Halaman

Sabtu, 21 Desember 2013

Polisi Baik vs Polisi Jahat

Suatu hari, ketika kendaraan terhenti karena lampu merah, dengan jari menunjuk seseorang berseragam dari dalam mobil, Nada bertanya, “Pak itu polisi baik atau jahat?”

Mata saya segera tertuju ke seorang Polantas yang sedang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan itu. Dari kaca jendela, polisi itu terlihat tegap diterpa sinar matahari siang.

“Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada mengulangi.

“Polisi baik. Itu mau bantu supaya orang tertib berlalu lintas.” Jawab saya beserta penjelasan yang nggak diminta. Anak seumur Nada memang suka bertanya tentang apapun. Nggak hanya itu, sering juga ia bertanya bagaimana atau kenapa itu bisa terjadi. Jadi tentu saya merasa perlu memberikan penjelasan yang mudah dicerna kepala kecilnya. Lagipula, darimana dia mendapat istilah polisi baik dan polisi jahat? Apa mungkin karena ada darah polisi mengalir dalam dirinya? Kebetulan almarhum kakeknya adalah polisi.

Berdasarkan survey, dibandingkan beberapa lembaga lain, polisi Indonesia memang ada di level korupsi paling tinggi, jadi nggak mengherankan juga pertanyaan itu diajukan. Walaupun seharusnya keluar dari orang sekaliber Anis Baswedan ketika menjadi panelis untuk debat presiden, bukan anak usia tiga tahun kepada bapaknya yang sering golput.

Mobil melaju seirama dengan berubahnya lampu lalu lintas menjadi hijau. Nggak beberapa lama, kami bertemu dengan persimpangan dan lampu lalu lintas lagi. Nada menanyakan pertanyaan yang sama ketika ia melihat seseorang dengan seragam, “Kalo itu polisi baik atau jahat?”

“Baik juga.” Kata saya singkat.

“Polisi jahatnya mana, Pak?” Nada lanjut bertanya.

Pertanyaan yang bahkan SBY-pun akan bingung jawabnya. Namun gue harus menjawab, supaya dia dapat kepuasan dan nggak nanya tentang polisi lagi. Paling nggak untuk perjalanan saat itu. “Polisi jahatnya ada di penjara.” Saya menjawab sekenanya.

“Penjara itu apa?” Nada bertanya, tapi terdengar seperti Aristoteles yang mengucapkan.

Dan kali itu, sepertinya saya harus menjelma menjadi Plato, “Penjara itu tempat orang-orang taubat, supaya dapat ampunan.” Begitu saya bilang.

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain. Perjalanan berlanjut. Dan sialnya, polisi terlihat lagi. Nada bertanya pertanyaan polisi baik dan jahat lagi. Dan saya pura-pura mati.

Kali itu saya berpikir sebentar, mencari jawaban pamungkas. “Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada kembali mencoba membunuh saya.

Dengan yakin saya menjawab, “Semua polisi itu baik, Kak. Semua polisi.” saya menekankan kata-kata terakhir. Kemudian melanjutkan, “Sampai ada yang membuktikan kebalikannya.”

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain.







Minggu, 15 Desember 2013

Polisi Baik, Polisi Jahat

Suatu hari, ketika kendaraan terhenti karena lampu merah, dengan jari menunjuk seseorang berseragam dari dalam mobil, Nada bertanya, “Pak itu polisi baik atau jahat?”

Mata gue segera tertuju ke seorang Polantas yang sedang mengatur lalu lintas di persimpangan jalan itu. Dari kaca jendela, polisi itu terlihat tegap diterpa sinar matahari siang. “Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada mengulangi.

“Polisi baik. Itu mau bantu supaya orang tertib berlalu lintas.” Jawab gue beserta penjelasan yang nggak diminta. Anak seumur Nada memang suka bertanya tentang apapun. Nggak hanya itu, sering juga ia bertanya bagaimana atau kenapa itu bisa terjadi. Jadi tentu gue merasa perlu memberikan penjelasan yang mudah dicerna kepala kecilnya. Lagipula, darimana dia mendapat istilah polisi baik dan polisi jahat? Apa mungkin karena ada darah polisi mengalir dalam dirinya? Kebetulan almarhum kakeknya adalah polisi.

Berdasarkan survey, dibandingkan beberapa lembaga lain, polisi Indonesia memang ada di level korupsi paling tinggi, jadi nggak mengherankan juga pertanyaan itu diajukan. Walaupun seharusnya keluar dari orang sekaliber Anis Baswedan ketika menjadi panelis untuk debat presiden, bukan anak usia tiga tahun kepada bapaknya yang sering golput.

Mobil melaju seirama dengan berubahnya lampu lalu lintas menjadi hijau. Nggak beberapa lama, kami bertemu dengan persimpangan dan lampu lalu lintas lagi. Nada menanyakan pertanyaan yang sama ketika ia melihat seseorang dengan seragam, “Kalo itu polisi baik atau jahat?”

“Baik juga.” Kata gue singkat.

“Polisi jahatnya mana, Pak?” Nada lanjut bertanya. Pertanyaan yang bahkan SBY-pun akan bingung jawabnya. Namun gue harus menjawab, supaya dia dapat kepuasan dan nggak nanya tentang polisi lagi. Paling nggak untuk perjalanan saat itu.

“Polisi jahatnya ada di penjara.” Gue menjawab sekenanya.

“Penjara itu apa?” Nada bertanya, tapi terdengar seperti Aristoteles yang mengucapkan.

Dan kali itu, sepertinya gue harus menjelma menjadi Plato, “Penjara itu tempat orang-orang taubat, supaya dapat ampunan.” Begitu gue bilang.

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain.

Perjalanan berlanjut. Dan sialnya, polisi terlihat lagi. Nada bertanya pertanyaan polisi baik dan jahat lagi. Dan gue pura-pura pingsan.

Kali itu gue berpikir sebentar, mencari jawaban pamungkas. “Itu polisi baik atau jahat, Pak?” Nada kembali mencoba membunuh gue.

Dengan yakin gue menjawab, “Semua polisi itu baik, Kak. Semua polisi.” Gue menekankan kata-kata terakhir. Kemudian melanjutkan, “Sampai ada yang membuktikan kebalikannya.”

Nada sepertinya puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang berpikir mencari pertanyaan filosofis lain.