Minggu, 21 April 2024

Sinar yang Jatuh di atas Sebuah Rumah

Sudah dua kali Mualim datang ke rumah itu. Kali ini ia berharap bisa bertemu seseorang yang mungkin bisa menjadi petunjuk dari mimpinya. Namun sayang, kali itu lagi-lagi ia tidak bertemu orang yang ia inginkan.

Kakek yang tinggal di rumah itu tahu bahwa Mualim sedang mencari cucunya yang saat ini sedang menuntut ilmu di pesantren.

Ketika liburan sekolah tiba, sang cucu yang masih duduk di bangku Aliyah pulang ke rumah. Sang kakek menyarankan cucunya untuk mengunjungi Mualim, "Kakek merasa tidak enak, sudah dua kali orang tua itu ke rumah untuk mencarimu,"

Sang cucu pergi ke rumah Mualim, dan menunggu giliran karena tamu yang datang seperti tidak ada hentinya. Setelah tiba giliran, Mualim bertanya, "Ente siapa?"

"Saya Ibnu Ahmad, Guru."

Wajar Mualim bertanya, karena mereka memang belum pernah bertemu sebelumnya. Melihat Mualim tidak bereaksi dan seperti bingung, Ibnu Ahmad melanjutkan, "Saya Ibnu Ahmad dari Pamahan,"

"Ooh, Masya Allah, ente Ibnu Ahmad! Sini sini!" Air muka Mualim berubah senang, ia mengajak anak muda itu naik untuk duduk di bale tempat ia duduk. Tidak lama kemudian Mualim memberikan sebuah kitab Mantiq (Ilmu Logika) karya Syeikh Muhammad Muhajirin, "Coba ente baca dan terjemahin!"

Ibnu Ahmad menuruti permintaan Mualim, ia membaca kitab arab gundul itu dengan mantap dan lancar, sambil tidak henti Mualim mengucap syukur kepada Allah, Alhamdulilah, Alhamdulilah.

Ibnu Ahmad pulang ke rumah dengan perasaan heran, mengapa sang pemuka agama, tokoh masyarakat terkemuka yang sering dikunjungi banyak orang itu malah ingin bertemu dengannya. Ia bertanya kepada Kakek yang kemudian bercerita, "Mualim pernah mengalami pengelihatan bahwa ada cahaya terang yang bersumber dari tempat Kiyai Muhajirin yang turun ke rumah kita. Ia bertanya dan kakek menjelaskan kalau memang kamu sedang menuntut ilmu di pesantren Kiyai Jirin."

Subhanallah, ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah diberikan kepada orang yang Ia kehendaki. Belasan tahun kemudian, anak muda itu mendirikan pesantren yang saat ini berkembang makin pesat. Ia adalah salah satu guru terbaik yang pernah saya kenal. Saya bersyukur mengenalnya sampai sekarang. Semoga Allah memanjangkan umur beliau dan kami para muridnya mendapat kemanfaatan yang banyak. Mattaanallahu fi tuli hayatihi.

Senin, 11 Maret 2024

Di Mana Ramadhan Tinggal?

Di mana Ramadhan tinggal
ketika hari-hari sudah tanggal?
Apakah ia punya rumah
yang bisa kita kunjungi?
Dan apakah ia punya keluarga?

Apakah ia tidur memakai piyama
dengan lampu dimatikan?
Apakah ia punya handphone
yang selalu ia gunakan untuk ibadah?

Apakah ia punya kekasih yang ia rindukan
sama seperti kamu yang saat ini sedang
merindukanku?

Apakah ia bisa marah?
Apakah ia bisa sedih?
Apakah ia bisa bahagia?

Dan apakah ia pernah nakal?
Apakah ia pernah tidak salat?
Apakah ia pernah berbohong?
Apakah ia pernah melakukan ibadah
bukan karena ikhlas kepada Tuhan?

Apakah ia pernah iri dengki?
Apakah ia pernah takabur?
Apakah ia pernah merasa saleh?
Apakah ia pernah membicarakan
keburukan orang lain?

Hari ini aku mengikutinya pulang
untuk mencari tahu di mana rumahnya.
Aku ragu mengetuk pintu,
takut ia tidak mengenali
karena aku tidak sama seperti
terakhir kali bertemu dengannya.

2024

Sabtu, 09 Maret 2024

Sekolah yang Ujian Setiap Hari

Ayo-ayo ke sekolah setiap hari,
Duduk di kursi mendengarkan guru,
Aku dan kamu berbaris di Senin pagi,
Upacara bendera di bawah langit biru.

Ibu guru dengan bakat berteriak,
"Sudahkah kamu
menyiapkan ujian hari ini?"
Anak-anak menjawab kocak, 
"Hari minggu bisakah kita libur bernapas?"

Kita akan libur besok saat
melihat dunia adalah selembar peta, 
dan puisi menjadi hari kemarin 
yang tidak bisa kau jangkau jauhnya.

Ujian hari ini sederhana,
ibu guru meninggalkan
buah apel di atas meja.

Seorang anak terjatuh
tersandung kursi menangis
dan berdarah.

Di akhir hari sekolah,
kamu senang akhirnya bisa pulang.
Menyusuri jalan sambil melompat-lompat 
dengan tas di pundak.

Tidak lupa bermain sebentar
di taman belakang sekolah memetik
jambu air yang lebih banyak rontok buahnya.

Guru-guru juga pulang
bahkan saat hari masih hujan.
Mereka juga manusia yang
punya rumah dan pakaian kotor.

Anak-anak yang belum
pulang sekolah menangis.
Setelah itu hening,
pada sore yang gerimis
di bulan Juni yang juga hening.


2024

Selasa, 13 Februari 2024

Anak-anak Matahari

Parasmu kemerahan memantulkan langit sore saat kaki-kaki kecil mentari redup di ujung ufuk. Lensa menangkap angkasa tempat dua pasang mata tidak pernah bersetuju akan makna yang sama.

Sepasang mata melihat jalanan serta trotoar kota yang jauh dari tempat kelahiran dimana ibu adalah abu kenangan. Sementara yang lain melihat malam perlahan-lahan menghapus separuh penyesalan masa lalu dalam album ingatan.

Di hadapan wajah langit kita hanya anak-anak matahari; debu yang diajari mengeja luka dan puisi.

Kota dan angkasa tidak peduli dengan perasaan siapa-siapa. Ia hanya menampilkan realitas yang keras kepala, juga cinta yang dapat kau nikmati tapi mustahil kau miliki.

Jingga serupa warna angan dan sepi merona di sepasang matamu; semesta yang tidak bisa ku jangkau luasnya.

Aku tidak bisa lagi membedakan mana angan dan sakit, duka dan rindu, atau mereka memang lahir dari rahim yang sama?

Akhirnya matahari beranjak pulang meninggalkan bayang memanjang dan harapan adalah satu-satunya penghibur di ujung hari esok.

Sehabis itu gelap.
Sehabis itu dingin.



Minggu, 28 Januari 2024

Tanah Suci, Wanita Suci dan Usia yang Tepat untuk Menjadi Nabi

Nath akan berusia 40 tahun itu, dan satu-satunya yang ia khawatirkan adalah ia tertarik meniru orang-orang untuk ikut kontestasi menjadi nabi.

Ia tinggal di Depok, Lia Eden berasal dari sana, begitu juga Ahmad Musadeq. Saya tertawa ketika ia mengatakan fakta itu. Andai saja ia punya orang dalam MK, tentu ia tidak perlu menunggu usia 40.

Kami sudah lama tidak bertemu, namun ia masih hangat menyambut ketika saya datang seakan-akan kita adalah kawan yang sering bertemu. Percakapan dengannya mudah. Ia masih seperti dulu ketika saya pertama kali mengenalnya; supel, berbadan tinggi tegap, dan berkulit gelap. Memang terdengar seperti deskripsi tiang listrik.

Hari itu ia meminta saya mengisi workshop tentang kepenulisan di sekolah tempatnya bekerja. Ia tidak mengatakan bahwa ia adalah kepala sekolah di SMP itu, sampai saya selesai memberi materi.

"Pantesan tadi gua bawain materi joke tentang lu gak ada yang ketawa." Kata saya setelah turun panggung, "Bukanya gak lucu berarti, emang mereka sungkan aja."

Saat ini hampir setiap bulan ia ke luar negeri, membawa jamaah Umroh. Ya, selain kepala sekolah, ia juga adalah salah satu "Mutowwif" pada travel agency yang sering wara-wiri ke Tanah Suci.

Muslim Indonesia adalah salah satu yang paling banyak pergi ke Arab Saudi, baik ketika Haji apalagi Umroh. Sehingga tidak heran di sana banyak pedagang arab menawarkan dagangan mereka menggunakan Bahasa Indonesia, bahkan menerima "Uang Jokowi". Maksudnya mata uang Rupiah, bukan Bansos. 

Nath pernah misuh ketika pertama kali menawar dagangan menggunakan Bahasa Arab fasih tapi dijawab oleh si pedagang Arab dengan Bahasa Tanahabang, "Tau gitu ngapain gua latihan Muhadatsah! Mending part time jadi penjaga toko Blok M!"

Beberapa bulan yang lalu, Wi —salah satu kawan yang kebetulan juga kepala sekolah, juga melaksanakan Umroh. Ia Wanita Suci. Bukan seperti Sayyidah Maryam yang melahirkan Nabi Isa dengan tanpa ayah. Bukan. Tapi karena ia tidak bisa lagi menstruasi, atau hamil, atau sarapan nasi uduk di bulan Ramadhan, karena ia sudah tidak punya rahim.

Sebelum operasi pengangkatan rahim, ia pergi Umroh. Mungkin untuk meminta petunjuk, atau ketenangan, atau semacam pertaubatan kalau-kalau ia mati di meja operasi sementara ia masih suka memaki ketua yayasan.

Saya selalu senang mendengar pengalaman kawan-kawan ketika mereka berkunjung ke Masjid al-Haram.

"Aku baru sadar," Wi menjelaskan, "ternyata di sana karakter, kebiasaan, kesukaan kita benar-benar diperlihatkan."

Kemudian ia bercerita tentang pengalamannya dengan berapi-api, seperti biasanya. Tentang bagaimana orang-orang yang tinggi besar tidak mau mengalah sehingga ia tidak bisa mendekati Ka'bah, bagaimana kesabarannya diuji dengan seorang wanita gemuk yang tiba-tiba duduk menghalangi tempatnya sujud. Karena tidak bisa diajak bicara dengan baik, Wi membentak, "MA'AM, PLEASE MOVE! MOVE!! OR I'LL CUT YOU IN A HALF!!!"

Bercanda. Kalimat terakhir hanya dramatisasi, walaupun kalau saat itu Wi membawa Katana, mungkin bisa kejadian.

"Aku kan di sini suka foto-foto, ya." Wi meneruskan cerita, "di sana gak tau kenapa, sering banget aku diminta untuk fotoin orang yang gak aku kenal. Padahal waktu minta foto, ada orang yang jaraknya lebih deket dengan dia loh. Ngapain dia harus bela-belain berjalan memutar hanya untuk minta aku fotoin? Bener-bener gak bisa dinalar."

Di hari berikutnya, ia datang agak terlambat untuk salat subuh di Masjid Nabawi. Ia terjebak di tengah kerumunan orang yang sudah bersiap untuk salat. Semuanya sudah berdiri di shaf masing-masing kecuali dia. Ia tidak menemukan shaf kosong, sementara terlalu jauh jika ia mundur ke shaf paling belakang. Ia bersandar di pojok salah satu tiang masjid dan tidak berani meminta melonggarkan barisan kepada orang-orang di dekatnya agar dia bisa masuk. Tentu ada alasan kenapa dia enggan, karena beberapa hari sebelumnya, ia pernah sengaja tidak melonggarkan shaf untuk orang yang tidak mendapat shaf. Sekarang kejadiannya berbalik. Qisas instan.

Saya tersenyum mendengar cerita Wi. Sejak pertama kali saya mengenalnya, ia tetaplah Alfa Female yang tidak mau kalah dan perfeksionis, jadi ketika ia bilang di Kota Suci karakter seseorang akan sangat ditampakkan, saya sudah bisa membayangkan ia bertengkar dengan orang-orang Afrika yang besar dan bau terasi. Untungnya itu tidak terjadi, yang terjadi adalah ia bertengkar dengan tukang perhiasan di pasar Suwaiqah karena menawar emas terlalu rendah.

Nath belum pernah bercerita tentang pengalaman spiritual apapun ke saya sepanjang perjalanan berkali-kali ke Tanah Haram. Mungkin saja ia pernah bertemu malaikat di dekat Gua Hira, atau bertemu Nabi Khidir di parit bekas Perang Khandaq atau dicium bapak-bapak berjenggot karena dikira Hajar Aswad.

Wi punya pengalaman yang lebih ajaib. Jam tangan kesukaannya diminta oleh seseorang yang tidak ia kenal. Awalnya ia sempat ragu, namun akhirnya ia ikhlas memberikan. Mungkin Allah punya rencana, batinnya. Ketika ia menceritakan kejadian itu, seorang ibu tua yang satu grup dengannya berkata enteng, "Akan ada gantinya nanti, Wi. Jangankan jam, mobil juga bisa kamu beli."

Tidak beberapa lama setelah Wi pulang Umroh, ia membeli mobil.

Super sekali, Pak Mario.

Nath, Wi dan banyak kawan-kawan saya yang lain punya beragam alasan dan keinginan untuk pergi ke Tanah Suci; ada yang karena kewajiban, pekerjaan, penasaran, kebutuhan, meminta ampunan, memohon rizki, keselamatan, kesembuhan, ketenangan hati, petunjuk dan lain-lain. Harapan-harapan itu ada yang Allah kabulkan langsung, ada yang ditunda, ada yang diganti dengan yang lebih baik.

Alhamdulilah, 8 jam Histerektomi Wi oleh dua dokter spesialis berjalan lancar, walaupun di tengah operasi sempat terjadi kondisi menegangkan. Sementara Nath sampai saat ini masih mencari dukungan ormas besar untuk memenuhi 20 persen ambang batas Nabiyatul Threshold.

Semoga Allah yang Maha Mengatur mengundang dan memanggil kita untuk berkunjung ke Baitullah. Bukan hanya untuk yang belum pernah, namun juga untuk yang sudah pernah, karena selalu ada kerinduan untuk kembali berziarah ke makam Rasulullah yang mulia.


Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad wa 'ala alihi wasahbihi ajmain.