Halaman

Senin, 09 April 2018

Kutukan Seorang Penulis

Novelett yang baru saja terbit ini bermula dari curhatan seorang kawan. Terinspirasi dari kisah nyata.

Pada dasarnya, saya senang mendengar, melihat atau membaca kisah. Hampir semua kisah, baik nyata atau fiksi. Sebagian kisah menjadi pengingat dan pelajaran, sebagian yang lain terlupa, sebagian lagi mengendap menunggu panggilan untuk hadir kembali suatu saat.

Setiap orang punya kutukannya masing-masing, dan kutukan kepada saya bernama empati. Baru akhir-akhir ini saya menyadari, setelah mengingat dan merenung kembali tentang sikap saya terhadap berbagai hal. Butuh waktu yang cukup lama sampai saya sadar.

Pernah suatu hari, saya mengajukan komplain gaji. Kepada Admin saya ingin mengatakan unek-unek saya. Telpon diangkat, dan Admin mengatakan bahwa ia telah menginput kompalin saya dengan benar. Seharusnya saya marah ketika itu, karena apapun alasannya, sudah sangat lama kekurangan gaji saya tidak dibayarkan. Tapi bukan marah yang keluar, setelah mendengar penjelasan Admin, saya malah menjadi kasihan.

Saya tidak sedang membanggakan diri dan menganggap diri saya cerdas secara emosi. Seperti yang saya katakan, ini semacam kutukan. Sesuatu yang mau tidak mau dipunyai seseorang. Sikap yang begitu saja mengalir dalam darah. Mungkin itu sebabnya saya menghayati apa yang pernah Ernest Hemingway bilang, "When people talk, listen completely. Most people never listen." Pada bagian yang lain ia menulis, “As a writer, you should not judge, you should understand.”

Terimakasih untuk pembaca awal naskah ini; Petra Naftalia, Ahmad Rifai, Multianur Pasaribu dan my favorite person on earth, Diah Resmisari.

Novelette ini diterbitkan secara indie karena saya tidak menemukan penerbit mayor yang menerbitkan genre novellete.







Note: