya lahir. Dan sepertinya baru kemarin saya diwisuda, 16 Desember 2010. Dan saya ngerasa seperti sedang bermain The Sims.

Memang urutannya agak ngaco. Kalo manusia ‘normal’ lulus kuliah, kerja trus nikah. Saya; kerja, nikah, punya anak baru lulus kuliah. Mungkin seperti itulah hidup dalam pandangan saya; menunggu saat yang tepat untuk bertindak.

Ya, saya bisa menceritakan empat tahun hidup hanya dalam satu paragraf. Adapun sisa hari-hari dan bulan-bulan yang gak saya certain adalah tugas rutin hidup; bangun jam lima, kerja, pulang jam tujuh malam, nonton TV, makan, ngobrol, tidur. Akhir bulan gajian. Hari libur jalan-jalan. Kalo dapet 100 miliar keliling eropa.

Menarik memperhatikan saya tidur dalam satu hari, yang mungkin kira-kira 6 jam. Berarti, setidaknya 1/3 dari satu hari hidup saya dihabiskan untuk tidur. Dan berarti, dalam umur saya yang sekarang kira-kira 8 tahun saya habiskan untuk tidur. Dan berarti, saya hampir sama dengan Ashabul Kahfi. Begitupun kalo saya hitung waktu saya nonton TV, makan, mandi, terjebak macet dalam satu hari. Mungkin sekitar 3 tahunan saya habiskan untuk itu. Belum lagi dikurangi masa kanak-kanak, masa yang juga dilewati dalam keadaan yang hampir gak sadar. Dan kalo mao diterusin, masih akan ada banyak lagi pengurangan-pengurangan yang lain. Jadi kesimpulannya, yang tersisa dari hidup saya ini hanyalah beberapa tahun. Dan sadar atau nggak, saya pun mengurang.

Dan apa nilai penting hidup dalam ‘kependekan’ ini.

Senin, 04 Oktober 2010

kecoak dan tempat sampah; sebuah kisah

Sebuah tempat sampah tergeletak retak di dapur. Seekor kecoa sedang mencari-cari kepalanya yang dua hari lalu hilang.

Kecoak memulai percakapan, “hai tempat sampah, kau tahu dimana kepalaku?”

Dapur itu sangat hening. Jika ada selembar rambut jatuh, suaranya akan terdengar menggelegar dan mengagetkan seisi rumah.

“Aku tidak tahu. Yang aku tahu; aku tidak tahu kalau kau punya kepala.” Jawab tempat sampah retak sejujurnya, atau mungkin sebohongnya.

“Ya, kemarin ada manusia iseng menginginkan kepalaku untuk dijadikan koleksi,”

“lalu?” potong tempat sampah penasaran.

“ya lalu aku mencari-cari tempat dimana ia menyimpan kepalaku, atau mungkin juga kepala-kepala binatang-binatang lain. Apakah manusia pernah bercerita dimana ia menyimpannya padamu?”

“Loh, bagaimana mungkin tanpa kepala kau masih hidup?” tanya tempat sampah tanpa menghiraukan pertanyaan kecoak.

“Tuhan masih mau menangguhkan umurku seminggu. Tapi setelah satu minggu itu aku akan mati.” jelas kecoak.

“Kenapa mati?” tanya tempat sampah lugu, atau mungkin dungu.

“Karena tanpa kepala aku nggak bisa makan, bodoh!” jawab kecoak serius, atau mungkin sinis, atau mungkin ingin melucu.

Dapur itu masih hening. Bahkan jika ada selembar rambut jatuh, suaranya akan terdengar menggelegar dan mengagetkan seisi rumah.

“Kenapa manusia itu begitu jahat? Apa kau punya salah?” Tempat sampah empati.

“Tentu ada!” jawab kecoak datar. Juga ingin membuat celah pertanyaan.

“Apa?” tempat sampah retak bertanya bingung.

“Kesalahanku adalah karena aku dilahirkan sebagai kecoa tak berkepala.” Kecoak puas.

“...” tempat sampah mengangguk diam. Dalam hatinya ada pertanyaan yang tidak berani ia tanyakan; sejak kapan kecoak tidak punya kepala.

Dapur itu mulai menggeliat.

“Terimakasih tempat sampahku yang baik!” kata kecoak menutup puisinya.


Bekasi, 4 Oktober 2007

Rabu, 29 September 2010

puisi

aku ingin buat puisi sesederhana pelangi
untuk kupersembahkan
pada hujan

aku ingin buat puisi seindah bebunga
untuk kupersembahkan
pada lelebah

aku ingin buat puisi sedalam gelap
untuk kupersembahkan
pada laut

aku ingin buat puisi setinggi gunung
untuk kupersembahkan
pada langit

aku ingin buat puisi sewujud-Mu
untuk kupersembahkan
pada-Mu

puisiku berderai
walau takkan pernah sampai

Bekasi, 29 September 2008








Rabu, 15 September 2010

dan tentang anak manusia

Pada sebuah musim kemarau, dengan kegalauan yang tak terucap dari balik kelopak matanya, anak itu datang. Bersama sepi ia berjinjit melewati sungai dangkal yang penuh batu-batu besar. Tangannya menggengam segumpal tanah dari makam ayahnya yang baru seminggu kemarin dikubur di Tanah Kusir.

Semilir angin menyambut tangan-tangan sepi sambil berlarian di sela-sela rambutnya yang penuh debu, sesekali ia menggoyang-goyangkannya dan mengembalikannya ke tempat semula, sesekali membuat style baru. Mereka seperti ingin berjibaku, menuju sebuah tempat dimana kematian bersemayam diam.

Mereka telah sampai.

Gincu jingga yang dipoleskan ibunya kemarin telah pudar, berganti warna pucat dan terkelupas. Kemeja putih pemberian ibunya pun lusuh dan kotor seperti menyimpan selaksa derita duka perjalanan, salah satu kantungnya robek berjuntai.

Ia telah lama sampai.

“aku telah sampai.” Si anak berucap lirih hampir tak terdengar.

Sambil menatap yang bersemayam diam ia meneruskan, “aku telah sampai pada pilihan-pilihan yang telah kau pilihkan dan kupilih. Sekarang telah bercampur deru debar dera diam desah dunguku dengan dupa dahsyatmu. Ada apa denganmu dan keegoisanmu?”

Tak ada jawaban. Sepi berteriak ngilu menghentikan riak-riak aliran sungai.

“aku bosan berdebat denganmu, kau dan diammu cukup membuatku frustasi. Tidak akan pernah kulupa pertemuan pertama kita pada lipatan waktu yang tak tercatat, pada masa dimana aku hanyalah satu dari ratusan juta embrio hidup, tujuh ratus tahun sebelum jagad raya ini tercipta. Tentu kau ingat itu, bukan?.

Sunyi.

Gumpalan-gumpalan awan hitam pada langit-langit senja berderak-derak.

“kalau berani satu lawan satu. Pasukamu terlalu banyak, begitu tangguh untuk kukalahkan. Kalau berani satu-satu, tanpa senjata, tanpa waktu, tanpa wasit, tanpa aturan, tangan kosong. Kalau berani satu! Apa kau berani?”

Semilir angin menggoyang-goyangkan rambut si anak. Masih tak ada jawaban.

Si anak serta merta melempar bongkahan tanah yang digengamnya, kematian menyalak galak diantara sepi, angin dan senja yang bersorak. Ia bangkit kemudian balas memukul meninggalkan luka di pelipis mata si anak. Tendangan telak juga mendarat tepat di perut buncit kematian dan membuatnya terpental berkilo-kilo meter.

Terus dan terus. Entah berapa banyak mereka mendaratkan pukulan dan tendangan masing-masing. Entah berapa lama mereka melakukannya. Berjibakujibakuberjibaku. Meninggalkan memar-memar ungu. Sampai tanpa sadar mereka sadar bahwa kematian adalah si anak dan si anak adalah kematian itu sendiri.

Keduanya mati.

Gerombolan awan menutup langit-langit senja itu, menjadikannya lindap paripurna.

Tetes hujan awal musim telah jatuh. Basah.

Senja mati.

Sepi pelan berkata “maut telah hadir dalam hidup, membenih, tumbuh dan kemudian memagut habis diri.”

Hujan makin riang.


Bekasi, September 2007

Rabu, 01 September 2010

kamu

andai kau semudah sudah
atau segampang bilang
tentu aku tidak perlu peluru
juga tak butuh peluh
untuk bisa mengertimu


Bekasi, September 2008

Senin, 26 Juli 2010

Anak saya adalah ...

Ketika istri saya berada pada ‘bukaan tujuh’, dokter memberikan instruksi kepada para bidan, “Kalo sampe jam 3 bayinya belum bisa keluar, harus operasi.”

Tapi,

lima menit sebelum jam tiga sore bayi itu dilahirkan dengan normal.

Kejadiannya memang gak semulus dengan apa yang barusan saya tulis. Sebagaimana kita ketahui bahwa melahirkan adalah perjuangan antara hidup dan mati, kawan! Bukan seperti membuang ingus yang menyumbat hidung. Atau seperti muntah karena masuk angin. Atau makan nasi uduk di pagi hari. Bukan! Sama sekali bukan!

Dari awal kehamilan istri, saya sering membaca artikel tantang kelahiran normal. Idealnya suami-istri yang akan punya anak adalah seperti ini.

Suami : mah, nanti mau lahir dimana?

Istri : ah, dimana aja yang penting ditemenin papah.
Suami : di dukun beranak mau?
Istri : boleh!
(dan mereka ke dukun beranak dan melahirkan tujuh anak kembar)

Namun dalam dunia saya, kejadian yang seharusnya mudah itu menjadi:

Saya : bu, mau lahir dimana?
Istri : di bidan deket rumah aja, pak! Biar lebih murah dan deket.
(saya dan istri pergi ke bidan)
Bidan-deket-rumah : wah! Ini ada miom yang menyumbat jalan lahir. Harus di oprasi!

Dunia memang gak selalu seperti yang kita inginkan.

Atas saran bidan kami dirujuk ke rumah sakit. Sampai di RSUD (tentu dengan pertimbangan biaya yang paling murah dari rumah sakit lainnya), kami masuk ruang tunggu. Saya berharap anak Perempuan kami (berdasarkan hasil USG) lahir sehat. Saya juga terus saja berdo’a semoga istri saya masih bisa melahirkan normal. Walaupun saya juga takut jika do’a saya tidak dikabulkan tuhan karena saya banyak maksiat.

Tapi.. sebagai orang yang lebih pintar dari anak TK nol kecil saya tidak kehabisan akal. Saya tahu orang yang doanya selalu dikabulkan tuhan. Ibu. Saya akan meminta ibu untuk mendoakan. “Do’a ibu” Sebagaimana yang sering kita lihat di belakang truk-truk pengangkut pasir.

Saya menghubungi ibu untuk menemani persalinan.

Dalam bayangan saya:

saya masuk ruang persalinan. Di luar ruangan ibu saya berdo’a. Ia mendengar tangisan dari dalam ruangan dan berseru, “Alhamdulillah, cucuku sudah lahir!”

Oke.

Itu idealnya.

Dalam kenyataannya:

istri saya masih pembukaan satu. Ibu saya masuk ruangan.

Saya : do’ain semoga lahirnya lancar ya, bu!
Ibu : iya!

Beberapa menit kemudian....

Ibu : ibu keluar dulu ya, Mi!
Saya : kenapa?
Ibu : gak tahan mau pingsan kalo diruangan AC.

Dan kejadian selanjutnya adalah ibu pingsan di ruangan tunggu.

....

Idealnya lagi, di saat-saat kritis seperti itu suami berada disamping istri dan memberikan kata-kata semangat, “Ayo, mah! Kamu bisa. Ini cuma seperti kebelet boker karena kamu terlalu banyak makan anak gajah!”

Namun kenyataannya dalam dunia saya, pada saat istri ‘bukaan-delapan’, saya diminta keluar. Istri saya terus menangis. Menggapai-gapai. Dan memanggil nama saya, “Jangan tinggalkan aku sendiri! Jangan tinggalkan aku sendiri! ”

Oke. Oke.

Itu terlalu lebay.

Yang jelas kejadiannya menegangkan. Lebih menegangkan dari naik tornado di dufan. Saya lebih memilih naik tornado-dufan gratis bareng temen-temen lama sekalian reunian daripada terus mendengar istri saya teriak kesakitan (ya iya lah!).

Saya diminta keluar ruangan dan menunggu dengan cemas.

Nah! Pada saat menegangkan itulah, kawan! Secara kebetulan saya bertemu bidan-deket-rumah-yang-memberi-rujukan-ke-RS sedang jalan-jalan di RS itu. Sebenernya saya sempat berpikir, ‘apa begini gaya hidup para bidan? Jalan-jalan ke RS pada waktu luang? Seperti para koruptor yang jalan-jalan ke Singapur untuk berjudi?’ (memang analoginya gak nyambung, tapi yang muncul cuma itu).

Fokus!

Serius!

Bidan-deket-rumah ternyata punya banyak kenalan si RS itu dan diperbolehkan masuk ke ruangan bersalin. Bagitu keluar, senyumnya mengembang. Senyumnya mengingatkan saya pada orang yang dapat hadiah undian satu milyar dari Pepsodent. Dengan senyum itu ia berkata, “Selamat ya... anaknya sudah lahir normal. Laki-laki. Ganteng.”

Saya kaget!

‘Normal-laki-laki’ ada di luar ekspektasi saya.

Tapi saya senang.

SMS saya kirim ke penjuru nusantara untuk mengabarkan kabar gembira itu. Saya senang. Sekali lagi saya senang.

Lima menit kemudian saya masuk ruangan dan mengazankan ‘anak-laki-laki’ itu. Saya menghampiri istri dan menanyakan nama untuk sang bayi. Istri saya menyebut nama perempuan. Saya mengusulkan nama laki-laki. Kami berdebat.

Saya : anak kita bukannya laki-laki?
Istri : perempuan. Tanya aja sama bidannya (bidan rumah sakit).

Tentu saja istri saya yang benar.

Dan kepercayaan saya pada bidan-senyum-satu-milyar-Pepsodent itu menurun drastis!

RSUD adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan betapa buruknya tabiat PNS di negeri ini. Banyak orang mati disana bukan karena penyakit, tapi karena pelayanannya. Pelayanannya bisa membuat orang sehat jadi sakit dan orang sakit jadi sekarat. Saya membayangkan ada pasien korban tabrak lari, mungkin mereka akan merespon:

Pasien : Tolong! Saya sekarat! *sambil memegang kepalanya yang berlumuran kecap! Eh, darah!*
Perawat : tunggu dulu ya, pak! Pasien kita banyak nih. *sambil pedicur*
Pasien : saya sekaraaattt... *darahnya sudah membasahi lantai*
Perawat : sabar ya... namanya juga ditabrak kontener, pasti sakit lah. Biasa itu. Masih kuat kan?
Pasien : ^^^^^^^^--------------------

Intinya: RSUD adalah senjata pembunuh masal yang sedang dicari Amerika.

Saya dan istri sudah tidak betah dan ingin pulang. Kami menginap di sana semalam dan pagi hari betul saya mengurus biaya persalinan. Namun karena bagian administrasi baru buka jam 10, jadi terpaksa saya menunggu. Jam 10 teng. Saya ke bagian administrasi. Dan apa yang saya dapati, kawan? Saya menunggu admin menulis perincian biaya selama 3 jam!

Dan setelah bulak balik konfirmasi, saya bertanya:

Saya : Biayanya kok terhitung dua hari ya? Saya kan di sini cuma sehari semalam?
Admin : ini kan sudah lewat dari jam 12 siang, jadi terhitung dua hari.
Saya : saya kan mengurus ini dari jam 10 pagi?
Admin : kan nulisnya lama *dengan tanpa merasa bersalah dan sambil nelpon urusan kondangan*

Beeeehhh!
Sepertinya, meledakan petasan di depan mejanya akan bisa membuat saya senang.

Saya membayar lunas biaya administrasi dan pulang. Saya cuma takut mati berlari kalo lama-lama di sana.

Satu hal yang membuat saya dan istri terus senang setelah pulang dari RS, anak kami lahir sehat. Dan... ini pelajaran yang paling penting yang saya dapat, kawan!

“Dunia memang gak selalu seperti apa yang kita harapkan, namun dengan keluarga dan kawan dekat yang selalu tulus membantu, segalanya jadi lebih mudah dijalani.”

Dan selamat datang di dunia-yang-gak-selalu-seperti-apa-yang-kita-harapkan ini, selamat datang bayi lima-menit-sebelum-sesar, selamat datang lima-menit-menjadi-laki-laki, selamat datang: anda telah memasuki perbatasan Provinsi Jawa Barat, selamat datang Nada Narendradhitta.

Selasa, 20 Juli 2010

namamu pada sebuah situs

begitu sentimentil
menemukan sebuah situs
jutaan tahun

mengingatkan pada kepurbaan
pada zaman dimana tuhan masih mengutus nabinabi
kepada percakapan musafiraun
di tepi pantai yang paling diam

pada sebuah malam
yang mengenangnya membuatmu luruh

ketika
kau ingat
kita pernah begitu dekat


Bekasi, 20 Juli 2007


Kamis, 08 Juli 2010

Sajak kodok

seekor kodok masuk
ke rumah ketika hujan
di dalam rumah ia berlompatan
lompat ke meja, kursi dan
dinding

kodok memang akan tetap
menjadi kodok
walaupun masuk ke rumah

aku ingin membunuh kodok menjijikan itu
tapi
tentu sang kodok mengajak teman-temannya
untuk balas dendam
membuatku teriak ketakutan

dan aku berpendapat, kejadian itu terlalu
berlebihan


Juli 2008


Rabu, 02 Juni 2010

hanya mencoba jujur

pada topeng yang mana lagi
kita menyembunyikan luka pada wajah

memar yang dalam
hitam

berapa topeng yang kita pakai untuk
bertemu macam-macam topeng yang lain
pada sebuah panggung topeng dunia

pada pikiran-pikiran
yang berkelebat di balik topeng-topeng

dan melepaskan
adalah cara jujur untuk bicara pada diri sendiri
juga pada tuhan



Bekasi, Juni 2008


Kamis, 15 April 2010

Menjadi Daun

Pada sebatang akasia hijau di sebuah sudut lereng pegunungan tumbuh sebatang tunas daun. Kecil dan merah. Sungai jernih nan sejuk tertidur dibawahnya membunyikan lagu alam yang paling subtil.

Suatu waktu, di tengah badai, daun yang mulai tumbuh besar dan kehijauan itu jatuh dalam pelukan bapak sungai. Mengalir dibawa takdir. Pasrah mengikuti lika-liku atau kelak-kelok arus yang seperti tak pernah selesai juga yang tak pernah sampai.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Suatu pagi di bulan juni, arus meninggalkannya pada sebuah batu besar. Menempel tak berdaya dibakar, terik matahari. Di atas batu, bertengger seekor bangau yang mengangkat sebelah kakinya. Sayup-sayup ia mendengar sang bangau bicara seakan pada dirinya sendiri, atau mungkin juga ia bicara padanya. “Aku ini hewan binal, dari kumpulannya terbuang kekal. Aku mau renggut sekuntum milenium lagi.”

Aha, bangau tua itu sedang membaca puisi rupanya, pikir daun. Daun mengenal puisi itu namun belum sempat memahaminya. Lebih tepatnya, ia dan puisi itu belum mau membuka diri masing-masing. Berpura-pura acuh.

“Apa yang kau lakukan pak bangau?” tanya daun. Pak bangau tidak memperhatikan pertanyaannya, sepertinya sedang berpikir dalam. Lama mereka diam. Sampai pak bangau gantian bertanya, “apa yang aku lakukan?! Kau tahu apa yang kulakukan ketika aku sedang mengangkat sebelah kakiku yang kanan?”

Kenapa ia membalikan pertanyaann itu padaku, pikir daun heran. Daun diterpa angin, menyerah.

“Aku tidak lupa untuk menurunkan sebelah kakiku yang kiri.” kata pak bangau yakin.

Setelah beberapa hari mempelajari cuaca di sekelilingnya, daun yang telah menjadi kering itu tertiup angin dan mengambang pada aliran sungai lagi.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Dalam perjalanan itu, ia bertemu seekor buaya lapar. Ia ditelan. Tertelan mungkin. Pada lambung buaya, ia melihat seekor rusa yang juga ikut tertelan. Ditelan mungkin. “buaya tidak pernah kenyang!” kata rusa, “kemarin ia menelan, ibuku, kakekku. Dan sekarang, aku.”

Daun tak banyak bicara. Disaat itu ia belajar untuk mendengarkan.

“kenapa ia tidak pergi ke laut yang punya ikan beraneka warna?” lanjut rusa berbelang kaki, “ia bisa makan sepuasnya tanpa harus hawatir kehabisan ragam.”

Irisan tajam belati tiba-tiba mengoyak lambung buaya ketika itu. Sinar matahari kembali masuk. Rusa dikeluarkan. Dan menjadi begitu bisu.

Daun dikeluarkan.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Perjalanan selanjutnya ia bertemu pemancing ikan. Daun kering telah belajar sopan santun dan mengatakan permisi ketika lewat di depan pemancing. Mau kemana kamu? Kata pemancing. Dari mana kamu? Tanyanya lagi. Siapa kamu? Apa maumu? Kenapa tubuhmu? Bagaimana nasibmu? Berapa umurmu? Bertubi-tubi.

Air sungai tetap mengalir. Disaat seperti apapun.

Ia belum sempat menjawab.

Dan akhirnya –memang akan selalu ada akhirnya— suatu sore yang cerah, ia sampai pada pelukan kakek tua samudra, bergolak-golak terbawa gelombang.

Mengalir. Terhempas. Pasrah.

Suatu saat, pikirnya, jika ada yang bertanya lagi dari mana aku, aku akan menjawab.

“aku berasal dari sebatang akasia pada sudut lereng pegunungan dimana dibawahnya mengalir sungai.”

Tapi tidak akan ada lagi yang bertanya.



Bekasi, April 2008

Jumat, 05 Maret 2010

Pada Sebuah Puisi

aku kembali lagi ke dalam buai puisi
mencari pelepasan atau sekedar rindu

mencemooh hampir mengejek
meremehkan segala yang dianggap akbar
-uang-popularitas-jabatan-kesombongan-dendam-ketidakberdayaan

aku kembali lagi ke dalam renung puisi
mencari pelepasan atau sekedar rindu

mengindahi halhal kecil
yang ditutup tabir rutinitas

aku kembali lagi ke dalam elok puisi
mencari pelepasan atau sekedar rindu

maukah ikut bersamaku menjadi burung
terbang bebas pada lanskap senja
maukah ikut bersamaku menjadi kabut
pada segenggam gelap subuh

maukah ikut bersamaku menjadi embun
di daun
atau
ingin tetap berpilu perih dengan cinta
yang kau sembunyikan sendiri

Akhirnya, aku kembali lagi ke dalam lorong sunyi puisi
mencari pelepasan atau sekedar rindu

maukah ikut
bersamaku


Bekasi, 5 Maret 2007


Jumat, 01 Januari 2010

Seperti Sebatang Bambu

Aku akan kembali bertahan,
demi sujar kata
yang sebentar lagi akan kau ucapkan

Seperti sebatang bambu,
yang menanti kecupan
hangat senja
setelah badai seharian

Aku akan kembali bertahan,
demi sekotak janji
yang sejenak lagi akan kau lupakan

Seperti sebatang bambu,
yang menanti pelukan
hangat pagi
setelah badai semalam