Halaman

Senin, 30 Desember 2019

Pulang

Pagi di kota yang gelisah, ada selangit pulang dalam rindu ungu. Aku merindukanmu seperti kehangatan kamar bagi pendaki yang tersesat di rimba kata.

Kamu bangun di pagi yang sudah terang. Dari jendela kamu melihat burung-burung kecil berkicau. Semalam ketika langit menampakkan sisi paling gelap kamu masih terjaga.

Kamu adalah pulangku. Rumah dimana hati dan nyawaku berteduh. Ketika langit berwarna kusam dan dingin, aku pulang kepada aroma tubuhmu.

Rumah adalah bentuk pulang paling azali. Pernahkah kamu berjalan terlalu jauh, hingga tiba-tiba merindukan rumah dan segala yang ada di dalamnya? Atau gelisah dan sepi karena jalan pulang tertutup buram kaca jendela?

Tak ada orang yang tak punya pulang. Seorang pengembara juga butuh tenda, atau selembar kardus untuk tidur, atap adalah langit, tempat ia berkunjung ke pangkuan mimpi.

Kamu hanya perlu percaya pada perasaan yang mengaduk-aduk perut, yang mungkin saja kamu abaikan, tapi tidak bisa kamu sangkal. Karena dimana hatimu berada, disana pulangmu berada.

Setelah itu aku akan menulis kata-kata sederhana tentang sore yang tidak pernah kehabisan rona. Tentang kita yang berangkulan mendaki pulang di puncak senja.




selamat ulang tahun,
yang fana itu pergi
pulang abadi

Senin, 16 Desember 2019

Masa Depan yang Mengajariku Bermimpi

Namaku Iro. Umurku 27 tahun. Seperti kebanyakan milenial, mimpiku adalah bisa keliling dunia, bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang di seluruh dunia, membuat start up, dan menjadi content creator. Mimpiku masih seperti itu sampai ada seorang perempuan bernama Kayla, mengatakan bahwa semua mimpi itu akan terwujud, aku menjadi kaya raya, tapi diakhir hidup tidak bahagia. Ia bilang aku akan berumur panjang, 89 tahun 3 hari, dan akan meninggal di panti jompo. Sendirian. Ia mengatakan itu dengan keyakinan dan detail yang sulit ditandingi oleh siapapun yang pernah aku kenal. Ia serius ketika bilang datang dari masa depan.

*


“Oke. Ini memang foto asli.” aku mengembalikan sebuah foto bergambar beberapa anak TK yang berkerumun tidak teratur, di tengah mereka sedang tersenyum seorang laki-laki dengan uban memenuhi rambut dan jenggot. Latar belakang foto itu seperti ruang belajar dengan tembok penuh kreasi yang aneh, tidak jauh dari tembok itu ada sesuatu seperti jam digital yang menunjukan tahun 2052. Kayla mengatakan bahwa laki-laki tua dalam foto tersebut adalah aku, dan anak perempuan di pangkuanku adalah dirinya.

“Jadi sudah percaya, Prof. Eh, maksud saya, Mas.” komentar Kayla sambil menerima foto tersebut.

“Baik. Anggaplah aku percaya.” aku berkata hati-hati. “Tapi kenapa kamu berkunjung ke tahun ini? Oh, tunggu, biar aku tebak, kamu punya misi mau mencegah kelahiran seseorang kan? Atau menolong orang penting di masa depan yang ingin bunuh diri, kemudian kembali ke masa depan dan mendapat bayaran?”

“Tetot!” Kayla menyilangkan kedua lengannya. “Salah. Tebakanmu salah. Lagipula, ini perjalanan sekali jalan. Jadi aku tidak bisa kembali ke masa depan.”

Aku mengerutkan alis tidak menyangka dengan penjelasan itu. “Jadi apa sebenarnya tujuanmu datang ke sini?”

“Sebenarnya,” Kayla tersipu. “Aku kembali ke sini untuk bisa mengenalmu lebih jauh dan menjadi pasanganmu.”

“Apa?” aku kaget. Benar-benar kaget. Ia menanggung semua resiko untuk pergi ke sini hanya karenaku. Sulit dimengerti.

Kayla tersenyum seperti tidak terlalu heran dengan keterkejutanku. Apakah di masa depan nanti wanita memang semudah ini menyatakan perasaannya? Dari semua yang aku ketahui darinya, senyum itu adalah yang paling aku suka. Ia berperawakan sedang, dengan tinggi sekitar 165 cm. Berwajah bulat dan pipi kemerahan terutama ketika tersipu malu. Secara fisik tidak ada yang aneh padanya. Aku berani taruhan, sipapun laki-laki yang mengenalnya secara fisik akan tertarik padanya. Tanpa dimintapun aku mau jadi pacarnya.

“Apa aku akan jadi presiden Indonesia suatu hari nanti?” aku merespon setenang mungkin.

Kayla tertawa hingga terlihat gigi graham yang berderet putih dan rapih. Aku menikmati tawa renyah itu beberapa saat, sampai akhirnya ia tersenyum sambil menjelaskan. “Di masa depan, kamu adalah dosenku. Setelah pertemuan di TK waktu aku berumur 6 tahun, kita tidak pernah bertemu lagi sampai aku masuk kampus. Waktu itu kamu berkunjung ke TK sebagai tamu. Jadi setiap sebulan sekali, di kelas selalu kedatangan berbagai profesi. Kamu diundang karena kamu adalah dosen dan peneliti. Professor sosiologi yang telah berpetualang ke berbagai tempat.”

“Keliling dunia?” aku bertanya.

“Ya. Aku bisa menunjukan foto-fotonya kalu kamu mau. Atau mau video?” Kayla mendekatkan sesuatu di pergelangan tangannya yang berbentuk seperti jam. Ia seperti menekan pada ujunya dan keluar beberapa gambar dan video yang menunjukan seseorang yang sangat mirip diriku dengan latar berbagai daerah di seluruh dunia. Aku tertegun hampir tidak percaya. Aku berkunjung ke semua negara yang selalu aku impikan. Semuanya begitu nyata seperti siang hari namun juga seperti mimpi. Apa rasaanya jika kamu tahu bahwa semua keinginanmu akan terwujud?

Sambil menunjukan foto dan beberapa video, Kayla asik menjelaskan dengan rinci segala hal yang ia tahu tentangku. Kayla bercertita banyak tentang awal mula kesukaannya padaku. Tentang bagaimana pengalamanku keliling dunia. “Tahun depan, pengajuan beasiswamu ke Australia akan diterima. Kamu akan kuliah dan bekerja di sana selama empat tahun.”

“Bagaiman mimpiku menjadi youtuber dan membuat start up?”

“Kamu mencapai itu semua, dengan passion dan kerja keras.” Kayla berhenti sebentar, merapikan poni yang menutupi matanya karena tertiup angin. Angin yang juga menggoyang ranting-ranting pohon dan membuat daun kering berjatuhan. Aku refleks memungut beberapa daun kering yang jatuh pada rambut hitam Kayla, seakan-akan itu adalah kebiasaanku.

Kayla tersenyum seperti tidak terganggu dan tetap meneruskan. “Pada khirnya era itu redup dan kamu tidak menemukan kebahagiaan sejati pada apa yang kamu peroleh. Aku pernah bertanya padamu, dan kamu mengutip Jim Carrey.”

“Tunggu-tunggu.” Aku memotong penjelasan Kayla. “Jadi aku meraih semua mimpiku tapi aku tidak bahagia? Bagaimana bisa?”

“Ya begitulah. Kamu yang mengatakannya sendiri. Tapi Akhirnya kamu tahu bahwa kebahagianmu yang sebenarnya adalah membuat banyak orang bahagia. Dengan pendidikan dan penelitian yang berguna bagi orang banyak. Mulai dari situ kamu fokus meneliti dan belajar. Sayang kesadaran itu datang terlambat. Usiamu sudah 50 tahun.”

Aku bertanya banyak hal tentang diriku sendiri. Kayla menjawab semuanya dengan uraian yang sering membuatku semakin kaget.

“Jadi aku meninggal di panti jompo sendirian?” dengan terbata-bata aku memastikan apa yang baru kudengar.

“Ya.” Kayla menjawab cepat. “Tidak sendirian sebenarnya. Aku menemani dan selalu berkunjung selama 5 tahun terakhir kamu di panti jompo. Baik hanya bertanya tentang penelitian atau bercerita dan mengobrol tentang banyak hal.”

Aku seperti ditampar kemurungan. Ini seperti kisah fiksi tentang kemalangan yang biasa aku baca di novel. Hanya cerita ini menjadi begitu menyentuh karena tokohnya adalah diriku sendiri. Kayla bilang aku hampir punya istri. Sudah bertunangan tapi tunanganku meninggal karena kanker beberapa bulan sebelum kami menikah. Aku kaget dan bersandar pada kursi panjang di taman kampus itu. Aku akan tua, sendirian dan kesepian, tanpa anak dan keluarga yang menjaga, kalimat itu terngiang-ngiang di kepala. Aku masih tidak ingin percaya dengan apa yang aku dengar.

Kayla seperti melihat kehawatiran di wajahku, “Mungkin ini terdengar di luar bayanganmu.”

“Ya, aku tidak ingin percaya. Ini terasa sangat aneh.” Aku bertopang dagu, membayangkan masa depan yang belum aku jalani.

Angin menerbangkan serpihan daun di tanah, menggulung-gulung dan akhirnya menghempaskannya ke atas air danau yang tenang. Kering, tua, pasrah dan dilupakan.

“Jadi apa yang terjadi jika kita menikah?” aku bertanya pelan.

“Tidak ada yang tahu.”

“Apa kita akan punya anak?”

“Tidak ada yang tahu.”

“Jadi sebenarnya apa maksudmu ke sini?” nada suaraku mulai meninggi. “Apa hanya untuk memenuhi keinginan dan hasratmu?”

Kayla diam. Padahal aku berharap ia akan memberikan alasan bahwa ia ingin mengubah masa depanku. Tapi ia pun tidak tahu apa yang akan terjadi sebenarnya. Jadi datang atau tidak datang ke masa ini sama saja untukku. Masa depan yang sebenarnya tetap tidak bisa diketahui.

Aku terus memaksa Kayla untuk mengatakan keinginan sebenarnya. Ia tetap diam. Aku ikut terdiam, menata pikiran yang berkecamuk. Membayangkan masa depan yang suram membuatku berpikiran gelap.

“Aku ulangi lagi.” nada suaraku mulai tenang. “Jadi apa tujuanmu datang ke sini?”

Kayla kembali diam. Menunduk memandangi lantai beton dan rerumputan. Aku menjadi serba salah. Akan lebih mudah jika ia berargumen dan kita bertengkar. Tapi sepertinya ia sangat mengerti karakterku yang tidak suka ditentang.

“Baik.” akhirnya aku membuka suara setelah jeda diam beberapa saat. “Aku rasa hubungan seperti ini tidak bisa diteruskan.”

*


Hari ini aku berdiri di depan makam Kayla. Beberapa tahun setelah percakapan panjang itu, lima bulan sebelum Kayla lahir. Sungguh aneh.

Aku tahu hari ini akan tiba. Entah aku yang meninggal lebih dahulu atau Kayla. Tapi pengetahuan dan kesadaran itu tidak cukup untuk meredam kesedihanku. Hari ini aku mengenang beberapa kejadian.

Aku ingat percakapan di ujung senja di Pulau Santorini. Tempat dimana dewa dewi melepas keabadian mereka. Tata kota dan bangunan-bangunan berarsitektur yang Kayla sebut dengan kalimat abstrak; romantis. Kami menyewa sebuah rumah putih di dekat undakan dinding tebing. Pada beberapa hari pertama, hal-hal yang baru itu terasa mengagumkan. Menjelajahi jalan-jalan sempit kota itu menuju Fira. Berjalan kaki menuju sebuah Katedral Ypapanti dengan kubah biru dalam akulturasi desain lokal Yunani dengan sentuhan rennaisance, dimana dari sana terlihat kawah kaldera dan laut Aegean yang biru pekat.

Sampai subuh, aku dan Kayla masih terjaga dan terus berbicara, sambil berbagi feromon di kulit, di bawah langit yang penuh rasi bintang. Mungkin benar kata orang, you never really know a woman until you talk to her at 3 AM.

“Jadi apa itu kebahagiaan menurutmu?” aku bertanya pada Kayla.

“Kebahagiaan itu sumberdaya yang tak terbatas. Ia ada dimana-mana dan berlimpah. Untuk menjadi bahagia kita tidak butuh merebutnya dari orang lain. Kita tidak perlu berebut kebahagian karena ia bukanlah kompetisi yang jika seseorang sudah dapat, maka orang lain akan kehilangan. Jika mereka menang maka kita kalah. Tidak seperti itu. Bahagia bukan tentang mengambil semuanya dan tidak menyisakan untuk orang lain. Kita bisa menempuh cara masing-masing untuk bahagia.”

Pada akhirnya aku dan Kayla menikah tapi tidak punya anak. Segala yang diceritakan Kayla tentangku terwujud, hanya sekarang aku punya perspektif yang berbeda tentang mimpi. Sekarang aku tidak pernah sedetikpun menyesali kehidupan yang telah aku jalani. Pertemuan dengan Kayla membuka mataku dan mempertanyakan kembali apa sebenarnya keinginan yang ingin kucapai, apa yang membuat orang bahagia. Jim Carrey benar, semua orang harus menjadi kaya dan terkenal dan melakukan semua yang mereka impikan sehingga mereka dapat melihat bahwa itu bukan jawabannya.

Sabtu, 07 Desember 2019

Gitar di Tangan dan Kenangan yang Menunggu Dipanggil






Itu adalah perjalanan pertama saya dan keluarga ke Pulau Seribu. Awalnya saya tidak yakin bisa melakukan itu sendiri. Hampir saja rencana liburan ke Pulau Pari batal karena setelah dihitung, buat saya terlalu mahal. Istri saya bertanya retoris, “Is it worth?” Lebih lagi beberapa kawan tidak menyarankan pergi tanpa travel agent.

Jika memakai travel agent, untuk empat orang (saya, istri, Nada dan Safa. Aira karena masih 2 tahun jadi tidak dihitung) per kepala dikenakan Rp. 580.000,- s/d Rp. 560.000,-. Sebenarnya harga itu bisa turun, jika orangnya semakin banyak. Sayang (atau yang belakangan saya syukuri) beberapa kawan yang saya ajak tidak merespon.

Salah satu contoh paket wisata Pulau Pari menggunakan agent

Adalah postingan Vira di Instagram yang membuat saya akhirnya yakin untuk ke pulau seribu tanpa travel agent. Belakangan Vira juga menulis pengalamannya di sini. Untuk review lain Pulau Pari tanpa Agent juga bisa ke link ini

Berikut itinerary kami:


Transportasi

Ada beberapa cara menuju Muara Angke/Kali Adem. Kami memilih menggunakan taksi karena paling nyaman dan mudah. Dari rumah jam 5 sampai Muara Angke setengah 7 (sekitar 49 KM). Kalau memakai angkutan umum biayanya akan jauh lebih murah walaupun agak ribet dikit. Commuter Line / kereta api paling awal dari St. Bekasi pukul 5, sampai St. Kota Tua mungkin sekitar jam 7. Dari Kota ke Muara Angke bisa naik Trans Jakarta. Baliknya juga dengan transportasi umum yang sama.

Dari Muara Angke ke Pulau Pari menggunakan perahu Fery tradisional. Loket tiketnya ada di dekat parkiran. Berangkat pukul 8 pagi. Biayanya: dewasa Rp. 47.000,-, balita Rp. 27.000,-



Penginapan

Sebelum berangkat, saya menjelajah Pulau Pari menggunakan Google Street View. Dari sana saya tahu lokasi homestay yang paling dekat dengan pantai dan pemandangan bagus; Pari Solata Seaview Homestay.

Luas Pulau Pari dari ujung ke ujung hanya 2,5 KM

Bu Ludi adalah pemilik penginapan.

Pemandangan dari jendela penginapan

Pantai

Ada 2 pantai yang paling bagus, Pantai Bintang dan Pantai Pasir Perawan.





Gitar di pangkuan, biru di pandangan


Pantai Bintang, banyak bintang laut. Jangan diangkat dari dalam air, kasihan bisa mati atau stress.

Sunset di Pantai Pasir Perawan

Makanan

Jenis makanan cukup beragam. Kami mencoba sea food. Harga makanan sama seperti harga di Jakarta, reasonable. Ikannya segar, tapi nasinya agak keras.

Harga

Alat-alat snorkeling, memancing, sewa sepeda dan lain-lain juga reasonable. 



Waktu

Seluruh penjelasan waktu dan lain-lain yang dijelaskan adalah pada weekdays bukan weekends. Kemungkinan ada perubahan jika perjalanan dilakukan pada akhir pekan atau Sabtu-Minggu. Pemilihan waktu ini sangat menentukan kenyamanan. Weekdays cenderung sepi dan lebih murah. 

Persiapan Jika Bawa Anak Kecil

Salah satu alasan kami memilih Pulau Pari adalah karena jarak. Alasan logis karena kami membawa anak-anak bahkan balita yang belum pernah naik perahu.

Vira, yang bawa 4 anak, bahkan salah satunya masih usia 7 bulan, yang baru pertama kali ke Pulau Seribu, melakukan hal yang menurut saya lebih gila. Ia memilih pulau saat di depan loket karcis. Waktu ditanya penjual tiket kemana tujuannya, ia menyebut asal, “Pulau Tidung.”

Saya sempet tanya, “Apa yang buat lu yakin anak-anak akan baik-baik aja?”

“Iya gua yakin aja karena gua yakin 🤪🤣. Based on genetic. Emak bapaknya tangguh, jadi gua yakin anaknya juga, hahaha.”

Vira cerita tentang beberapa masalah yang pernah terjadi waktu mereka sekeluarga traveling. “Kalo ada masalah biasanya gimana? Atau yang buat jadi masalah itu sebenernya apa?” saya bertanya.

“Nikmatin. Dibawa fun aja. Yang buat jadi masalah kayaknya mental. Hidup ini panjang, beberapa jam doang gak ada apa-apanya.”

Ya, persiapan yang paling penting bawa anak-anak traveling adalah mental. Bersiap untuk hal yang paling buruk, kekompakan kedua orangtua, serta yang paling utama, menikmati dan berbahagia terhadap hal-hal yang terjadi, sesederhana apapun. Mungkin saja hal-hal yang sederhana itu yang akan diingat sepanjang hidup oleh anak-anak. Kenangan yang akan paling diingat anak-anak adalah kenangan yang bahagia, ingatan dimana orang tua mereka juga bahagia dalam kenangan itu. Jadi meletakan perasaan pada sebuah peristiwa itu penting, karena itu yang membuat ia tertanam dalam.

Sampai sekarang saya masih ingat peristiwa sederhana berjalan di samping bapak (Allah yarham) sewaktu kecil, padahal peristiwa itu sudah puluhan tahun berlalu. Perasaan tenang, aman, terlindungi, seperti terus merambati jiwa ketika mengingat itu, tapi saya lupa dimana, kapan, usia berapa itu terjadi. Ingatan akan hal itu redup seperti api pada pelita yang kehabisan minyak, namun perasaan di dalamnya masih bisa saya rasakan sampai sekarang, begitu cerah seperti terang pagi. Atau seperti mimpi indah yang terus menempel padamu setelah bangun. 

Dalam perjalanan pulang, Nada memandang ombak dan horizon dari jendela perahu. Matanya tidak berkedip, angin laut meniup sebagian rambut yang yang tertutup topi. Ia tidak bergerak, terpana menatap biru di luar jendela sampai beberapa waktu seperti tersihir. Mungkin kenangan tentang laut biru yang misterius itu akan ia ingat sepanjang hidup. 






Mungkin ingatan tentang laut itu akan terlupa, tapi dalam beberapa tahun kedepan hati saya masih akan dipenuhi perasaan hangat ketika melihat foto-foto tersebut. Salah satunya foto sunrise di depan penginapan. Matahari masih rendah di langit pagi, mengukir siluet emas anak-anak yang sedang mencari kerang. Sinar lembut itu terperangkap di topi kecil dan rambut, suara tawa mereka bercampur dengan angin dan ombak.







Waktu tidak pernah mundur ke belakang. Hari ini akan berakhir bahkan sebelum kita sadari. Seperti keindahan matahari senja yang hanya sekejap, begitu juga masa kanak-kanak.

Rabu, 25 September 2019

perjalanan

jalan ini amat ia kenal sepanjang hidup
selalu ia lewati pada pagi yang rindu
atau sore yang ungu di hari minggu

ia adalah seekor domba yang berjalan di atas rumput-rumput hijau
pada sabana stepa waktu
melintasi ilalang-ilalang kering kekuningan

seekor singa menyambut di depan istana
seringai dan kuku-kuku tajamnya memanggil,
"kesinilah sini domba gemuk yang enak dipeluk,"

ia memimpikan kehidupan yang mudah juga ramah
perasaan dirindukan dan kebahagiaan yang dibeli dengan uang
pergi ke hutan yang dalam, dimana ada gereja dari pualam
dan membayangkan ada yang lebih kekal dari kematian

ketika Pikiran kata dalam hati pada Sasi,
ia tidak risau
pikir yakin ia bukan kerbau, hati rasa ia dombau

hanya perbuatan lebih keras berkata daripada guruh
dan hanya ia tidak meyakinkan siapapun selain satu
dirinya yang gaduh

di jalan yang rusuhresah,
kaki tahu kemana akan melangkah

ia meninggalkan
senja yang temaram
di belakang warna yang sama dengan dingin dan bising

sementara rindu selalu cukup dengan
pulang dan kehangatan
tanpa peduli kemana laju akan berujung

Senin, 23 September 2019

Teknik Mendapatkan Cinta Sejati; Sebuah Usaha Menyelaraskan Pikiran dan Perasaan

Teknik Mendapatkan Cinta Sejati adalaha salah satu judul cerpen dalam kumpulan cerpen Murjangkung oleh A.S. Laksana

Teknik Mendapatkan Cinta Sejati oleh A.S. Laksana selalu membuka perspektif baru setiap kali saya baca ulang. Saya percaya bahwa karya sastra yang baik seharusnya memang seperti itu. Ini pengalaman yang sama dengan ketika saya membaca ulang The Alchemist - Paulo Coelho. Pemahaman akan sebuah karya berkembang seiring dengan bertambahnya pengalaman pembaca terhadap dunia di sekelilingnya, yang terkadang tidak dimaksudkan oleh pengarang ketika pertama kali menuliskannya.

Cerita-cerita Mas Sulak —begitu kami memanggilnya— sering melekat dalam benak, membuat saya terperangah dan berpikir. Dalam TMCS, kelihaian dalam menyalurkan kepekaan artistik terhadap detail dan pengalaman individu, tanpa mengekor karya sastra koran yang cenderung sendu dan murung, telah membuat cerita ini menjadi bukan saja enak dinikmati tapi juga kaya perspektif. Salah satu keunggulan lain dari pengarang adalah ia selalu menghadirkan karakter dengan profesi yang tidak umum.

Ada dua karakter utama dalam cerpen ini, yaitu Seto dan Sasi. Kakak beradik berbeda umur 14 tahun. Seto 16 tahun waktu Sasi berumur 2 tahun. Suatu hari --Sasi berumur 19 tahun, ketika orangtua mereka sedang pulang kampung untuk mengurus warisan, Sasi curhat kepada Seto tentang pacarnya; seorang laki-laki beristri.

Sasi sangat menyayangi laki-laki itu sekaligus membencinya. Seto, seorang guru, yang digambarkan oleh narator selalu sinis kepada Sasi tidak pernah serius menanggapi. Seto menganggap membenci orang yang dicintai adalah sebuah keruwetan dan tidak logis. Ia malah menyarankan Sasi untuk pindah agama.

“Jadi kau sungguh-sungguh akan pindah agama jika kau harus membenci orang yang sangat kau cintai?”

Demi Tuhan yang mahatahu akan isi hati dan urusan administrasi, itu bukan pertanyaan. Itu keruwetan.

Membenci orang yang sangat dicintai adalah keruwetan. Lebih parah lagi, itu abnormal. Sudah beberapa waktu Seto menyadari bahwa hidup membutuhkan kewarasan dan aturan yang jelas. Jika seseorang sepatutnya dibenci, bencilah ia sebaik-baiknya. Jika seseorang sepatutnya dicintai, cintailah ia sebaik-baiknya. Ini sama dengan hal-hal umum yang lain: jika kau lapar, makanlah. Orang tidak harus berlari maraton pada saat ia lapar. Ibumu tak akan menyuruhmu minum saat kau mengantuk.

Pada awal pembacaan, saya terserap pada logika Seto terhadap agama dan perpindahan agama dalam gambaran yang santai bahkan cenderung guyon. Dengan sederhana, saya mendapat pesan yang jelas; “Jika kamu merasa seseorang bukan ditakdirkan untukmu, maka cari saja orang lain yang kau takdirkan sendiri untukmu.”

Dalam pembacaan selanjutnya, kesan itu diobrak-abrik atau paling tidak dikerdilkan. Saya menemukan kualitas cemerlang dari pengarang untuk memberikan simbol yang halus pada dua karakter utama. Pada pembacaan kali ini saya mendapati bahwa Seto melambangkan manusia pikiran sementara Sasi menyimbolkan manusia perasaan. Pikiran dan perasaan ini sangat kuat dari set-up sampai seperempat akhir cerita ini.

Pindah agama yang dimaksud Seto adalah pindah dari kepercayaan yang satu kepada kepercayaan yang lain, dari kebaikan yang satu kepada kebaikan yang lain. Seto mencontohkan pada peristiwa ketika ia suka kepada seorang gadis, tapi ia terlalu takut atau yakin kalau cintanya akan ditolak. Keyakinan bercampur ketakutan itu ia tegaskan kembali dengan pindah agama.

Ia bahkan belum tentu ditolak, tapi kepengecutan dan dominasi logika mengantarnya untuk menilai semua potensi, termasuk potensi cintanya akan ditolak, maka jalan pikiran membuatnya berpindah agama agar ia tidak terlalu sedih dengan penolakan, atau yang ia pikir penolakan. Sederhana, runtut, logis, lurus, jernih.

Pada pembacaan lain, perpindahan agama ini menyodorkan perspektif terhadap beratnya beban yang mesti dipikul perasaan untuk beralih. Bahwa sulit lepas dari cinta tersebut sama sulitnya dengan berpindah agama. Ingat, dominasi agama adalah perasaan. Jika kamu sanggup meninggalkan cinta yang menggiurkan itu, maka itu seperti berpindah dari sesuatu hal ke sesuatu yang lebih baik, “pindah agama” dalam ungkapan cerpen ini, atau “hijrah” dalam term yang popular sekarang.

Manusia perasaan dalam diri Sasi lebih rumit. Pergolakan perasaan yang tidak mungkin dipahami oleh manusia pikiran. Sasi sebenarnya tahu yang ia lakukan tidak baik, dan ia tahu apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, namun lagi-lagi perasaan punya logikanya sendiri yang tidak dipahami oleh logika pikiran.

Si kerbau melanjutkan, “Sebenarnya aku sendiri sudah tahu apa yang harus kulakukan. Tapi kau kakakku, aku ingin tahu pendapatmu. Ayah bilang ia orang yang tidak baik. Apakah aku keliru mencintai orang yang tidak baik?”

“Lakukan saja yang harus kaulakukan,” kata Seto, sedikit melunak.

“Sebenarnya aku rela menjadi istri kedua,” kata adiknya, “tetapi agamanya tidak membolehkan ia beristri dua.”

Kurasa di sinilah letak persoalannya. Seto kembali mengeras. Baru saja si kerbau membuatnya bungkam dan agak terharu ketika mengatakan, “Kau kakakku, kan?” Tetapi sebentar kemudian anak itu sudah mengeluarkan pernyataan yang terdengar bebal.

“Oh, adikku yang mahacerdas,” kata Seto. “Kau tak pantas bilang begitu.Yang harus rela mestinya istri bajingan itu.”

“Kau kakakku, kenapa selalu menyalahkan aku?”

Kali ini Seto tahu tak ada gunanya meluruskan orang yang tidak paham salah-benar. Ia bahkan menyesali jawaban pindah agama yang kemarin ia sampaikan sambil lalu. Sekarang si kerbau terus mencecar apakah ia perlu pindah agama.

Pada sepertiga akhir, pengarang melalui narrator dengan tajam menyindir orang-orang yang beragama tapi tidak menggunakan pikiran, atau tidak melakukan ajaran agamanya. Orang yang mendakwahkan agama tetapi melanggar ajaran yang ia sampaikan, orang yang antara perbuatan dan perkataan tidak sejalan.

“Jadi orang bisa menyelesaikan masalah dengan cara pindah agama?” tanya adiknya.

“Kau bahkan tidak perlu beragama,” kata Seto. Dalam hati ia melanjutkan, “Apa gunanya agama bagi seekor kerbau?”
Lebih jauh, pada seperempat akhir pembaca diberikan gambaran akan rapuhnya pikiran dan menangnya perasaan. Sasi yang menjaga Seto. Karena dalam perasaan terdapat kasih sayang, pengampunan, ketulusan, keikhlasan dan lain sebagainya yang mungkin tidak bisa dipikirkan oleh Seto si pikiran. Kasih sayang adik untuk menjaga kakaknya yang sedang sakit sampai mengorbankan kuliahnya adalah cinta sejati yang menjadi unsur utama yang menjadi judul cerpen ini. Menjawab pertanyaan mendasar; apa sebenarnya cinta sejati itu? Cinta yang selaras antara pikiran dan perasaan. Jenis cinta yang dipersatukan Tuhan sehingga tidak ada seorangpun bisa memisahkan. 

Tidak diceritakan dalam cerpen itu bagaimana hubungan Sasi dengan orang yang ia cintai, tidak juga diceritakan bagaimana Seto akhirnya mendapatkan kekasih yang mungkin seagama, karena memang bukan itu tujuan cerita ini. Cerita ini adalah tentang bagaimana Seto dan Sasi saling menjaga. Bagaimana pikiran dan perasaan seharusnya seimbang.

Penjelasan tentang Logic dan Emotion atau Logical Brain dan Emotional Brain dari beberapa ahli tidak akan saya paparkan di sini karena akan panjang dan rumit. Di situlah pentingnya seni. Sejatinya, sastra sebagai bagian dari seni bisa menjadi salah satu sarana untuk menjelaskan sesuatu yang rumit menjadi mudah. Akhirnya, cerpen ini seperti ingin mengatakan bahwa pikiran dan perasaan adalah dua hal berharga pada diri manusia yang harus dijaga. Orang bisa seketika mati karena beban pikiran dan perasaan, apalagi ketika ia tahu cara menikmati racun serangga. Karena berat pikir dan rasa lebih membunuh daripada berat tubuh.

Minggu, 18 Agustus 2019

Naturalis

Saya tidak terlalu mengerti apa kriteria penilaian sehingga selulus TK Safa diberi peringkat Kecerdasan Naturalis. Mungkin karena lebih sering dan senang bermain di luar kelas. Bahkan saya atau ibunya sering sengaja untuk terlambat menjemput Safa dari sekolah karena tahu ia tidak mau pulang buru-buru, ia senang bermain di lingkungan sekolah yang banyak pohon. Maka ketika beberapa hari yang lalu Safa dan kakaknya masuk UGD karena keracunan biji jarak, kami tidak terlalu kaget kalau ternyata Safa biang keladinya.

Dulu Safa pernah menangis tanpa alasan, hanya untuk merasakan air matanya sendiri. Ia berhenti menangis, menyeka air di sudut mata menggunakan ujung telunjuk, kemudian menjilatnya. Setelah itu ia meneruskan menangis, berhenti untuk menyeka air mata kemudian menjilatnya lagi.

Apakah Naturalis ada kaitannya dengan eksperimen dan besarnya keingintahuan? Saya tidak tahu. Yang saya mengerti adalah semua orang pernah kecil dan punya rasa ingin tahu yang berbeda-beda terhadap sesuatu. Sewaktu kecil saya sering bermain dengan biji jarak, entah untuk diadu, sebagai biji congklak, atau hal-hal lain, tapi tidak untuk dimakan. Apakah “Naturalisme” yang membuat Safa punya kesimpulan untuk memasukan benda seperti kotoran tikus itu ke dalam mulut?

Sebagai orang tua saya hanya khawatir ketika besar ia akan menjadi pawang hewan, keluar masuk hutan dan mati dimakan buaya. Istri saya punya kehawatiran lain, karena Safa santai dan tidak menurut waktu pertama kali disuruh berhenti memakan biji beracun itu, mungkin ia khawatir kalau Safa kelak menjadi Charles Darwin. Oke itu berlebihan.

Setiap anak punya keunikan masing-masing, kecerdasan yang berbeda-beda. Terkadang kompleks dan butuh seumur hidup untuk orang tua sadar dan mensyukuri anugerah itu.

#homeschoolingsafa #portofoliosafa

Sabtu, 17 Agustus 2019

Cerita Nada dan Safa

August 20, 2017

Bendera merah putih kami hilang. Saya dan istri sudah mencari kemana-mana bahkan sejak sebelum bulan Agustus, tapi nihil. Bendera di bulan kemerdekaan sangat penting di pasang di setiap rumah, istri saya bilang supaya kami tidak disangka komunis.

“Komunis itu apa pak?” Safa bertanya.

“Komunis itu hantu.” Saya menjawab seenaknya.

Safa yang mulai kritis kembali mencecar pertanyaan. Saya menjawab dengan istilah-istilah yang semakin tidak ia pahami; separatisme, hedonisme, arbirtrase internasional. Safa yang sadar akan keruwetan bapaknya hanya garuk-garuk kepala dan kembali main sepeda.

Dua hari sebelum 17 Agustus, bendera masih tidak ditemukan, istri saya akhirnya membeli bendera baru. Tentu warnanya merah dan putih, mau yang mana lagi? Tapi ternyata Safa tidak terlalu senang, ia bilang, “Aku maunya bendera warna-warni!”

Sebagai bapak yang bijak, saya menepuk halus pundaknya dan kami berdiskusi panjang tentang arti hidup dan hal-hal lain, pokoknya sampai ia lupa tentang bendera.


June 24, 2017

Respon anak-anak sehabis dikasih angpau lebaran:

Nada (7th): Trimakasih

Bee (5th): Ih, uang isinya

Safa (5th): Bu, ini emang uang beneran?


April 11, 2017

Safa: Bapak, dedek mau jadi dokter spesialis kandungan.

Saya: Iya, kamu boleh jadi apa aja yang kamu mau.

Safa: Boleh beli es krim?

Saya: Nggak!


April 11, 2017

Saya sedang buru-buru ingin pergi dan mencari dompet yang sebelumnya diletakan di atas meja.

“Dompet dimana ya?” kata saya ke seisi rumah.

“Dedek tau.” Safa menjawab, “Ayo ikut!” katanya sambil memberi gestur tangan minta diikuti.

Saya berjalan di belakangnya menuju tempat mainan. Ah, dompet saya dibuat mainan, pikir saya kemudian. Bersiap-siap memberi khutbah tentang meminta ijin sebelum menggunakan barang orang lain, mentaati orang tua dan tentang Malin Kundang.

Belum sempat saya ceramahi, dia bilang, “Ini dia!” sambil ngasih dompet kertas buatannya.

Saya mau sewot, tetapi ketawa.


April 10, 2017

Nada: Bapak tau gak nama neneknya Akila? Kakak tau!

Saya: Nggak.

Nada: Huruf awalnya B.

Saya: Bunga?

Nada: Salah.

Saya: Burahan. Badu. Budi.

Nada: Salah. Salah. Salah. Nyerah gak?

Saya: Nyerah.

Nada: Bu Endang!


September 6, 2016

“Kok Allah Maha Tahu?” Tanya Safa saat saya menyuapi makan.

Saya tahu itu pertanyaan pengalihan isu.

Anak-anak adalah makhluk yang bisa menelan apapun ke dalam temboloknya selain sayur. Memang nggak semua anak, tapi Safa adalah juaranya.

Kalau saya sedang nggak banyak kerjaan, biasanya saya tunggu ia mengunyah habis makanan yang sudah ada di dalam mulut. Tapi lebih sering, karena kurang sabar dan lapar, saya memakan semua sayur yang ada di piring.

Karena saya tahu itu pertanyaan iseng, maka saya diam.

Akhirnya Safa membuat kesimpulan, “Supaya bisa jagain kita ya?”

Saya manggut-manggut.

Saya takjub dengan keahliannya menahan makanan di dalam mulut, di ujung mulut lebih tepatnya.

“Kenapa sih nggak dimasukin ke tengah mulut makanannya?” Tanya istri saya ke Safa.

“Nanti ketelen.” Jawab Safa.

Allah Kariim.


September 4, 2016

Di kursi panjang sedang duduk dua orang tamu. Mereka sedang berbincang-bincang ketika Nada dengan suara lirih berbisik ke ibunya, “Kok bau kentut ya, bu?”

Serta merta Nada mencurigai Safa yang juga berada di ruangan itu, “Dedek kentut ya? Kan malu ada tamu."

“Ya udah jangan berisik.” Kata Safa dengan suara yang sama lirih, “dihirup aja nih kayak gini, biar cepet ilang.”

Safa menghisap nafas panjang.


September 3, 2016
Nada dan Safa sedang menggambar pemandangan dalam laut.

"Kok ikan ada pusernya? kata Safa ke kakaknya.

"Iya, ini putri duyung." Nada menjelaskan.

"Dede juga mau tambahin puser ah." Safa membuat bulatan kecil pada gambar yang ia buat.

Nada yang merasa aneh dengan gambar itu berkomentar, "Kok ikan paus ada pusernya?"

Dengan yakin Safa bilang, "Iyalah! Kan lagi telanjang!"


August 2, 2016

Bagi anak-anak, menangis tidak serta merta menandakan kesedihan, bisa juga keingintahuan.

Safa punya kebiasaan unik akhir-akhir ini; menangis hampir tanpa alasan. Sebenarnya ada; untuk merasakan air matanya sendiri.

Ia berhenti menangis, menyeka air di sudut mata menggunakan ujung telunjuk, kemudian menjilatnya. Setelah itu ia meneruskan menangis, berhenti untuk menyeka air mata kemudian menjilatnya lagi.

Kegiatan impulsif ini mengingatkan saya pada perkataan Dr. Seuss, “Don't cry because it's over, cry because it can be tasted.”

Kira-kira seperti itulah.


July 23, 2016

“Mungkin rusanya lagi pada lebaran.” Kata istri saya ke Safa dan Nada, ketika kami melewati taman yang biasanya ramai oleh rusa. Nada mungkin sudah mengerti guyonan ibunya, tapi Safa, saya nggak yakin.

Pagi itu Safa ikut salat Ied dan itu kali pertama ia ikut salat hari raya. Pagi-pagi benar ia sudah dibangunkan, dan sambil dipakaikan gaun baru, ibunya bilang, “Ini hari lebaran.”

Begitulah yang ia pahami kemudian, bahwa lebaran adalah salat ied dan salat ied adalah lebaran. Sesederhana itu. Maka ketika ibunya bilang bahwa para rusa mungkin sedang lebaran, ia menanggapinya dengan sangat serius.

“Memang rusa bisa berdiri?” kata Safa, “Nanti solatnya gimana?”

Butuh beberapa detik untuk saya berpikir dan akhirnya terbahak.

Sejak saat itu, salat di masjid tidak lagi sama. Setiap tasyahud akhir dan salam, saya selalu khawatir di samping saya telah duduk seekor rusa.


July 21, 2016

Saya dan Safa pergi ke minimarket untuk beli eskrim, dengan uang lebaran Safa. Di pintu kaca masuk minimarket, Safa menunjuk beberapa gambar, sambil bilang, “Ini helem dicoret. Ini foto dicoret.”

Sedikit bingung dengan satu buah gambar lagi, ia bertanya, “Ini apa, Pak? Kok gak dicoret?”

“Itu CCTV.”

“CTV itu apa?”

“Kamera. Tuh liat, di atas sana kameranya.” Kata saya menunjuk benda bulat di langit-langit, “Ayo kita dadah ke kamera.”

Kami dadah ke kamera.

“Kamera itu untuk memantau. Memperhatikan orang. Salah satunya supaya kalau ada yang mencuri ketahuan.” Saya menambah penjelasan.

Hari berikutnya, ketika pergi ke minimarket yang berbeda, sambil menunggu saya mengantri di kasir, dengan pede Safa menjelaskan hal serupa kepada Nada, kakaknya, “Ini gak boleh peke helem. Ini gak boleh foto.”

Ada satu gambar lagi yang ternyata tidak ia lihat sebelumnya, jaket dan tas dicoret. Masih dengan kepedean tingkat dewa, ia lantang bilang, “Ini gak boleh pake baju.”

Sedetik kemudian dia sadar ada yang nggak beres.

“Eh, bukan deh.” Katanya kemudian.

Tapi terlambat.

Gerombolan anak laki-laki, mungkin SD, yang sedang memperhatikan mereka sudah cekikikan.

Saya segera menggendong Safa keluar, takut ia benar-benar buka baju untuk menjaga harga diri.


July 12, 2016

Beberapa kejailan dan komentar Safa (4 tahun) yang masih bisa saya ingat.

Malam itu lampu kamar sudah dipadamkan. Nada, Safa dan istri saya bersiap tidur. Nada minta diantar ke kamar mandi untuk pipis. Istri saya bilang, biasanya kakak berani, ayo sana sendiri. Nada tetap merengek minta diantar, sementara ibunya tetap membujuk dia untuk berani.

“Ayo kak, dedek anterin.” Suara Safa antusias. Biasanya ia tulus mau menemani kakaknya, disamping juga memanfaatkan kesempatan keluar kamar untuk mengulur-ngulur waktu tidur.

Suasana baik-baik saja sampai tiba-tiba Nada berteriak menangis dari dalam kamar mandi disusul suara cekikikan Safa.

Ibunya melompat dari tempat tidur ingin melihat keadaan dan mendapati Safa berdiri di depan kamar mandi, telah mematikan lampu kamar mandi dari luar.

Ibunya marah. Safa tetap cekikikan.

*

Pada malam yang lain, saya kebagian menemani Nada dan Safa di tempat tidur, sementara ibunya sedang di luar kamar untuk satu urusan. Lampu sudah dipadamkan. Tiba-tiba Safa keluar kamar menghampiri ibunya.

Ketika masuk ke dalam kamar, ia bilang, “Kakak, dedek dikasih obat dong sama ibu!”

Kakaknya keluar kamar.

“Ibu kakak juga mau minum obat!” Nada menganggap yang dimaksud obat oleh Safa adalah multivitamin yang biasanya mereka minum. Tapi dia salah.

“Kakak mau minum Trombopop?” kata ibunya. Trombopop adalah obat oles untuk meredakan bengkak, memar, atau lebam. Beberapa menit sebelumnya Safa memang kejedot tembok.

Nada masuk kamar dengan wajah kesal dikerjai.

Safa cekikikan. Saya ikut cekikikan.

*

Di hari yang lain, Nada minta dijelaskan tentang robot. Saya menjelaskan dengan mudah, “Robot itu mesin yang bisa membantu manusia, bisa yang masih diawasi manusia atau yang bekerja sendiri. Jadi kipas angin itu robot, kulkas itu robot, ricecooker itu robot. Apa lagi?”

“Jam.” Nada menjawab.

“Betul.”

“Radio.” Nada lagi.

“Betul.”

“Motor.”

“Iya.”

Tiba-tiba Safa menyela, “Cing Titis!”

Saya dan Nada saling berpandangan sambil mengernyitkan dahi.

“Apasih dedek. Masa Cing Titis robot?” Nada berkomentar.

Safa tetap nggak ngerti apa kesalahnnya.

Minggu, 28 Juli 2019

Sebuah Cerita yang Baik untuk Dikenang

Kamu tahu apa yang paling ditakuti seorang penulis?

Kehilangan tangannya.

Tanganku patah dan sedang dalam masa penyembuhan ketika menulis ini. Aku memaksakan menulis dengan sebelah tangan, sebuah cerita tentang kita. Atau yang aku anggap begitu.

Suatu ketika, setelah beberapa minggu dipenjara karena menghianati Daenerys, dengan borgol di tangan, Tyrion didesak berbicara tentang siapa yang pantas menjadi raja atau ratu selanjutnya.

“I have nothing to do but think this past few weeks.” Katanya dengan suara berat, “About our bloody history. About the mistakes that we’ve made.”

Tyrion memandang Grey Worm yang segera memalingkan muka seperti muak dengan segala yang akan keluar dari mulut Tyrion.

“What’s unite people?” Tyrion bertanya retoris sambil berjalan lambat, “Armies? Gold? Flags?”
Ia menggeleng pelan kemudian menjawab sendiri, “Stories. There's nothing in the world more powerful than a good story. Nothing can stop it.”

Begitulah aku menyukai cerita yang bagus, dan GOT adalah salah satu cerita yang bisa kita suka bersama.

Telah banyak kisah yang kita nikmati bersama. Beberapa waktu yang belum lama, kita berada di dalam sebuah teater. Layar lebar di depan kita menampilkan credit title bersamaan dengan lampu-lampu di langit-langit yang perlahan-lahan menerang. Aku berdiri dan bertepuk tangan.

“Jangan malu-maluin, bang,” kamu berbisik sambil memegang lenganku. Menyadari banyak orang yang memperhatikan, aku menurut dan melemahkan tepukan tangan.

“Ayo, gak usah ditungguin. Gak bakal ada adegan tambahannya.” kamu menarik tanganku ke arah pintu keluar. Aku tahu itu, sebelumnya di loket karcis aku membaca, “Tidak ada Adegan Post-Credits di Avengers: Endgame!”

Sepertinya sudah lama sekali aku tidak standing applause di bioskop, terakhir kali aku melakukannya ketika kita belum saling kenal, ketika selesai menonton Quickie Express. Bukan karena tidak ada film yang bagus setelah itu, tapi karena aku jarang ke bioskop. Maksudnya, kita jarang ke bioskop. Rasanya aneh pergi ke sana tanpamu.

Jika dipikir-pikir, hubungan ini membuat beberapa hal terasa aneh. Betapa tidur, menonton, makan dan hal-hal lain yang biasa kita lakukan sendiri sebelumnya seperti terasa aneh jika kita lakukan sendiri sekarang.

Ada beberapa film yang memberikan kita kisah yang bagus, baik yang kita tonton bersama di dalam kamar setelah anak-anak tidur dengan laptop kecilmu atau di ruang sinema yang megah dengan popcorn yang mahal.

Diskusi setelah menonton memang sekarang ini menjadi pelepasan yang paling mudah. Namun ada sesuatu yang hilang, pembicaraan kita tentang buku. Suatu malam, aku tidak tahu harus bicara pada siapa tentang Aroma Karsa yang baru selesai kubaca. Aku bicara padamu tentang itu tapi kamu seperti tidak tertarik. Karena yang ingin aku bicarakan adalah perbandingan Madre, Perahu Kertas atau Filosofi Kopi. Buku-buku yang mungkin kamu belum baca semuanya.

Aku mengerti. Itu mungkin seperti ketika kamu sangat ingin berdiskusi tentang Reply 1997 dan 1988, tapi aku tidak kuat bahkan sekedar untuk menonton habis episode pertamanya. Aku mencoba dan sejujurnya tersiksa dengan bising suara para pemeran. Bagiku soundtrack dan suara karakter memberi kepuasan sendiri.

Aku suka beberapa soundtrack The Good Doctor versi Amerika, juga God Friended Me, juga seluruh logat British karakter GOT. Ser Davos dengan aksen flee bottom yang empuk di telinga. Atau Jon Snow yang berbicara menggunakan suara tenggorokan yang berat dengan sedikit desis diakhir tiap kalimat seperti berbisik. Atau bunyi Bahasa Valerian yang penuh huruf vokal dan R yang jelas dan bertenaga. Suara Varys atau Littlefinger akan mudah kita kenali walau dengan menutup mata.

Game of Throne itu unik. Jika dalam Avenger kita bisa dengan mudah menunjuk siapa pahlawan dan siapa penjahat —walaupun dalam beberapa adegan kita disajikan sisi humanis Thanos, dalam GOT batasan antara apa yang sekarang kita sebut kejahatan dan kebaikan menjadi sumir, karena menjelma menjadi penuh interpretasi. Karena memang serial itu tidak dimaksudkan untuk mengisnpirasi dan menyuapi kita tentang norma-norma, tapi lebih dalam, ia menumbuhkan kesadaran dan membuat kita bertanya kepada diri sendiri.

Kamu ingat saat King Slayer rela kehilangan tangan ketika menyelamatkan Brienne Tarth? Memang awalnya ia tidak tahu pergelangan tangan kanannya akan ditebas, tapi ia tidak pernah menyesal mendapatkan hal itu demi melindungi Brienne. Padahal tangan bagi kesatria adalah hal terpenting setelah kehormatan. Apa pertanyaan terdalam pada dirimu sendiri? Pertanyaanku adalah, apakah demi cinta seorang sanggup mengorbankan hal yang paling berharga?

Cerita-cerita itu hanya tinggal cerita. Apa yang mengendap dan mengusik kesadaran kita adalah hal lain yang lebih penting. Pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti cinta, ketakutan terbesar, pengorbanan, kebahagiaan dan hal-hal yang walaupun besar tapi sangat sederhana dan bisa kita temukan contohnya dalam keseharian.

Konon cinta bisa membuat bahagia, mengaduk perut dan membuat jantungmu seperti berlari karena semangat. Di sisi lain ia membuatmu rapuh seperti batang pohon yang getas dimakan usia, karena ketakutan akan kehilangan orang-orang yang kamu cintai. Ia juga butuh selaksa pengorbanan. Maka terimakasih untuk segala pengorbanan waktumu untuk merawatku, untuk bangun dan memasak sarapan dan bekal makan siang, untuk ketelatenan menjaga dan membersamai anak-anak, untuk segala doa yang kamu panjatkan demi keselamatan, kesehatan dan kebahagiaan kita. Terimakasih untuk setiap pelukan, perhatian dan semua ketulusan.

Sepanjang hidup, kita akan terus melatih diri untuk mengerti. Saling belajar dan memahami kerumitan pikiran masing-masing. Memaafkan dan mengikhlaskan kesalahan-kesalahan kecil, kekecewaan sendiri-sendiri. Mungkin aku akan menghadapi hal yang paling kutakuti. Mungkin kamu akan menghadapi hal yang paling kamu takuti. Karena begitulah cara kehidupan menguji kita. Jangan cemas, selama kita bersama, cerita kita akan menjadi kisah terbaik yang kelak akan kita kenang.

Rabu, 10 Juli 2019

Belajar Menjadi Manusia

Saya pertama mengenal Nath sekitar 16 tahun yang lalu. Sejak saat itu, saya selalu kagum padanya. Ia orang yang mudah bergaul dengan siapa saja, berpikiran terbuka dan enak diajak berdiskusi. Ia kawan kuliah paling pertama. Sebelum saya mengenal siapapun di kampus itu. Ketika saya drop out di smester tiga, kami mulai tidak saling bertemu. Walaupun begitu, hubungan kami tetap baik sampai hari ini.

Minggu lalu saya mengunjungi rumahnya di bilangan Depok untuk berlebaran. Ada hal menarik yang saya amati dari pertemuan singkat itu. Tidak pernah sekalipun saya melihat Nath memegang ponsel ketika berbicara dengan saya. Itu hal kecil yang sederhana namun membekas. Sikap menghormati lawan bicara dan tidak mengeluarkan ponsel saat percakapan adalah hal yang jarang saya temui. Sudah beberapa kali saya bertemu dan ngobrol dengan orang lain dan percakapan kami disela oleh ponsel. Bukan panggilan atau pesan penting, hanya hal-hal sepele.

Dan media sosial? Oh. Saya kehabisan kata-kata untuk laku-laku ajaib di sana, yang tidak akan kita temui di dunia nyata. 10 atau 15 tahun lalu, ketika belum ada media sosial, ketika penggunaan ponsel hanya untuk telpon dan SMS, hidup rasanya baik-baik saja. Mengapa sekarang menjadi rumit?

Ponsel adalah benda sialan yang kita cek sebelum dan setelah tidur. Seakan-akan kita akan mati tanpanya. Ya, saya tahu ada banyak hal yang memudahkan hidup yang datang bersamaan dengan teknologi, tapi juga ada hal-hal yang membuat kita berkurang menjadi manusia.

Mengobrol, bercanda, tertawa, persahabatan yang tulus dan persentuhan manusiawai secara langsung itulah yang menjadikan kita manusia. Hal yang tidak bisa digantikan oleh teknologi, dengan emotikon senyum atau tertawa. Dan pertemuan dengan Nath mengajarkan pada saya satu hal yang paling penting; untuk belajar menjadi manusia kembali.

Selasa, 11 Juni 2019

Aku, Kamu dan Angin yang Mengirimkan Doa Ibu Pertiwi

Sore kelabu, tidak ada semburat senja jingga pada langit dan awan-awan di ufuk barat. Semua redup bagai mendung kesedihan.

Ibu Pertiwi duduk di serambi rumah, memandangi lanskap di kejauhan. Wajahnya murung oleh duka. Masih terngiang di telinganya, ketika siang tadi, Malin, salah satu anak kembarnya membentak, “Ibu tidak usah ikut campur urusan kami! Kami sudah besar dan bisa mengurus diri sendiri!”

Butiran bening menelusup hampir tumpah di ujung mata. Ada yang tergores di dalam dada ibu. Lara yang menusuk dalam.

“Kami hanya ingin bermain di sungai hutan! Apa salahnya?” Kundang menyetujui apa yang sebelumnya dikatakan Malin.

Azan Magrib berkumandang bersamaan ketika kedua kakak beradik itu pulang dengan tanah, pakaian kotor dan luka lebam. Ketika bermain di sungai, kedua anak itu bertengkar tentang siapa yang layak duduk di batu tertinggi di hutan. Keduanya baku hantam sampai tersungkur di lumpur. Setelah terkapar mereka sadar ucapan ibu benar.

“Maafkan kami ibu,” keduanya bersimpuh memohon maaf.

Sempat terlintas di benak Ibu Pertiwi untuk mengutuk ke dua anaknya menjadi batu. Tapi senakal apapun anak, ibu tetaplah ibu. Masih menerima permohonan maaf mereka dengan hati lapang. Tidak peduli jika kesalahan itu dilakukan berulang-ulang. Hatinya adalah samudra, rela mengorbankan segalanya tanpa pamrih. Memberi seluruh harta kekayaan dan apa yang dipunya tanpa mengharap kembali.

Hujan menetes sederas gelap malam. Angin kencang berhembus menggoyang batang Sengon, menjatuhkan beberapa helai daun yang menarikan tarian alam, menyibak rambut indah Ibu Pertiwi.

Pagi datang membawa kesejukan setelah badai semalaman. Dari atas, segalanya terlihat menawan, gunung tinggi menjulang, sawah hijau terbentang, laut biru yang dalam. Bagai sebongkah tanah surga yang Tuhan berikan.

“Nak,” Ibu Pertiwi berpesan pada suatu pagi, “Bersatulah. Berlapang dada menerima segalanya. Tidak usah saling menyalahkan. Tidak usah bertengkar. Kalian adalah saudara.”

Di seberang samudra, Negeri Puing menatap nanar ujung laut sambil berkata seakan kepada sepi, “Jangan pernah membenci ibu, jangan merusak Tanah Air yang telah melahirkanmu. Karena kalau saja kamu tau apa yang ibu telah berikan, dan kamu kehilangan Tumpah Darah akibat perang saudara, maka penyesalan yang selalu datang terlambat tidak bisa mengembalikan semuanya.”

Puing tinggalah puing. Sejarah pengingat bagi yang terlupa.

Suara getar angin bertiup mengirimkan doa Ibu Pertiwi pada yang kuasa, “Ya Tuhan, berikanlah kekuatan, keteguhan hati untuk kami dalam mengahadapi semua ini. Lindungilah kami dari kekufuran duka lara.”

“Wahai Tuhan Maha Pemberi Petunjuk, Berikanlah pada hati kami kelapangan, keterbukaan untuk menerima segala kebaikan. Kuatkanlah kami untuk terus menemukan inspirasi untuk dapat mewujudkan segala keinginan kami.”

“Ya Robb, pertebal iman kami, berikan kekuatan bagi kami untuk berlaku adil, tidak mementingkan diri sendiri, dan ampunilah segala kesombongan dan keangkuhan kami.”


2019

Senin, 03 Juni 2019

Tantangan 2 Explorasi Online - Jurnal Pertanyaan dan Jawaban Tentang Pengamatan Perumahan Familia Urban #4 - oleh Nada Narendradhitta

Ini adalah pertanyaan yang ditulis bapakku tentang Pengamatan di Perumahan Familia Urban. Aku menjawabnya langsung dan bapakku yang menuliskannya:


Pertanyaan: Siapa yang punya ide untuk membuat pengamatan ke Familia Urban? Kalau itu ide kamu, mengapa punya ide itu?
Jawaban: itu ideku, karena aku suka dan penasaran mengapa sawah dijadikan Familia Urban.

Pertanyaan: Bagaimana cara mendapat informasi tentang Familia Urban?
Jawaban: Bertanya ke petugas pemasaran.

Pertanyaan: Apakah ada yg membantumu ketika mencari nformasi?
Jawaban: Aku dibantu bapakku, naik motor ke lokasi.

Pertanyaan: Mengapa kamu butuh bantuan? Jika suatu saat kamu tidak dibantu, apakah kamu bisa?
Jawaban: Aku mesti dibantu karena jaraknya agak jauh.

Pertanyaan: Siapa yang membuat pertanyaan ke petugas pemasaran Familia Urban? Apakah kamu menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu sendiri?
Jawaban: Yang membuat pertanyaan aku sendiri. Aku tidak menanyakan sendiri karena aku agak malu. Untuk bertanya, kadang-kadang aku berani kadang-kadang aku malu.

Pertanyaan: Apakah pertanyaan itu langsung disampaikan atau ada trik supaya tidak ketahuan kamu sedang melakukan pengamatan?
Jawaban: Ada trik supaya tidak ketahuan aku sedang melakukan pengamatan, pura-pura mau beli rumah.

Pertanyaan: Apakah informasi-informasi tersebut mudah didapatkan? Jika mudah jelaskan kenapa, jika sulit jelaskan apa kesulitannya?
Jawaban: Mudah karena dibantu dengan bapakku.

Pertanyaan: Bagaimana kamu mendapatkan informasi sejarah PT Timah? Siapa yang membantu atau menjelaskan? Dari mana sumber informasi tersebut?
Jawaban: Aku tahu informasi itu dapat dari internet dan juga bertanya-tanya.

Pertanyaan: Apakah vlog tersebut kamu yang buat atau ada yang bantu buat?
Jawaban: Dalam membuat video aku kadang-kadang aku dibantu ibuku, bapakku atau aku sendiri menggunakan tripod. Sementara yang mengedit video adalah bapakku.

Pertanyaan: Apa peran kamu dalam pembuatan video tersebut?
Jawaban: Aku yang menulis draft kata-katanya, yang mengecek tulisannya ibuku karena kadang ada kata-kata yang aku tidak tahu.

Pertanyaan: Apakah kamu mau belajar cara mengedit video? Kenapa?
Jawaban: Aku sebenarnya mau. Jadi bisa mengedit video sendiri kalau bapak atau ibuku lagi repot.

Pertanyaan: Setelah jadi video, apakah menurutmu ada yang kurang? Dari cara bicara, kualitas suara, kualitas gambar dan lain-lain?
Jawaban: Suaranya yang kurang. Kadang-kadang pelan, kadang-kadang kencang.

Pertanyaan: Apa hal yang paling sulit dari melakukan pengamatan tersebut? Dan hal apa yang paling menyenangkan?
Jawaban: Yang paling sulit adalah menulis laporannya karena ini pengalaman baru. Yang paling aku suka waktu interview dan jalan-jalan keliling.

Pertanyaan: Apakah kamu tertarik untuk mengamati hal lain yang ada di sekitarmu dan membuat laporan seperti ini?
Jawaban: Tidak ada sepertinya.

Pertanyaan: Pelajaran apa yang kamu dapat setelah melakukan pengamatan ini? Apakah ada hal baru yang kamu dapati dan pelajari?
Jawaban: Tadinya aku tidak berani bertanya dan tidak tahu cara bertanya tapi sekarang bisa. Aku baru tahu PT Timah dulunya punya penambangan timah, yang terletak jauh di Bangka Belitung. Aku belajar bahwa, semakin banyak perumahan, lingkungan jadi mudah banjir, macet dan lain-lain.

Sabtu, 01 Juni 2019

Jalan Thoriqoh Liverpuliyah

Liverpool kembali gagal. Netizen segera beraksi, kaus Mo Salah yang bertuliskan “Never Give Up” diedit menjadi “Never this Year”. Hal yang biasa bagi Qoffal yang telah kebal dengan olok-olokan tiap tahun. Karena sejatinya, memilih menjadi Liverpudlian berarti juga memilih kesengsaraan sebagai jalan hidup.

Padahal pada lima pertandingan terakhir LFC —dibandingkan dengan lima pertandingan akhir City—, ia cukup yakin tim kebanggaannya akan meraih gelar. Rupanya Liga Inggris musim ini seketat Liga Gojek, juara ditentukan sampai pertandingan akhir. Bedanya, di sana tidak ada PSSI, tempat seluruh suporter dan komentator bersatu menumpahkan kesalahan jika timnas Indonesia gagal juara. Itu persatuan yang langka. Di sana, jika timnas Inggris gagal mengangkat trofi, mereka berdebat sepanjang tahun menyalahkan apa saja, termasuk menyalahkan arah datangnya angin yang meniup poni David Beckham sehingga ia gagal pinalti.

38 pertandingan, 30 kali menang, 7 kali seri, 1 kali kalah, total poin 97. Capaian istimewa yang belum pernah sekalipun diraih sepanjang sejarah Liverpool. Sayang klub ini superior pada waktu yang keliru, hanya selisih 1 poin dari sang juara, Mancester City. 97 poin tanpa gelar juara itu ibarat punya tanah seribu hektar tapi di planet Merkurius. Bagus tapi sia-sia. Kita sama-sama tahu bahwa pujian setinggi apapun atas capain spesial itu tidak bisa disimpan di lemari trofi.

Tapi Liverpudlian garis keras tetap tidak peduli dan bangga, dan mengatakan kepada mereka untuk mulai mendukung kesebelasan lokal seperti Persibin Bintara sama juga dengan menyuruh pendukung Prabowo untuk menonton Atta Halilintar waktu kolab bareng Jokowi.

Saya kemudian memikirkan alasan yang mungkin bisa menjustifikasi kelakuan impulsif itu. Mungkin menurut Qoffal, menjadi Liverpudlian itu seperti menjadi seorang Salik yang menjalani Thariqoh Sufisme, yang lebih mementingkan kebebasan dan kesucian jiwa daripada sekedar kemenangan lahiriah. Demi menembus langit Ma’rifah dan Mahabbah.

Ia pernah menyebut saya atheis karena tidak punya klub kesayangan. Untuk tuduhan itu saya segera menjawab, “Agnostik, Bung. Atheis hanya untuk pendukung olahraga kerambol.”

Lagi pula, siapa yang mewajibkan penyuka bola harus punya klub favorit, kalau memang tidak ada klub yang menggetarkan. Tentu saya bisa menjejali diri dengan sejarah heroisme sebuah klub, sampai dipenuhi cinta, tapi mengutip Gibran, “Jangan mengira, bahwa kau dapat menentukan arah cinta, karena cinta, apabila kau telah dipilihnya, akan menentukan perjalanan hidupmu.”

Kita bisa melihat cinta jenis itu pada Bonek yang mengayuh sepeda berkilo-kilo meter demi menonton pertandingan dan menangis tersedu ketika menyanyikan Song for Pride. Atau pada pendukung capres yang unfriend kawan yang tidak se-"iman" karena malas melihat postingan mereka dan mati-matian membela junjungannya bahkan sampai memfitnah.

Tentu Gibran tidak selalu benar, karena cinta bisa datang dari Riyadloh. Itu konsep Tasawuf sederhana. Ya, mantan Internisti itu telah membuktikannya.

Suatu malam, di teras depan rumah, sambil menghembuskan asap rokok, setelah selesai bercerita tentang keinginannya membangun musola karena sakit hati tempat salatnya dipel di Masjid LDII, Qoffal bercerita tentang awal mula kecintaannya pada LFC, “Waktu ke kamar Bang Ofi tuh saya lihat ada poster Perpul. Dari situ dah saya mulai nyari tau. Saya beli dah tuh tabloid bola.”

“Buseng segitunya luh?” saya antusias sekaligus membayangkan kalau saja waktu itu Bang Ofi memasang poster Rhoma Irama, mungkin saat ini kita melihat Qoffal memelihara bulu dada sambil kemana-mana naik kuda memanggul gitar buntung.

“Lah bayangin, bang. Jaman segitu harga tabloid kan lumayan. Duit buat makan, rela saya kumpulin. Saya baca-baca, wah keren juga nih klub.”

Ia terus bercerita tentang jatuh bangun perjuangan mencintai. Ia tampaknya percaya pada frase bahwa sejarah akan berulang. Ia lupa bahwa nasib sial juga berulang. Sebagai tuan rumah dan pendengar yang baik, saya hanya bertanya sedikit yang selalu ia ladeni dengan penjelasan jembar. Kelakuan santri usia Mts yang banyak berpuasa demi membaca berita, yang lompat pagar pesantren demi pertandingan dini hari, adalah sungguh proses Tarbiyah yang melatih jiwa, selain juga memupuk mental untuk jadi atlit lompat pagar profesional yang kelak akan berlaga di olimpiade.

Mari perhatikan kembali, dalam lima pertandingan terakhir lalu, kita melihat Qoffal menampakkan tingkat relijiusitas. Lima pertandingan akhir ia Sombong, empat pertandingan akhir Taubat, tiga pertandingan akhir Sabar, dua pertandingan akhir Tawadhu, satu pertandingan akhir Zuhud, dan ketika tidak jadi juara ia Tawakkal. Bukankah itu identik dengan Maqom Spiritual sufisme?

Hanya sebagai seorang salik, ia harusnya lebih Waro’ dalam bersikap. Komposisi tim yang ia cela sebelum pertandingan dramatis melawan Barca nyatanya berhasil mempermalukan raksasa Catalunya itu 4 gol tanpa balas dan membuat Messi terlihat dongo.

Kemudian apakah mungkin Perpul juara Champion tahun ini? Tentu mudah, sungguh pertandingan ini sudah usai. Spurs bisa dikalahkan dengan enteng. Namun seperti yang saya katakan, Liverpool adalah klub yang sesuai bagi yang ingin mendalami sufisme, karena sekedar sombong saja Liverpudlian tidak mampu. Mereka selalu dibayangi Khouf dan Roja.

Ujian sebenarnya sebentar lagi akan datang, ketika ia mencapai Tajalli; juara Champion. Kalaupun tidak, ini akan menjadi ‘Aamul Hazmi seperti tahun-tahun sebelumnya, dan bagi seorang sufi yang diliputi kezuhudan, itu akan menjadi hal yang biasa saja.

Yaah, nangis dan dongkol dikit boleh lah.

Jumat, 26 April 2019

Tantangan 2 Explorasi Online - PROPOSAL RENCANA KARYA #2 - oleh Nada Narendradhitta

  • Perumahan Familia Urban karena ingin tahu mengapa sawah dan perkebunan menjadi perumahan. 

  • Bentuk eksplorasi yang dipilih adalah amati perubahan.

  • Bentuk karya yang ingin dibuat adalah tulisan. Aku akan bercerita melalui tulisan tentang perubahan yang aku amati.

  • Cara mendapatkan informasi: melalui website perumahan Fmilia Urban dan bertanya ke kantor pemasaran. Cara analisis informasi dan pengolahan karya: disusun melalui tulisan atau Vlog.


Disusun oleh,

Nada Narendradhitta

Tantangan 2 Explorasi Online - Daftar 10 Tempat Radius 1 KM Dari Rumahku #1 - oleh Nada Narendradhitta

  1. Lapangan Bola: Dulu pernah digunakan untuk pasar malam. Lapangan itu berumput dan sedikit berpasir.
  2. Kolam Pemancingan: Biasanya para pemancing ramai di sore dan malam hari. Di sana ada satu kolam besar tempat ikan yang akan dipancing. 
  3. Rumah Makan Betawi: Aku kadang suka beli lauk di sana. Lauk yang paling aku suka cumi goreng pedas. Nama rumah makan itu RM H. Baka. 
  4. Gedung Pertemuan: Disewakan untuk pesta pernikahan dan lain-lain. Di samping gedung pertemuan, masih di dalam komplek yang sama, terdapat juga klinik. 
  5. Taman Pemakaman Umum (TPU): Setiap agama diberikan blok yang berbeda. Namanya TPU padurenan.
  6. Pengerajin Mebel: Toko yang membuat mebel dan kusen kayu.
  7. Penjual Tanaman Hias: Dulu Mustikasari atau Desa Babakan adalah sentra tanaman hias karena banyak terdapat penjual tanaman hias, tapi sekarang berkurang karena banyak dijadikan perumahan dan lain-lain.
  8. Sawah dan Perkebunan: Dulu waktu aku masih TK pernah diajak oleh guruku untuk mencabut singkong dan memberi makan sapi di sana.
  9. Perumahan Familia Urban: Dulu perumahan ini adalah sawah dan perkebunan milik PT. Timah. Tahun 2017, dibangun menjadi perumahan. 
  10. Pesantren: Nama pesantrennya Nur Al-Istiqomah. Pamanku dan bapakku juga dulu pernah masuk pesantren.


Senin, 22 April 2019

Aira dan Kucing

Istri saya tidak suka kucing liar —sebagian kucing-kucing itu juga ada pemiliknya— yang ada di komplek perumahan kami, karena suka buang kotoran sembarangan.

Saya sebagai satu-satunya makhluk berjakun di rumah, yang dianggap tidak pernah mempunyai rasa takut, telah secara otomatis didaulat menjadi eksekutor pembersihan segala hewan menjijikan seperti kecoak, cicak, kelabang, tikus termasuk juga kotoran kucing.

Kucing-kucing itu beberapa kali buang kotoran di halaman, di bawah tanaman dan taman kami. Saking kesalnya, istri saya menyuruh untuk membeton semua halaman rumah sehingga tidak ada tanah, pasir atau tempat yang nyaman diberaki kucing.

“Loh jangan dong,” kata saya, “Kalau di beton semua, nanti kucing-kucing itu eek dimana?”

“Terserah!” istri saya makin kesal dengan jawaban ngawur saya, sepertinya memang ia tidak bisa diajak bercanda untuk urusan yang satu itu, “dimana aja asal jangan di rumah kita,”

Saya kira permintaan orang yang sedang emosi tidak perlu ditanggapi, sehingga sampai sekarang kucing-kucing itu tetap buang kotoran di sekitar rumah kami, bahkan beberapa waktu lalu ada yang eek di dalam rumah. Ya, di dalam rumah di dekat mesin cuci.

Memang kalau benci tidak boleh berlebihan, karena akhirnya Aira, anak bontot kami, sepertinya menjadi sangat menyukai kucing.


Sabtu, 20 April 2019

Lomba Mewarnai

Selepas salat jumat, saya bergegas menjemput Nada yang sedang berada di depan toko roti bersama ibunya.

"Aku gak menang, Pak." Nada melaporkan hasil pengumuman lomba mewarnai yang baru selesai diikuti.
"Kamu gak papa kalah?" Saya sedikit hawatir, takut ia kecewa.
"Gak papa!" Jawabnya cepat.
Sambil berjalan ke tempat parkir untuk mengambil kendaraan, saya bertanya, "Menurut kamu kenapa kamu kalah?"
"Emm," Nada berpikir sejenak kemudian menjawab tegas, "Karena ada yg lebih bagus."

Kehawatiran saya cuma satu, ia patah arang dan kehilangan semangat. Beberapa minggu sebelumnya ia tekun berlatih untuk perlombaan itu dan berdoa supaya menang, sehingga wajar kalau saya hawatir dengan hasil yang tidak sesuai ekspektasinya itu. Tapi ternyata itu hanya kehawatiran yang berlebihan. Saya mengamati perubahan wajah dan gestur tubuhnya, sepertinya memang Nada baik-baik saja.

"Kalo ada lomba mewarnai lagi kamu mau ikut?" Pertanyaan itu keluar.
"Mau. Tapi nanti sayang duitnya kalo gak menang?" Ia malah menghawatirkan uang pendaftaran lomba.
"Ya, itu untuk membayar pengalaman." Saya menjawab sederhana, "sehingga kamu bisa belajar dari kekalahan."

Ada jeda cukup lama sampai saya bertanya lagi, "Jadi apa yang akan kamu perbaiki kalau ikut lomba lagi?"
"Nambahin objek lain di gambar." Kata Nada kemudian, saya dan ibunya juga memberi beberapa saran perbaikan.

Saya teringat sebuah quote dari Zig Ziglar, "If you learn from defeat, you haven’t really lost."

Rabu, 17 April 2019

Nyoblos

Kemarin pagi, saya mengantar Safa sekolah.
"Hari ini masuk, besok libur deh." Kata Safa senang.
"Besok libur kenapa, teh?" Tanya saya.
"Karna mau nyoblos!" Safa bersemangat. Yakin.
"Nyoboos itu apa?"
"Iiihhh, nyoblos! Masa bapak gak tau!" Safa memasang muka heran, seakan-akan saya manusia goa yang tidak tau peradaban.
"Bapak tau. Cuma mau ngetes kamu aja. Emang nyoblos apa?"
"Eeee." Safa berpikir sejenak, "nggak tau!"
Dasar anak manusia goa!


Sore ini, sepulang kerja, saya bertanya hal yang sama, "Jadi udah tau nyoblos itu apa, teh?"
"Nyoblos itu memilih Jokowi!" Safa masih menjawab yakin. Itu kualitas yang hanya bisa ditandingi Aira, adiknya yang berumur 20 bulan.
"Bukannya memilih presiden?" Saya menggoyahkan keyakinannya.
"Eh, iya ding."

Sore itu ditutup dengan Safa melahap spageti dengan kecap. Enak kayak mie goreng, katanya.

Minggu, 14 April 2019

Tantangan 1 Explorasi Online - Wawancara Bu Camat Mustikajaya #4 - oleh Nada Narendradhitta


11 April 2019

Pada hari kamis tanggal 11 April, 2019, aku dan bapak pergi ke Kecamatan Mustikajaya untuk wawancara Ibu Camat, tapi sampai di sana, Ibu Camat tidak ada, jadi aku wawancara dengan Ibu Apriyanawati, sebagai petugas administrasi. Aku memulai wawancaranya:
  1. Nama Ibu Camat adalah Hj. Aty Rostaty, S.IP
  2. Ada 4 Kelurahan di Kecamatan Mustikajaya. 1. Pedurenan. 2. Mustikasari. 3. Cimuning. 4. Mustikajaya. Total penduduk ada 168.749
  3. Yang memilih Camat adalah Wali Kota Bekasi
  4. Masa jabatan Camat sesuai dengan SK Pengangkatan Jabatan atas Kebijakan Wali Kota
  5. Tugas Ibu Camat memimpin, mengatur, menata kebijakan yang diberikan pemerintah Kota Bekasi sesuai visi dan misi
  6. Kesulitannya harus memberi pemahaman dan informasi
  7. Program yang ada untuk warga adalah program pelayanan adminduk bagi warga Kecamatan mustikajaya (e-KTP, KIA, akte lahir, akte kematian dan KK)
  8. Yang Membantu Ibu Camat adalah para pemangku jabatan lainnya seperti Sekcam dan Para Kepala Seksi
Sesudah selesai, aku minta tanda tangan, stempel dan foto dengannya.



Penulis: Nada Narendradhitta

Tantangan 1 Explorasi Online - Wawancara Pak Lurah Mustikasari #3 - oleh Nada Narendradhitta


2 April 2019 

Hari ini selasa tanggal 2 April 2019, aku pergi ke Kelurahan Mustikasari bersama Bapak. Aku ke Kelurahan untuk wawancara Pak Lurah, tapi sesampainya di sana tidak ada Pak Lurah, jadi aku wawancara dengan Ibu Wardiyati sebagai petugas bagian sosial. Aku memulai wawancara dengan Ibu Wardiyati:
  1. Nama Pak lurah adalah Deden Yosep Septiana
  2. Jumlah penduduk di kelurahan ini ada seribu lebih
  3. Yang memilih lurah adalah Wali Kota Bekasi
  4. RW di kelurahan ini ada 10 RW
  5. RT di kelurahan ini ada 75 RT
  6. Biasanya warga datang ke sini untuk macam-macam kalau dijelaskan banyak
  7. Program yang ada untuk warga ada banyak salah satunya posyandu (pos pelayanan terpadu) posyandu adalah pengobatan bayi, balita dan Ibunya
selesai wawancara dengan Ibu wardiyati, Aku minta tanda tangan, stempel dan foto dengannya sesudah semuanya selesai Aku pulang dengan perasaan senang.





Penulis: Nada Narendradhitta

Tantangan 1 Explorasi Online - Wawancara Pak Ketua RW 06 #2 - oleh Nada Narendradhitta


24 Maret 2019

Halo, kawan-kawan!

Waktu itu aku ke rumah Pak RW pada pagi hari untuk wawancara, tapi Pak RW tidak ada di rumah, karena sedang menyelawat orang meningeal di RT 01. Kata Bu RW, “Pak RW pulangnya sehabis asar.”

Aku kemudian pulang dan balik lagi sore-sore menjelang magrib. Aku memulai wawancaranya:
  1. Nama lengkap Pak RW adalah Sakam Somantri
  2. RT di RW 06 ada 8 RT
  3. Tugas ketua RW adalah membina dan mengamankan warga di wilayahnya, memastikan warga membayar PBB dan memberikan surat keterangan administrasi kependudukan
  4. Kesulitan dalam tugas RW adalah menagih PBB dan kurangnya peralatan penunjang K3
  5. Tidak ada hari libur untuk ketua RW
  6. Selama menjadi ketua RW, Pak Sakam tidak pernah sakit parah, paling-paling hanya pusing dikit, minum obat warung juga udah sembuh lagi.
Sesudah wawancara aku minta stempel dan tanda tangan Pak RW, aku juga minta foto dengannya.





Penulis: Nada Narendradhitta