Halaman

Sabtu, 30 Desember 2017

menunggu langit berwarna jingga

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia menyusun rindu di tepi pantai itu,dilepasnya sepatu,
dibenamkan kaki pada pasir yang masih hangat

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia melukis janji ungu yang masih terlipat rapih dalam saku baju
--dekat dengan jantungnya

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
ia biarkan ombak menghapus jejak langkahnya yang ragu,
dirahasiakan setianya menanti sampai matahari berwarna darah

Sambil menunggu langit berwarna jingga,
digengamnya yang tak terucap pada akad jiwa



Senin, 25 Desember 2017

Seorang yang Memilih Bersepeda

Sepeninggal istrinya, Edogawa seperti kehilangan kemampuanya menggaet wanita. Satu hal yang saya prediksi menjadi alasan kenapa jodoh sang Playboy Cap Gayung itu seret; terlalu banyak bersenggama dengan sepeda.

Saya mengenal Edo dan Mira, mendiang istrinya, sejak MTs dan sampai bulan-bulan terakhir sebelum istrinya wafat, saya masih sering main ke tempat Edo. Waktu itu dia baru mulai gandrung dengan komunitas Sepeda Federal Bekasi. Sementara saat itu —atas hasutan istri, saya baru mulai mengenal Food Combining; sebuah sekte yang mempercayai bahwa manusia semestinya memilah-milih makanan juga waktu-waktu tertentu untuk memakan makanan agar semakin sehat.

Istri saya mempengaruhi Mira dengan ajaran itu. Suatu siang, Edo menghubungi saya lewat BBM, “Bini gua diracunin apa ama bini lu? Pagi-pagi gua disuguhin sarapan buah doang. Udah kayak burung betet gua.”

Saya membalas pesan itu dengan emoticon tawa. Kesengsaraan memang perlu dibagi-bagi. Pengalaman saya dengan agama Food Combining lebih mengenaskan. Pernah suatu malam sepulang kerja, saya disuguhi makan malam berupa nasi putih dan lalapan. Tanpa sambel. Sambil makan, dalam hati saya terus menerus meyakinkan diri sendiri bahwa saya manusia, “Saya manusia. Saya manusia. Bukan kambing.”

Kembali ke sepeda. Suatu sore, saya dan Deni main ke tempat Edo untuk membicarakan bola, jodoh dan banyak hal. Termasuk rencana untuk manjat Gede yang beberapa hari sebelumnya telah kami bahas di grup WA.

“Udah kita bertiga aja, Do. Akhir tahun. Gimana?” Saran saya ke tuan rumah.

“Aduh. Berat gua ninggalin anak-anak, Mi.” Edo menolak.

“Het, duda. Kagak ada yang laen alesannya.” Deni berkomentar, “Udah lu bawa aja anak lu sekalian.”

Keputusan dari pertemuan itu akhirnya kami batal hiking. Diam-diam saya bertanya ke Edo, “Jadi rencana lu ngisi liburan akhir tahun apa?”

“Gua niat mau ke Dieng. Ngegowes.”

“Serius?”

“Iya.”

“Sendiri?”

“Iya.”

Sampai akhir percakapan, dan sampai sekarang, saya nggak ngerti apakah kepala Edo masih berisi gumpalan otak. Saya menduga, karena kebanyakan mengayuh sepeda, perlahan-lahan otaknya turun dan pindah ke pedal. Dengan begitu, konon ia bisa bercakap-cakap dengan sepedanya sehabis Tahajud.

Hari ini 25 Desember 2017, saat orang-orang meributkan selamat natal, di sanalah ia bersama dirinya dan sepeda. Di negeri di atas awan.

Saya mengerti, ia bersepeda selain untuk kesehatan dan menjaga kewarasan, juga untuk merayakan kehidupan. Dengan bersepeda waktu tempuh menjadi lebih lambat dibanding menggunakan kendaraan bermotor. Dengan begitu ia bisa menikmati moment. Menikmati setiap kayuhan dan nyawa dengan penuh rasa syukur. Itu filosofi yang ia dapat dari bersepeda, selain juga kalimat Einstein, "Life is like riding a bicycle. To keep your balance, you must keep moving."

Ia pernah menulis di status Fb tentang kegundahan hatinya, “Hasrat besar dibalik semuanya. Semua yang tak terkatakan. Semua yang tak terelakkan. Semua yang tak pernah tuntas saya pahami. Semua yang membabi-buta tanpa ampun. Semua yang begitu bergemuruh. Semua yang tak mau reda. Semua yang terus menghantam relung-relung yang paling dalam. Yang memberi makna pada semua yang tak penting. Yang menyalakan lilin-lilin di malam-malam sunyi. Yang mencerahkan hari-hari syahdu. Yang membuat senja merona merah membara. Yang membuat saya merasa ada sekaligus tiada.”

Saya mendoakan kebaikan untuk kawan saya itu. Semoga selamat dalam perjalanan. Keep moving forward.

Selamat Natal ala Al-Quran

Ada tiga sisi dalam ajaran Islam yaitu akidah yang harus dipahami dan diyakini, syariah yakni ktentuan-ketentuan hukum yang diamalkan, dan akhlak yaitu norma-norma yang hendaknya menghiasi interaksi manusia.

Teks keagamaan yang berkaitan dengan aikidah, menghindari redaksi-redaksi yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman. Kata “Allah”, misainya, tidak digunakan oleh Al-Quran ketika masyarakat masih memahaminya dalam pengertian yang keliru (Amatilah wahyu-wahyu awal yang diterima Rasul). Nabi sering menguji pemahama umat tentang Tuhan, misalnya beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama terdahulu enggan menggunakan kata “ada” atau “keberadaan Tuhan” tetapi menggunakan istilah “wujud Tuhan”.

Akidah diajarkan Nabi dengan jelas, tegas, tanpa penahapan dan banyak perincian. Ini berbeda dengan syariah. Pada mulanya shalat diwajibkan hanya dua kali sehari, dan ketika itu berbicara sambal shalat pun masih dibolehkan. Ada juga semacam kompromi dalam pelaksanaan syariah, namun tidak mungkin membicarakan masalah ini di sini. Tetapi yang jelas, segala cara ditempuh untuk memelihara kemurnian akidah.

Para pakar dari berbagai agama sepakat bahwa kerukunan umat beragama yang harus diciptakan, tidak boleh mengaburkan apalagi mengorbankan akidab. Sikap yang diduga dapat mengaburkan pun dicegahnya. Dalam kaitan inilah Islam melarang umatnya menghadiri upacara ritual keagamaan non-Muslim, seperti perayaan Natal. Karena betapapun Islam menjunjung tinggi Isa Almasih, namun pandangannya terhadap beliau berbeda dengan pandangan umat Kristiani.

Di sisi lain harus pula diakui bahwa ada ayat Al-Quran yang mengabadikan ucapan selamat Natal yang pernah diucapkan oleb Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula mengucapkan “selamat” kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan menghayati maksudnya menurut Al-Quran, demi kemurniaan akidah. Mungkin bagi seorang awam sulit memahami dan menghayati catatan ini. Nah, di sinilah para pemimpin dan panutan umat dituntut agar bersikap arif dan bijaksana sehingga sikapnya tidak menimbulkan pengeruhan akidah dan kesalahpahaman kaum awam.

Dalam suasana Natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat Islam mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan oleh Isa a.s. dan diabadikan Al-Quran: Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak (QS 19:33). Namun, harus pula diingat bahwa sebelum mengucapkan salam tersebut ditegaskan oleh Al-Quran bahwa beliau adalah hamba Allah yang diperintahkan shalat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersikap congkak, dan tidak pula celaka (lihat QS 19: 30-32), dan ditutup ucapannya dengan berkata kepada umatnya: Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus (QS 19:36).

Inilah Selamat Natal ala Al-Quran. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi di mana diucapkan? Rasanya dan logikanya: Tidak! Semoga perasaan dan logika itu tidak keliru, dan tidak pula disalahpahami. []


Diambil dari buku Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994), karangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab

Yesus Kristus a.k.a. Isa Almasih a.s.

Berikut saya kutipkan penjelasan Habib Quraish Shihab tentang pandangan Muslim terhadap nabi Isa a.s. yang saya ambil dari buku beliau Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994). Silahkan dibaca dan direnungi.



Al-Quran mengisahkan kelahiran Isa Almasih a.s. dan kisahnya ditutup dengan ucapan sang bayi agung yang baru lahir itu: “Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS 19: 33).

Demikianlah Al-Quran mengabadikan ucapan selamat pertama dari dan untuk Nabi Suci itu yang dibaca setiap saat oleh kaum Muslim. Bagi seorang Muslim dicegah membedakan seorang nabi dengan nabi yang lain (QS 2:285).

Kita percaya kepada Isa a.s. sebagaimana kita percaya kepada Muhammad saw. Keduanya adalah hamba dan utusan Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul. Sebab seluruh nabi dan rasul datang membawa ajaran ilahi walaupun dengan perincian dan ciri yang berbeda.

Isa a.s. datang membawa kasih: “Kasihilah seterumu dan doakan orang yang menganiayamu.” Beliau datang mengarahkan sekaligus melihat sisi balk dari seluruh makhluk: “Ketika beliau bersama murid-muridnya menemukan bangkai di perjalanan, murid-muridnya sambil menutup hidung berkat: ‘Alangkah busuk bau bangkai ini’. Beliau bersabda: ‘Alangkah putih giginya.’” Beliau datang menghidupkan jiwa, karenanya beliau mengecam sikap ahli Taurat yang hanya melihat dan mempraktikkan teks-teks ajaran secara kaku, tanpa menghayati makna dan tujuannya.

Sayang, beliau mendapat tantangan. Musuh-musuhnya memancing kesalahan ucapan beliau untuk dijadikan dalih melaporkannya kepada penguasa. Namun, ciri bahasanya yang manis dan penuh perumpamaan itu tidak memberi peluang untuk maksud jahat tersebut: “Bayarkanlah kepada Kaisar barang yang Kaisar punya dan kepada Allah bararng yang Allah punyai.

Banyak persoalan yang berkaitan dengan kehidupan Almasih yang dijelaskan oleh sejarah sehingga harus diterima sebagai kenyataan oleh siapapun, tetapi ada juga yang tidak dibenarkannya atau paling tidak diperselisihkan. Di sini kita berhenti untuk merujuk kepada akidah dan kepercayaan kita masing-masing.

Agama menuntut setiap umatnya memelihara kesucian akidah. la tidak boleh ternodai meskipun sedikit dan dengan dalih apa pun. Agama –sebelum negara menuntutnya- telah menegaskan agar kerukunan umat terpelihara. Salah, bahkan dosa, bila kerukunan dikorbankan atas nama agama, dan salah serta dosa pula bila kesucian akidah ternodai oleh dan atas nama kerukunan.

Bagaimana hubungan dan kedudukan Almasih di sisi Tuhan? Bagaimana kesudahan beliau? Apakah beliau disalib atau yang disalib orang lain yang mirip beliau? Apakah beliau diangkat ke langit dengan ruh dan jasadnya atau ruhnya saja, ataukah “pengangkatannya” dalam arti majazi? Apakah beliau akan datang lagi ke bumi? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang tidak mungkin terjawab oleh ilmu pengetahuan dan sejarah, namun telah dijawab oleh akidah kepercayaan.

Dostoyevski (1821-1881), seorang pengarang Rusia kenamaan, dalam salah satu karyanya berimajinasi tentang kedatangan kembali Isa Almasih. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi itu, namun dapat dipastikan bahwa bila beliau datang, banyak hal yang akan beliau luruskan bukan saja sikap dan ucapan yang mengaku sebagai umatnya, tetapi juga sikap umat Nabi Muhammad saw.

Itulah Isa putra Maryam yang mengucapkan kata-kata yang benar, mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya (QS 19: 34). Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau dan kepada seluruh hamba dan utusan Allah, dan semoga kedamaian menyentuh seluruh umat. []

Minggu, 24 Desember 2017

Maulid dua Nabi

Maulid Nabi Muhammad saw. dan Hari Raya Natal seperti biasa berdekatan peringatannya. Ada tulisan bagus dari Habib Quraish Shihab yang membahas tentang itu. Silahkan disimak.

Secam umum, orang berpendapat bahwa tahun pertama penanggalan Miladi adalah tahun kelahiran Isa Almasih. Ini telah dikenal oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 532 M, ketika mereka -atas usul salah seorang pemuka agama- menetapkan penanggalan Masehi. Namun demikian, tidak sedikit agamawan dan sejarahwan yang menolak tahun itu, antan lain, dengan dalih bahwa di dalam Perjanjian Baru di nyatakan bahwa Almasih lahir pada masa pemerintahan Herodes, sedangkan tokoh ini dikabarkan meninggal sekitar empat tahun sebelum tahun pertama penanggalan Miladi itu.

Tanggal 25 Desember sebagal tanggal kelahiran isa juga diragukan oleh sebagian orang dengan berbagai dalih dan alasan. Sebagai Muslim atau Kristen, boleh jadi kita dapat mentolerir perbedaan pendapat tersebut, tetapi yang tidak dapat kita terima adalah keraguan sebagian orang akan kehadiran Almasih di pentas bumi ini. Sejak abad ke-18, rnuncul sekelompok peneliti yang beranggapan bahwa Almasih adalah tokoh fiktif -bahkan hampir semua pembawa agama kecuali Nabi Muhammad saw. Mereka meragukan wujudnya dengan dalih bahwa nama Isa as. tidak disebut-sebut dam sejarah yang berbicara tentang periode yang disebut sebagai masa kehadirannya dan bahwa kisah hidup beliau yang diuraikan selama ini sama dengan kisah tokoh-tokoh khayal yang dikenal sebelumnya.

Bukan hanya agamawan yang menolak keraguan di atas. Sederetan ilmuwan membuktikan kekeliruannya pula. Sebagai Muslim atau Kristen, kita yakin sepenuhnya bahwa -sebagaimana Muhammad saw.- Isa as. pun pemah hadir di pentas bumi ini walaupun boleh jadi kita berbeda tentang tanggal dan tahun kelahirannya. Kalau demikian, yang perlu kita pertanyakan dan renungkan adalah tujuan kehadirannya. Di sini jawabannya bisa banyak, ada yang disepakati dan ada pula yang diperselisihkan. Marilah kita singkirkan yang diperselisihkan dan mencari titik temu.

Hemat saya, salah satu yang dapat disepakati adalah bahwa isa dan Muhammad datang untuk umat manusia. Keduanya mengaku sebagai “anak manusia”. Berulang kali istilah ini ditemukan dalam Perjanjian Baru, dan berulang kali pula Al-Quran memerintahkan Muhammad saw. untuk menyatakan dirinya sebagai manusia seperti manusia lain. Keduanya datang membawa rahmat Ilahi.
“Aku datang membebaskan bumi,” sabda Isa.
Aku rahmat bagi seluruh alam,” sabda Muhammad.

Keduanya datang membela yang lemah, membebaskan yang tertindas, dan mengulurkan tangan kepada semua yang membutuhkan.

Ketika seorang datang kepada Almasih dan menyatakan telah melaksanakan perintah Tuhan, berupa “Tidak berzina, tidak membunuh, tidak mencuri, dan seterusnya,” Almasih berkata kepadanya: “Ada satu yang belum engkau kerjakan. Pergilah dan jual barangmu serta berikan kepada fakir miskin.” Beliau juga bersabda: “Siapa yang memiliki dua baju hendaklah dia memberi yang tidak memilikinya, siapa yang memiliki makanan maka hendaklah ia memberi yang tidak punya.

Muhammad saw. juga demikian, beliau berkata: “Carilah aku di tengah-tengah masyarakat yang lemah.” Kepada yang berkecukupan beliau bersabda: “Kalian mendapat kemenangan dan memperoleh rezeki berkat orang yang lemah. Mereka adalah saudara-saudaramu, berilah mereka makan dari apa yang kamu makan, serta pakaian seperti apa yang kamu pakai.”

Di sinilah salah satu tempat pertemuan Muhammad saw. dan Isa a.s. dan dari sanalah mereka berjalan seiring bergandengan tangan dan dari sana pula umat mereka dapat bertemu dan berjalan bergandengan, khususnya di bumi Pancasila ini.

Terlepas apakah kelahiran Almasih bertepatan dengan 25 Desember ataupun tidak, namun seorang Muslim dianjurkan untuk membaca firman Allah yang antara lain menceritakan ucapan beliau pada saat kelahirannya.

Salam sejahtera dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, diwafatkan, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (QS 19: 33). Semoga damai di bumi dan sejahtera umat manusia. []

Diambil dari: Isa a.s. dan Muhammad saw. Bergandengan Tangan, Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Mizan, 1994).

Sabtu, 16 Desember 2017

Festival Dongeng Internasional 2017

Minggu pagi itu saya tidak berencana pergi kemanapun, sampai istri saya menyarankan untuk mengajak anak-anak ke sebuah acara di Perpustakaan Nasional RI.

Harusnya hari itu kami menjenguk seorang kawan yang baru selesai operasi, tapi karena istri saya radang ternggorokan, rencana itu batal. Saya sedang leyeh-leyeh di kasur ketika istri saya memberitahu bahwa ada Festival Dongeng Internasional di Jakarta.

“Ajak anak-anak ke sana gih, Bang!” ia menyarankan.

“Sekarang?”

“Iya. Ini hari terakhir.”

Setelah menimbang beberapa alat transportasi, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan ojek dan kereta. Pukul 09:00 pagi, bekal makan siang disiapkan. Untuk orang yang bepergian tanpa membawa anak, perjalanan mendadak apalagi hanya ke Jakarta dari Bekasi adalah hal yang bisa dilakukan sambil juggling. Namun tidak begitu pergi dengan dua anak kecil. Bersama anak-anak, kejadian sederhana seperti menyiapkan bekal – memakai baju – menyiapkan kendaraan – pergi – sampai tujuan – bersenang-senang akan menjadi kegiatan yang membangkitkan keinginan masa lalu untuk melakukan vasektomi.

Hari itu kebetulan saya dan keluarga menginap di tempat Mamah —panggilan saya untuk mertua, jadi saya membawa anak-anak pulang untuk mengambil baju dan sepatu. Semua yang harus saya ambil di rumah saya catat di HP. Kartu Multitrip KAI, tiket langganan KRL Jabodetabek, menjadi barang yang saya catat paling awal. Sesampai di rumah, kegaduhan dimulai.

Nada: Pak, tolong kancingin baju dong!

Saya: Bentar ya, bapak lagi ngorder ojek dulu. Dari tadi gak bisa-bisa nih.

Safa: Aku pake rok ini aja ya, pak?

Saya: Jangan. Pake celana panjang aja biar gampang.

Safa: Pak, kakak mukul aku tuh.

Saya: Jangan berantem dong. Kita kan mau pergi.

Nada: Ih siapa yang mukul? Kamu tuh yang mukul.

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Safa: Kamu!

Nada: Kamu!

Kepala saya pecah.

Safa merajuk ingin dilayani. Nada bersikap seperti kakak yang tegas bahkan sedikit kejam. Saya sedang mengisi air minum di botol ketika istri saya mengirim pesan bahwa telur yang saya goreng lupa dimasukan ke dalam kantung bekal.

Setelah beberapa keributan itu, akhirnya saya dapat sinyal dan bisa memesan ojek. Di tengah jalan menuju stasiun, saya ingat kalau Kartu Multitrip kereta tertinggal di rumah. Bodoh! Saya mengutuk diri sendiri.

Stasiun Bekasi Timur Minggu pagi itu sepi. Saya membeli tiket dan menunggu kereta. 10 menit menunggu, kereta datang. Kami menelusuri gerbong kereta yang lebih lenggang tapi sia-sia. Semua gerbong penuh sumpek berisi manusia-manusia ikan asin. Pihak stasiun mengumumkan melalui pengeras suara untuk tidak memaksa masuk ke dalam kereta, lebih baik menunggu kereta selanjutnya. Saya menuruti, tanpa saran itupun, secara naluri tidak mungkin saya mengajak anak-anak masuk ke dalam kereta yang berjubel Prajurit Spartan.

Saya bertanya kepada keamanan stasiun, dijawab bahwa kereta selanjutnya akan datang satu jam lagi. Saat itu, jam di tangan menunjukan pukul 11:40.

Saya memandangi anak-anak, “Keretanya penuh. Kita naik kereta yang selanjutnya aja ya? Satu jam lagi. Bagaimana menurut kalian?”

Nada yang sudah mengerti tentang jam mengangguk, “Iya. Gak papa.”

Safa sepertinya clueless dan tidak menjawab apapun.

“Gimana kalau kita buka bekal kita di sini?” saran saya ke anak-anak.

Istri saya, begitu tahu harus menunggu satu jam untuk kereta selanjurnya, misuh-misuh di WA. Saya mematikan paket data.

Setelah menghabiskan bekal makan siang dan membunuh waktu sambil bermain tebak-tebakan, kereta datang. Pukul 13:15 kami masuk ke gerbong. Anak-anak masih terlihat excited dan senang, saya berhasil menjaga mood mereka. Itu yang paling penting, yang lainnnya bisa diatur.

Pukul 14:15 tiba di St. Pasar Senen setelah sebelumnya transit di St. Jatinegara. Segera saya memesan ojek untuk menuju lokasi. 15 menit kemudian kami sampai di Perpustakaan Nasional Ri di Jl. Salemba Raya. Tanpa bertanya ke satpam yang tidak jauh dari gerbang, saya mengajak anak-anak masuk ke gedung perpustakaan yang jaraknya sekitar 100 meter dari gerbang utama. Sepanjang jalan ke gedung, saya mencari petunjuk yang semestinya ada, tapi nihil. Agak aneh untuk acara internasional. Sesampainya di depan pintu gedung perpustakaan, pintu tertutup rapat. Saya baru sadar kalau salah tempat setelah kembali lagi ke gerbang utama dan bertanya ke satpam. Ternyata lokasi acara tersebut di Jalan Medan Merdeka Selatan, tepat di sebelah Balai Kota DKI. Oh, kebodohan macam apa lagi ini.

Acara dijadwalkan berlangsung dari pukul 08:30 sampai dengan 17:00 dan kami baru tiba pukul 15:00. Enam jam waktu yang saya habiskan dalam perjalanan, meladeni buruknya sinyal, kegaduhan bersama anak-anak dan kebodohan yang saya buat sendiri. Dengan waktu yang sama menggunakan pesawat, kami tentu sudah mendarat di Raja Ampat.

Kami sudah sangat terlambat, tapi acara kolaborasi dongeng internasional, dimana menampilkan seluruh pendongeng internasional yang hadir dalam festival itu, baru akan dimulai. Dibuka oleh Kak Aio sang Direktur Festival Dongeng Indonesia, ia mendongeng tentang monyet dan kelinci, yang inti kisahnya adalah tentang menghormati perbedaan. Dilanjutkan oleh Hori Yoshimi & J2net dari Jepang yang mencoba bercerita menggunakan bahasa Indonesia, cerita Doraemon, memperkenalkan karakter Doraemon, anak-anak senang terutama ketika mereka diajak bernyanyi lagu Doraemon versi Indonesia. Arthi Anand Navaneeth dari India melanjutkan dengan cerita tentang seekor gajah bernama Gajapati Gulapati yang terkena flu. Tanya Batt dari Selandia Baru bercerita tentang Kue Jahe yang dikejar-kejar banyak makhluk untuk dimakan, yang unik adalah ia mendongeng dengan menggunakan lagu, sambil bernyanyi, atau nge-rap. Seung Ah Kim dari Korea Selatan bercerita tentang bayi yang suka menangis dan harimau, yang pada akhir cerita ia kaitkan dengan awal mula ia senang mendongeng. Uncle Fat dari Taiwan selanjutnya bercerita tentang gadis kecil yang cantik dan melon, ia mengajak semua pengunjung berinteraksi dengan ceritanya, setiap kali ia bercerita, beberapa bagian penonton bersorak. Dan yang terakhir, Craig Jenkins dari Inggris Raya, bercerita tentang Raja Mustache, ia yang paling lucu dari semua pendongeng, penonton sangat terhibur. Ada seorang pendongeng yang tidak ikut sesi dongeng kolaborasi tersebut; Kiran Shah dari Singapura.

16:30 acara selesai dilanjutkan dengan sesi foto. 17:40 kami pulang. Kami beruntung, karena dari waktu yang sangat singkat itu bisa mendengarkan hampir seluruh pendongeng internasional yang hadir.

Ada hal yang lebih menyenangkan untuk saya; melihat anak-anak menikmati semua dongeng yang mereka dengarkan. Di dalam kendaraan pulang, anak-anak antusias mendengarkan saya mengulang semua cerita.

“Gimana? Apa kalian senang dengan acara tadi?” saya bertanya kepada Nada dan Safa.

“Senang!” mereka menjawab hampir bersamaan.

“Cerita apa yang paling kalian suka?”

“Emm.. Gajapati Gulapati.” Kata Nada.

“Kalo aku, Raja Mustache sama bayi yang suka nangis.” Safa memilih dua.

“Eh, aku juga suka Raja Mustache deh. Sama lagu Doraemon.” Nada menambahkan.

Saya percaya, dongeng adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Dengan dongeng saya tidak perlu memberatkan diri untuk menyampaikan moral of the story; pelajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, karena anak-anak dengan sendirinya memahami. Bahkan mereka mengerti tentang ironi dan sinisme dalam cerita. Di atas itu semua, dongeng yang baik selalu punya cara untuk mengendap di benak setiap orang. Setiap anak.

“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein


Kamis, 07 Desember 2017

TV Kabel

“Baaang, ada tamu nih.” Istri saya setengah berteriak dari halaman.

“Iya.” Saya bergegas ke luar dari kamar.

Ternyata sales yang mau nawarin layanan TV kabel. Pasti istri saya mau ngerjain, pikir saya kemudian. Karena dia tau, apa faidahnya langganan TV berbayar kalau gak punya TV.

Sebagai tuan rumah yang baik, saya meladeni si sales, “Iya, Mas, ada apa ya?”

“Ini saya dari Transvision mau nawarin promo.. bla, bla, bla.”

Saya mendengarkan dan merespon sekedarnya, “Oh gitu, Mas.”

Istri saya memberi kode lewat kedipan. Awalnya saya nggak paham, tapi lama kelamaan saya mengerti maksudnya. Sales yang saya ajak ngobrol adalah mbak-mbak bukan mas-mas. Saya ketahui setelah melihat anting emas di kedua telinganya. Saya merasa berdosa.

Ya tapi bukan salah saya juga. Potongan rambutnya cepak, pake jaket, celana jeans dan sepatu kets. Tapi melihat respon dari awal, saya kira dia sudah biasa dengan panggilan itu. Dari tampangnya sepertinya dia mau bilang, “Santay! Lu orang yang ke seribu dua puluh tiga yang manggil gua mas.”

Dia juga nggak bilang dari awal kalau bukan mas-mas. Maksud saya, dia kan bisa bilang dengan sopan, “Maaf pak, saya bukan mas-mas, saya mbak-mbak. Gak liat nih anting saya? Saya juga suka main Barbie dan pake legging macan tutul kok!”

Si sales tetap menjelaskan panjang lebar. Saya tetap mendengarkan Set-up itu. Tunggu Punch Line saya, kata saya dalam hati.

“Iya. Promonya sih bagus, Mbak.” Saya memberi jeda, “Tapi saya gak punya TV.”

Sales diam.

Suasana hening sesaat sampai akhirnya si sales tertawa.

Saya tidak ikut tertawa.

Diam menikmati.

Rabu, 06 Desember 2017

Time heals Adil, but not in the skin

Pagi itu, beberapa menit setelah dokter UGD menyatakan bapak meninggal, saya menghubungi kawan saya Njay. Dia adalah guru di tempat Adil, adik bontot saya, mondok.

Saat itu Adil sedang ada Ulangan Semester. Dalam bayangan saya, Adil telah belajar super keras untuk mengangkat nilainya lagi. Untuk mendapat rangking lagi. Karena saingannya tidak main-main; cucu kiyai.

Saya menelpon Njay. Saya tahu kemudian bahwa Njay sendiri yang mengantar Adil pulang, tanpa diberitahu bahwa bapaknya meninggal. Adil mungkin sedikit curiga dijemput saat ulangan sedang berlangsung, tapi belum bisa menerka ada apa.

“Ayo, Dil. Ikut abang bentar.” Mungkin Njay ngomong gitu.

“Ada apa, Bang Njay?”

“Ayo ikut aja!”

Adil sempet rangking 1, kemudian disalip. Mungkin saat penjemputan itu Adil berpikir akan sebuah rencana subversif; Biar gue gak bisa rangking lagi nih. Gagal rebound dah gue. Malah udah taroan goceng-goceng lagi. Rese.

Njay mengantar Adil memakai motor. Di tengah jalan, kecurigaan Adil akan sabotase memudar. Seiring dia mengenal jalan yang dilalui. Maka sampai di rumah, begitu melihat bendera kuning, Adil mulai emosional. Tidak mungkin hanya karena ayam peliharaannya mati ada bendera kuning. Kalimat Muhasabah yang biasa dipakai becandaan, “Bayang kaaaan! Ada bendera kuning di depan rumah muuuu!” sudah tidak lucu lagi.

Turun dari motor, Adil sudah terlihat sedih. Ia sudah melihat nama di bendera kuning. Ia sudah tahu siapa yang meninggal. Begitu sampai di depan rumah, Adil menghampiri sesuatu yang ditutup kain putih.

“Bapaaak!” Adil histeris.

“Sabar, Dil!” Orang-orang menenagkan.

“Diem luh!” Adil semakin emosional. Mengibaskan tangan.

“Sabar, Dil!” Orang lain menenangkan.

“Jangan peganging gue!” Adil berontak.

“Bukan gitu, Dil.” Kata saya sambil mendekat, “Jenazah bokap di sana. Itu yang lu tangisin baskom amal.”

“Oh ini baskom amal?” Adil menyeka air mata dan pindah.

Wajar Adil menjadi anak yang paling sedih, karena dia adalah anak bontot dan paling dekat dengan bapak. Sangat dekat. Saking dekatnya, mereka joinan rokok. Joinan ngopi. Nggak, nggak. Becanda. Yang bener, Adil waktu kecil disapih pake kopi. Kalian pikir Adil gosong gitu karena apa? Ampas kopi nyerep ke kulit.

Sepanjang hari itu Adil menangis tanpa henti dan tidak bisa diajak bicara. Disuruh ngaji nggak bisa, di minta bantuin gotong jenazah gak mau. Hanya menangis. Kami memindahkan Adil ke kamar. Mungkin karena lelah menangis, atau lelah karena semalam bergadang bikin kebetan, akhirnya ia tertidur.

Adil kalau sudah tidur, Korea Utara meledak juga dia nggak akan tahu. Saya membangunkan Adil untuk salat zuhur. Tapi sia-sia. Mengulet pun tidak. Saya menyerah dan meninggalkan dia di kamar. Baru selangkah meninggalkan kamar, saya mendengar suara isak. Adil menangis lagi. Berlanjut. Goodbye and Cry Album Vol. II.

Kejadian itu sudah dua tahun berlalu. Seiring bertambahnya tahun, kesedihan akan kehilangan semakin memudar. Berganti dengan hal-hal yang di luar dugaan. Saya bisa melihat kelucuan dari kejadian itu. Bahkan saya pernah bermimpi, seperti di sinetron Indosiar —dimana ada karakter yang mati tapi hidup lagi, bapak hidup lagi. Jadi kuburan yang ada adalah kuburan palsu. Saya terbangun dengan perasaan geli sendiri. Saya membayangkan bapak berada di sebuah tempat di dunia ini. Mungkin di Maldives, sedang berjemur di bawah sinar matahari.

Benar apa yang dikatakan orang bahwa waktu yang akan menyembuhkan. Tidak sekedar itu, saya mendapat hal lain, bahwa waktu juga yang mendekatkan. Entah mengapa, saat ini saya merasa lebih dekat dengan bapak. Bukan berarti saya percaya arwahnya gentayangan, bisa nyurupin orang atau bisa dimasukin ke dalam botol minyak. Bukan.

Kedekatan itu bukan secara fisik. Walaupun ada suatu waktu, terutama ketika melihat orang yang perawakannya mirip bapak, saya jadi teringat beliau. Biasanya saya segera mendoakan dan mengirimkan Al Fatihah. Kedekatan yang saya maksud lebih kepada kedekatan secara kebatinan.

Saya pernah menulis bahwa perkara terbesar dari kehilangan orang terdekat adalah penyesalan terhadap apa yang belum kita lakukan. Itu yang paling awal terasa. Lambat laun kemudian kita mengikhlaskan bahwa tidak semua yang kita inginkan terwujud. Sekarang, saya berada di sebuah fase dimana saya memahami bahwa kematian bukanlah hal yang memisahkan. Saya merasa masih terhubung. Saya yakin di alam kubur beliaupun merasakan. Itu sebabnya Nabi mengajarkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki area pemakaman. Artinya mereka memang masih berada di sana.

Ya, sekarang saya merasa lebih dekat dengan bapak, bukan lagi secara fisik, tapi spiritual.

Al Fatihah!