Minggu pagi itu saya tidak berencana pergi kemanapun, sampai istri saya menyarankan untuk mengajak anak-anak ke sebuah acara di Perpustakaan Nasional RI.
Harusnya hari itu kami menjenguk seorang kawan yang baru selesai operasi, tapi karena istri saya radang ternggorokan, rencana itu batal. Saya sedang leyeh-leyeh di kasur ketika istri saya memberitahu bahwa ada Festival Dongeng Internasional di Jakarta.
“Ajak anak-anak ke sana gih, Bang!” ia menyarankan.
“Sekarang?”
“Iya. Ini hari terakhir.”
Setelah menimbang beberapa alat transportasi, akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan ojek dan kereta. Pukul 09:00 pagi, bekal makan siang disiapkan. Untuk orang yang bepergian tanpa membawa anak, perjalanan mendadak apalagi hanya ke Jakarta dari Bekasi adalah hal yang bisa dilakukan sambil juggling. Namun tidak begitu pergi dengan dua anak kecil. Bersama anak-anak, kejadian sederhana seperti menyiapkan bekal – memakai baju – menyiapkan kendaraan – pergi – sampai tujuan – bersenang-senang akan menjadi kegiatan yang membangkitkan keinginan masa lalu untuk melakukan vasektomi.
Hari itu kebetulan saya dan keluarga menginap di tempat Mamah —panggilan saya untuk mertua, jadi saya membawa anak-anak pulang untuk mengambil baju dan sepatu. Semua yang harus saya ambil di rumah saya catat di HP. Kartu Multitrip KAI, tiket langganan KRL Jabodetabek, menjadi barang yang saya catat paling awal. Sesampai di rumah, kegaduhan dimulai.
Nada: Pak, tolong kancingin baju dong!
Saya: Bentar ya, bapak lagi ngorder ojek dulu. Dari tadi gak bisa-bisa nih.
Safa: Aku pake rok ini aja ya, pak?
Saya: Jangan. Pake celana panjang aja biar gampang.
Safa: Pak, kakak mukul aku tuh.
Saya: Jangan berantem dong. Kita kan mau pergi.
Nada: Ih siapa yang mukul? Kamu tuh yang mukul.
Safa: Kamu!
Nada: Kamu!
Safa: Kamu!
Nada: Kamu!
Safa: Kamu!
Nada: Kamu!
Kepala saya pecah.
Safa merajuk ingin dilayani. Nada bersikap seperti kakak yang tegas bahkan sedikit kejam. Saya sedang mengisi air minum di botol ketika istri saya mengirim pesan bahwa telur yang saya goreng lupa dimasukan ke dalam kantung bekal.
Setelah beberapa keributan itu, akhirnya saya dapat sinyal dan bisa memesan ojek. Di tengah jalan menuju stasiun, saya ingat kalau Kartu Multitrip kereta tertinggal di rumah. Bodoh! Saya mengutuk diri sendiri.
Stasiun Bekasi Timur Minggu pagi itu sepi. Saya membeli tiket dan menunggu kereta. 10 menit menunggu, kereta datang. Kami menelusuri gerbong kereta yang lebih lenggang tapi sia-sia. Semua gerbong penuh sumpek berisi manusia-manusia ikan asin. Pihak stasiun mengumumkan melalui pengeras suara untuk tidak memaksa masuk ke dalam kereta, lebih baik menunggu kereta selanjutnya. Saya menuruti, tanpa saran itupun, secara naluri tidak mungkin saya mengajak anak-anak masuk ke dalam kereta yang berjubel Prajurit Spartan.
Saya bertanya kepada keamanan stasiun, dijawab bahwa kereta selanjutnya akan datang satu jam lagi. Saat itu, jam di tangan menunjukan pukul 11:40.
Saya memandangi anak-anak, “Keretanya penuh. Kita naik kereta yang selanjutnya aja ya? Satu jam lagi. Bagaimana menurut kalian?”
Nada yang sudah mengerti tentang jam mengangguk, “Iya. Gak papa.”
Safa sepertinya clueless dan tidak menjawab apapun.
“Gimana kalau kita buka bekal kita di sini?” saran saya ke anak-anak.
Istri saya, begitu tahu harus menunggu satu jam untuk kereta selanjurnya, misuh-misuh di WA. Saya mematikan paket data.
Setelah menghabiskan bekal makan siang dan membunuh waktu sambil bermain tebak-tebakan, kereta datang. Pukul 13:15 kami masuk ke gerbong. Anak-anak masih terlihat excited dan senang, saya berhasil menjaga mood mereka. Itu yang paling penting, yang lainnnya bisa diatur.
Pukul 14:15 tiba di St. Pasar Senen setelah sebelumnya transit di St. Jatinegara. Segera saya memesan ojek untuk menuju lokasi. 15 menit kemudian kami sampai di Perpustakaan Nasional Ri di Jl. Salemba Raya. Tanpa bertanya ke satpam yang tidak jauh dari gerbang, saya mengajak anak-anak masuk ke gedung perpustakaan yang jaraknya sekitar 100 meter dari gerbang utama. Sepanjang jalan ke gedung, saya mencari petunjuk yang semestinya ada, tapi nihil. Agak aneh untuk acara internasional. Sesampainya di depan pintu gedung perpustakaan, pintu tertutup rapat. Saya baru sadar kalau salah tempat setelah kembali lagi ke gerbang utama dan bertanya ke satpam. Ternyata lokasi acara tersebut di Jalan Medan Merdeka Selatan, tepat di sebelah Balai Kota DKI. Oh, kebodohan macam apa lagi ini.
Acara dijadwalkan berlangsung dari pukul 08:30 sampai dengan 17:00 dan kami baru tiba pukul 15:00. Enam jam waktu yang saya habiskan dalam perjalanan, meladeni buruknya sinyal, kegaduhan bersama anak-anak dan kebodohan yang saya buat sendiri. Dengan waktu yang sama menggunakan pesawat, kami tentu sudah mendarat di Raja Ampat.
Kami sudah sangat terlambat, tapi acara kolaborasi dongeng internasional, dimana menampilkan seluruh pendongeng internasional yang hadir dalam festival itu, baru akan dimulai. Dibuka oleh Kak Aio sang Direktur Festival Dongeng Indonesia, ia mendongeng tentang monyet dan kelinci, yang inti kisahnya adalah tentang menghormati perbedaan. Dilanjutkan oleh Hori Yoshimi & J2net dari Jepang yang mencoba bercerita menggunakan bahasa Indonesia, cerita Doraemon, memperkenalkan karakter Doraemon, anak-anak senang terutama ketika mereka diajak bernyanyi lagu Doraemon versi Indonesia. Arthi Anand Navaneeth dari India melanjutkan dengan cerita tentang seekor gajah bernama Gajapati Gulapati yang terkena flu. Tanya Batt dari Selandia Baru bercerita tentang Kue Jahe yang dikejar-kejar banyak makhluk untuk dimakan, yang unik adalah ia mendongeng dengan menggunakan lagu, sambil bernyanyi, atau nge-rap. Seung Ah Kim dari Korea Selatan bercerita tentang bayi yang suka menangis dan harimau, yang pada akhir cerita ia kaitkan dengan awal mula ia senang mendongeng. Uncle Fat dari Taiwan selanjutnya bercerita tentang gadis kecil yang cantik dan melon, ia mengajak semua pengunjung berinteraksi dengan ceritanya, setiap kali ia bercerita, beberapa bagian penonton bersorak. Dan yang terakhir, Craig Jenkins dari Inggris Raya, bercerita tentang Raja Mustache, ia yang paling lucu dari semua pendongeng, penonton sangat terhibur. Ada seorang pendongeng yang tidak ikut sesi dongeng kolaborasi tersebut; Kiran Shah dari Singapura.
16:30 acara selesai dilanjutkan dengan sesi foto. 17:40 kami pulang. Kami beruntung, karena dari waktu yang sangat singkat itu bisa mendengarkan hampir seluruh pendongeng internasional yang hadir.
Ada hal yang lebih menyenangkan untuk saya; melihat anak-anak menikmati semua dongeng yang mereka dengarkan. Di dalam kendaraan pulang, anak-anak antusias mendengarkan saya mengulang semua cerita.
“Gimana? Apa kalian senang dengan acara tadi?” saya bertanya kepada Nada dan Safa.
“Senang!” mereka menjawab hampir bersamaan.
“Cerita apa yang paling kalian suka?”
“Emm.. Gajapati Gulapati.” Kata Nada.
“Kalo aku, Raja Mustache sama bayi yang suka nangis.” Safa memilih dua.
“Eh, aku juga suka Raja Mustache deh. Sama lagu Doraemon.” Nada menambahkan.
Saya percaya, dongeng adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”
Dengan dongeng saya tidak perlu memberatkan diri untuk menyampaikan moral of the story; pelajaran yang dapat diambil dari sebuah cerita, karena anak-anak dengan sendirinya memahami. Bahkan mereka mengerti tentang ironi dan sinisme dalam cerita. Di atas itu semua, dongeng yang baik selalu punya cara untuk mengendap di benak setiap orang. Setiap anak.
“If you want your children to be intelligent, read them fairy tales. If you want them to be more intelligent, read them more fairy tales.” - Albert Einstein