Halaman

Kamis, 28 Juli 2016

Feels Like Summer

Matahari bersinar redup di pojok timur langit ketika kita keluar rumah. Sinar itu merambati bumi, menghangatkan pagi yang masih dingin. Hujan yang mengguyur sehari sebelumnya memerahkan tanah, meruapkan aroma yang khas. Kabut tipis di jalan mulai hilang, seiring lalu lalang kendaraan dan kegiatan yang mulai menggeliat, sebagian udara segar terangkat naik, sebagian menyesaki rongga paru-paru. Hari ini kita akan jalan-jalan, kataku.

Aku masih ingat dengan jelas pemandangan di jalan itu; lurus di tepi sungai ke arah timur. Di sebelah selatan, siluet punggung Gunung Gede yang masih berselimut kabut terlihat malu-malu. Sementara di belakang kita, samar-samar terlihat Gunung Salak yang kebiruan, terbilas bersih oleh hujan lembut bulan Desember.

Kita mengejar matahari. Angin dingin pagi melintasi padang sawah yang hijau kekuningan, menepuk-nepuk wajah, kemudian berlalu entah kemana. Langit biru cerah berhias kapas awan putih memenuhi lanskap, membuat mata terasa sakit jika terus memandangnya. Sungai lebar di pinggir jalan mengalir tenang ke arah barat.

Suasana begitu jernih, tidak ada suara musik yang menyumbat telinga, tak banyak kendaraan yang melintas bersama atau berlawanan dengan arah kita. Diliputi semua itu, dari atas Revo, kita bercerita banyak hal tentang perjalanan; jembatan, sungai di bawah sungai, dan asal usul nama-nama tempat dan jalan.

Aku telah merencanakan perjalanan itu jauh hari dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Mensurvey jalan dan rute —bahkan yang belum pernah aku lalui sekalipun—, juga tempat-tempat untuk berhenti.

“Pertama kita akan beli roti dan air mineral untuk sarapan,” kataku ketika sampai di parkiran sebuah ruko yang menjulang tinggi dengan kincir angin gaya Belanda di atasnya.

“Kita kemana setelah ini?” katamu.

“Kita akan piknik di pinggir danau. Tapi sebelumnya, aku akan ajak kamu lewat pemandangan bagus.”

Aku tidak benar-benar mengerti tentang definisi pemandangan bagus, yang aku pahami, kita membuat pemandangan menjadi indah karena kita punya perspektif tersendiri tentang pemandangan itu. Seperti Guido dalam Life Is Beautiful, yang menggambarkan kepada anaknya tentang hidup dan dunia yang tetap harus dijalani dengan riang di tengah kebencian kepada kaumnya. Jadi bukan semata-mata pemandangan, perspektif dan perasaan kita yang menentukan pemandangan itu indah atau tidak.

Lagipula, kita sedang tidak tergesa, maka mari kita nikmati hal-hal kecil yang luput; keabadian pada sebutir pasir dan keindahan pada sekuntum bunga liar.

“Bang.” Kamu bilang, tidak beberapa lama setelah kita duduk di pinggir danau sambil mengunyah Crossant Keju, “Aku boleh nanya satu pertanyaan?”

“Akan kujawab tiga pertanyaan.”

“Nggak usah. Satu aja.” Kamu tersenyum.

“Oke.”

“Jadi bait terakhir dari puisi itu maksudnya apa?”

Beberapa hari yang lalu aku sudah menjelaskan simbol dalam puisi, berharap dengan itu kamu bisa mengambil makna sendiri. Bukankah pengarang mati setelah karyanya selesai? Tapi sepertinya itu tidak berlaku kepadaku. Penjelasan tentang diksi, imaji, gaya bahasa, rima, rasa, makna dan tujuan dalam puisi mungkin juga tidak akan banyak menolong, karena yang kamu mau adalah makna dariku.

“Kamu mengerti tentang Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?” tanyaku retoris memulai menjelaskan Stanza terakhir puisi itu, “Sakinah itu seperti air danau di hadapan kita; tenang, tentram, damai, aman, terlindungi. Aku kira kita sudah dan sedang mendapatkan perasaan itu sekarang, /seperti rasa yang pernah kita alami./”

Kamu diam mendengarkan. Sinar matahari menembus sela-sela batang pohon menampilkan bayangan langit di permukaan air danau. Beberapa ekor capung hinggap di batang ilalang kemudian terbang digoyang angin semilir.

“Mawaddah bisa diartikan cinta. Sakinah akan meningkat menjadi Mawaddah. Jadi setelah Sakinah, kita bisa merasakan Mawaddah yang sesungguhnya. Sementara Rahmah berasal dari sifat Allah, yang lebih bermakna ruhiyah atau qolbiyah. Berbeda dengan Mawaddah yang lebih bersifat fisik, Rahmah tak lagi menilai fisik dan duniawi. Dan semua itu —ketenangan, cinta dan kasih sayang—, terjadi di dalam hati, /ketika ilalang bergoyang menggerakan serat-serat hati./

Burung Gereja hinggap di ranting pohon, bercicit sebentar kemudian terbang.

Kita baru akan beranjak dari piknik singkat itu ketika sebuah motor dengan dua orang satpam menghampiri, dan mengingatkan bahwa tempat itu rawan kejahatan karena sepi. Sebaiknya ke tempat lain, Pak, kata salah satunya dengan sopan.

Kita cengar-cengir sendiri ketika keduanya berlalu, seperti dua orang anak kecil yang kepergok menghabiskan cokelat dalam kulkas; dosa kecil yang kita nikmati. Sungguh aku sudah memprediksi jadwal patroli mereka, karena bagaimanapun danau itu memang bukan tempat rekreasi umum.

Kendaraan kembali menyusuri jalan lurus namun berbukit dengan jejeran pohon palem dan pohon-pohon yang kita tidak kenal namanya, menjulang tinggi seperti cemara, berbaris rapih seperti prajurit. Ketika jalan menanjak, kita bisa melihat pohon-pohon itu seperti ditelan permukaan jalan, dan ketika jalan menurun, kita melihat pohon-pohon itu semakin kecil menjauh.

“Jadi kenapa malam itu kamu nangis?” tanyaku di atas kendaraan yang sedang melaju.

“Gak tau.”

“Bukan karena aku lupa nyuci keset-keset kotor?”

“Bukan.”

“Trus kenaapa?”

“Nggak tau. Memang waktu itu aku lagi sensitip aja.”

“Aku pikir malam itu kamu mau bilang, ‘Aku tahu abang selingkuh!’”

“JADI ABANG SELINGKUH?!”

Aku tertawa lepas.

Benar yang Hoeda bilang, perempuan tidak menginginkan pesaing, bahkan jika si pesaing dapat ia kalahkan, bahkan jika ia tidak benar-benar ada.


“Ada satu tempat lagi yang akan aku tunjukan.” kataku, “I save the best for last.”

“Show me!”

“Ini dia.” Kataku setelah sampai di bagian paling tinggi di jalan itu.

“Apa istimewanya jalan ini?” kamu bingung melihat jalan turun dan menanjak sejauh kira-kira dua kilometer di hadapanmu, dengan semak belukar liar di beberapa sisi jalan, sementara di kejauhan, kamu bisa melihat hamparan pemakaman dengan sebuah bangunan seperti masjid di tengahnya.

“Jalan ini istimewa karena kita ada di puncaknya.”

Kamu mengernyitkan dahi, mungkin bingung. Aku tersenyum, dalam hati ingin menyanyikan sebuah lirik; when I am with you, there's no place I'd rather be.

Inilah perjalanan yang akan kukenang, seperti adegan terakhir dalam We Bought a Zoo. Perjalanan yang membangkitkan rasa yang lama; debaran ketika melakukan hal-hal untuk pertama kali, gairah yang meluap-luap, usaha untuk menjelaskan hal-hal yang membuatmu terkesan, perasaan dekat sekaligus khawatir. Di atas semua itu, aku ingin tetap memelihara kekagumanku padamu.

Aku selalu tertarik dengan para pengembara yang memiliki kepasrahan para sufi. Berjalan dalam kehidupan fana, menetap sebentar kemudian bergegas melanjutkan perjalanan setelah merobohkan tenda. Bagi mereka, perjalanan adalah kehidupan dan kehidupan adalah perjalanan. Dalam perjalanan, yang terpenting adalah menikmati saat ini dan tidak terlalu takut dengan masa depan yang belum terjadi. Kau dan aku adalah musafir dari masa lalu, berpegangan tangan, menyusuri jalan berbatu, menuju sebuah mimpi cerah di tepi subuh yang jauh.

Jangan khawatir, selama kita bersama, aku yakin kita bisa pergi sejauh yang kita inginkan. Seperti yang orang Afrika bilang, “If you want to go fast, go alone. If you want to go far, go together.”
Di tengah dunia yang hingar-bingar, penuh kebencian, rasisme, fitnah dan caci maki ini, kita dipaksa untuk tetap bersikap jernih dan bahagia. Hal itu mudah saja, karena kita hanya tinggal mencari hal yang telah ada di dalam diri kita, di sanalah kebahagiaan kita yang sejati. Rumah dimana anak-anak menyambut dengan riang di depan pintu. Berebut ingin berbicara kegiatan mereka satu-satu.

Setelah singgah sebentar di masjid dengan payung besar seperti di Masjid Nabawi, kita melanjutkan perjalanan. Bersama kita fragmen kecil waktu seperti membeku, juga bersama awan yang berarak di langit biru. Di ujung jauh, mendung musim ini menggantung, tapi musim apapun, bersamamu rasanya sama saja, Feels Like Summer.

Time of our lives, wonder of surprise, 
The open blue skies reflecting in our eyes, 
In a photograph, captured as we laugh, Like we always do. 
 
Clear country air, ever-free from care, 
True friendship that we share, joy beyond compare, 
In a perfect place, see the sunny days, Coming into view.
  
Once you were here, the worries disappeared,  
It all became clear, nothing left to fear, 
You have got my back, Keeping me on track, Like you always do. 
  
Time of our lives, such a sweet surprise,  
Together we survive, ever starry-eyed,  
Beyond any price, pure as paradise, Coming into view.
  
If we get lost on a grey cloudy day, 
Let's stick together we'll always find our way.
   
Cause everyday feels like summer with you,  
Everything feels like starting a new,  
Everyday feels like summer with you. (*)  

Di atas motor,
segala hal selain kita hilang.
Dan keinginanku sederhana saja,
bersamamu sampai pulang.

(*) song by Tim Wheeler

Sabtu, 23 Juli 2016

Kancil, Perundungan dan Belajar Menjadi Orangtua

Satu hari tantrum Safa kambuh. Ia berteriak sambil menangis minta mandi di halaman depan. Dengan Nada, Saya sudah pernah menghadapi tantrum sejenis ini, jadi saya punya pengalaman untuk mengatasinya.

Saya dekati Safa kemudian berbisik di telinganya, “Safa dengarkan bapak. Mari kita buat semuanya jelas. Bapak akan mendengarkan Safa selama Safa mau mendengarkan bapak.”

Safa berhenti menangis.

“Kita kerjasama.” Kata saya kemudian, “Safa bisa diajak kerjasama?”

Dia mengangguk.

Saya membolehkannya mandi di halaman depan, seperti kemauannya. Sambil menyaratkan, “Kalau bapak bilang sudah, kita sepakat untuk berhenti. Oke?”

“Oke.” Ia menjawab jelas.

Setelah waktunya cukup, saya minta Safa untuk handukan. Dia sudah mendekat untuk dihanduki tapi kemudian mengejek saya dan berlari kembali ke halaman depan.

Saya tidak kaget dengan kelakuan itu.

Nada pernah melakukan hal yang lebih parah. Ia menangis sambil berteriak di depan sebuah mal besar di Jakarta. Hari itu kami pulang dari menghadiri sebuah acara di sana, dan sedang menunggu kendaraan yang akan menjemput. Saya dan istri sudah lelah, begitu juga Nada. Ia mungkin hanya ingin mencari perhatian, dan berhasil menarik perhatian kami, bahkan perhatian semua pengunjung mal dan para satpam.

Kabar baiknya, itulah tantrum terakhir Nada. Sudah hampir lima bulan sejak peristiwa itu dan sampai sekarang, ia tidak pernah melakukannya lagi. Saya tahu Nada sangat menyesal dengan kejadian itu. Sampai sekarang, ia tidak lagi berteriak untuk meminta apapun.

Banyak orang tua yang tidak sabar dan melakukan jalan pintas dengan membentak bahkan memukul. Saya dan istri tidak pernah memukul anak kami. Dan tentu kami tidak akan membiarkan orang dewasa manapun melakukannya dengan sengaja, dengan alasan apapun. Walaupun begitu kami bukan orang tua yang sempurna. Pertama kali tantrum, saya pernah membentak Nada. Itu meredakannya untuk sesaat, dan membuat saya menyesal untuk selama-lamanya.

Zaman telah berubah. Cara mendidik juga berubah. Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang mendidik anak. Kita tidak bisa hidup dengan terus meyakini bahwa bumi ini datar seperti piring, ketika banyak bukti menyatakan bahwa bumi ini bulat. Membentak, memukul, mempermalukan, melecehkan, merundung adalah cara mendidik yang seharusnya ditinggalkan.

Banyak orang yang kemudian bernostalgia tentang masa kecil mereka yang diperlakukan kasar oleh orang tua juga oleh guru di sekolah, dan ternyata sekarang mereka hidup baik-baik saja, bahkan sukses. Jika demikian, kekerasan pada anak tidaklah masalah.

Apakah memang begitu?

Saya tidak bisa menjawabnya dengan hitam-putih, karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Namun, penelitian membuktikan bahwa usia anak-anak adalah usia dimana trauma ditanam. Seiring bergulirnya waktu, memang ada anak-anak yang bisa terlepas dari trauma tersebut saat dewasa, tapi juga ada anak-anak yang tidak. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan pada anak akan menimbulkan luka psikologis yang berkepanjangan.

Karena tidak tahu anak yang mana yang bisa bertahan dan anak yang mana yang tidak, maka sebaiknya mendidik dengan cara kekerasan pada anak-anak ditiadakan. Mengikuti Qowaidul Fiqh; Ad-Dhararu Yuzalu, kemudharatan/kerugian itu harus dihilangkan. Lagipula, “balas dendam” untuk memperlakukan kasar anak karena pernah diperlakukan kasar adalah sejenis lingkaran setan yang harus diputus.

Menanggapi kasus guru yang melakukan kekerasan kepada muridnya, pendapat kita kemudian terbelah. Pro dan kontra. Saya pribadi tidak akan terima jika ada guru yang memukul anak saya. Namun saya juga tidak akan melaporkannya langsung ke kantor polisi, karena saya tahu di sekolah, juga di website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, ada cara untuk melaporkan tindakan pelanggaran seperti itu.

Melaporkan tindakan guru tersebut langsung ke pihak berwajib menandakan orang tua ingin lepas tangan dari pendidikan anak, dari keterlibatan di sekolah, dari komite orang tua di sekolah. Kita tentu tidak mau jika nanti anak kita ketahuan berbuat kriminal di sekolah seperti mencuri, sekolah tidak memanggil orang tua tapi langsung melaporkan ke kantor polisi (saya akui analogi ini tidak apple to apple).

Di lain pihak, membela guru tersebut dengan membabi buta adalah juga tindakan yang berlebihan. Ditambah lagi kekalapan dengan melakukan cyber bullying (bahkan oleh media nasional) kepada si anak, dengan menyebar foto meme si anak yang sedang merokok. Atau menyebarkan berita fitnah tentang tidak diterimanya anak itu di beberapa sekolah.

Melakukan kekerasan kepada murid adalah pelanggaran. Itu yang tertulis dalam undang-undang. UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, pasal 54 menyatakan: Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. Jadi bagaimanapun, perbuatan itu salah.

Semua anak pernah nakal. Presiden Jokowi pernah, bahkan presiden Obama sering menghisap ganja waktu muda. Saya nggak bermaksud supaya anak-anak ikut teriak “sate”, “nasi goreng”, dan nyimeng seperti Obama. Bukan, bukan itu maksudnya. Maksud saya, setiap anak punya “kancil” dalam diri mereka. Masalahnya, orang dewasalah yang menyebabkan “kancil” di diri anak-anak menjadi semakin besar dengan cara menanganinya dengan tindakan kekerasan. Anak-anak adalah peniru yang baik.

Saya sadar bahwa tidak ada orang tua atau guru yang sempurna. Sebagai orang tua, saya terkadang merasa baik, terkadang juga merasa begitu buruk. Saya beberapa kali berteriak dan membentak anak saya. Apakah saya bangga? Tidak sama sekali. Bahkan setelah amarah saya reda, saya merasa bersalah. Saya berteriak kepada anak saya dengan alasan yang sangat sepele. Saya merasa menjadi orang tua yang paling arogan.

Saya mengerti bahwa orang tua tidak boleh membentak, membanding-bandingkan, mengkritik, memukul, mengancam dan lain-lain. Seharusnya orang tua memberikan dorongan, pujian, dukungan, penerimaan, pengakuan, solusi dan lain-lain. Kita tahu, teori dan aturan-aturan mengasuh anak itu hal yang paling mudah dikatakan tapi paling sulit dilakukan. Belum lagi jika melihat latar belakang metode parenting. Antara barat atau timur, Muslim atau bukan, kota atau desa, dan lain-lain.
Ada sebagian orang tua mengangap pola asuh mereka adalah pola asuh yang terbaik, sambil menganggap pola asuh selainnya tidak lebih baik. Kita menilai diri sendiri dan orang lain dengan menggunakan mitos orang tua sempurna yang padahal tidak pernah ada.

Tidak ada orang tua yang sempurna, yang ada adalah orang tua yang terus belajar. Belajar untuk lebih mencintai dan menghargai anak-anaknya. Di situlah kerendahan hati untuk mengakui kesalahan diperlukan. Karena bagaimana mungkin seorang bisa memperbaiki kesalahan tanpa tahu apa kesalahannya? Jadi, mari kita akui kesalahan kita, membuka diri terhadap kesalahan itu, kemudian mau belajar untuk memperbaiki.

Wallahu ‘alam.