Sabtu, 30 Januari 2021

Membaca dan Pelajaran Bahasa Ibu

Saya percaya bahwa tidak ada anak yang tidak suka membaca. Jika ada anak yang dianggap tidak suka membaca, atau orang tuanya mengatakan, “Ah memang bukan itu kesenangannya,” mari perhatikan kembali, mungkin ada sesuatu yang kurang tepat.

Apa yang biasa dilakukan orangtua untuk mengajari anak membaca? Memberikan pelajaran-pelajaran membaca huruf dan kalimat melalui metode-metode yang bermacam-macam. Bahkan seringkali memaksa anak dalam umur tertentu (biasanya 7 tahun) untuk harus bisa membaca. 

Apakah cara itu salah? Bisa ya, bisa tidak. Satu hal yang pasti, memaksa anak untuk mempelajari yang tidak ia suka atau ia butuhkan adalah tindakan percuma. Ada dua alasan seseorang mau belajar secara sukarela. Pertama, ia membutuhkannya. Kedua, ia menyukainya. Jika dua hal itu tidak ada, maka pembelajaran akan terasa kosong, bahkan bisa jadi tidak berguna. Mengajari anak membaca kalimat-kalimat adalah hal yang mudah. Tapi tujuannya bukan hanya membaca, melainkan menyukai membaca.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara menumbuhkan minat baca anak? Masing-masing anak punya tahap dan perjalannannya sendiri, yang sering tidak sama dengan anak-anak lain. Oleh karena itu, usaha untuk memupuk anak untuk suka membaca perlu dipelajari. Kuncinya di kesabaran pada proses. Metode, teknik, atau cara, menyusul dan berkembang sesuai dengan kemampuan anak.

Hal pertama dan utama yang harus dilakukan adalah membuat anak senang dengan cerita. Jika anak sudah menyukai cerita, dan pasti menyukainya, maka itu akan jadi pupuk untuk mereka menyukai membaca. Bahkan sebelum mereka benar-benar bisa membaca. Jadi bukan pelajaran membacanya yang ditekankan terlebih dulu, tapi kesenangan pada bacaan.

Jadi ketika Safa (7 tahun) belum bisa membaca dengan lancar, saya sama sekali tidak khawatir. Apalagi membandingkan dengan Nada yang dulu pada usia Safa perkembangan membacanya sangat pesat. Karena memang tujuan utamanya bukan pada bisa membaca, tapi kesenangan pada membaca. Dengan tujuan itu, menekan anak untuk bisa membaca malah bisa menyebabkan ia jadi benci membaca. Itu akan jadi tindakan yang kontra produktif. Anak akan sendirinya membaca jika ia sudah suka dengan bacaan, dalam hal ini ditumbuhkan dengan membacakan cerita.

Saya akan melebarkan pembahasan membaca dan kesenangan membaca dengan pelajaran bahasa. Di Finlandia, siswa sekolah dasar kelas satu dan dua, tiap hari mengawali kelas dengan pelajaran Modersmål atau Bahasa Ibu. Sementara untuk kelas tiga sampai enam, Modersmål selalu ditempatkan pada jam pertama setiap Senin. 

Apa yang dilakukan para guru dalam pelajaran itu? Membacakan cerita. Setelah mendengarkan cerita, murid-murid diminta melakukan aktifitas lanjutan seperti menggambar ilustrasi atau bahkan untuk anak kelas lima dan enam, anak-anak diminta membuat musik berdasarkan cerita yang dibacakan. 

Jadi pelajaran Modersmål (Bahasa Indonesia jika di Indonesia) dengan penyampaian melalui cerita merupakan pelajaran paling penting bagi anak-anak. Bayangkan, dalam 5 hari sekolah, kelas satu dan dua belajar Bahasa selama 7 jam. Untuk kelas tiga dan empat 6 jam. Sementara untuk kelas enam 5 jam.

Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa Finalandia, negara dengan kualitas pendidikan
terbaik di dunia menekankan pentingnya pelajaran bahasa di usia sekolah dasar?

Sederhana, karena bahasa adalah alat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Kaitan bahasa dengan pelajaran-pelajaran lain sangat erat, bahkan tanpa kecakapan berbahasa, anak-anak akan kesulitan memahami matematika. Karena manusia berpikir dengan bahasa dan bahasa membentuk pikiran seseorang. Jika anak-anak cakap berbahasa, mereka akan mampu menata pikiran, menyampaikan gagasan dan berkomunikasi dengan baik. Tujuan akhirnya, kecakapan berbahasa akan membuat transfer pengetahuan atau kegiatan pembelajaran akan semakin baik.

Kelemahan dalam pelajaran bahasa ini, dengan segala aspeknya (seperti komunikasi lisan, membaca efektif, menulis kreatif, dan literasi media) yang akhirnya menyebabkan nilai PISA (metode penilaian internasional yang menjadi indikator untuk mengukur kompetensi siswa di tingkat global) sangat rendah. Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara. Nilai tersebut cenderung stagnan dalam 10 - 15 tahun terakhir.

Di Indonesia, usaha pemerintah melalui kementrian pendidikan untuk memperbaiki hal tersebut sudah ada sejak lama. Saat ini, Ujian Nasional SD ditiadakan dan UN untuk tingkat sekolah yang lebih tinggi diganti menjadi AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) yang berguna untuk mengukur kinerja sekolah berdasarkan literasi dan numerasi siswa, dua kompetensi inti yang menjadi fokus tes PISA, Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS). Perbaikan ini tentu membutuhkan proses yang mungkin akan panjang.

Mengharapkan perubahan dari institusi yang tingkat korupsinya termasuk yang paling besar, memang membuat frustasi. Namun usaha mendidik bukanlah usaha pemerintah semata. Sebagai praktisi homeschooling yang membaca nilai PISA itu, saya tergerak untuk mengingatkan kembali terutama pada diri saya untuk lebih peduli pada literasi anak. Maka dengan rendah hati, saya mengajak orang-orang yang peduli pada pendidikan anak untuk memulai gerakan membaca cerita. Dimulai dari diri sendiri, dari rumah.

Saya bahkan masih membacakan cerita atau buku untuk Nada padahal waktu itu ia sudah lancar membaca. Walaupun pada akhirnya karena tidak sabaran dan penasaran, ia akhirnya membaca sendiri. Sekarang, tidak ada yang bisa menghentikan kesenangannya membaca. Pada umur 8 tahun ia telah menamatkan 7 jilid novel Harry Potter. 

Selain menumbuhkan kesenangan pada bacaan, membuat anak-anak terbiasa paham dengan Bahasa dan segala seluk beluk Bahasa dari mulai majas, struktur, logika dan banyak hal lain tanpa harus membebani mereka dengan terori-teori kebahasaan, membacakan cerita juga bisa lebih mendekatkan anak dengan orang tua. 

Lebih dari itu, pelajaran penting lain termasuk pengembangan karakter bisa dilakukan. Saya percaya, cerita adalah alat mendidik yang paling efektif karena menarik dan bisa mempengaruhi dengan halus, tanpa berteriak atau menceramahi. Saya mendongeng untuk mengatakan bahwa orang yang baik bukanlah mereka yang tidak pernah berbuat buruk, tapi yang menyesali perbuatan buruk dan punya keinginan untuk berubah. Saya bercerita untuk mengganti kalimat, “Membalas boleh dilakukan, namun jangan berlebihan.” atau “Tidak ada yang ingin berteman dengan pembohong.”

Saya biasanya memakai cerita Buaya, Kancil dan Kerbau untuk menumbuhkan karakter jujur. Beberapa waktu lalu, Aira (3 tahun) mengulang cerita tersebut dengan lancar. Membaca cerita sungguh kegiatan yang mudah tapi berdampak besar untuk perkembangan anak. Lagipula, tidak ada orang yang bisa menolak cerita. Milton Erickson ahli hypnosis itu pernah bilang, “Orang tidak menolak cerita. Orang bisa menolak saran atau nasihat, tetapi ia tidak bisa menolak cerita. Orang hanya bisa menerima cerita yang disampaikan kepadanya, dan pada saat yang sama ia menerima semua pesan tersirat yang menyentuh bawah sadarnya."