Minggu, 19 Februari 2023

59 dan Semakin Akrab dengan Kematian

Suatu malam Safa (10 thn) menghitung umur Embahnya ketika ia meninggal berdasarkan tahun yang tercatat di nisan.

"59. Bener gak bapak?" Ia bertanya.

"Betul." saya menjawab cepat.

"Masih muda ya?" Safa berkesimpulan, karena sebelumnya saya bercerita bahwa Empi Safa (sebutan untuk ibu dari nenek) berumur 81 tahun ketika meninggal. Saya baru sadar, bahwa satu-satunya cara seorang berumur 50 tahun dianggap muda adalah ketika ia meninggal.

Beberapa waktu lalu, saya menjadi wali pernikahan Ica, salah satu adik perempuan saya. Itu kali ke dua saya melakukannya --setelah sebelumnya saya juga menjadi wali nikah Titis, dan pada keduanya saya sama-sama menangis. Manusia bisa emosional karena meletakan perasaan pada satu hal. Suatu peristiwa bisa membuat satu orang senang sementara orang lain biasa saja, begitu juga satu peristiwa bisa membuat satu orang sedih sementara orang lain biasa saja.

Bapak tidak pernah menikahkan semua anak perempuannya, sementara 3 anak saya adalah perempuan. Saya tidak tahu apakah saya akan menikahkan anak-anak perempuan saya, atau seperti bapak, saya akan meninggal di usia 59 tanpa sempat melakukannya. Jika ikut umur bapak, maka sisa hidup saya adalah 21 tahun. Jika diibratkan batrai HP maka saat ini sisa batrai saya adalah 41,39%. Saat saya berusia 59, Nada, anak tertua saya akan berumur 32, dan bisa jadi ia sudah menikah, bisa jadi juga belum. 

Sudah 7 tahun berlalu sejak bapak wafat dan saya tidak tahu apa perasaan Ica ketika mengucapkan permohonan restu pernikahan tanpa kehadiran beliau. Saya pernah membaca buku harian bapak setelah beliau wafat, yang salah satunya menceritakan tentang Ica. Sebuah catatan tentang betapa senangnya beliau karena Ica pernah memberi uang di saat ia membutuhkannya. Membaca catatan harian dari orang yang telah tiada, entah catatan sekecil apapun, memang sering membuat haru. Apalagi hubungan anak perempuan dan ayahnya selalu menjadi hubungan yang spesial. Kehilangan hubungan itu bukan hal yang mudah, baik untuk diri anak atau sebaliknya.    

Seperti film A Man Called Otto, setiap orang mungkin pernah atau akan tiba pada satu titik kehidupan, dimana mereka ditinggalkan oleh orang-orang tersayang. Terkadang trauma atau sakit dari kehilangan tersebut tidak bisa diatasi dengan sederhana. Ditinggalkan memang tidak pernah mudah, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk sembuh. Film itu seperti mengingatkan kita untuk memberi kesadaran pada hal-hal kecil di sekeliling agar mampu bangkit dari keterpurukan. 

Saya yakin Ica sudah menemukan orang lain untuk membantunya sembuh. Mengingat hal itu, saya tidak lagi mengkhawatirkan apakah nanti saya akan sempat manjadi wali nikah untuk anak-anak saya atau tidak, karena umur tentu bukan urusan manusia untuk menentukan. Cepat atau lambat, hidup manusia pasti akan habis dan hanya menyisakan kenangan bagi manusia lain. Karena usia hidup manusia tidak seperti batrai HP yang bisa di recharge, maka untuk mengantisipasi atau mengirit batrai, yang perlu dilakukan adalah menggunakan aplikasi lebih efisien dan selektif, tidak banyak membuka aplikasi yang kurang bermanfaat apalagi yang cepat menghabiskan energi. Manusia seharusnya bisa memilih akan memfokuskan hidupnya pada orang-orang dekat yang memang pantas untuk diperjuangkan.

Saat ini saya hanya akan mulai memfokuskan energi untuk masa kini, untuk memberi perhatian pada hal-hal kecil di sekeliling, menabung kenangan untuk orang-orang yang layak.