Minggu, 30 Oktober 2022

Surat Cinta untuk Nada

Umurmu 11 tahun, dan pagi itu kamu bertanya tentang mimpi basah. Oh, sungguh aku lebih siap jika kamu bertanya apa saja selain itu. Aku siap jika kamu bertanya tentang menstruasi, atau tentang bagaimana proses bayi dalam kandungan, atau perbedaan alat kelamin wanita dan pria, tapi pertanyaan tentang apa itu mimpi basah, itu hal yang di luar dugaan dan aku tidak siap menjawab.

"Ya, itu seperti menstruasi pada perempuan, yang menandakan kematangan tubuh manusia untuk bisa melakukan reproduksi atau hamil. Pada laki-laki tandanya ia akan mengalami mimpi basah, yaitu keluar cairan dari alat kelaminnya namun bukan seperti pipis." akhirnya aku menjawab tanpa persiapan.

"Tapi kenapa harus mimpi, Pak?" Kamu bertanya kritis.

Sejujurnya aku makin tidak siap. Entah apa yang aku jawab hari itu, tapi hari berikutnya, setelah berpikir dan menyusun kata, aku kembali menjelaskan, "Pubertas dalam bahasa arab disebut Balig, Kak. Pada laki-laki, tubuh akan mulai menghasilkan hormon testosteron yang akan memproduksi sperma. Kalau sudah cukup banyak sperma, maka laki-laki akan mulai merasakan ereksi atau kelaminnya mengeras. Ereksi bisa terjadi dalam waktu yang berbeda-beda, bisa waktu di kamar mandi, saat bermain game, bahkan saat tidur. Nah, ketika air mani atau sperma sudah cukup banyak ia akan terlepas dengan sendirinya. Karena sering terjadi saat tidur, maka itu disebut mimpi basah."

Kamu sepertinya sudah puas dengan jawaban itu, atau mungkin juga sedang mencerna, berpikir dan mungkin nanti akan menanyakan hal lain. Namun sampai sekarang tidak ada pertanyaan lain.

Umurmu 12 tahun 4 bulan, dan itu saat kamu mendapat menstruasi pertama. Ibumu memberitahu melalui pesan WhatsApp karena menemukan darah di celana dalammu waktu ia ingin mencuci pakaian. Sepertinya kamu tidak menyadari, mungkin karena darahnya masih sedikit. Aku akan mengatakan ini padamu; secara fisik kamu sekarang perempuan dewasa dan sehat, Kak. Itu artinya juga kamu bisa hamil jika berhubungan seks dengan lelaki yang secara fisik juga dewasa dan sehat. Jangan khawatir, kamu punya kendali terhadap tubuh dan apa yang kamu lakukan, termasuk juga untuk menetetapkan batas. Sekarang kamu bertanggungjawab atas perbuatanmu sendiri, baik kepada sesama manusia atau kepada Tuhan. Tentu saja bapak dan ibu masih mengingatkan, menasehati dan melindungi, tapi kamu yang bertanggungjawab atas semuanya. 

Secara fisik kamu sekarang sudah dewasa dan semoga juga secara mental. Sebagai bapak, aku akan selalu menyayangimu sampai kapanpun. Kamu adalah cinta pertama sebelum adik-adikmu ada dan akan tetap begitu selamanya. Aku tahu setiap orang harus tumbuh, begitu juga aku harap kamu akan tumbuh. Namun ada hal-hal yang kamu punya dari sejak kamu mengenal bahasa yang sebaiknya kamu pertahankan sampai dewasa.

Kamu berkeinginan kuat dan mudah termotivasi. Kamu tentu masih ingat saat berumur 7 tahun, kamu mulai puasa Ramadhan pertama. Aku menjanjikan uang setiap hari kamu melakukan puasa penuh sehari. Kamu mulai menghitung berapa banyak yang akan kamu dapatkan jika dilakukan 30 hari. Sampai sekarang aku tidak pernah menyangka, bagaimana kamu bisa melakukannya sebulan penuh, tanpa satu haripun yang bolong. Keinginan kuat juga yang membuat kamu bisa cepat mengendarai sepeda, berenang juga membaca buku-buku tebal.

Kamu juga berani dan sensitif. Ini cerita yang selalu aku ulang-ulang ketika menceritakan keberanianmu. Kamu masih usia TK dan saat itu ada acara dongeng di masjid komplek perumahan kita. Sesaat setelah pendongeng selesai membawakan cerita, ia meminta anak-anak tunjuk tangan untuk diberikan pertanyaan tentang cerita. Ada hadiah buku bagi yang bisa menjawab. Kamu segera mengangkat tangan sendirian. Anak-anak lain, bahkan banyak yang lebih dewasa dari kamu melihat dengan takjub. Orangtua yang hadir di majelis itu kagum akan keberanianmu. Kamu berjalan ke depan, menghadapi tatapan orang-orang, dan menjawab pertanyaan. Kamu mungkin masih ingat cerita yang sering aku ulang-ulang itu, tapi ingatkah kamu ketika suatu sore kamu bersandar di tembok sambil menangis?

Umurmu 7 tahun, aku mendekati dan bertanya mengapa kamu menangis. Kamu makin sesenggukan. Kamu nggak mau ngaji? Aku bertanya. Itu sore hari waktu mengaji di masjid. Kamu masih menangis. Apa ada yang jahatin di pengajian? Tanyaku lagi. Kamu tetap menangis. Aku mengingat-ingat, "Apa karena kamu denger percakapan bapak dan ibu tentang berkemah?"

Kamu sedikit tenang dan dari matamu aku tahu kamu mengiyakan. Beberapa menit sebelumnya, aku dan ibumu bercakap-cakap tentang membatalkan acara kemping keluarga yang telah kita rencanakan beberapa bulan sebelumnya karena Aira dan Safa sakit. Sebenarnya kami belum memutuskan, ada opsi untuk hanya kita yang pergi. Tapi kamu yang mendengar percakapan itu diam-diam, hanya menangkap bahwa kita tidak jadi berkemah.

“Kita jadi kemping kok. Kan semua keperluannya udah ada. Tapi cuma kamu dan bapak yang ikut. Ibu, Safa, Aira dan Bee gak bisa ikut.” Aku menjelaskan. Tangismu berangsur-angsur mereda.

Beberapa hari setelah kejadian itu, kita telah berada di Bumi Perkemahan Sentul di kaki Gunung Pancar. Sepanjang perjalanan menanjak dengan kendaraan, kamu tidak henti menatap keluar jendela dengan mata berbinar dan senyum berkembang.

Kualitas yang juga harus kamu pertahankan sampai dewasa adalah kejujuran dan keingintahuanmu. Aku tidak pernah melarangmu bertanya, mulai pertanyaan yang datang dari keresahan seperti mengapa kita bosan? Mengapa Tuhan tidak menjadikan semua orang masuk surga? Mengapa ada neraka? Atau bahkan pertanyaan yang paling kasar sekalipun. Pertanyaan itu disamping menandakan proses aktif dalam belajar, juga menandakan kamu diizinkan untuk mengatakan yang sebenarnya, sehingga kamu tidak takut jujur pada diri sendiri juga orang lain. Kamu tidak terpengaruh untuk ikut menjadi pembohong walaupun teman-temanmu suka berbohong. Dalam dirimu ada mutiara cemerlang bernama integritas. Kamu sudah terbiasa berkata dan berlaku jujur bahkan pada hal-hal yang kecil, dengan begitu kamu akan dipercaya untuk hal-hal yang besar.

Memang terkadang kamu ceroboh dan keras kepala, namun itu wajar karena kamu belum punya banyak pengalaman. Tentu dengan berjalannya waktu kamu bisa mengatasi kelemahan dan kekuranganmu. Satu hal yang harus selalu kamu ingat adalah masih banyak hal lain yang mengagumkan tentangmu dan kamu harus mencarinya sendiri. Aku berharap segala keinginan dan cita-citamu terwujud, namun jika kamu lelah, dunia menolak dan tidak menghargaimu, ingatlah akan selalu ada rumah dimana telingaku selalu bersedia mendengar keresahanmu, tanganku selalu terbuka untuk memeluk dan menerimamu apa adanya. Apa adanya.

Semoga Allah selalu menolong, memberi kekuatan, keselamatan dan kebahagiaan dalam hidupmu.

Kebutuhan akan Tuhan

Seorang kawan yang anaknya akan masuk kuliah bercerita bahwa saat ini ia ingin mendorong anaknya untuk lebih dekat dan butuh ibadah kepada Tuhan.
 
Saya bertanya mengapa ia menyimpulkan anak gadisnya tidak dekat kepada Tuhan? Ia menjawab, "Aku sering banget lihat Fita lebih ngedahuluin kerjaan sekolahnya daripada salat. Atau menunda-nunda ibadah karena melakukan hal lain."

"Jadi tanda orang sudah terpenuhi kebutuhan kepada Tuhan itu apa?" saya bertanya.

"Ya, dia jadi lebih giat ibadah. Tidak menunda-nunda dan gak perlu diingatkan untuk melakukan kewajiban kepada Tuhan."

Saya bisa memahami kesimpulan kawan saya, karena sebagai manusia, kita hanya bisa menilai dari apa yang terlihat, nahnu nahkumu bidzawahir wallahu yatawalla sarair, kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah menentukan apa yang tersembunyi di dalam hati. Sehingga ukuran saleh di mata manusia adalah terlihat saleh, terlihat rajin ibadah, terlihat rajin sedekah dan lain-lain.

"Tapi bukannya banyak amalan yang terlihat amalan akhirat, padahal itu amalan dunia, atau kebalikannya, amalan yang terlihat sebagai amalan dunia, padahal dimata Tuhan itu amalan akhirat?" saya bertanya tentang hadits nabi.

Ia tidak berkomentar, seperti menyetujui bahwa benar amalan dunia ataupun akhirat bukan ditentukan berdasar bentuk amalannya, tapi ditentukan oleh niat. Pada dasarnya banyak ulama yang tidak setuju ada pemisahan amalan dunia dan akhirat. Saya juga khawatir terhadap pemisahan amalan dunia dan akhirat berdasar bentuk amalan akan menyebabkan kerancuan berpikir. Agama tidak pernah memisahkan kedua amalan tersebut. Dunia dan akhirat adalah satu kesatuan. Apapun yang dikerjakan di dunia, akan mendapat ganjaran di akhirat.

Jadi menyatakan bahwa orang yang terlihat tidak banyak "ibadah" sebagai orang yang kurang butuh terhadap Tuhan tidak sepenuhnya benar. Karena ibadah bukan hanya semata-mata ibadah uluhiyah atau ibadah individual saja, bahkan ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual.

"Fita sekarang kuliah di Jogja dan sekalian aku pondokin di Afkaruna. Aku berharap dengan mondok, dia bisa lebih dekat kepada Tuhan. Tapi sekarang dia malah sibuk banget sama urusan kuliah. Aku baru tahu kalau ternyata kuliah Arsitek itu memang harus keliling mencari lokasi untuk pengamatan." Kawan saya kembali menjelaskan.

Tidak ada yang salah dari harapan kawan saya agar anaknya lebih dekat kepada Tuhan dengan giat salat, puasa, mengaji dan ibadah individual lain, tapi bukankah mencari ilmu, selama niat dan tujuannya untuk kebaikan, juga bisa sebagai sarana dekat kepada Tuhan? Rasulullah bersabda, “Mencari ilmu satu saat adalah lebih baik daripada salat satu malam, dan mencari ilmu satu hari adalah lebih baik daripada puasa tiga bulan” (HR. Ad-Dailami).

Saya pribadi juga mungkin pernah mengalami keresahan yang dialami kawan saya. Karena berdialog dengan anak adalah inti dari pendidikan Homeschooling, biasanya saya memulai dari pertanyaan atau keingintahuan anak. Saya senang mendengar, menjawab dan berdialog tentang keresahan anak-anak saya, karena selain itu menandakan keaktifan anak dalam belajar, keresahan dan pertanyaan adalah sarana untuk menjelaskan konsep. Anak-anak memahami dan mengingat konsep lebih baik ketika mereka belajar langsung dari pengalaman pribadi yang relevan. Keingintahuan atau kegelisahan adalah pengalaman yang paling real pada anak. Dalam hal ibadah misalnya, Nada waktu berusia 10 tahun pernah bertanya, kenapa kita harus beribadah kepada Allah? Itu adalah pertanyaan penting yang perlu dijawab dengan komperhensif. Karena apa guna ibadah tanpa pemahaman apalagi kesadaran?

Menurut saya, menjelaskan konsep dalam ibadah individual itu perlu, namun menjelaskan bahwa kesalehan sosial juga merupakan bentuk ibadah juga penting. Bukankah orang-orang yang bekerja keras untuk menyantuni janda dan orang-orang miskin, adalah seperti pejuang di jalan Allah, dan seperti orang yang terus menerus salat malam dan terus menerus puasa? (HR. Bukhari & Muslim). Pada hadits yang lain, Rasulullah juga bersabda kepada sahabat-sahabatnya, “Maukah engkau aku beritahukan derajat apa yang lebih utama daripada salat, puasa, dan sedekah? (para sahabat menjawab, tentu). Yaitu mendamaikan dua pihak yang bertengkar” (HR. Abu Dawud & Ibn Hibban). Selain itu, Rasulullah menegaskan bahwa ibadah individual tidak akan bermakna bila pelakunya melanggar norma-norma kesalehan sosial, “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kenyang, sementara tetangganya kelaparan, dan tidak masuk surga orang yang memutuskan silaturahim”. Sedangkan dalam Al-Quran, orang-orang yang salat akan celaka, bila ia menghardik anak yatim, tidak memberi makan orang-orang miskin, riya dalam amal perbuatan, dan tidak mau memberikan pertolongan kepada orang-orang lemah (Surat Al-Ma’un).

Saya banyak berdiskusi dengan kawan saya tentang pendidikan dan anak, apalagi saat ini Nada, yang saat ini berumur 12 tahun, akan tinggal terpisah dari orangtua, untuk mencari pengalaman hidup di pesantren. Sebelum memutuskan ke pesantren, Nada punya banyak kehawatiran

"Banyakin quality time bersama," Kawan saya menasehati saya untuk lebih banyak waktu berkualitas bersama Nada. Itu nasehat yang bagus dan berguna untuk orangtua di masa apapun. No meaningful learning occurs without a meaningful relationship, right?

Sampai sekarang saya masih terus belajar untuk mendengarkan, baik kepada kawan-kawan, istri bahkan anak. Saya sadar, terkadang saya melihat anak sebagaimana saya melihat diri sendiri di masa lalu. Saya melihat semua keburukan dan khawatir terjadi pengulangan atas semua yang menimpa di masa lalu. Padahal belum tentu yang orangtua anggap penting dianggap penting juga oleh anak. Dengan mendengarkan, orangtua belajar untuk mengetahui apa yang dirasakan penting oleh anak. Karena anak-anak, seperti juga orang dewasa, butuh didengarkan, dan mungkin pada beberapa keadaan melebihi kebutuhannya akan Tuhan. Seperti yang pernah ditulis Ralph G. Nichols, “The most basic of all human needs is the need to understand and be understood. The best way to understand people is to listen to them.”

Wallahu 'alam