Jumat, 26 Agustus 2022

Dua Film Thailand dan Satu Serial yang Hampir Thailand

Slamet merekomendasikan dua buah film thailand (Fast & Feel Love dan Happy Old Year) ketika di saat yang hampir bersamaan Kucey meminta saya menonton serial drama Korea berjudul Voice.

Fast & Feel Love dan Happy Old Year adalah dua film thailand yang disutradarai oleh Nawapol Thamrongrattanarit (jangan minta saya membaca apalagi menghapal nama itu), yang mengangkat isu hubungan cinta yang kandas.

"Lu emang suka film drama kayak gitu?" Tanya saya ke Slamet.

"Suka sih, Sir." Jawabnya cepat. Saat ini ia berusia 26 tahun, sudah lulus kuliah dan masih bekerja. Sewaktu SMP, ia pernah menjadi murid saya, maka ia tetap memanggil saya Sir. Sebagai egalitarian, saya tidak keberatan ia memanggil saya apapun dan saya sudah terbiasa memanggilnya sama seperti saya memanggil kawan-kawan lain.

"Relate sama kehidupan lu?" Saya tertawa.

"Sial!" ia kesal, "Bisa jadi. Kadang ya ngebayangin aja ntar kalo kejadian di gua gimana gitu,"

"Lu mo putus sama Refin?" Saya menggodanya.

"Astagaa!" Slamet kaget, "Nggak, Sir. Gak kepikiran putus. Lagi baik-baik aja."



Fast & Feel Love disajikan dalam nuansa komedi yang kuat namun tidak slapstik dan murahan, bahkan di beberapa adegan saya menangkap kesan satir dan gelap. Sinematografi dan pengambilan gambar di buat modern dengan warna pastel yang teduh, melengkapi adegan dan beberapa karakter yang sangat jelas sekali sedang memparodikan filem populer terkenal, bahkan sampai ke taraf Meta Comedy. Drama yang dimasukan, yang menjadi magnet kelucuan film ini memang terkesan lebay, namun disaat yang sama tetap memberikan bekas yang dalam.

Film ini bercerita tentang Kao, seorang juara dunia olahraga susun gelas yang dicampakkan oleh pacarnya dan harus belajar keterampilan dasar orang dewasa agar bisa hidup sendiri dan mengurus diri sendiri. Di akhir cerita, penonton terbawa emosi dengan resolusi yang menggantung namun juga dibuat senang akan perkembangan karakter Kao yang tumbuh menjadi manusia dewasa. Seperti kebanyakan kita yang tumbuh seiring dengan masalah serta orang-orang yang datang dan pergi di kehidupan, yang membuat kita menjadi lebih dewasa atau malah sadar bahwa kita terlambat dewasa.



Perpisahan yang pahit namun "baik-baik" saja juga disajikan Nawapol dalam Happy Old Year. Dibanding Fast & Feel Love, film ini lebih serius dan depresif walaupun juga masih menampilkan sedikit sisi komedi yang suram.

Saya penasaran serta punya ekspektasi tinggi ketika Slamet menceritakan premis Happy Old Year, dan itu terbayar lunas setelah saya selesai menonton. Film ini bercerita tentang Jean, wanita yang ingin mengubah design tempat tinggalnya menjadi minimalis, namun terbentur kenyataan bahwa membuang barang-barang dari masa lalu tidak semudah yang ia bayangkan, karena setiap benda punya cerita dan kenangan.

Pada beberapa adegan, penonton dibuat ikut merasakan kecanggungan, kegugupan, getaran dalam suara, serta konflik dalam klimaks yang terasa dekat karena dibuat dengan dialog datar tanpa teriakan namun berbobot, membuat nyeri dan menggugah. Itu yang membuat film ini menjadi halus, dalam serta mengaduk perasaan.

Minimalisme yang diusung film ini bukan hanya terwakili dari tampilan layar yang diubah menjadi 4:3, menurunkan kontras warna serta memasukan tema usang tentang melupakan masa lalu, namun juga karena peristiwa di dalamnya begitu sederhana, relevan, nyata bahkan sangat puitis. Ada sebuah benda metaforis yang kokoh memberikan nuansa seperti puisi dalam film ini, jika dalam Parasite metafora itu berbentuk batu, dalam film ini berbentuk piano. Ada shoot sekitar 1 menit yang hanya menampilkan wajah Jane dengan segala emosi di dalamnya. Betapa wajah bisa menapilkan visualisasi emosi yang tidak bisa dilukiskan oleh gambaran secanggih apapun.

Seperti dunia minimalis, film ini menyempitkan pandangan para karakter kepada dunia yang hitam putih, antara membuang dan melupakan, atau mengenang dan menyimpan. Dua ekstrim mutlak yang tidak punya resolusi jalan tengah. Tidak ada persahabatan, pilihannya antara meneruskan atau melupakan.

Itu sama seperti ketika saya akan memutuskan apakah akan memeruskan atau melupakan serial rekomendasi Kucey yang belum sempat saya tonton habis. So many movies and books, so little time, kata saya kepadanya melalui pesan WA.

"Mister Nailal jangan lupa nonton Voice," Sebelumnya Kucey meminta dengan emotikon berharap. Ia mungkin seumur dengan Slamet, dan tidak pernah jadi murid saya, tapi entah mengapa ia memanggil saya Mister. Saya tidak keberatan dipanggil apapun, but I've never felt like I was any teacher for her.

Voice adalah drama thriller asal Korea yang juga sudah diadaptasi ke Thailand. Serial yang tayang sejak 2017 ini bercerita tentang seorang detektif urakan dan seorang operator Emergency Call Centre dengan bakat mengenali suara, bekerja sama untuk menangkap penjahat yang membunuh orang yang mereka cintai. Saya menggoda Kucey yang merupakan fangirl NCT dengan menampilkan screenshot Voice versi Thailand, tapi sepertinya ia sedang tidak ingin bercanda, atau memang selera humor kami yang berbeda.

Saya sadar akan konsekuensi Cancel Culture karena mengolok-olok fandom K-Drama, namun bagi saya, lucu adalah ketika di telinga masih hangat terngiang "swadikaap", saya membuka Netflix dan menemukan Voice versi Thailand yang menampilkan adegan awal yang klise dengan penjahat psycho tapi dungu karena tidak menyita handphone dari orang yang ia culik. Saya sempat berharap mungkin akan lebih menarik jika sepanjang episode para karakter mengucapkan swadikap saja sebanyak-banyaknya.

Sungguh saya tidak terbiasa mendengar bahasa Thailand atau Korea. Bahkan ketika menonton Money Heist --yang saya lebih suka versi Korea dibanding Prancis, saya men-dubbing dengan Bahasa Inggris. Senang sekali bisa mendengar tokoh-tokohnya fasih berbahasa Inggris dan bisa mengucapkan huruf akhir tanpa suku kata dengan benar. Mantap! Bukan Mantapu!

Sejujurnya, Voice versi Thailand jauh lebih saya suka karena ia menghilangkan atau mengganti adegan, drama serta dialog yang tidak perlu pada versi Korea, disamping juga membuat alur dan logika cerita menjadi lebih jernih. Di episode perdana, kemampuan unik Irin/Lee Hana membuat saya teringat Patrick Jane dalam The Mentalist yang mencari psikopat pembunuh istri dan anaknya dengan keahlian mentalisme, atau crime serial Amerika seperti Castle, Lie to Me, Forever, atau Perception, yang menggunakan keahlian unik para protagonis untuk memecahkan masalah kriminal. Satu hal yang mungkin paling kentara membedakan Voice dengan serial kriminal Amerika adalah ia menyajikan ketegangan dari hasil perpaduan sound, pengambilan gambar dan pemotongan adegan yang bisa membuat penikmatnya kecanduan.

Araseo!




Selasa, 23 Agustus 2022

Tokoh Kita

Mari kita sebut ia Tokoh Kita. Penduduk dekat rumah memanggilnya ustad, boleh juga kalau kita panggil Ustad Kita.

Suatu hari ada seorang yang datang kepadanya bercelana pendek, bertelanjang dada. Ia selempangkan kaus di bahu. Dengan kondisi setengah mabuk, ia berteriak, “Ustaaad, gua mau tobaaat.”

Tokoh Kita yang mendengar suara gaduh itu keluar dari dalam rumah kemudian menghampiri.

“Beneran lu mo tobat?” tanya Ustad Kita.

“Beneraan…” Jawabnya panjang, “Gua mau tobaat. Ajarin gua. Gua harus ngapain?”

“Masih inget cara wudhu?” Ustad Kita kembali bertanya.

“Masih, Taad.”

“Coba gua mao liat.” Ustad Kita mengambilkan selang air kemudian mengocorkan air ke arahnya. Ia berwudhu dengan tertib dan selesai.

Ustad Kita meneruskan, “Nah bagus, lu masih bisa wudhu. Mulai sekarang, jangan pernah batal wudhu ya. Pokoknya setiap lu batal, wudhu lagi. Batal, wudhu lagi.”

“Itu aja, Tad?”

“Iya, itu aja. Sanggup?”

“Sanguuup.”

“Alhamdulillah.”

Pada waktu yang berbeda, seorang yang penuh tato di sekujur badannya juga pernah mengunjungi Ustad Kita. Ia bilang kalau ia sering berjudi, berzina dengan istri orang dan memakai narkoba. Ustad Kita menyarankan, “Jangan kalo narkoba. Jangan. Kalo yang lain gak papa, masih boleh.”

“Beneran, Tad?” Ia bertanya heran.

“Iya, beneran. Pokoknya kalo narkoba jangan. Kalo begini,” Ustad Kita membuat gestur mengepal dengan memasukan jari jempol diantara jari telunjuk dan tengah, “masih boleh.”

Pria Bertato itu menjalankan nasihat Ustad Kita dan tidak lama kemudian ia juga meninggalkan judi dan zina yang sering ia lakukan, kemudian ikut mengaji kepada Ustad Kita. Begitu juga dengan Pria Telanjang Dada. Ia masih melakukan dosa-dosa lain ketika men-dawam-kan wudhu, namun perlahan-lahan hatinya mulai terketuk untuk melaksanakan salat dan meninggalkan maksiat.

Itu salah satu karomah dari Ustad Kita yang mungkin bagi kebanyakan orang yang terlalu kaku dengan penerapan syariat dianggap sesat. Tentang karomah, sebagai seorang muslim harusnya menganggap biasa saja, karena itu salah satu bukti keberadaan Tuhan disamping juga merupakan ujian. Memang terkadang keyakinan kita perlu pembuktian, dan kadang kepercayaan kita diuji dengan hal yang mengherankan. Nabi pernah bersabda, pertimbangkanlah firasat orang mukmin, karena mereka memandang dengan cahaya Tuhan. Maka jika kamu melihat seorang yang punya firasat yang sangat tepat sehingga seakan-akan bisa melihat masa depan, siapa yang akan kamu puji? Siapa yang harusnya kamu takuti?

Kembali pada penjelasan kelakuan "aneh" Ustad Kita, saya bisa menjelaskan alasan syar'i di balik tindakan-tindakan itu, tapi saya tidak bisa merubah pikiran orang-orang yang sudah terlanjur ignorance.

Orang-orang yang mempelajari Islam pasti paham bahwa penerapan syariat boleh bertahap. Ada kaidah Fiqh (hukum Islam) yang berbunyi, maa laa yudroku kulluhu la yutroku kulluhu, apa yang tidak bisa dilakukan semuanya, jangan ditinggalkan semuanya. Maksudnya, jika seseorang tidak bisa melakukan suatu amalan secara sempurna, maka tidak mengapa melaksanakan sebagian saja sesuai dengan kemampuan.

Saya menduga itu alasan Ustad Kita meminta men-dawam-kan wudhu kepada si Telanjang Dada. Saran ini sangat terkait dengan psikologi manusia, Ustad Kita bisa menilai kemampuan seseorang sebelum ia membebankan hal yang lebih sulit. Saya membayangkan jika saat pemabuk itu datang, Ustad Kita mewajibkan untuk melakukan wudhu, salat, puasa, zakat dengan sempurna sebagai syarat taubat, mungkin saja dilaksanakan, namun tidak akan bertahan lama, selanjutnya ia akan semakin menjauh dari Ustad Kita.

Ada juga kaidah "Menghilangkan kerusakan didahulukan daripada mengambil manfaat". Maksudnya, seseorang diperbolehkan melakukan sesuatu yang sebelumnya dilarang untuk menghindari kerusakan yang lebih besar. Dalam hal ini, Ustad Kita dihadapkan pada orang yang melakukan 3 keburukan; zina, judi dan narkoba. Diantara 3 keburukan itu, narkoba adalah yang paling berbahaya karena ia merusak akal. Sementara hifdzul aqli atau menjaga akal adalah maqasidu syariah (tujuan penerapan syariat) yang utama.

Mengapa menjaga akal adalah tujuan syariat paling utama? Karena agama ada untuk orang-orang yang berakal. Islam adalah agama fitrah, kepercayaan kepada Tuhan adalah fitrah, maka selama seseorang menggunakan akal, suatu saat mungkin ia akan sampai pada hidayah. Itu sebabnya menjaga akal agar tidak rusak penting dalam agama. Tidak berarti zina dan judi bukan perbuatan buruk, namun diantara perbuatan-perbuatan buruk, mengkonsumsi narkoba adalah hal yang paling tinggi resikonya untuk menghilangkan akal. Ketika akal sudah tidak ada, maka keburukan atau kejahatan lain akan sangat mudah dilakukan. Sebaliknya jika akal pikiran manusia terjaga, ia akan sampai pada suatu titik dimana akhirnya ia sadar bahwa perbuatan buruk akan juga berdampak buruk bagi diri sendiri, karena tidak sesuai fitrah dalam nuraninya.

"Berapa lama sih orang akan bertahan untuk terus berjudi dan berzina selama dia punya akal yang waras?" Tanya Ustad Kita retoris.

Saya manggut tanpa menjawab. Saya mengerti hanya ustad kampung yang punya mental serta dekat dan punya pengalaman langsung dengan masyarakat yang bisa memahami ini. Perjuangan di tengah masyarakat tidak ada yang instan. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk membangun kepercayaan dan kecintaan mereka. Ustad di Menara Gading, terkadang luput memahami ini.

Ustad, kiyai, atau gus yg berjarak dan jauh dari masyarakat atau murid akan putus asa mengatasi pertanyaan sederhana; apa yang dilakukan kepada santri, murid atau masyarakat yang masih berbuat buruk?

Saya ingat Gus Baha ketika bercerita tentang santri yang badung. Ia bilang, “Saya dididik bapak, kalau ada santri nakal, saya biarkan."

Para kiyai atau gus bisa memilih, apakah menjauhi tidak mau mengurusi murid, santri atau masyarakat yang bermasalah, atau terjun, mendekat, memahami psikologi mereka seraya mendoakan dan memberi pencerahan. Di sini dibutuhkan kesabaran serta ketawadhuan dengan mengingat bahwa semua manusia sama dimata Tuhan, dan tidak ada yang tahu akhir hidup masing-masing.

Tokoh Kita memahami tabiat manusia. Kebaikan bisa dijalankan perlahan-lahan, syariat bisa diterapkan secara bertahap. Selama hal yang utama, yaitu pengharapan pada Tuhan terus dijaga, segala hal lain masih punya optimisme untuk bisa diperbaiki. Keyakinan yang lurus akan Tuhan adalah yang utama karena membuat semua perbuatan manusia punya arti. Lebih jauh, keyakinan dan cinta pada Tuhan dan Nabi bisa mengantarkan manusia pada kebahagiaan sejati.

Butuh keluasan hati akan cinta pada sesama untuk bisa melakukan itu. Dalam khazanah tasawuf, kita familiar dengan cerita para sufi yang melakukan kebaikan kepada orang lain bahkan pada taraf yang tidak masuk akal. Ya, tanda seseorang penuh mahabbah pada Tuhan tercermin melalui kecintaan kepada manusia. Dalam istilah Gus Mus; memanusiakan manusia. Sementara dalam istilah Gus Dur; humanis.

Itu sebabnya terkadang saya memanggil Ustad Kita habib, bukan karena ia punya silsilah sebagai dzurriyah nabi Muhammad, tapi karena ia bisa mencintai manusia apa adanya, sehingga cinta itu selalu kembali padanya.

Wallahu a'lam.

Rabu, 17 Agustus 2022

Lebih Baik Ikan Julung-Julung di Tangan Daripada Ikan Kakap tapi Lepas

Saya tiba ketika mereka bertiga sedang asik menyiapkan berbagai piranti pancing yang akan dibawa.

Kami sepakat untuk memancing dan menjadikan rumah Oechil sebagai basecamp. Kami berangkat menggunakan dua motor. Edo dan Deni di satu motor kemudian Oechil dan saya di motor yang lain. Perjalanan berlangsung normal sampai Oechil mengajak melewati galangan tambak.

Oechil yang mengendalikan motor, berhenti di tengah galangan, "Diem, Mi. Jangan bergerak."

"Bangsat Lu, Chil!" saya memaki, mematung tegang karena kami berjalan di atas tanah selebar jengkalan tangan.

Oechil membalas dengan tawa.

Jika tiba-tiba motor mati, maka tidak akan ada pijakan lain untuk kaki dan kami akan tercebur bersama. Atau sedikit saja saya yang duduk di kursi belakang melakukan gerakan tiba-tiba, motor bisa tidak stabil dan kami berdua bisa berakhir penuh lumpur. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir, karena toh itu motor Oechil dan kalaupun jatuh, kami jatuh berdua. Saya lebih mengkhawatirkan Si Buncit Edo dan Deni yang mengikuti di belakang dengan wajah pucat, tidak bisa turun untuk menuntun motor, apalagi putar balik.

Hari itu saya tidak jadi menonton dua ekor kerbau gupak di lumpur.

Kami tiba di warung tepi muara untuk naik perahu. Di sampan menuju spot pemancingan, kami melewati deretan tanaman bakau, dan beberapa tanaman perdu. Saya mengamati pucuk dedaunan berharap menemukan hewan liar seperti monyet atau burung, tapi nihil. Saya mengalihkan pandangan ke sudut-sudut tepian muara berharap menemukan buaya.

"Masih ada buaya di sini, Chil?" Saya bertanya ke penguasa lokasi.

"Hus, jangan disebut!" Oechil melarang.

"Beneran ketemu, lu!" Deni Bagong menimpali.

"Orang sini nyebutnya Penganten." Edo lebih informatif dan solutif.

"Ohh," Saya pikir mengganti kata buaya dengan Penganten akan lucu dan malah semakin menyakiti hati buaya. Apa yang lebih menghinakan buaya yang hidup penuh kebebasan selain disamakan dengan kata yang arti sebenarnya adalah orang yang meninggalkan masa lajang karena memilih menghadapi masalah hidup yang belum pernah mereka hadapi?

Saya membayangkan ada orang yang lari terengah-engah menyelamatkan diri karena kawannya baru saja dimakan buaya, dan melapor ke orang-orang di warung kopi di sekitar muara. "Bang, tolong, Bang! Kawan saya dimakan Penganten!"

Tidak ada yang lebih lucu dibanding orang mati karena dimakan Penganten. Apalagi Penganten Sunat.

"Kalo gua nyebutnya Crocodile, kira-kira buayanya paham gak?" Saya usil bertanya.

Bagong dan Edo hanya melihat saya dengan tatapan dasar-bocah-bego!.

Kami sampai spot memancing di ujung muara waktu asar, kemudian segera mempersiapkan alat-alat pancing. Deni mulai merangkai dan meminjami saya salah satu alat pancingnya. Ia mengajari saya cara membuat kombinasi dan simpul yang mengikat senar ke kail dan kili-kili.

Kami akan Ngoncer atau memancing menggunakan umpan hidup, sementara hanya Oechil sendiri yang kali itu ingin mencoba teknik Casting menggunakna umpan tiruan. Namun sebagai tuan rumah, Oechil tetap meminta anak buahnya untuk menyiapkan udang. Edo mengeluarkan aerator portable untuk diletakan di tempat umpan agar udang tetap hidup bahkan sampai esok hari. Ya, hari itu kami akan menginap dan memancing sepanjang sore, malam dan esok pagi.

Saya mengamati mereka bertiga yang sedang asik menyiapkan alat yang beberapa baru saya lihat kali itu. Sudah lama sekali saya tidak memancing. Dulu ketika SD, saya sering memancing ikan di sawah dengan hanya bermodal joran bambu yang saya buat seadanya, senar yang mengikat pumbul dan kail menggunakan teknik simpul sekedarnya, tanpa reel, timah, stopper, kincringan, apalagi starlight.

Berbeda dengan memancing dengan cara modern, memancing dengan cara tradisional menurut saya lebih mendebarkan. Joran lebih ringan dan tipis, sehingga kedutan dan hentakan yang terasa karena ikan memakan umpan lebih menggetarkan sanubari. Ya, saya tahu itu lebay. Namun itu adalah pengalaman ekstase yang membuat ketagihan dan betah memancing berjam-jam.

Itu kali pertama saya memancing di muara dan sepertinya Edo meremehkan saya.

"Tau gak lu ini apa namanya?" Edo sombong, memperlihatkan box berisi piranti pancing. Deni bercerita bawa Edo baru membeli reel, dan joran yang ia punya adalah hasil pemberian kawan kami Moses Si Dewa Mancing, makanya dia agak sombong.

Tapi dia sombong kepada orang yang salah, karena tidak menunggu lama sampai saya strike pertama. Ikan Lundu. Kecil. Ya, sekecil apapun strike tetap strike.



Ikan Lele laut atau disebut juga Ikan Lundu atau Keting rata-rata beracun. Duri punggung atas dan dua sirip dada dapat menimbulkan luka yang menyakitkan bahkan fatal.

Samin, pekerja di tambak bahkan bercerita kalau obat satu-satunya adalah suntikan dokter. Namun jika mau bertahan, rancunnya mungkin akan hilang dalam 24 jam. Dalam waktu-waktu tersebut, menangislah sekeras-kerasnya karena hanya itu yang dapat mengurangi panas bisanya.

"Memang yang penting itu bukan alat, tapi skill. Itu yang membedakan antara Angler profesional dan amatir!" saya membalas kesombongan Edo sambil tertawa.

"Keberuntungan pemula!" Edo merespon seperti enggan mengakui pencapaian saya.

Tidak lama kemudian, saya strike ikan kedua, "Kalau sekali itu keberuntungan pemula. Kalau dua kali apa namanya, Bung?"

Edo manyun karena ia belum dapat ikan seekorpun. Bahkan sampai keesokan paginya ia masih Boncos. Ia hanya mendapat dua ikan kecil sesaat sebelum kami pulang pada siang hari. Entah ikan apa. Mungkin Julung-Julung.

"Ada kaidah, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi dua kali. Tapi apa yang terjadi dua kali akan terjadi untuk ketiga kali." kata saya sambil melemparkan kembali umpan.

"Gua suka gaya lu!" Edo nyengir.

Benar saja, saya mendapat ikan lagi setelah itu.

Menit berjalan lambat. Itu Malam Satu Suro, dan menurut saya sama saja seperti malam-malam sebelum itu. Sama seperti fakta bahwa itu hari ulang tahun saya, dan menurut saya sama saja seperti hari-hari sebelum itu. Hari pertemuan, hari perpisahan, bagi orang lain akan terasa sama saja, karena yang membuat itu spesial adalah perasaan.

Malam itu angkasa penuh bintang. Deni bilang kalau suasananya tenang seperti suasana malam di gunung. Tentu ada bedanya, di gunung, di ketinggian tertentu, tidak akan ada nyamuk, sementara nyamuk muara sungguh gila.

Makin malam, suasana makin sepi, nyamuk makin hilang, hanya gemericik air dan suara percakapan kami. Sambil makan Timbel yang sudah disiapkan istri Oechil, kami mengenang masa lalu. Masa-masa di pesantren ketika kebahagiaan kami lebih sederhana; diajak makan Timbel kawan yang baru dijenguk orang tua. Sementara masalah terberat kami juga lebih sederhana; kebagian jadwal Muhadloroh.

Sekarang kami semua sudah berkeluarga. Masalah berganti, yang dulu kami anggap masalah kecil sekarang jadi besar, begitu juga masalah yang dulu kami anggap besar sekarang jadi kecil. Urusan salah meletakan handuk sehabis mandi atau sendal sehabis keluar rumah bisa menjadi masalah besar bagi yang sudah berkeluarga.

"Gua mah bingung. Ada aja orang yang bilang, 'enak banget hidup lu mah, Te'" Deni Bagong, RT yang malam itu seharusnya mengurus pawai obor tapi malah kabur mancing, memulai cerita. "Lah mo gimana lagi, kata gua. Elu hidup banyak duit, laki-bini kerja, masih ada bisnis sampingan, lah harusnya mah lebih enak hidup lu daripada gua. Lah gua bayar pajak mobil aja harus jual motor."

Edogawa lebih suram. Ia mengundurkan diri dari pekerjaan tetapnya sebagai guru dan sepertinya juga kehilangan selera untuk kembali menjadi kacung. Saat ini perkejaannya mengojek, namun pekerjaan utama tetap sama; berkhayal.

Oechil tidak banyak bercerita malam itu. Dari kami bertiga, ia satu-satunya yang sangat fokus memancing. Ia bahkan tidak tidur semalaman dan strike 3 Monster Keting seukuran lengan orang dewasa. Saya terlonjak dari tidur-ayam ketika pukul 2 dini hari ia mencabuti patil Keting beracun menggunakan tang.

Oechil tidak bercerita tentang kepahitan hidupnya, bukan karena tidak punya, tapi karena memang ia tidak mau cerita. Menurut saya semua orang punya masalah, maka saya tidak mengerti mengapa ada orang yang menginginkan kehidupan orang lain. Tidak ada orang yang sempurna, dan kehidupan orang lain selalu terlihat lebih baik. Seperti kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau daripada rambut tetangga.

"Gua bingung sama Edo!" Deni bercerita ke saya waktu kami hanya berdua, "Mo gua cariin kerja, tapi mo kerja apa? Gua takut dia gak cocok. Lu tau sendiri bocahnya kayak gitu."

"Elu bukan orang pertama yang curhat ini ke gua, Gong!" Saya cekikikan. "Apa yang buat lu yakin dia lagi susah dan butuh kerja?"

"Ya lu bayangin aja, gua pernah ngojek, Mi. Paling berapa sih penghasilannya? Dia sarjana loh!"

Saya mau mengulang pepatah rumput tetangga, tapi takut tidak lucu, "Kita kan ngeliatnya dari luar, Gong. Siapa tau dia lebih bahagia sekarang. Gua sih ngeliatnya begitu, tapi gua yakin setiap orang akan tiba pada kata cukup. Biarin aja sekarang dia nikmatin hari-harinya."

Masalah hidup akan datang silih berganti. Tahun-tahun yang angkuh terus berjalan maju meninggalkan umur yang angkanya terus membesar, tanpa peduli manusia-manusia yang tidak siap. Saya belajar, seharusnya saya lebih peduli pada apa yang ada dalam diri sendiri daripada mengkhawatirkan apa yang ada di luar. Kita tidak bisa mengontrol apa yang ada di luar, tapi kita bisa mengendalikan pikiran sendiri.

Pikiran dan intensi adalah yang terpenting. Pada tataran praktis, itu sebab orang mengganti Buaya menjadi Penganten. Saya tahu pergantian nama itu untuk mengakali law of attraction. Hukum atau konsep yang menyatakan bahwa pemikiran positif akan berdampak positif bagi kehidupan seseorang, begitu juga pemikiran negatif. Walaupun menurut saya dampak yang ditimbulkan adalah dampak psikologis, sugesti atau plasebo semata.

Tidak akan ada orang yang melarangmu untuk berpikir bahawa hidupmu sulit, pekerjaanmu selalu menyusahkan, dan kehidupanmu penuh kesengsaraan. Sama juga tidak ada yang melarangmu untuk berpikir bahwa kehidupanmu baik-baik saja, dan kamu bahagia apapun keadaanmu.

"Mi, strike, Mi!" Deni memecahkan lamunan saya. Ujung joran yang dipasang starlight bergoyang-goyang. Saya mengangkat joran dan mulai menggulung reel. Gulungan terasa berat, joran semakin melengkung. Ini pasti Monster, kata saya dalam hati. Tarikan semakin kuat, gulungan reel semakin berat, joran makin melengkung. Saya bertarung, menarik joran sekuat tenaga, tapi tiba-tiba gulungan terasa ringan dan makin ringan. Senar putus dan ikan besar Mocel.

Kata para pemancing, hidup itu seperti memancing, kadang mendapat ikan besar, kadang kecil, kadang terlepas, jadi harusnya kita bisa bersyukur. Seperti pribahasa, lebih baik ikan julung-julung di tangan daripada ikan kakap tapi lepas. Sementara masalah hidup itu seperti Racun Lundu, jika mau bertahan, rancunnya mungkin akan hilang, dan dalam waktu-waktu tersebut, menangislah sekeras-kerasnya karena hanya itu yang dapat mengurangi panas bisanya.






Rabu, 03 Agustus 2022

Langit dari Roof Top




Saya senang memandang langit dari roof top karena membuat saya merasa kecil. Saya senang merasa kecil.

Banyak hal yang membuat saya merasa kecil. Salah satunya jika berhadapan dengan seseorang. Bukan orang yang berkedudukan tinggi atau punya banyak harta. Tapi terutama orang-orang biasa.

Namanya Hasan. Ayah dari 3 orang putra. Ketika ia bercerita tentang anak pertamanya yang autis, saya kembali merasa kecil. Saya berbincang dengan Hasan di sebuah taman pada saat mengantar Nada bertemu guru dan kawan-kawan sekolah. Saya bilang, "Saya kagum sama orang tua yang tetap tegar dengan apapun kondisi anaknya." Ia hampir menangis mendengar itu.

Pada kesempatan yang lain saya yang menangis karena orang sederhana atas nama Rois bilang, "Jangan ada lagi bayi yang dibuang di negeri ini."

Ia adalah pendiri Panti Asuhan Manarul Mabrur di Semarang. Awalnya panti asuhan itu diperuntukan untuk anak-anak jalanan, namun pada tahun kedua panti itu berdiri ada seorang pelajar hamil yang datang dan ingin menyerahkan bayinya jika sudah lahir. Setelah itu, beberapa orang mengenal panti itu sebagai tempat penitipan bayi yang tidak diinginkan, sebagai menampung bayi di luar nikah, atau pengurus bayi yang tidak mampu diurus orang tuanya.

Pernah ada sepasang tunawisma yang datang pada Pak Rois yang meminta bantuan untuk melahirkan anak mereka. Sepasang tunawisma itu tidak punya KTP, tidak punya uang, bahkan tidak punya tempat untuk pulang. Mereka tidur di depan pertokoan yang sudah tutup di malam hari, sementara siangnya mereka mencari sesuap nasi dari mengamen atau melakukan banyak hal. Setelah anak mereka lahir, mereka menitipkannya di panti.

Saya menangis. Ada dua hal yang tidak pernah gagal membuat saya menangis, Nabi dan anak-anak. Jadi ketika saya melihat Pak Rois, orang yang sederhana itu, mengurus bayi-bayi yang tidak diinginkan orang tua mereka, merawat seperti ia merawat anak-anaknya sendiri, tidak memberikan ijin bagi yang ingin mengadopsi kecuali orang tua atau keluarga bayi-bayi itu sendiri, menyekolahkan mereka sampai sarjana, maka saya menangis.

Saya melihat anak-anak itu tumbuh dengan sehat, merasakan betapa berat mengurus puluhan bayi yang jika satu bayi sakit mudah menularkan pada bayi-bayi lain, mengerti akan sulitnya mencari dana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, memahami pengorbanan waktu yang hampir 24 jam habis untuk mengurusi anak-anak yang bukan darah daging sendiri. Apa sebenarnya yang membuat Pak Rois bertahan dengan semua itu. Ia menjawab dengan tenang, "Kami bertahan sampai hari ini karena kami mencintai negeri ini dan sangat menyayangi apa yang ada di dalamnya. Kami akan sangat bahagia ketika anak-anak ini tumbuh menjadi anak-anak yang baik di negeri ini, dan mencintai semua manusia yang ada di dalamnya."

Itu yang akhirnya membuat saya menangis dan merasa sangat kecil. Saya merasa hanya kekuatan langit yang bisa membuat orang-orang seperti Pak Rois bertahan. Sambil melihat langit di atas roof top, saya berdoa semoga makhluk yang ada di langit selalu menyayangi makhluk yang senantiasa memberi kasih sayang di bumi.