Kami sepakat untuk memancing dan menjadikan rumah Oechil sebagai basecamp. Kami berangkat menggunakan dua motor. Edo dan Deni di satu motor kemudian Oechil dan saya di motor yang lain. Perjalanan berlangsung normal sampai Oechil mengajak melewati galangan tambak.
Oechil yang mengendalikan motor, berhenti di tengah galangan, "Diem, Mi. Jangan bergerak."
"Bangsat Lu, Chil!" saya memaki, mematung tegang karena kami berjalan di atas tanah selebar jengkalan tangan.
Oechil membalas dengan tawa.
Jika tiba-tiba motor mati, maka tidak akan ada pijakan lain untuk kaki dan kami akan tercebur bersama. Atau sedikit saja saya yang duduk di kursi belakang melakukan gerakan tiba-tiba, motor bisa tidak stabil dan kami berdua bisa berakhir penuh lumpur. Sebenarnya saya tidak terlalu khawatir, karena toh itu motor Oechil dan kalaupun jatuh, kami jatuh berdua. Saya lebih mengkhawatirkan Si Buncit Edo dan Deni yang mengikuti di belakang dengan wajah pucat, tidak bisa turun untuk menuntun motor, apalagi putar balik.
Hari itu saya tidak jadi menonton dua ekor kerbau gupak di lumpur.
Kami tiba di warung tepi muara untuk naik perahu. Di sampan menuju spot pemancingan, kami melewati deretan tanaman bakau, dan beberapa tanaman perdu. Saya mengamati pucuk dedaunan berharap menemukan hewan liar seperti monyet atau burung, tapi nihil. Saya mengalihkan pandangan ke sudut-sudut tepian muara berharap menemukan buaya.
"Masih ada buaya di sini, Chil?" Saya bertanya ke penguasa lokasi.
"Hus, jangan disebut!" Oechil melarang.
"Beneran ketemu, lu!" Deni Bagong menimpali.
"Orang sini nyebutnya Penganten." Edo lebih informatif dan solutif.
"Ohh," Saya pikir mengganti kata buaya dengan Penganten akan lucu dan malah semakin menyakiti hati buaya. Apa yang lebih menghinakan buaya yang hidup penuh kebebasan selain disamakan dengan kata yang arti sebenarnya adalah orang yang meninggalkan masa lajang karena memilih menghadapi masalah hidup yang belum pernah mereka hadapi?
Saya membayangkan ada orang yang lari terengah-engah menyelamatkan diri karena kawannya baru saja dimakan buaya, dan melapor ke orang-orang di warung kopi di sekitar muara. "Bang, tolong, Bang! Kawan saya dimakan Penganten!"
Tidak ada yang lebih lucu dibanding orang mati karena dimakan Penganten. Apalagi Penganten Sunat.
"Kalo gua nyebutnya Crocodile, kira-kira buayanya paham gak?" Saya usil bertanya.
Bagong dan Edo hanya melihat saya dengan tatapan dasar-bocah-bego!.
Kami sampai spot memancing di ujung muara waktu asar, kemudian segera mempersiapkan alat-alat pancing. Deni mulai merangkai dan meminjami saya salah satu alat pancingnya. Ia mengajari saya cara membuat kombinasi dan simpul yang mengikat senar ke kail dan kili-kili.
Kami akan Ngoncer atau memancing menggunakan umpan hidup, sementara hanya Oechil sendiri yang kali itu ingin mencoba teknik Casting menggunakna umpan tiruan. Namun sebagai tuan rumah, Oechil tetap meminta anak buahnya untuk menyiapkan udang. Edo mengeluarkan aerator portable untuk diletakan di tempat umpan agar udang tetap hidup bahkan sampai esok hari. Ya, hari itu kami akan menginap dan memancing sepanjang sore, malam dan esok pagi.
Saya mengamati mereka bertiga yang sedang asik menyiapkan alat yang beberapa baru saya lihat kali itu. Sudah lama sekali saya tidak memancing. Dulu ketika SD, saya sering memancing ikan di sawah dengan hanya bermodal joran bambu yang saya buat seadanya, senar yang mengikat pumbul dan kail menggunakan teknik simpul sekedarnya, tanpa reel, timah, stopper, kincringan, apalagi starlight.
Berbeda dengan memancing dengan cara modern, memancing dengan cara tradisional menurut saya lebih mendebarkan. Joran lebih ringan dan tipis, sehingga kedutan dan hentakan yang terasa karena ikan memakan umpan lebih menggetarkan sanubari. Ya, saya tahu itu lebay. Namun itu adalah pengalaman ekstase yang membuat ketagihan dan betah memancing berjam-jam.
Itu kali pertama saya memancing di muara dan sepertinya Edo meremehkan saya.
"Tau gak lu ini apa namanya?" Edo sombong, memperlihatkan box berisi piranti pancing. Deni bercerita bawa Edo baru membeli reel, dan joran yang ia punya adalah hasil pemberian kawan kami Moses Si Dewa Mancing, makanya dia agak sombong.
Tapi dia sombong kepada orang yang salah, karena tidak menunggu lama sampai saya strike pertama. Ikan Lundu. Kecil. Ya, sekecil apapun strike tetap strike.
Ikan Lele laut atau disebut juga Ikan Lundu atau Keting rata-rata beracun. Duri punggung atas dan dua sirip dada dapat menimbulkan luka yang menyakitkan bahkan fatal.
Samin, pekerja di tambak bahkan bercerita kalau obat satu-satunya adalah suntikan dokter. Namun jika mau bertahan, rancunnya mungkin akan hilang dalam 24 jam. Dalam waktu-waktu tersebut, menangislah sekeras-kerasnya karena hanya itu yang dapat mengurangi panas bisanya.
"Memang yang penting itu bukan alat, tapi skill. Itu yang membedakan antara Angler profesional dan amatir!" saya membalas kesombongan Edo sambil tertawa.
"Keberuntungan pemula!" Edo merespon seperti enggan mengakui pencapaian saya.
Tidak lama kemudian, saya strike ikan kedua, "Kalau sekali itu keberuntungan pemula. Kalau dua kali apa namanya, Bung?"
Edo manyun karena ia belum dapat ikan seekorpun. Bahkan sampai keesokan paginya ia masih Boncos. Ia hanya mendapat dua ikan kecil sesaat sebelum kami pulang pada siang hari. Entah ikan apa. Mungkin Julung-Julung.
"Ada kaidah, apa yang terjadi sekali tidak akan terjadi dua kali. Tapi apa yang terjadi dua kali akan terjadi untuk ketiga kali." kata saya sambil melemparkan kembali umpan.
"Gua suka gaya lu!" Edo nyengir.
Benar saja, saya mendapat ikan lagi setelah itu.
Menit berjalan lambat. Itu Malam Satu Suro, dan menurut saya sama saja seperti malam-malam sebelum itu. Sama seperti fakta bahwa itu hari ulang tahun saya, dan menurut saya sama saja seperti hari-hari sebelum itu. Hari pertemuan, hari perpisahan, bagi orang lain akan terasa sama saja, karena yang membuat itu spesial adalah perasaan.
Malam itu angkasa penuh bintang. Deni bilang kalau suasananya tenang seperti suasana malam di gunung. Tentu ada bedanya, di gunung, di ketinggian tertentu, tidak akan ada nyamuk, sementara nyamuk muara sungguh gila.
Makin malam, suasana makin sepi, nyamuk makin hilang, hanya gemericik air dan suara percakapan kami. Sambil makan Timbel yang sudah disiapkan istri Oechil, kami mengenang masa lalu. Masa-masa di pesantren ketika kebahagiaan kami lebih sederhana; diajak makan Timbel kawan yang baru dijenguk orang tua. Sementara masalah terberat kami juga lebih sederhana; kebagian jadwal Muhadloroh.
Sekarang kami semua sudah berkeluarga. Masalah berganti, yang dulu kami anggap masalah kecil sekarang jadi besar, begitu juga masalah yang dulu kami anggap besar sekarang jadi kecil. Urusan salah meletakan handuk sehabis mandi atau sendal sehabis keluar rumah bisa menjadi masalah besar bagi yang sudah berkeluarga.
"Gua mah bingung. Ada aja orang yang bilang, 'enak banget hidup lu mah, Te'" Deni Bagong, RT yang malam itu seharusnya mengurus pawai obor tapi malah kabur mancing, memulai cerita. "Lah mo gimana lagi, kata gua. Elu hidup banyak duit, laki-bini kerja, masih ada bisnis sampingan, lah harusnya mah lebih enak hidup lu daripada gua. Lah gua bayar pajak mobil aja harus jual motor."
Edogawa lebih suram. Ia mengundurkan diri dari pekerjaan tetapnya sebagai guru dan sepertinya juga kehilangan selera untuk kembali menjadi kacung. Saat ini perkejaannya mengojek, namun pekerjaan utama tetap sama; berkhayal.
Oechil tidak banyak bercerita malam itu. Dari kami bertiga, ia satu-satunya yang sangat fokus memancing. Ia bahkan tidak tidur semalaman dan strike 3 Monster Keting seukuran lengan orang dewasa. Saya terlonjak dari tidur-ayam ketika pukul 2 dini hari ia mencabuti patil Keting beracun menggunakan tang.
Oechil tidak bercerita tentang kepahitan hidupnya, bukan karena tidak punya, tapi karena memang ia tidak mau cerita. Menurut saya semua orang punya masalah, maka saya tidak mengerti mengapa ada orang yang menginginkan kehidupan orang lain. Tidak ada orang yang sempurna, dan kehidupan orang lain selalu terlihat lebih baik. Seperti kata pepatah, rumput tetangga lebih hijau daripada rambut tetangga.
"Gua bingung sama Edo!" Deni bercerita ke saya waktu kami hanya berdua, "Mo gua cariin kerja, tapi mo kerja apa? Gua takut dia gak cocok. Lu tau sendiri bocahnya kayak gitu."
"Elu bukan orang pertama yang curhat ini ke gua, Gong!" Saya cekikikan. "Apa yang buat lu yakin dia lagi susah dan butuh kerja?"
"Ya lu bayangin aja, gua pernah ngojek, Mi. Paling berapa sih penghasilannya? Dia sarjana loh!"
Saya mau mengulang pepatah rumput tetangga, tapi takut tidak lucu, "Kita kan ngeliatnya dari luar, Gong. Siapa tau dia lebih bahagia sekarang. Gua sih ngeliatnya begitu, tapi gua yakin setiap orang akan tiba pada kata cukup. Biarin aja sekarang dia nikmatin hari-harinya."
Masalah hidup akan datang silih berganti. Tahun-tahun yang angkuh terus berjalan maju meninggalkan umur yang angkanya terus membesar, tanpa peduli manusia-manusia yang tidak siap. Saya belajar, seharusnya saya lebih peduli pada apa yang ada dalam diri sendiri daripada mengkhawatirkan apa yang ada di luar. Kita tidak bisa mengontrol apa yang ada di luar, tapi kita bisa mengendalikan pikiran sendiri.
Pikiran dan intensi adalah yang terpenting. Pada tataran praktis, itu sebab orang mengganti Buaya menjadi Penganten. Saya tahu pergantian nama itu untuk mengakali law of attraction. Hukum atau konsep yang menyatakan bahwa pemikiran positif akan berdampak positif bagi kehidupan seseorang, begitu juga pemikiran negatif. Walaupun menurut saya dampak yang ditimbulkan adalah dampak psikologis, sugesti atau plasebo semata.
Tidak akan ada orang yang melarangmu untuk berpikir bahawa hidupmu sulit, pekerjaanmu selalu menyusahkan, dan kehidupanmu penuh kesengsaraan. Sama juga tidak ada yang melarangmu untuk berpikir bahwa kehidupanmu baik-baik saja, dan kamu bahagia apapun keadaanmu.
"Mi, strike, Mi!" Deni memecahkan lamunan saya. Ujung joran yang dipasang starlight bergoyang-goyang. Saya mengangkat joran dan mulai menggulung reel. Gulungan terasa berat, joran semakin melengkung. Ini pasti Monster, kata saya dalam hati. Tarikan semakin kuat, gulungan reel semakin berat, joran makin melengkung. Saya bertarung, menarik joran sekuat tenaga, tapi tiba-tiba gulungan terasa ringan dan makin ringan. Senar putus dan ikan besar Mocel.
Kata para pemancing, hidup itu seperti memancing, kadang mendapat ikan besar, kadang kecil, kadang terlepas, jadi harusnya kita bisa bersyukur. Seperti pribahasa, lebih baik ikan julung-julung di tangan daripada ikan kakap tapi lepas. Sementara masalah hidup itu seperti Racun Lundu, jika mau bertahan, rancunnya mungkin akan hilang, dan dalam waktu-waktu tersebut, menangislah sekeras-kerasnya karena hanya itu yang dapat mengurangi panas bisanya.