Pagi itu saya membuka pintu dan mendapati Ridwan sedang rebahan di ruang depan dengan wajah kusut. Sambil tersenyum saya bertanya sinis, “Kayaknya seneng banget hari ini lu, Wan?”
“Sialan lu!” ia balas menghardik.
Dalam kontrakan tiga sekat itu, Ridwan menempati sekat paling depan yang lebih kecil, sementara saya dan satu orang kawan lain menempati sekat tengah yang lebih lebar. Sekat ke tiga adalah dapur dan kamar mandi.
Saya sedang bersiap-siap tidur ketika Ridwan lewat membawa handuk ke arah kamar mandi kemudian memulai percakapan, “Gua pindah tempat kerja, Mi.”
“Loh kenapa?” saya bertanya.
Lelaki 40 tahunan beranak dua itu menghembuskan nafas panjang seperti ingin membuang beban dan mencari kata-kata untuk memulai cerita. Tidak lama kemudian dia bercerita tentang perselingkuhannya dengan seorang wanita yang sudah bersuami yang diketahui istri dan perusahaan tempat ia bekerja.
“Gimana ketauannya?”
“Bini gua baca SMS dari dia. Trus ngamuk. Semua kaca di rumah dipecahin. Piring, gelas, cermin, jendela, semuanya dah. Pusing dah gua, Mi.”
“Mmm..” saya tidak tahu harus merespon apa. Saya tidak punya kenalan tukang kaca, dan istri saya belum pernah memecahkan kaca sebanyak itu. Kalaupun terpaksa harus merespon mungkin yang keluar, “Belingnya ada yang nyolok mata lu gak Wan?”
Ia bercerita tentang istri yang menelpon selingkuhannya, tentang tempat-tempat yang digunakan, tentang berapa lama berselingkuh dan, “Dia ngaku kalo anaknya yang bontot itu anak gua Mi. Dia nuntut gue tanggung jawab.”
Kejadian itu sudah beberapa tahun berlalu, dan saat ini saya tidak tahu keberadaan dan kondisi Ridwan, apakah ia masih mempertahankan pernikahannya atau sudah cerai. Tapi saya punya satu kawan lagi yang saya ketahui perceraiannya setelah dua bulan menikah.
Rangga berumur 27 ketika ia mengatakan akan menikah tahun itu, saya ikut senang. Mantan kawan kerja saya itu pernah bercerita tentang proses perkenalan, tentang uang yang ia kumpulkan, juga tentang beberapa masalah dengan orang tua; penolakan orang tua, usaha mendekatkan pacarnya dengan orang tua, serta masalah remeh temeh lain. Saya mengatakan kepadanya itu masalah yang biasa dalam proses saling mengenal antara dua keluarga. Namun malang, saya tidak sempat hadir di hari pernikahan salah satu kawan paling supel yang saya kenal itu.
7 Januari 2017, itu hari pernikahan adik saya. Malam itu, kepala saya seperti ditindih batu karena mengantuk, padahal jam di tangan bahkan belum menunjukan pukul 9 malam. Sehari semalam saya hampir tidak tidur. 30 jam lebih. Saya menelpon Rangga yang sedari pagi saya tunggu kedatangannya. Tidak diangkat. Saya mengirim pesan, “Jadi dateng gak, Ga?”
Tidak lama ia menelpon. “Maaf banget, Bang.” Katanya dari sebrang telpon, “Rangga juga nikah, Bang.”
Seminggu sebelumnya, saya datang ke kost-nya untuk mengundang ke acara pernikahan adik saya. Ia berjanji akan hadir. Hal yang mengecewakan adalah bukan karena orang yang kita undang tidak datang, tapi ia tidak memberi kabar.
Mendengar pernikahan Rangga yang mendadak itu membuat saya serba salah. Seminggu sebelumnya ia tidak memberi kabar sama sekali. Akhirnya saya bilang, “Oh, ya udah gak papa, Ga. Kirain mau dateng, kalo gak dateng, gua mau pulang nih.”
“Iya, Bang. Maaf banget ya, Bang. Ntar kita ngobrol-ngobrol lagi deh.”
“Iya, iya.” Saya mengakhiri telpon, “Jangan bunuh diri ya.”
Ia membalas dengan tawa.
Dua bulan setelah percakapan itu, ia bercerai.
Dua orang kawan saya itu punya masalah, orang-orang yang menikah punya masalah, saya punya masalah, masalahnya bisa berbeda-beda tapi itu ditemukan ketika memasuki gerbang dari fase kehidupan bernama pernikahan. Masalah seperti perselingkuhan, KDRT, punya atau tidak punya anak dan lain-lain yang biasanya diakhiri dengan perceraian atau kompromi. Anehnya, orang yang terlalu peduli dengan urusan orang lain malah menganggap orang yang tidak menikah adalah orang yang bermasalah.
Pengalaman buruk pernikahan kawan-kawan membuat saya berhenti menyarankan orang lain untuk menikah. Maksudnya, saya tidak melarang orang lain untuk menikah, hanya saja menikah atau tidak menikah adalah urusan pribadi yang tidak perlu disarankan atau dilarang. Sedekat apapun saya dengan orang itu, keputusan menikah atau tidak menikah adalah keputusan yang pertimbangannya tidak selalu mudah. Pada kawan-kawan tertentu, ketika mereka mengabarkan tentang pernikahan biasanya saya juga bertanya; mengapa menikah?
Saya ingat seorang kawan, setelah menonton berita artis yang jadi PSK, bertanya, “Nai, kalo seandainya elu jadi pacarnya Vanessa Angel gimana?”
“Maksudnya gimana nih?”
“Ya, kaget gak?”
“Harusnya sih biasa aja ya. Karena gua rasa kepribadian seseorang bisa dinilai dari beberapa kali bertemu. Tinggal ia mau nerima atau ignore.”
“Maksud lu, pacarnya udah tau?”
“Pertanyaan itu sama dengan pertanyaan yang pernah lu tanya ke gua tentang apakah orang tua tahu kalau anaknya suka bohong? Ya pasti tahu lah. Anak gak mungkin tiba-tiba berbohong dan orang tua tiba-tiba kaget. Potensi kebohongan sudah ada jauh sebelumnya. Tinggal orang tua mau ngoreksi, introspeksi atau malah mengabaikan.”
Dalam sebuah hubungan, terkadang orang mengabaikan hal-hal yang prinsip dan malah fokus dan mengkhawatirkan hal-hal yang remeh. Maka setiap saya memandangi dua mempelai di acara akad atau resepsi pernikahan, saya selalu mendoakan yang terbaik. Semoga setiap pasangan mendapat kebahagiaan.
Catatan: Nama dalam tulisan ini bukanlah nama sebenarnya.