Halaman

Minggu, 30 Desember 2018

Merah itu Kita

Kita duduk di beranda depan rumah menunggu azan magrib. Kamu mengunyah sebatang cokelat yang hampir meleleh, aku meneguk secangkir puisi. Kamu bercerita tentang pertama kali bertemu, ketika kita masih hijau, tangan waktu mengikat hati, membuatnya harubiru. Di sebrang jalan, lalu lalang warna-warni manusia menyapa. Mereka yang kuning oleh kunyit, hitam oleh parang, yang dengan terpaksa meminum susu berwarna nila. “Kelir mereka tidak membuatku khawatir,” aku berkomentar. Langit setuju dan berangsur-angsur senja, awan gemawan putih berakhir disergap jingga yang baka. “Apakah besok kita akan melihat langit pagi biru menjadi ungu?” tanyamu. “Tak tahu. Tapi yakinlah sekarang, yang merah padamu, berdarah padaku.” kataku menutup hari.




Selamat ulang tahun,
yang fana itu pelangi,
langit sore abadi

Sabtu, 17 November 2018

Ki Hadjar, Hakikat Pendidikan dan Merancang Jalan Kebahagiaan

Istri saya, waktu SD dulu, pernah stress dan tidak percaya diri karena mendapat nilai 70. Saya pribadi tidak bisa membayangkan stress karena nilai pada usia tersebut; usia dimana saya masih suka mencoret-coret tembok dan makan krayon.


Suatu malam kawan saya Petra mengirim sebuah puisi berbahasa inggris dan 5 pertanyaan terkait dengan puisi itu. Saya menjawab semua pertanyaan dari buku kelas 4 SD milik murid privat Petra itu dengan mudah. Ia setuju dengan semua jawaban saya karena sesuai dengan apa yang ia ajarkan. Ia mengaku hanya butuh second opinion dari soal yang telah diberi nilai itu, karena 2 dari 5 pertanyaan itu disalahkan oleh sang guru sekolah.

“Maminya ngamuk nih, gak terima anaknya dikasih nilai 60. Besok katanya mau dateng ke sekolah buat ketemu sama gurunya.” Petra menjelaskan.

“Kasian gurunya.” Kata saya.

“Anaknya yang lebih kasian. Diomelin sama maminya sampe nangis sesenggukan. Dihukum suruh cuci piring.”

“Kalau maminya yakin jawaban anaknya salah, buat apa dateng ke sekolah?”

“Kayaknya dia belum yakin.”

“Kalau belum yakin salah, kenapa anaknya diomelin dan dihukum? Saya gagal paham.”

“Nah itu dia.”

“So, we agree on one thing here.” Saya mengakhiri.

Ada pertanyaan yang terus mengusik setelah kejadian itu; Apa hakikat dan tujuan pendidikan sebenarnya?

… mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Itu bukan kata saya. Itu saya kutip dari buku Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama - Pendidikan, halaman 20, paragraf terakhir sebelah kiri bawah. Selengkapnya silahkan baca sendiri. Saya sangat menyarankan guru atau siapapun yang ingin mengerti tentang pendidikan untuk membacanya. Buku yang berisi kumpulan tulisan Ki Hadjar itu sangat penting jika ingin mengerti tentang pendidkan. Sayangnya, setiap guru yang saya tanya, belum pernah membacanya. Tahu pun tidak.

Kumpulan tulisan setebal 500-an halaman tersebut disusun menjadi 8 bab inti. Dari mulai Pendidikan Nasional, Politik Pendidikan, Pendidikan Anak-anak, Pendidikan Kesenian, Pendidikan Keluarga, Ilmu Jiwa, Ilmu Adab dan terakhir Bahasa. Sebagai anak pondok, cukup menarik memperhatikan dalam buku itu juga dibahas sistem pondok atau asrama sebagai sistem nasional yang telah ada sejak lama dan sesuai dengan budaya Indonesia. Membaca seluruh isinya saya seperti disajikan pemikiran pendidikan modern. Apa yang beliau tulis adalah apa yang dipraktekan di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia.

Dalam sesi wawancara, seorang guru di Finlandia menjelaskan bahwa mereka berusaha mengajarkan anak didik untuk bisa berpikir mandiri dan kritis terhadap apa yang mereka pelajari. Seorang guru lain berkata, “We try to teach them to be happy person, to respect others and respect themself.”
Kemudian ia ditanya, “Jadi anda sangat fokus dengan kebahagiaan?”

“Ya, sangat.” Sang guru menjawab.

“What the hell do you teach?”

“I teach Math.”

“Jadi sebagai seorang guru Matematika, anda mengatakan bahwa hal yang paling utama yang anda inginkan terhadap murid-murid ketika mereka lulus adalah mereka bisa bahagia dan memperoleh kehidupan yang bahagia?”

“Ya betul.”

“Dan anda adalah guru Matematika.”

Mentri pendidikan Finlandia mengatakan bahwa anak-anak murid di sana tidak diberikan PR agar mereka punya banyak waktu untuk mejadi anak-anak, untuk menikmati hidup karena mereka hanya punya waktu sedikit untuk menjadi anak-anak. Kepala Sekolah dari sekolah yang punya jam belajar paling sedikit di belahan Barat Bumi itu mengatakan bahwa otak peserta didik harus santai, karena jika murid hanya “belajar”, “belajar” dan “belajar”, maka mereka akan berhenti berpikir, dan itu pekerjaan yang tidak berguna. Anak-anak harusnya punya banyak waktu untuk melakukan hal-hal lain setelah sekolah, seperti bermain, berkumpul bersama keluarga, olah raga, bermain musik, membaca. Guru di negara dimana murid-muridnya mendapat nilai terbaik itu mengatakan bahwa nilai bukanlah tujuan utama, tapi memperoleh kebahagiaan. Orang dengan pemikiran pendidikan yang sempit akan kepayahan menerima konsep ini.

Finlandia percaya bahwa banyak hal yang bisa membuat bahagia karena kebahagiaan adalah sumberdaya yang tak terbatas. Ia ada dimana-mana dan berlimpah. Untuk menjadi bahagia kita tidak butuh merebutnya dari orang lain. Kita tidak perlu berebut kebahagian karena ia bukanlah kompetisi yang jika seseorang sudah dapat, maka orang lain akan kehilangan. Jika mereka menang maka kamu kalah. Tidak seperti itu. Bahagia bukan tentang mengambil semuanya dan tidak menyisakan untuk orang lain. Kita bisa menempuh cara masing-masing untuk bahagia.

Nilai tidak pernah menjadi tujuan utama pendidikan. Kecerdasan, banyaknya pengetahuan dan kepintaran bukan juga tujuan melainkan alat. Ki Hadjar menulis, “Pengetahuan, kepandaian janganlah dianggap maksud atau tujuan, tetapi alat, perkakas, lain tidak. Bunganya yang kelak akan jadi buah, itulah yang harus kita utamakan. Buahnya pendidikan yaitu matangnya jiwa, yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci dan manfaat bagi orang lain.” Buah-buah pendidikan itulah yang jadi tujuan, menjadi hasil yang bisa dipetik dikemudian hari. 

Saya tidak mengatakan bahwa nilai tidak penting, tapi dalam 3 komponen proyeksi pendidikan abad 21, nilai tidak lagi menjadi sesuatu yang ada di atas kertas. 3 komponen tersebut adalah Karakter (yang bisa dibagi dua; Karakter Moral seperti iman, taqwa, jujur, rendah hati dll. dan Karakter Kinerja seperti ulet, kerjakeras, tangguh, tepat waktu dll.), Kompetensi (berpikir kritis, kreatif, komunikatif dan kolaboratif), dan Literasi atau Keterbukaan Wawasan (wawasan baca, budaya, teknologi dan keuangan). Komponen-komponen tersebut terkadang tidak bisa dinilai dengan bentuk angka, tapi karya, portofolio dan pembuktian di kehidupan nyata. Ditambah lagi perkiraan World Economic Forum (WEF) bahwa 65% anak-anak SD saat ini akan bekerja di bidang yang belum ada sekarang. Jadi mengagung-agungkan nilai di atas kertas tidak akan relevan lagi pada masa yang akan datang.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa ijazah dan pendidikan formal tidak penting, profesi seperti dokter dan ustadz misalnya, memerlukan pendidikan formal yang jelas, membutuhkan ketersambungan sanad keilmuan yang sahih, namun marilah kita kembali fokus pada tujuan pendidikan, sehingga pemahaman dan rancangan pendidikan akan mengacu pada tujuan tersebut.
Harus juga dipahami bahwa mendidik adalah merancang masa depan, tentang menyiapkan generasi baru, maka tanggungjawab melakukan itu bukan hanya di sekolah, tapi juga di rumah. Itulah mengapa edukasi pendidikan kepada orang tua menjadi penting. Saya selalu menyarankan kepada kawan-kawan yang mengurusi sekolah untuk bisa memberikan edukasi pendidikan kepada orang tua murid. Sehingga kondisi guru dan orang tua murid menjadi selaras. 

Memang sulit mengubah paradigma pendidikan masa lalu yang usang. Prinsip dalam memberi hukuman contohnya, seringkali tidak menjadikan anak insaf. Saya pernah menemui beberapa guru dan orang tua yang melupakan prinsip dasarnya. Satu dari tiga syarat hukuman yang perlu dipegang adalah ia harus selaras dengan kesalahannya. Jika anak datang terlambat, maka hukumannya adalah pulang lebih lama. Bukan malah hukuman yang tidak ada kaitannya, seperti mempermalukan di depan siswa lain, membersihkan kelas (yang memang merupakan kewajibannya) atau menulis “aku tidak akan datang terlambat” sebanyak seribu kali. Itu siksaan yang mengakibatkan anak merasa tidak dicintai. Bahkan Ki Hadjar percaya bahwa dalam pendidikan modern, pendidikan yang merdeka, hukuman dan ganjaran harus dihilangkan atau sebisa mungkin dihindari. Agar anak melakukan atau tidak melakukan sesuatu bukan karena mengharap ganjaran atau takut pada hukuman —sekali lagi saya menyarankan untuk membaca Ki Hadjar.

Hakikat pendidikan yang sebenarnya bukanlah membentuk, tapi menumbuhkan. Jika kita membayangkan anak-anak adalah benih tanaman, maka ketika masih menjadi benih tentu belum terlihat batang, akar, daun atau hal-hal lain yang bisa dilihat pada tanaman. Sehebat apapun biji, tidak akan memperlihatkan seluruh komponen tanaman. Nanti ketika sudah tumbuh berkembang barulah terlihat. Kadangkala kita melihat dan memperlakukan benih seperti kita melihat dan memperlakukan tanaman yang sudah besar. Kita menginginkan benih ini mempunya semuanya seperti tanaman. Kita ingin melihat anak-anak mempunyai hal-hal yang belum kelihatan.

Benih yang baik memerlukan lahan yang subur dan iklim yang sesuai. Rekayasa untuk membuat lingkungan baik untuk tumbuhnya anak didik itulah lahan pendidikan, baik di sekolah, di rumah dan lingkungan. Ki Hadjar mengibaratkan pendidik itu seperti petani, petani hanya dapat menuntun tumbuhnya padi. Ia dapat mengemburkan dan membuat tanah subur untuk tanaman, namun walaupun begitu ia tidak dapat mengganti kodrat tanaman padi. Misalnya ia tidak bisa menjadikan padi tumbuh seperti jagung, ia juga tidak bisa memeliharanya seperti memelihara tanaman kedelai. Petani harus takluk pada kodrat padi. Ia dapat memperbaiki keadaannya, membuatnya menjadi tanaman yang lebih bagus daripada tanaman yang tidak dipelihara, tapi tetap tidak mengganti kodrat tanaman tersebut. Begitulah seharusnya pendidikan itu. 

Tentu kita tidak bisa semata-mata mencontoh Finlandia hanya dari segi sedikitnya jam belajar, menghilangkan PR dan Ujian Nasional. Ada hal yang lebih mendasar yang menjadikan sistem pendidikan di sana berhasil; kemandirian guru yang besar, proses belajar yang berbasis siswa dan sistem penilaian dengan tujuan mengembangkan kompetensi siswa. Jangan dilupakan juga bahwa kemandirian, saling percaya dan motivasi untuk mencapai kompetensi adalah budaya yang sudah mengakar di Finlandia, itulah fondasi yang menjadikan sistem pendidikan di sana sukses. Itulah juga yang dibahas oleh Ki Hadjar, keterkaitan sistem pendidikan dengan budaya dan karakteristik bangsa.
 
Asas pendidikan yang mendasar seperti itu mesti dihayati oleh pendidik. Saya pribadi dan istri memilih homeschooling salah satunya karena kami melihat banyak prinsip-prinsip yang diusung oleh Ki Hadjar tidak dilakukan. Saya tidak menyalahkan sistem pendidikan yang ada, karena arah pendidikan di Indonesia menurut saya sudah tepat. Hanya dibutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk menuju ke ideal, dan kami merasa tidak punya waktu selama itu untuk menunggu. 

Pertanyaan selanjurnya adalah apakah dengan menjadi praktisi homeschooling, mengetahui beberapa teknik dan teori pendidikan, kami menjadi orang tua yang ideal?

Sama sekali tidak. Saya belajar bahwa tidak ada orang tua yang sempurna. Tidak saya, tidak juga istri saya. Sebagai orang tua, kami terkadang merasa baik, terkadang juga merasa begitu buruk.
Ada sebagian orang tua mengangap pola asuh mereka adalah pola asuh terbaik, sambil menduga pola asuh lainnya inferior. Kita menilai diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan mitos orang tua sempurna yang tidak pernah ada. Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang terus belajar. Belajar untuk lebih mencintai dan menghargai anak-anaknya. Karena cinta adalah ruh pendidik.

Children Learn What They Live oleh Dorothy Low Nolte *

Jika anak banyak dicela, dia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak banyak dimusuhi, dia belajar menjadi pemberontak.
Jika anak hidup dalam ketakutan, dia selalu merasa cemas dalam hidupnya.
Jika anak sering dikasihani, dia belajar meratapi nasibnya.
Jika anak dibesarkan dalam olok-olok, dia akan menjadi seorang pemalu.
Jika anak dikelilingi rasa iri, dia tak akan puas dengan apapun yang dimilikinya.
Jika anak dibesarkan dalam pengertian, dia akan rumbuh menjadi penyabar.
Jika anak senantiasa diberi dorongan, dia akan berkembang dengan percaya diri.
Jika anak dipuji, dia akan terbiasa menghargai orang lain.
Jika anak diterima dalam lingkungannya, dia akan belajar menyayangi.
Jika anak tidak banyak dipersalahkan, dia akan senang menjadi diri sendiri.
Jika anak dibesarkan dalam kejujuran, dia akan terbiasa melihat kebenaran.
Jika anak ditimang tanpa berat sebelah, dia akan besar dalam nilai keadilan.
Jika anak dibesarkan dalam rasa aman, dia akan mengendalikan diri dan mempercayai orang lain.
Jika anak tumbuh dalam keramahan, dia akan melihat bahwa dunia itu sungguh indah.


* terjemahan puisi oleh Aar Sumardiono dalam buku 55 Prinsip & Gagasan Homeshooling

Rabu, 17 Oktober 2018

Kebohongan dan Urgensi Pendidikan Karakter

Suatu hari Nada menghampiri saya dan bertanya, “Pak, kok temen-temen aku banyak yang bohong sih?”

Jawaban dari pertanyaan itu tidak pernah sederhana.


Sore itu, Nada dan Safa melanggar janji untuk mengaji, saya berbicara kepada mereka di dalam kamar, “Kalian tahu apa yang bapak bangga pada kalian? Apa yang bapak senangi dari kalian?” saya bertanya retoris, untuk memuji kebaikan-kebaikan, untuk lebih dahulu melihat kelebihan mereka.

“Kalian tidak pernah berbohong ke bapak.” Kata saya kemudian, “Bapak tidak khawatir kalau kalian belum bisa membaca atau berhitung, bapak hanya khawatir kalau kalian berbohong dan tidak bertanggungjawab.”

Nada dan Safa diam. Menunduk. Saya tahu itu gestur tanda menyesal.

“Kalian lebih suka berteman dengan orang yang tidak menepati janji atau menepati janji?” kali ini saya tidak beretorika. Mereka diam. Saya mengulangi pertanyaan.

“Yang menepati janji.” Safa menjawab lebih dulu.

“Nada, apa kamu senang kalau bapak melanggar janji untuk membelikan raket padahal bintang kamu sudah seratus?”

“Nggak.” Nada menjawab.

“Karena kalian salah, apa kalian mau dihukum?” tanya saya lagi.

“Nggak.” Kata Nada.

“Nggak.” Jawab Safa.

“Oke. Kalian sudah tahu apa yang kalian lakukan itu tidak baik. Bapak kasih waktu kalian untuk berpikir. Sekarang kalian nggak boleh keluar kamar sebelum kalian menyadari itu dan mau menerima hukuman dengan rela sebagai konsekuensi.”

Saya bangkit meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Sebelum saya membuka pintu, Safa memanggil, “Pak.”

“Iya?” kata saya, berharap Safa telah menyadari kesalahannya.

“Konsewensi apa?” tanya Safa lugu.

“Kon-seK-uen-si, bukan konsewensi. Konsekuensi itu akibat.” Saya beralih ke Nada, “Kak, tolong jelasin.”

Saya keluar kamar sambil menahan tawa. Sayup-sayup saya mendengar Nada, “Ih Safa, kan waktu itu udah dijelasin bapak...”

Beberapa menit kemudian mereka keluar dan bilang kalau mereka siap untuk diberi hukuman.
Setelah kejadian itu, setelah saya memuji dan mengapresiasi kejujuranya, Nada bertanya mengapa ada beberapa temannya yang suka berbohong, maka saya tahu konteks pertanyaan itu. 

“Anak-anak itu suka ikut-ikutan, kak.” saya memulai penjelasan dengan sederhana, “Bisa jadi mereka berbohong karena mencontoh dari orang dewasa.”

Nada kemudian menceritakan kasus kebohongan beberapa teman-temannya. Saya mendengarkan. Lumayan banyak yang ia ceritakan. Salah satunya ia bercerita tentang Bunga, bukan nama sebenarnya, yang berbohong kepada dia tentang kawan yang lain.

“Eh, Nada,” kata Bunga menghampiri Nada, “Masa aku tadi mau main ke rumah Mawar gak boleh masuk. Harus jawab pertanyaan dulu, ‘siapa nama kepala sekolah Mawar?’”

“Aneh banget.” Nada merespon, “Ya, jawab aja gak tahu. Kan kamu gak sekolah di sana.”
“Iya aneh ya?” Jawab Bunga.

Bunga kemudian pergi ke rumah Mawar dan tidak lama kembali menemui Nada. Ia memberikan secarik kertas kepada Nada, “Ini ada surat dari Mawar. Jawab langsung di situ aja.”

Nada membuka kertas yang di dalamanya ada tulisan, “Nada, kenapa kamu jelek-jelekin sekolah aku?”

“Aku nggak ngerti.” Nada bingung, “Maksudnya apa sih?”

Setelah dikonfrontasi, kemudian diketahui bahwa Bungalah yang mengatakan ke Mawar bahwa Nada menjelek-jelekan sekolahnya, Mawar pun sebenarnya tidak pernah menanyakan tentang siapa kepala sekolahnya kepada Bunga. Nada dan Mawar difitnah dan diadudomba oleh Bunga. Ya, itu kejadian nyata, walaupun terkesan seperti rekayasa di acara Rumah Uya.

Saya pernah mendengar cerita dari istri bahwa beberapa kawan Nada di sekitar perumahan berbohong atau mengajak Nada berbohong. Pernah suatu hari seorang kawan Nada bilang, ketika ditanya apakah berpuasa atau tidak, “Puasa. Tapi jangan bilang bundaku ya kalau aku minum.”

Kembali ke pertanyaan Nada di awal tulisan ini; mengapa anak-anak berbohong?

Saya adalah orang yang tidak percaya bahwa berbohong adalah naluri alamiah anak-anak. Maksud saya, saya percaya pada konsep bahwa kodrat awal anak-anak adalah berkarakter baik. Anak bukanlah kertas kosong, telah ada pada diri setiap bayi pokok kebaikan. Adalah naluri mereka untuk punya akhlak yang baik. Itulah yang disebut agama sebagai fitrah. Setiap anak dilahirkan sesuai fitrah, lingkungan yang menjadikan karakter terbaik mereka luntur. Maka saya tidak percaya ada anak yang naluri alamiahnya berbohong dan suka memfitnah. 

Ada banyak alasan mengapa anak-anak suka berbohong. Saya lebih senang melihat dari sisi baik terlebih dahulu. Anak-anak berbohong bisa jadi karena daya imajinasi yang tinggi, melindungi teman, untuk mendapatkan keinginannya, ingin diperhatikan dan dipuji, mendapatkan pengakuan, menutupi kekurangan pada dirinya, tuntutan orangtua yang terlalu tinggi, meniru orangtua atau tayangan televisi, atau takut dihukum.

Mari kita melihat kebohongan anak pada ruangan yang lebih luas, melalui kacamata pendidikan. Jika diteliti lebih dalam, kita bisa melihat ada pola asuh yang keliru pada pendidikan anak. Inti dari pendidikan adalah menumbuhkan potensi karakter. Dan itu harus dimulai dari sejak dini. Pendidikan karakter pada anak adalah hal yang paling utama, lebih penting dari hanya sekedar mengejar nilai-nilai akademik. Mengutip Aristoteles, "Educating the mind without educating the heart is no education at all."

Kunci pendidikan karakter adalah pada kata “menumbuhkan”. Para pendidik yang mengerti tidak menyebut “pembentukan karakter”, atau “penanaman karakter” tapi “penumbuhan karakter”, karena pada hakikatnya karakternya sudah ada, tinggal ditumbuhkan. Bukan menaruh hal-hal yang di luar diri mereka, tapi menumbuhkan apa yang telah ada pada mereka. Istilah populernya inside-out bukan outside-in. 

Karakter baik adalah fitrah yang telah ada pada anak-anak, maka seharusnya penumbuhan karakter itu tidak terlalu sulit. Kesalahan yang kerap terjadi pada pendidikan karakter anak usia 0-6 tahun adalah banyak orang tua menggunakan pendekatan behavioris. Padahal pendekatan itu dilakukan ketika anak beranjak dewasa. Pada anak usia dini, adab dan akhlak adalah keteladanan orang tua. Harapan yang dituju adalah anak-anak menyukai, terkesan, terpesona dengan adab yang baik. Anak-anak harus banyak melihat keindahan adab orang tua dalam berprilaku. Belum saatnya anak-anak dibebankan untuk harus “mempunyai” akhlak yang baik di masa ini. 

Pada usia ini, ada orang tua yang membentak, bersuara kasar bahkan melotot kepada anak untuk berlaku baik, untuk tidak menaiki meja atau salat misalnya. Maksud hati mendidik akhlak baik tapi yang dipertontonkan ke anak adalah ketidaksopanan dalam berbicara. Anak-anak tidak bisa menerima ambiguitas ini.

Pada usia ini anak-anak seharusnya cinta kepada kebaikan sehingga mereka bisa rela dan senang hati melakukan itu di kemudian hari. Sulit rasanya mengajarkan anak untuk menghargai orang lain, namun mereka sering menonton pertengkaran kedua orang tua mereka. Sulit rasanya menyuruh anak-anak untuk jujur jika mereka tidak melihat contoh bahkan malah diperlihatkan prilaku/tontonan yang sebaliknya. 

Dalam kasus berbohong, anak-anak sudah bisa berbohong sejak berusia tiga atau empat tahun. Anak usia balita belum terlalu mengerti bahwa berbohong adalah sesuatu yang salah. Mereka juga belum bisa membedakan secara tegas antara imajinasi dan kenyataan. 

Selain mengedepankan teladan, pada usia ini belum diperlukan hukuman. Jangankan hukuman, menegur atau mengoreksi pun bisa menyebabkan mereka merasa malu, apalagi di depan orang lain. Untuk membantu anak belajar nilai-nilai atau berkata jujur, berilah respon yang tepat. Misalkan ketika anak berbohong agar tidak terkena masalah, para pakar mendorong untuk bias mempertimbangkan respon ini: “Ibu tahu kalau kamu merasa tidak enak gara-gara memecahkan gelas. Bantu Ibu mengelap air yang tumpah, dan lain kali kita memakai gelas plastik aja, ya?” Ini akan membuat anak merasa yakin bahwa tidak akan ada gunanya berbohong.

Adab dan akhlak sebagai aturan dan kesepakatan baru bisa diterapkan pada usia 7-10 tahun. Pada tahap ini saya menggunakan jadwal dan bintang sebagai apreseasi. Itulah sebabnya saya memberi hukuman kepada Nada. Karena untuk anak seumur Nada (8 tahun), salah satu alat bantu untuk menumbuhkan akhlak adalah melalui pendekatan behavioris; yaitu aturan dan kesepakatan. Nada telah mempunyai jadwal yang jika diikuti akan diberi apresiasi. Ia akan mendapat bintang yang di akhir minggu bisa ditukar dengan uang, dan di akhir bulan bisa ditukar dengan hal yang ia inginkan.

Nah, ketika ada aturan akhlak yang dilanggar seperti tidak menepati janji maka hukumannya bisa peniadaan apresiasi atau hal lain yang ada kaitannya dengan penyebab ia melanggar janji. Dalam kasus Nada ketika itu, ia melanggar janji karena terlalu asik menonton film. Maka hukumannya ia tidak bisa menonton film selama 3 bulan ke depan. Penetapan batas akhir hukuman juga merupakan hal penting agar tidak menyebabkan hukuman itu berlaku selamanya atau dilupakan beberapa minggu kemudian. 

Untuk menumbuhkan karakter baik diperlukan pembiasaan. “Pembiasaan” adalah kata kunci selanjutnya dalam penumbuhan karakter, namun harus juga dilihat tahapannya. Ini adalah tentang penerapan yang benar pada waktu yang tepat. Mengabaikan tahapan dalam pendidikan akhlak hanya akan menumbuhkan sikap antipati di kemudian hari. Saya teringat kisah anak yang semasa kecil penurut, rajin salat, banyak hafal ayat-ayat Al Quran, namun ketika beranjak remaja dan dewasa perbuatan-perbuatan baik itu hilang, tidak dilakukan bahkan bertolak belakang. Karena mereka dipaksa melalui tahapan yang belum semestinya. 

Sejujurnya saya sempat khawatir jika Nada berkawan dengan Bunga yang suka berbohong dan memfitnah. Namun di sisi lain saya tidak ingin mensterilisasi Nada dengan lingkungan atau teman-teman yang tidak ideal. Itu tidak pernah menjadi alasan kami melakukan homeschooling. Malah melalui homeschooling kami berharap bisa menerapkan pendidikan yang lebih autentik, bebas dan sesuai kebutuhan. Mendekatkan anak didik pada dunia yang sebenarnya, yang terkadang tidak ideal.

Malam itu, di sela-sela membaca ensiklopedia, saya bertanya ke Nada, “Kamu masih mau berteman dengan Bunga?”

“Masih.” Jawab Nada cepat.

Apa Nada tidak sakit hati dengan sikap Bunga? Saya bertanya-tanya dalam hati. Apa ia menerima sikap itu sebagai sesuatu yang wajar? Apakah dia akan mencontoh perbuatan Bunga? 

“Kamu masih percaya sama Bunga?” saya penasaran.

“Nggak.” Kata Nada, “Aku juga gak gampang percaya sama temen-temenku yang lain.”

Saya diam, tidak menambahkan apapun. Saya tahu Nada telah mendapat pelajaran berharga dari peristiwa itu. Tinggal saya merenung tentang pelajaran apa yang bisa saya dapat.


Sabtu, 28 Juli 2018

Pada Suatu Hari yang Biasa

Pada suatu siang—

Itu siang yang biasa di bulan April. Di langit siang mentari menyengat, lebih terik dari beberapa hari sebelumnya. Ia bergantung tepat di atas khatulistiwa, radiasinya bercampur dengan udara lembab dari timur. Kita berada di dalam kamar dengan pintu terbuka, ditemani suara ritmis kipas angin yang mengaburkan aroma ruangan dan membuat udara sedikit lebih sejuk. Di ruang tengah, anak-anak sedang bermain boneka. Kamu rebahan di atas kasur, dua bantal menjaga kepala. Aku memetik gitar, menyanyikan Thinking Out Loud. Kamu mengenakan daster yang telah luntur warnanya, sedang membuka ponsel, menyentuh dan sesekali menaik turunkan layar dengan ibu jari. 

“Ada hotel murah nih, Bang.” Kamu menyodorkan ponsel. 

Aku melihat dan membaca beberapa hal, “Boleh.”

Kamu memintaku untuk mengajukan cuti bahkan sebulan sebelum keberangkatan. Katamu kamu tak sabar menunggu untuk jalan-jalan.

Pada suatu malam—

Itu malam yang biasa di hari yang biasa. Anak-anak telah tertidur di dalam kamar. Jam di dinding mununjuk dua digit angka. Setiap ada suara motor yang mendekat pagar halaman, aku berharap itu kamu. Aku hampir tertidur ketika terdengar suara kendaraan berhenti di depan rumah, kemudian terdengar seseorang membuka pagar. Aku membuka pintu dan mendapati wajahmu yang sayu namun masih mencoba untuk tersenyum. 

Sup ayam dengan campuran kacang merah di panci telah dingin. Sambil membersihkan diri di kamar mandi, kamu bercerita tentang bis yang datang terlambat, motor yang hampir mogok dan murid-murid yang kurang ajar. Aku mendengarkan sambil memanaskan makan malam di atas kompor, sesekali merespon dengan gumaman dan pertanyaan.

Pada suatu sore—

Di atas kendaraan, di belakang punggungku, kamu menangis. Kesalahpahaman membuat kita berdebat, dan aku tahu telah keterlaluan. Aku mengarahkan sepion sebelah kiri untuk melihat dan menemukan matamu yang sembab, pundakmu berguncang. Lampu sen sebelah kiri berkedip dan kendaraan menepi. Aku menyesal, ingin meminta maaf tapi tidak ada suara yang bisa keluar, tercekat mandek di kerongkongan.

Pada suatu pagi—

Setelah mencuci beberapa piring kotor makan malam, aku menyiapkan sarapan kemudian membersihkan minyak yang menciprat dari atas kompor dan dinding dapur. Kamu tidak suka dapur yang berantakan dan kotor. 

Matahari bergelantung rendah di langit pagi. Anak-anak terbaring manis memeluk boneka kesayangan yang mereka mainkan sebelum terlelap. Kamu mengeluh tidak enak badan. Kamu masih meringkuk di dalam selimut coklat muda dengan rambut kusut ketika aku tawarkan untuk mengantar ke dokter. Kamu menolak, hanya minta ditemani dan dipijat menggunakan minyak angin beraroma campuran Jojoba, Zaitun dan Sereh. Cuma masuk angin, katamu. Walaupun akhirnya kamu protes bahwa pijatanku terlalu keras dan kasar. 

Pada suatu siang—

Itu siang yang biasa di hari yang biasa. Setelah membeli keperluan bulanan di sebuah supermarket, kita berkumpul di restoran bubur dan memilih tempat duduk di pojok ruangan. Aku meminggirkan troli belanja, kamu meminta kursi bayi kepada pelayan. Kamu terlihat bahagia, wajahmu terbias cahaya lampu neon jingga yang menggantung di langit-langit. 

Pelayan wanita dengan seragam merah berkerah hitam berdiri menunggu sambil bersiap mencatat pesanan. Kamu memesan Bubur Udang Telur Asin dan Pitan serta semangkuk besar bubur polos tanpa campuran, aku memesan Bubur Seafood. Di sebrang kursi kita telah bercengkrama satu keluarga muda dengan dua anak. Kamu bercerita tentang harga air mineral yang tiga kali lipat dari harga pada umumnya, tentang sahabatmu yang berubah, tentang drama korea yang baru saja kamu tonton, dan segala hal remeh lain. Aku mendengarkan. Katamu kamu senang berbagi hal-hal yang menarik dan menyenangkan denganku.

Pada suatu pagi—

Itu hari Minggu bulan Desember tahun 2015. Suasana masih redup ketika kita keluar rumah. Sinar surya menghangatkan pagi yang masih dingin. Hujan yang mengguyur sehari sebelumnya meruapkan aroma tanah. Kabut tipis di jalan mulai hilang, seiring lalu lalang kendaraan dan kegiatan yang mulai menggeliat. 

Di sebelah selatan, siluet punggung Gunung Gede yang masih berselimut kabut terlihat malu-malu. Sementara di belakang kita, samar-samar terlihat Gunung Salak yang kebiruan. Kita mengejar matahari. Angin dingin pagi melintasi padang sawah yang hijau kekuningan, menepuk-nepuk wajah, kemudian berlalu entah kemana. 

Suasana begitu jernih, tidak ada suara musik yang menyumbat telinga, tak banyak kendaraan yang melintas bersama atau berlawanan dengan arah kita. Diliputi semua itu, dari atas Revo, kita bercerita banyak hal tentang jembatan, sungai di bawah sungai, dan asal usul nama-nama tempat dan jalan. 

Pada suatu malam—

Itu malam yang biasa di hari yang biasa. Beberapa bulan sebelum kita menikah. Lampu penerang jalan berpendar memancarkan cahaya keemasan. Membuat gerimis seperti peri yang menitik dari tempat tak kasat mata. Di sebuah pom bensin, dalam naungan peron kita duduk bersisian berteduh mengunggu hujan reda. 

Sambil berbicara tentang banyak hal, ditengah air yang berderai, diam-diam aku berharap hujan berlangsung panjang. Aku suka udara dinginnya. Aku suka suara gemericiknya ketika menyentuh aspal yang hangat. Aku suka berada dekatmu. Aku tak risau dengan lembab di kepala yang bisa menyebabkan demam. Aku suka tangan kita yang bergandengan. 

Pada suatu pagi—

Suara bip mematikan AC di dinding. Setelah salat subuh, kita membagi tugas. Kamu membuat sarapan, mencuci piring dan menjemur pakaian. Aku menyuapi, memandikan dan mengajak Aira jalan-jalan. 

Nada merapihkan sajadah dan mukena kemudian membuat bintang pada jadwal hariannya. Bintang pertama untuk hari itu. Selesai dengan urusan sarapan, Safa meminta sekolah, bersikeras ingin tetap sekolah, walaupun kamu membiarkan jika ia tidak ingin masuk, karena sedang pilek. Kamu mengantar Safa ke sekolah sementara aku di rumah menemani Nada mengerjakan Reading Eggs dan membuat video kegiatan hari itu. Aira bermain bersama beberapa mainannya sambil berceloteh di dalam Playpen. Itu pagi sibuk yang biasa seperti pagi di hari-hari lain.

Pada suatu malam—

Itu malam yang biasa di hari yang biasa. Aku pulang dan mendapati rumah kosong. Kamu dan anak-anak sedang menginap. Langit mendung tanpa bintang mulai menurunkan gerimis. Tetes-tetes air terdengar tumpah ruah menghujam atap fiber. Bunyi tetes makin banyak dan makin banyak memenuhi atap, air mengucur turun ke halaman melalui cekungan genting kemudian mengalir menuju selokan. Sebagian menyerap masuk ke tanah kering pekarangan. Malam sunyi. Jalan-jalan sepi. Aku terduduk sendiri di dalam rumah memandangi jam di dinding sambil menunggu air di atas kompor mendidih. 

Rumah bukanlah rumah ketika tidak ada orang di dalamnya. Ia akan menjadi rumah jika kamu juga ada di sana. Tanpamu, ia hanya bangunan yang melindungi dari cuaca. Malam itu, ditemani rintik hujan di luar, seketika aku mengingat banyak hal. Kesendirian kadang membuatmu lebih mudah mengenang hal-hal yang telah lewat.

Aku ingat rasanya memegang tanganmu di tengah keramaian. Aku ingat caramu merajuk. Meruntuhkan pertahananku. Aku ingat leluconmu yang selalu bisa membuatku tertawa. Aku ingat lagu kita, yang sering kita nyanyikan dengan petikan gitar sumbang. Aku ingat percakapan panjang kita tentang rencana esok hari, film yang akan kita tonton setelah anak-anak tidur atau sekedar mengobrol tentang kegiatan seharian sambil kamu membersihkan jerawat di punggungku. Aku ingat tangismu ketika kita bertengkar, ketika kamu sakit, ketika anak-anak sakit, rumah kacau dan kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku ingat tawamu serta bagaimana tawa itu membuatku juga bahagia. Kamu bahagia dan aku ada dalam kebahagiaan itu. Aku ingat banyak hal sampai akhirnya kita tiba di sini. 

Kali ini, musim hujan masih datang terlambat, tapi pagi itu tiupan angin dingin dari Australia sampai juga ke dalam kamar. Dinginnya mengendap di sudut-sudut ruangan, menggigilkan jari-jari kaki. Kataku, “Kita merindu matahari ketika kedinginan.”

Siang hari lainnya hujan turun. Di ujung jendela buram itu, aku memandangi titik-titik air yang jatuh di halaman. Tempiasnya meninggalkan bercak hitam dan keropos di tepi jendela. Hujan selalu membuatku kangen akan matahari. Pada suatu musim kemarau ketika tidak ada pendingin ruangan. Pada terik yang mengeringkan kulit hingga gersangnya mendidihkan kepala. Pada sinar dan sepoy angin yang mengeringkan pakaian-pakaian di jemuran dalam beberapa jam.

Betapa mudah sebenarnya kita rindu pada hal-hal yang sederhana. Mungkin saja suatu hari nanti kenangan itu mengering, mengkerut seperti semangka yang terlalu lama terbuka, digantikan lupa dan uban yang memenuhi kepala. Jika saat itu tiba, aku ingin kamu tetap disini menemani. Menjadi musim panasku, yang mengeringkan sepasang kaus kaki basah dan meninggalkan rasa hangat di kalbu. Bersamamu, aku tak lagi merindu matahari.

Sabtu, 02 Juni 2018

Buka Puasa dan Tata Cara Menertawakan Kepahitan Hidup

“Gua punya usul,” kata saya di grup WA kelas, “abis acara buka, kita mampir ke tempat Bang Njay. Sekalian takziyah.”

Tepat hari ke delapan Ramadhan ini, guru kami semasa Aliyah, Haji Syamsuddin Bin Ma’ruf (Allah yarham) yang juga mertua dari kawan kami Zainuddin, berpulang ke rahmatullah. Maka usulan saya untuk mampir setelah acara buka bersama itu ditanggapi positif. Hanya ada satu kendala, rencana buka puasa itu terancam batal karena tuan rumah acara belum sekalipun komentar di grup.

“Elu cek sono, Lih.” Furqon memberi tanggapan, “Takutnya udah bau di rumah. Namanya idup dewekan.”

Ahmad Rifai Edogawa, duda anak dua yang rumahnya saya usulkan menjadi lokasi kumpul itu memang sama sekali tidak bisa dihubungi.

“Iya, dah.” Saya menanggapi, “Ntar sore coba gua saba.”

“Bae-bae kalo ngecek. Kalo kedapetan udah bau, jangan lu sentuh, nanti jadi tersangkanya lu!”

“Iya, iya. Ntar gua gedig dulu cantengannya, kalo kagak mingser gua tinggal.”

Sore itu, saya mendapati Edo sedang asik main game di rumahnya. Sambil menjelaskan bahwa hapenya sedang diservice, ia merespon enteng, “Gua mah silahkan aja kalo pada mau kumpul. Tapi pada bawa makanan sendiri yak. Lah di sini gua siapa yang masakin? Tapi kalo takjil doang mah gampang ntar gua sediain.”

“Iya. Ngarti gua.” Saya merespon, “Justru itu gua usulin acara di tempat lu.”

“Supaya banyak yang masakin ya?”

“Bukan. Supaya banyak yang ngatain.”

“Sue!”


Setelah mendapat konfirmasi dan menentukan hari, maka saya menyebarkan informasi penuh keprihatinan itu ke grup. Sehari sebelum acara, nomor telpon Edo masih tidak bisa dihubungi, dan tidak sebiji emotikonpun yang muncul dari dia. Anggota grup pesimis. Saya menghubungi Edo kembali menggunakan Fb Messenger.

Saya: Jadi besok anak-anak ketempat lu abis asar. Jan kemana-mana lu!
Edo: Lah serius? Ebusehhh. Gua mao kencan. Bener bener dah luh!
Saya: Gak usah kebanyakan acara dah. Tibang gowes ke alun-alun lu bilang kencan.
Edo: Emang sapa aja yang mao ke rumah?
Saya: Banyak dah. Udah pokoknya kencan batalin!
Edo: Iya dah gua batalin... Demi elu elu pade. Gagal maning dah guwah.
Saya: Berak sekebon!

Tibalah hari yang dinanti. Minggu, 27 May 2018, bertepatan dengan 11 Ramadhan 1439. Acara buka puasa bersama yang normal biasanya paling tidak dihadiri minimal lima orang, tapi sore itu normal menjadi kata yang jauh dari kami. Sampai azan magrib berkumandang, yang kumpul hanya tiga orang; saya, tuan rumah dan Deni Bagong. Bahkan untuk main Ludo pun masih kurang satu orang.

“Gong, si Moses udah sampe mana?” saya bertanya ke Deni.

“Tau tuh, keujanan katanya.”

Melalui pesan WA, Moses menjawab, “Masih di Toll.” Padahal waktu menunjukan pukul 18:19.

Maghrib sudah setengah jam berlalu dan masih kami bertiga yang bercengkrama. Di grup WA, Hayat masih membujuk kawan-kawan untuk datang. Padahal ia sendiri belum ada di lokasi.

Azan Isya berkumandang ketika Furqon dan Hayat datang. Sementara Fauzy mengkonfirmasi akan datang ba’da Isya. Sampai pukul 19:00, sudah lima orang datang. Perut baru diisi es buah dan gorengan. Rencana mencari tempat makan di sekitar rumah duda terancam batal.

“Share Loc dong. Gua salah kayaknya nih.” Moses meminta di WA.

Sambil membagi lokasi, tuan rumah merespon sewot, “Etdah.. wartawan oon juga sih luh! PeA.”

“Di google kagak ada Bantargebang soalnya.” Moses membela diri, “Awan aja nyasar kalo disuruh ke sini.” Ia bingung karena selama di jalan hujan turun deras, tapi begitu masuk Bekasi seakan-akan ia masuk ke dimensi lain. Tidak ada setetes airpun turun.

“Pan elu pernah kemari, Maliiih!” Edo makin sewot.

“Iye. Maklum belom buka.”

Saya punya kecurigaan lain. Mungkin Moses menderita rabun ayam, kondisi dimana seekor ayam belum pulang waktu maghrib karena nyasar ke kandang lain.

Hampir jam sembilan malam Moses sampai, setelah beberapa menit sebelumnya Fauzy. Kami menyambut Moses. Dengan wajah kelaparan dan kepala plontos, ia keluar dari Corolla 88.

“Lu dulu waktu mondok, disuruh pilih botak apa keluar, lu pilih keluar. Sekarang aja luh botak.” Saya menyerang.

Moses nyengir pasrah, “Ya mo gimana lagi. Yang nyuruh Tuhan ini mah.”

Wartawan TV itu memang habis ketiban pulung karena dapat tugas meliput di Riyadh, Arab Saudi. Dibantu Dubes RI, ia kemudian melaksanakan umroh.

“Untung Tuhan gak ngasih pilihan ya?” Edo berkomentar, “Coba dikasih pilihan lagi; lu mo botak apa keluar luh?”

“Lah ribed, Do!” kata saya, “Kalo keluar pondok mah gampang. Lah kalo disuruh keluar dari kekuasaan Tuhan, mo keluar kemana? Bekasi?”

Seperti biasa, ketika kumpul dengan kawan-kawan lama, kami mengingat-ingat kembali dosa-dosa masa lalu. Moses yang dikeluarin dari pesantren beberapa bulan sebelum kelulusan. Furqon yang diberhentiin dari sekolah karena kasus pacaran. Dan dosa-dosa kami yang lain yang kalau ditulis di sini bisa mengundang banyak istigfar. Bersyukur Allah masih menutupi keburukan-keburukan itu.

Selain mengingat aib masa lalu, kami membahas banyak hal dari mulai Final Champion, BIN, silogisme Rocky Gerung dan selebihnya menghina satu sama lain. Tidak ada satupun diantara kami yang sempurna, maka penghinaan akan langsung dibalas penghinaan lain. Tinggal mencari celah yang pas. Sekali ada celah, semua menghajar tanpa ampun. Hanya ada satu aturan main; harus lucu.

“Lu sebenernya penulis apa bukan sih? Gua jadi curiga.” Furqon mendapat celah ketika saya tidak mengetahui satu hal, “Emang penulis harus bego begitu ya?”

“Bukan begitu, Kong.” Deni menambahkan, “Dia kan nulis pake gugel. Bocah singit juga bisa keliatan pinter kalo gitu mah.”

Saya pasrah. Intelektualitas saya luluh lantah dihadapan mereka. Edo sang duda, Fauzy sang jomblo mendapat serangan yang lebih kejam. Dalam hal menertawakan diri sendiri, kami tidak punya tandingan. Mungkin begitu cara kami bertahan melewati kepahitan dan kesengsaraan hidup. Dengan cara menerimanya, karena sadar akan keterbatasan diri untuk melawan, tentu tanpa kehilangan semangat hidup.

Jam sembilan malam, kami tujuh orang yang sudah berkumpul memutuskan menunda makan malam dan berangkat ke tempat Njay untuk takziyah.

“Udah ajak aja Al sama Wafa.” saran saya ke Edo, setelah sebelumnya ia bilang gak mau ikut karena alasan tidak ada yang menjaga anak-anak.

“Al, pake celana sana.” kata saya kepada Al, anak laki-laki Edo yang berumur 5 tahun yang tidak pakai celana. Ia berjoget kegirangan, menggoyang-goyang tititnya. Saya menepuk jidat, tahu kalau Gernuk jatuh tidak jauh dari pohonnya.

Kami sedang bersiap-siap melangkah keluar ketika dari kejauhan datang seorang gempal dengan jenggot yang tumbuh brutal sampai ke leher; Fachrurrozy.

Setengah sepuluh malam, kami baru tiba di lokasi. Kematian orang dekat tidak pernah mudah. Tidak jarang kepergian yang tiba-tiba itu meninggalkan tanggungjawab yang belum tersiapkan. “Berat aja rasanya gantiin Abi, Mi.” Njay curhat, waktu saya tanya keadaannya, “Ane belom siap. Akhlak mertua mah udah terkenal baik di sini. Lah ane?”

Sebagai seorang kawan, saya menyemangatinya. Saya pernah merasakan kondisi itu. Keadaan yang awalnya berat, namun perlahan akan berlalu seiring bergulirnya waktu. Dalam pengalaman saya, ada kesamaan antara kematian dan kelahiran, yaitu membuat orang yang dekat dengannya menjadi lebih baik. Kami menjadi tahu batasan, mengerti bagaimana seharusnya bersikap, menjadi lebih peka dalam berhubungan dengan orang atau hal-hal lain, atau dalam bahasa yang lebih sederhana kami lebih memperhatikan akhlak.

Untuk menyempurnakan akhlak mulia, itulah tujuan diutusnya baginda nabi Muhammad. Itulah tujuan ber-Islam. Maka kami akan terus berada pada kondisi itu, dalam istilah populer yang banyak digunakan sekarang, ber-Hijrah. Berproses untuk menjadi semakin baik, atau yang dalam istilah Moses, “Menjadi musafir pencari ‘ya’ berbekal ‘tidak’.”

Begitulah kami mengenal bahwa ber-Islam adalah sebuah proses, bukan instan. Kami mengalaminya bertahun-tahun yang lalu sejak masuk pesantren dan entah akan berakhir kapan. Tantangan bagi perubahan instan dari satu titik ekstrem ke titik ekstrem lain adalah kesulitan untuk bertahan. Sementara hijrah sejatinya adalah sebuah lintasan hidup yang panjang dan bukan hasil akhir. Tidak ada seorangpun yang bisa memastikan akan wafat dalam keadaan baik, maka batas ujungnya adalah akhirat bukan dunia. Ujungnya adalah akhlak mulia.

Acara ditempat Njay diakhiri dengan doa kepada guru-guru, kawan-kawan yang telah tiada, dan kebaikan bagi diri kami di dunia dan akhirat.

Kami kembali ke rumah Edo, dan baru pukul satu dini hari selesai makan malam. Saya berdiri, memakai jaket dan siap-siap pulang.

“Lu mo ngapain?” Tanya tuan rumah.

“Pulang lah, gak enak ama bini. Lu enak gak punya bini.” sebelumnya saya bilang ke istri bahwa saya akan pulang jam 11.

“Jadi lebih enak gak punya bini maksud lu?” Edo menohok, mendapat celah.

Brengsek, kata saya dalam hati.

“Emang cuma lu doang kali yang punya bini.” timpal yang lain. Sekali lagi menggempur.

“Apa lu mao didoain gak punya bini biar enak?” semua menghajar tanpa ampun.

Saya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal, kembali terduduk lesu, “Bagian ini nyerah dah gua.” kata saya pasrah.

Suara tawa sahut menyahut.

Hampir setengah tiga pagi saya sampai di rumah. Subuh tinggal beberapa jam lagi.

Minggu, 27 Mei 2018

Final Champion 2018

Saya tidak pernah mendapati Qoffal Shoghir optimis menangapi setiap pertandingan Liverpool. Ia selalu berada antara takut dan harap. Sekalinya optimis, ia padukan dengan tawadu yang terdengar ripuh.

Bahkan pada suatu kesempatan, ia mengharapkan LFC mendapat hasil remis supaya finis di 4 besar dan tahun depan bisa ikut UCL lagi. Mungkin itu terdengar biasa, tapi saya melihat ada ketidakyakinan bahwa tahun ini LFC akan juara Champion.

Wajar orang-orang bilang sepak bola seperti agama. Paling tidak, seperti agama, ia membuncahkan harapan. Andai saja harapan bisa diatur, tapi sering kali ia tersusun dari hal yang menyelinap pelan-pelan dalam ketidaksadaran. Siapa yang menyangka LFC akhirnya sampai final? Ketika itulah kekalahan menjadi sangat menyakitkan, karena ia menyalahi harapan. Pada yang tak punya harapan, kekalahan menjadi hal yang ringan.

Beberapa kali Qoffal bertanya tentang prediksi. Saya sebagai bukan penganut yang tekun, seringkali hanya menjadikan pertanyaannya jadi bahan olok-olokan. Saya pernah bilang bahwa yang dibutuhkan Liperpul sekarang adalah sejarawan.

Penganut agama sepakbola yang tekun tahu kapan terakhir kali gol tendangan salto di final Champion, dan sekian banyak ingatan terhadap pencapai-pencapain, bahkan yang paling langka. Mereka bisa berujar dengan percaya diri, “Suratman adalah pemain muslim kedua yang memberikan assist menggunakan sundulan menggunakan kepala bagian kiri, terakhir kali itu dilakukan Bambang tahun 1882.”

Itulah keimanan yang sebenarnya. Juga kegilaan.

Hari ini Si Merah kalah. Qoffal dan seluruh Liverpudlian sepertinya akan kembali berkubang pada kenangan dan kesedihan dalam waktu yang tidak sebentar, karena murtad dari klub kesayangan juga bukan hal yang mudah. Maka pagi ini kita bisa berbagi, jika kamu merasa hidupmu berat, ingatlah wajah-wajah murung dalam kekalahan kali ini. Dan kita mengerti bahwa ternyata ada yang lebih tabah dari Hujan Bulan Juni.

Senin, 07 Mei 2018

Ihwal Kenaikan Isa Almasih

Kepercayaan umat Kristen akan kenaikan Isa Almasih juga diyakini oleh umat Islam, walaupun terdapat perbedaan prinsipil antara kepercayaan kedua umat ini. Perbedaan tersebut antara lain adalah keyakinan umat Kristen menyatakan bahwa Isa a.s. dibiarkan Tuhan untuk disalib sehingga akhirnyawafat di tiang salib, sedangkan umat Islam berkeyakinan penuh, sesuai dengan pen egasan Al-Quran: ...mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (QS 4: 157).

...tetapi yang sebenarnya, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya. Dan adalah Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana (QS 4: 158).

Dan kalimat “Allah telah mengangkat Isa” umat Islam percaya dengan benar bahwa beliau telah diangkat dan “naik” ke sisi Tuhan. Hanya saja sebagian umat memahami redaksi tersebut secan harfiah sehingga mereka percaya bahwa Isa belum mati dan hingga kini masih hidup di langit dan satu ketika akan turun ke bumi untuk meluruskan kekeliruan-kekeliruan umatnya. Pemahaman di atas dinilai oleh sebagian pakar Al-Quran dan hadis sebagai tidak mepunyai dasar yang kuat.

Kalimat Allah mengangkat Isa dipahami dalam pengertian majazi, yakni Allah mengangkat derajatnya ke sisi-Nya. Bahwa hadis-hadis yang berbicara tentang turunnya ke bumi nanti, kesemuanya tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi sumbernya adalah dua orang, yaitu Ka’ab Al-Ahbar dan Wahab bin Munabih, dua orang yang pemah menganut ajaran Kristen sehingga tidak mustahil apa yang disampaikan merupakan sisa kepercayaan lamanya.

Tulisan ini tidak bermaksud menyelesaikan atau memenangkan satu kepercayaan menyangkut kenaikan Isa atas kepercayaan yang lain, tetapi kita ingin menarik pelajaran dari apa yang menjadi kepercayaan tersebut yaitu antan lain bahwa Tuhan tidak pemah meninggalkan siapa pun yang berjuang demi kebaikan dan kebenaran. Ringkasnya, Dia tidak menyia-nyiakan usaha-baik seseorang. Kalaupun seandainya yang bersangkutan tidak memetik buah usahanya dalam kehidupan dunia ini, pasti ia akan menikmati hasilnya kelak di sisi Tuhan.

Kenaikan Almasih, walaupun dengan pengertian yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa betapa kuat dan kuasa suatu kekuatan fisik untuk menundukkan atau melenyapkan kebenaran dan pemuka-pemukanya, namun hasil akhir yang diperoleh adalah kemenangan dan kebenaran itu jua.

Almasih, walaupun telah disalib atas perintah atau persetujuan Penguasa (menurut kepercayaan Kristen), atau diselamatkan Tuhan dan diangkat kesisi-Nya (menurut kepercayaan Islam) pada akhirnya memperoleh kedudukan istimewa. Dan ujung-ujungnya -terlepas dari penilaian terhadap suatu keyakinan- seperti kata Pascal, ahli matematika, filosof dan sastrawan Prancis (1623-1662 M): “Almasih telah mencapai puncak kejayaan. Bukankah ilmuwan, pemimpin perang dan negarawan pada tunduk bertekuk-lutut walaupun beliau tidak menggunakan kekuatan fisik sedikit pun?”

Sebagai Muslim kita percaya kepada Almasih, utusan dan hamba Allah yang tidak sesaat pun ditinggalkan oleh-Nya. Kepercayaan ini tak dapat ditawar-tawar, sehingga benar kata Syaikh Muhammad Abduh: “Seorang Muslim tidak dinamai Muslim sebelum la menjadi masihi” dalam arti meyakini Almasih sebagai rasul atau utusan Tuhan tidak ubahnya seperti rasul-rasul lain walaupun beliau dilahirkan tanpa ayah.

Salam sejahtera semoga tercurah kepada Almasih pada hari kelahirannya, hari wafatnya dan hari beliau dibangkitkan kelak. []

------------------------------------------------------------------------

Diambil dari buku Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994), karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab

Rabu, 25 April 2018

Agama Sepakbola

Saya mengerti mengapa Ahmad Rifai menjadi Juventini. Usianya 11 tahun ketika Juve meraih tiga juara Eropa. Dan pada masa itu, anak-anak kecil di belahan dunia manapun akan menjulurkan lidah untuk merayakan gol seperti Del Piero.

Saya bisa memahami itu, tapi saya gagal memahami Qoffal Shoghir, bocah yang tinggal belasan ribu kilometer dari Anfield, yang terakhir kali mendapati tim kesayangannya juara liga adalah bersamaan ketika ia brojol. Jadi selama itu, sampai sekarang umurnya 29, ia belum pernah sekalipun melihat klub itu juara liga. Entah doktrin jenis apa yang pernah ia terima. Mungkin sejenis doktrin utopis bahwa “Khilafah Islamiyah” akan bangkit.

Fakta itu selalu jadi bahan empuk ejekan saya. Bahkan beberapa tahun lalu, ketika Gerrard memutuskan gantung sepatu, sambil mengembalikan flash disk berbentuk jersey Suarez, saya pernah bilang ke Qoffal, "Yang dibutuhkan liperpul itu membeli seorang legend. Kebetulan Iwan Fals sedang bebas transfer."

Jadi saya masih belum memahami, ketika kemarin siang ia bertanya prediksi Liperpul vs Roma. Saya membalas melalui pesan WA, "Saya ikut Qowaidul Championiyah aja, Bung! Kaidah ke 165, ‘Siapa yg mengalahkan Barca, dia juara.’"

Dia membalas dan menuduh bahwa itu Qoidah Aglabiyah, sambil mengirim foto sedang berdoa untuk kemenangan The Reds di depan makam Gusdur. Cara pencitraan murahan yang cuma bikin saya pengen.

"Dengan cara itu, Persikaji Kranji pun bisa treble winner Liga Eropa, Bang." Saya membalas sinis. Kemudian menambahkan, "Berdoa juga supaya dapet wasit yang kartu merah Pep lagi."

Ia membalas cepat, "Kartu merah Pep akibat kelakuannya sendiri!"

Apa salah Pep? Waktu itu ia hanya berteriak, "WASIT GOBLOK!!!"

Kalaupun salah, kesalahannya semata-mata hanya karena ia tidak tahu bahwa wasit itu pernah dua tahun tinggal di Teluk Pucung dan fasih berbahasa Bekasi.

Dini hari tadi, Si Merah menang dengan selisih tiga gol di kandang. Di statusnya Qoffal masih was-was, takut dibalas Roma di Stadio Olimpico. Mengingatkan saya pada konsep Khouf dan Roja para sufi, sebelum akhirnya mencapai puncak Mahabbah.

Bagi tim yang selalu hampir juara, lolos setiap babak itu selalu bagai keajaiban yang terus memompa adrenalin. Dan dalam hal apapun, kesetiaan selalu punya ujian. Sekarang saya mulai sedikit memahami bahwa ujian keimanan seorang Livepudlian ada bukan pada saat timnya menang, tapi harapan ketika hampir menang.

Senin, 09 April 2018

Kutukan Seorang Penulis

Novelett yang baru saja terbit ini bermula dari curhatan seorang kawan. Terinspirasi dari kisah nyata.

Pada dasarnya, saya senang mendengar, melihat atau membaca kisah. Hampir semua kisah, baik nyata atau fiksi. Sebagian kisah menjadi pengingat dan pelajaran, sebagian yang lain terlupa, sebagian lagi mengendap menunggu panggilan untuk hadir kembali suatu saat.

Setiap orang punya kutukannya masing-masing, dan kutukan kepada saya bernama empati. Baru akhir-akhir ini saya menyadari, setelah mengingat dan merenung kembali tentang sikap saya terhadap berbagai hal. Butuh waktu yang cukup lama sampai saya sadar.

Pernah suatu hari, saya mengajukan komplain gaji. Kepada Admin saya ingin mengatakan unek-unek saya. Telpon diangkat, dan Admin mengatakan bahwa ia telah menginput kompalin saya dengan benar. Seharusnya saya marah ketika itu, karena apapun alasannya, sudah sangat lama kekurangan gaji saya tidak dibayarkan. Tapi bukan marah yang keluar, setelah mendengar penjelasan Admin, saya malah menjadi kasihan.

Saya tidak sedang membanggakan diri dan menganggap diri saya cerdas secara emosi. Seperti yang saya katakan, ini semacam kutukan. Sesuatu yang mau tidak mau dipunyai seseorang. Sikap yang begitu saja mengalir dalam darah. Mungkin itu sebabnya saya menghayati apa yang pernah Ernest Hemingway bilang, "When people talk, listen completely. Most people never listen." Pada bagian yang lain ia menulis, “As a writer, you should not judge, you should understand.”

Terimakasih untuk pembaca awal naskah ini; Petra Naftalia, Ahmad Rifai, Multianur Pasaribu dan my favorite person on earth, Diah Resmisari.

Novelette ini diterbitkan secara indie karena saya tidak menemukan penerbit mayor yang menerbitkan genre novellete.







Note:

Kamis, 05 April 2018

You’ll Never Muslim Alone

Dini hari tadi Qoffal Shoghir mengirimkan pesan WA yang sekaligus membangunkan saya untuk sahur. Salam 3 vs 0, ia menulis. Emotikon nyengir di akhir pesannya terasa tulus dan spesial.

Sehari sebelumnya, ia bertanya tentang prediksi Liverpool vs City. Saya jawab, “Sejak dipegang Pep, City semakin menakutkan, Bung. Perlu 12 Salah untuk menang. Itupun dengan catatan wasitnya dari Indonesia. Wkwk”

Ia membalas cepat, “Kamfret ente, Bang!”

Bukan. Dia tidak menjawab itu. Kesombongan bagi Liverpudlian lebih banyak menyisakan pedih. Maka ia menjawab dengan tawadhu tapi sayang ambigu, “Saya juga sih pesimis, tapi pesimis gak boleh sebelum ikhtiar.”

Saya mengambil Mafhum Mukholafah dari kalimat itu menjadi, “Kamu boleh pesimis setelah ikhtiar.”

Bagaimanapun kemenangan tetaplah kemenangan. Mari dirayakan sejenak. Kabarnya, untuk merayakan, Qoffal akan bersedekah dan mengusap beberapa kepala anak yatim. Dan jika tahun ini Si Kuping Besar bisa diangkat, kabarnya ia dan beberapa Liverpudlian yang mualaf akan percaya dengan datangnya Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwah, tentu selama yang menjadi Kholifah adalah Mohamed Salah.

#YoullNeverMuslimAlone

Senin, 02 April 2018

cinta kecil

Untuk AR

Hatinya dipenuhi putihitamerahijaungu rasa
Ia percaya hati dirancang untuk derita

Cinta kecilmu tak kan pernah menjadi besar,
hatimu yang semakin menciut

Di ujung horizon, garis itu hanya ilusi
Hal yang sebenarnya adalah langit yang tanpa tepi

Apa yang lebih meyakitkan dari cinta yang tak bisa kau katakan?
Menjadi dungu dan belum juga mati


Jumat, 16 Maret 2018

Percakapan di Depan Telinga

Awan gemawan kelabu di atas langit menggantung rendah. Belum ada tanda-tanda akan turun hujan. Saya menyebrang jalan dan duduk di bawah rindang pohon sambil memesan semangkuk mie ayam. Alun-alun Bekasi siang itu riuh rendah oleh latihan baris berbaris di ujung lapangan.

Mangkuk yang masih mengepul disajikan. Aroma mie ayam memenuhi penciuman. Belum sempat saya menelan suapan pertama ketika wanita itu bercerita tentang mantan suaminya. Saya tidak kenal wanita paruh baya itu. Ia berbicara kepada seorang laki-laki di sampingnya, tapi suaranya terdengar seperti ia bebicara di telinga saya.

“Jadi tujuannya apa ya?” laki-laki itu bertanya.

“Nggak tau. tapi setelah gue pikir-pikir lagi. Mungkin mau numpang hidup.”

Laki-laki itu mengangguk-angguk. Wanita itu meneruskan, “Bahkan di hari-hari pertama pernikahan aja dia udah dingin gitu sikapnya. Ya namanya penganten baru kan ya, maunya deket-deketan terus ya. Dia mah nggak mau. Padahal gue udah pancing-pancing. Malah dia bilang, tujuan nikah tuh bukan hanya untuk gituan. Ah bohong banget.”

Laki-laki itu masih mengangguk-angguk. Wanita itu terus bicara, “Mungkin dia tau gue jualan onlen kali. Tapi kalo dia mau nipu, dia salah orang. Karena gue juga gak punya apa-apa. Barang-barang yang gue jual kan dari orang lain. Aslinya ya gue gak punya apa-apa.”

“Kemungkinannya memang dia mau numpang hidup dan manfaatin.” Akhirnya laki-laki itu merespon, “Tapi dia menipu orang yang salah.”

Wanita itu terus bicara. Bercerita tentang ia yang ingin dijodohkan dengan tukang parkir yang punya kontrakan. “Bodoh banget lu kalo nggak mau.” Wanita itu mencontohkan apa yang dikatakan orang yang ingin menjodohkan.

“Gue bilang, ya lu liat aja anaknya. Udah gede-gede gitu. Umur anak-anaknya juga seumuran kali sama gue.”

Wanita itu masih bercerita sementara mangkuk di tangan saya sudah tandas. Saya memberikan uang sepuluh ribu dan mengucapkan terimakasih kepada penjual. Kemudian saya menyebrangi lapangan alun-alun menuju rumah sakit. Ada sesuatu yang ingin saya ambil.

Selasa, 13 Maret 2018

Drama Musikal, Homeschooling dan Kemalangan

Hujan deras mengguyur ketika kereta tiba di stasiun Bekasi. Nada yang awalanya tertidur di pangkuan, saya gendong ke luar gerbong, cipratan air yang tampias dari atap peron membangunkannya. Jam di HP menunjukan pukul 22:45.

“Sudah dimana, Pak?” kata saya kepada sopir taksi online melalui telpon.

“Ini dengan Nabila?” Ia tidak menjawab. Saya ingin mengiyakan dan menambahkan bahwa saya mantan JKT48.

“Ini Nailal, Pak.”

“Oh iya, maksud saya Nailal.”

“Sudah dimana, Pak?”

Saya memutuskan menerobos guyuran hujan dan menunggu di pinggir jalan. Dua detik menunggu, taksi datang. Pintu dibuka dan dari balik kemudi, sopir memastikan, “Dengan Pak Nailal?”

“Bukan. Saya Nabila. Mau handshake, Wota?” tentu saya tidak sejahil itu.

Beberapa kali saya bertemu dan berbicara dengan orang-orang baru. Hal menarik dari bertemu dengan orang baru adalah kita bisa menilai mereka dari pertanyaan atau cara mereka bertanya dan menjawab.

Beberapa jam sebelumnya, dalam gerbong kereta, saya memberikan tempat duduk kepada seorang wanita muda yang berdiri dekat pintu kereta. Setelah duduk di samping, sambil melihat Nada ia menyapa, “Nggak sama ibunya?”

Beruntung yang ditanya saya, kalau Ahok akan panjang ceritanya. Setelah saya jawab pertanyaan mudah itu, ia kembali pada posisi antara bertanya atau menyatakan, “Iya, anak perempuan emang lebih deket dengan ayahnya ya?”

Sambil tersenyum saya jawab, “Kebetulan tiga anak saya perempuan semua.”

Tipe sopir taxi bermacam-macam. Ada yang suka bicara dan bertanya, ada yang pendiam, atau laki-laki berumur 40an dengan kecenderungan bicara seperti perempuan ABG yang sedang PMS. Percayalah, saya pernah bertemu semua makhluk itu. Sopir saya kali itu santai. Saya perkirakan umurnya tidak jauh dengan saya.

Ia mulai bicara tentang kereta. Jadwal kereta, penumpang kereta, perbedaan kereta jaman dulu dan sekarang. Seketika kami mengenang masa-masa lalu dan menjelma menjadi dua orang Dilan. Berbincang tentang atap kereta, tawuran, dan telpon umum.

“Dari Taman Ismail Marzuki.” Kata saya menjawab pertanyaan.

“Nonton teater?”

“Iya.”

“Oh, saya juga sering ngajak anak saya nonton teater di sana.”

“Oya?” saya takjub, “Kirain cuma kenal teater FX Sudirman lantai 4?” tentu saya tidak seiseng itu juga. Kecuali kalau dia mengatakan sebagai ketua Wota Garis Keras JKT48 cabang Babelan.

Sejujurnya, jarang saya bertemu orang yang masih mau nonton teater, apalagi bersama anaknya. Saya sendiri baru pertama kali nonton Drama Musikal. Beberapa kali berperan dalam drama sekolah, baik waktu Aliyah atau kuliah, pernah juga membuat naskah drama, namun menonton drama di sebuah gedung teater adalah hal yang baru untuk saya, apalagi Nada.

Seminggu sebelumnya, kepada Nada saya memberi gambaran tentang apa itu seni teater dan beberapa triler Mimpi-mimpi Pelangi, drama yang akan ditonton. Ia bercerita kepada hampir seluruh teman-temannya dan pada hari keberangkatan tidak bisa tidur siang. Padahal tidur siang adalah salah satu sarat yang saya ajukan, karena acara berlangsung malam.

Isi dari drama tersebut sederhana, cerita tentang kemalangan. Anak-anak di lintasan rel kereta yang tidak bersekolah. Mereka tidak bersekolah bukan hanya karena pemerintah tidak bisa menjamin sekolah dan keperluan sekolah mereka, tapi karena orang tua mereka butuh bantuan anak-anak untuk bertahan hidup. Klise.

“Luna nggak sekolah, Pak?” Nada bertanya di tengah-tengah pertunjukan.

“Iya.”

“Sekolah di rumah?”

“Bisa juga.”

“Luna Homeschooling?”

“Well, gak seperti itu juga.”

Pertanyaan anak adalah teaching moment yang tidak selalu mudah. Sebuah sarana untuk menerapkan Learn to know, salah satu 4 pilar pendidikan UNESCO. Saya berpikir sebentar apakah perlu menjelaskan tentang Unschooling-nya John Holt yang mungkin bisa dikaitkan dengan apa yang dijalani Luna, Albi dan kawan-kawannya di Kampung Kuning, atau menjelaskan metode Homescooling yang sedang kami lakukan. Saya akhirnya berkata, “Luna dan orang tuanya mungkin tidak paham Homeschooling, walaupun apa yang mereka lakukan bisa juga dikatakan Homeschooling. Tapi intinya, baik Luna di Kampung Kuning yang tidak pergi ke sekolah ataupun Damar dari Kampung Biru yang pergi ke sekolah, mereka sama-sama mau belajar. Itulah intinya. Karena jaman sekarang, buta huruf bukanlah orang yang tidak bisa baca tulis, tapi mereka yang tidak bisa belajar, berkembang dan memperbaiki diri.”

Nada diam, mungkin dalam pikirannya, “Ngomong apa sih, Pak?”

Panitia mengumumkan bahwa acara rehat 15 menit. Saya membuka HP, ada sebuah pesan di Facebook yang masuk dari Haris, seorang juru kamera, kawan kuliah.

Haris: Woiii sehat…

Saya: Sehaaat. Lg dimana, Ris?

Haris: Sini di Cakung, di rumah. Lo dimane?

Saya: Lagi di TIM Cikini. Nemenin bocah nonton.

Haris: Oh. Lah tadi gue di sono liputan.

Saya: Lu liputan di Cikini tadi?

Haris: Deket situ. Di Warung Daun. Kalo gue tahu ketemu kite.

Saya: Ya elah. Gue padahal makan di depan TIM tadi sore. Sayang banget yak.

Haris: Gampang nanti ketemu. Gue main ke rumah lo, atau lo main ke mari.

Saya: Mo ngundang-ngundang kayaknya nih? Qiqiqi

Haris: Kagak. Belom dapet gue calon bini. Masih jomblo aja neh. Lo ada gak? Kenalin gue donk.

Saya tidak menjawab permintaan itu, karena saya tahu itu hanya basa-basi. Haris adalah single parent dengan seorang anak perempuan yang sudah remaja.

Masalah hidup berbeda-beda, dan tidak ada yang benar-benar tahu kemalangan masing-masing orang. Dari luar semua orang akan terlihat sama, tanpa ada yang tahu masalah apa yang sedang mereka hadapi. Maksud saya begini, seperti dalam Wonder atau 50/50 --dimana setiap karakter dalam film-film itu punya kemalangan masing-masing-- setiap orang ingin dimengerti, tapi sayangnya tidak ada orang yang benar-benar bisa merasakan kegelisahan hidup orang lain.

“Abis nganter orang, Pak?” saya bertanya ke sopir. Nada meneruskan tidur di pangkuan.

“Nggak. Dari nganter anak ke rumah sakit.”

“Oh, sakit apa?”

“Leukimia.”

“Inalillahi.” Jawab saya spontan.

Kemudian ia bercerita tentang obat, perawatan dan ketelatenan, “Gak kuat saya kalau bawa anak ke rumah sakit. Apalagi kalau mau disuntik. Mending saya keluar aja.”

Saya tidak menduga, orang yang saya kira Wota paruh baya dengan krisis identitas adalah seorang ayah dengan anak perempuan dua setengah tahun yang mengidap Leukimia yang sering ia ajak nonton teater.

Saya membayangkan, jika anak itu adalah Nada. Yang harus memangkas seluruh rambutnya karena kemo. Beberapa kali tusukan jarum untuk mencari pembuluh vena yang tipis. Mengaduh kesakitan tanpa punya bahasa lain selain menangis, dan keinginan terbesar dalam doa orang tuanya sepanjang malam adalah agar seluruh penyakit dan derita sang anak pindah ke tubuh mereka.

Mungkin setiap malam, sepulang dari kerja yang sudah sangat larut, Pak Julius menangis lirih dalam tiap doa dan ibadahnya. Dalam keadaan seperti itu, bahkan kesatria yang paling tangguh sekalipun berhak menangis.

Setiap orang ingin dimengerti, tapi tidak ada orang yang bisa benar-benar merasa kegelisahan hidup orang lain.

Kamis, 11 Januari 2018

Nasehat Pernikahan

Menasehati; itu bagian yang membuat saya gentar. Nasihat apa yang bisa diambil dari saya yang baru menikah 7 tahun? Kalaupun ada, nasehat itu seharusnya cocok untuk diri sendiri. Daripada menasehati, lebih baik saya bercerita.

Jadi, suatu hari, ketika naik motor memboncengi ibu, saya lewat sebuah TPU baru.

“Tuh liat bu, TPU-nya masih luas gitu ya.” Kata saya menunjuk plang bertuliskan TPU Padurenan.

“Iya,” Ibu merespon, “Jalan masuknya juga udah dibeton bagus.”

Di kanan-kiri jalan itu tanah luas menghampar, ditumbuhi semak, pohon pisang dan alang-alang yang tidak terlalu tinggi. Tidak lama setelah melewati TPU, kami melewati beberapa spanduk perumahan, ibu cerita tentang adik perempuan saya, “Titis lagi cari rumah tuh.”

“Di daerah sini juga banyak perumahan yang baru mau dibangun.” Saya jawab.

“Iya, yang tadi aja tuh ya, yang jalanannya udah dibeton bagus.”

“Yang mana?” saya mengingat-ingat.

“Yang tadi kita lewat!” ibu yakin.

“TPU Padurenan?”

“Iya.”

“Itu Kober, bu!” kata saya sambil ngakak.

Saya nggak ngebayangin ada ibu yang mau anaknya bikin rumah di Tempat Pemakaman Umum.
Selamat menempuh hidup baru, Tis. Jangan lupa dengerin nasehat ibu.






Rabu, 03 Januari 2018

Father of Daughters

Dalam Islam, salah satu kewajiban orang tua terahadap anak perempuan adalah menikahkan. Saya punya 3 anak perempuan dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mewakilkan wali nikah kepada siapapun selagi mampu. Tapi belakangan saya sadar bahwa ternyata saya bukan hanya akan menikahkan 3 anak perempuan, tapi 5.

Saya juga merupakan Wali Nasab dua adik perempuan setelah bapak wafat. Tanggal 7 Januari 2018 yang akan datang, Titis, salah satu adik perempuan saya akan menikah. Ini akan menjadi kali pertama saya menjadi wali nikah, kalaupun bapak masih hidup ini akan menjadi kali pertama untuk beliau.

Mohon doa semoga acara berlangsung lancar, dan semoga pernikahan Titis dan Adi diberkahi Allah.