Senin, 23 Mei 2022

Maktub, Pul!

Premier League baru berjalan 7 pertandingan. Dini hari itu, sambil makan nasi goreng pinggir jalan, saya dan Qoffal menonton Chelsea vs Southampton. Seperti biasa Qoffal bertanya tentang prediksi juara musim ini.

"Merah memang bagus musim ini, tapi yang juara tetep biru." kata saya.

"Biru ada banyak, bang. Biru yang mana nih? Chelsea, City, Everton?"

Tiga yang Qoffal sebutkan memang sedang bagus di awal musim, terutama Chelsea yang baru saja juara Champion. Tapi pertanyaan Qoffal seperti memposisikan saya sebagai cenayang atau mafia judi yang bisa membaca detail dari skor sampai poin yang akan didapat di akhir musim.

"Memang begitu cara kerja prediksi, bung!" jawab saya, "Tidak boleh terlalu jelas."

Ya, rahasia langit memang tidak pernah benar-benar eksplisit, penuh metafora yang tidak terang.

Pekan ke 32, liga menyisakan 6 pertandingan, City dan Perpul ada di puncak dengan selisih 1 poin. Qoffal VC dan bertanya tentang hal yang sama, "Prediksi gimana, bung?"

"Masih sama prediksi gua di awal musim; biru yang juara." Saya menjawab cepat.

"Serius bang? Sampe akhir musim terus selisih 1 poin?"

"Kemungkinan besar."

Kemudian kami berdiskusi tentang kekurangan Perpul musim ini. Saya bilang musim ini Si Merah punya kedalaman squad yang baik. Mungkin terbaik sepanjang sejarah sepak bola modern. Tapi mental yang akan membedakan.

Tentu saya tidak mengatakan bahwa Salah dkk. tidak punya mental juara. Hanya mereka bagus di waktu yang Salah. Bukan, bukan Mo. Salah. Maksud saya ini sama saja ada seseorang yang sedang mengejar karier di bidang jurnalistik dan ingin menjadi yang terbaik, tapi sezaman dengan Najwa Shihab. Bukan dia tidak bagus, hanya ia bagus di waktu yang salah. Bukan, bukan Mo. Salah.

Kita perlu melihat mental De Bruyne dkk. yang bertanding sehari setelah pertandingan Perpul. Secara mental mereka pasti lebih tertekan, tapi mereka tetap bermain baik. Sampai liga menyisakan 4 pertandingan, selisih masih 1 poin. 

Rotasi di tubuh Perpul tidak membuat pasukan Klopp bermain buruk. Perpul terus melaju dengan kemenangan demi kemenangan. Qoffal menyebut timnya tim terbaik dari yang terbaik. Saya mengiyakan. Ingat, saya bukan fans kardus, dari awal saya tidak meragukan. Ditambah tidak ada badai cedera, mereka akan berjaya sampai akhir musim. Liverpudlian tinggal melakukan mubahalah agar pasukan Pep terpelesat. Saya membalas, "Tim terbaik dari terbaik yang ngarepin tim lain kepeleset itu ibarat orang ngaku kaya tapi ngarepin sedekah 🤣🤣🤣"

Itu metafora yang sulit disangkal.

Pertandingan menyisakan 3 match. Qoffal masih bertanya kemungkinan lain. Berharap ada clue yang berbeda. Saya bilang, "Yang tertulis akan tetap tertulis."

Pertandingan akhir dilangsungkan bersamaan. Perpul vs Wolves, City vs Aston. Qoffal sepertinya sudah pasrah, walaupun saya tahu fans nekat seperti dia masih berharap akan sejarah 4 trofi dalam semusim yang gilang gemilang.

Half time. Perpul seri. City kalah 1-0 atas Aston. Poin sama, hanya selisih gol. City masih di puncak. Menit 69 Coutinho memperbesar kemenangan untuk Aston yang saat itu dinahkodai Gerrard menjadi 2-0. Inilah waktu dimana Liverpudlian di seluruh dunia percaya bahwa Gerrard dan Coutinho adalah bagian penting atas akan terciptanya sejarah quadruple untuk klub Inggris yang tidak mungkin terulang bahkan mungkin dalam 100 tahun yang akan datang. Perpul hanya butuh satu gol, dan semuanya selesai. Namun asa itu dikandaskan, karena dalam waktu 6 menit, yaitu di menit 76, 78 dan 81, Gundogan dan Rodri membalikan keadaan. City menang. Hasil akhir City menang 3-2. Perpul menang 3-1. Kemenangan Perpul percuma karena City tetap juara dengan selisih 1 poin.

Qoffal bilang musim ini mirip musim 18/19. Ya, sejarah memang berulang. Pada orang sakit hati itu disebut trauma 🤣.

Jadi begitulah.

Maktub, Pul! 🤣