Kamis, 28 Juli 2022

Aku Berharap Jalan Lebih Panjang Agar Kamu Tetap Memelukku di atas Kendaraan

Angin berhembus dari arah depan menggigilkan tanganku yang sedang mengendalikan stir, masuk ke ujung lengan jaket, sampai hawa dinginnya merembet ke lengan. Aku menaikan sleting jaket sampai ke leher dengan tangan kiri. Udara sejuk tetap merembet masuk menerobos rongga helem di bawah dagu dan membuat bulu halus di pipi meremang. Kamu semakin mendekatkan tubuh kemudian memasukan tangan ke kantong jaketku. Tiba-tiba aku ingat Ernest. Dia bilang, "Jangan pernah melakukan perjalanan dengan siapa pun yang tidak kamu cintai."

Kita tiba di sebuah kafe di atas bukit dengan pemandangan lembah ketika kabut mulai naik dan mendung menutup langit. Jauh di bawah kita bisa melihat air terjun dengan rimbun hutan hijau di bukit yang berundak. Pelayan mempersilahkan kita duduk di sebuah kursi kayu dengan meja dari potongan kayu besar yang dibiarkan seperti bentuk aslinya, dengan urat kayu puluhan tahun yang dipernis sewarna tanah.

Kamu ijin untuk ke toilet sambil sekalian salat setelah memesan semangkuk Mie Godok Jawa untukku dan Kelapa Lemon Selasih untukmu. Pesanan belum diantar dan kamu sudah menghilang di balik tembok sebuah bangunan. Aku memandangi lembah dan pegunungan, juga orang-orang yang sedang duduk di kafe terbuka itu. Tidak banyak yang datang karena mungkin masih ada pembatasan.

Musik mengalun dari pengeras suara, diawali suara petikan gitar kemudian suara --yang belakangan aku tahu milik Tami Aulia--- mengalun merdu. Ia menyanyikan Bertaut:


Bun, aku masih tak mengerti banyak hal
Semuanya berenang di kepala
Dan kau dan semua yang kau tahu tentangnya
Menjadi jawab saat ku bertanya

Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu
Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum
Seperti detak jantung yang bertaut
Nyawaku nyala karena denganmu



Aku menarik selembar tisu di atas meja dan menuliskan beberapa hal yang terlintas di kepala. Itu pertama kalinya aku mendengar Akustik Tami. Sejak saat itu, setiap kali mendengar suaranya bernyanyi diiringi dengan petikan gitar, aku selalu ingat suasana itu. Aku ingat sejuk udara, angin yang sesekali berhembus meremangkan bulu tangan, kabut tipis yang menutupi air terjun di bawah lembah, meja kayu, suara orang bercakap-cakap dan aroma samar dedaunan pinus.

Kamu tahu, seperti ketika kamu mendengar sebuah lagu pada suatu waktu dan tanpa diminta suara itu membuncahkan sebuah gambaran peristiwa. Kadang membangkitkan ingatan yang menyakitkan, terkadang peristiwa yang menyenangkan. Begitulah sihir nada.

Begitulah ketika tiba-tiba aku mendengar Kamulah Satu Satunya - Dewa 19, aku seakan kembali menjadi anak kelas 1 Tsanawiyah dan mengalami nuansa ketika baru masuk pesantren. Atau Selepas Kau Pergi – Laluna yang tidak pernah gagal menggiring pada ingatan di sebuah kamar kecil dengan meja dan dipan seadanya ketika aku kuliah di Pekalongan. Atau ketika mendengar Saat Bahagia – Ungu dan Andien, aku selalu seperti dibawa ke dalam bis menuju Jogjakarta. Atau seperti Cinta ini Membunuhku – d’Masiv yang selalu mengingatkanmu akan saat-saat ketika kita baru kenalan.

Lirik di dalam lagu-lagu itu tidak selalu mewakili perasaan kita saat itu. Namun nada, suara, lantunan musik selalu membawa alam bawah sadar kita untuk mengingat dan mengenang. Seperti cinta, musik menyelinap diam-diam ke dalam jiwa kemudian tumbuh liar begitu saja bagai ilalang, menancapkan sugesti di bawah sadar, kemudian ketika kita mendengarnya kembali di waktu yang lebih sering tidak terduga, ia menceburkan kita ke dalam memori dengan segala hiruk-pikuknya. Kadang membuat tenang dan menghangatkan hati, kadang membuat kepala bergolak.

Pandemi menjebak kita pada kondisi yang belum pernah kita rasakan sebelumnya. Kamu tertekan dan mungkin stress. Sering mencemaskan banyak hal di masa depan. Mengkhawatirkan anak-anak. Bercerita tentang kelakuan banyak orang yang tidak masuk akal. Bercerita tentang mimpi-mimpi aneh, lucu atau mengerikan yang sebentar kemudian kamu lupakan setelah bangun tidur. 

Aku suka caramu melihat dunia, terkadang aku iseng mengujinya dan kamu kesal. Aku senang ada di sampingmu, melihat dunia dengan cara kamu melihat dunia. Dunia yang begitu-begitu saja dan membosankan. Mungkin saat bosan dengan kegiatan yang itu-itu saja, akhirnya kamu menemukan kesenangan dan pelarian pada BTS. Pada lagu-lagu dan aktifitas mereka. Fangirling membuat hatimu senang dan bersemangat. Aku senang melihatmu senang.  

Sayang aku tidak punya keresahan yang sama. Aku sering bertanya pada diri sendiri tentang apa yang membuatku senang. Aku tidak bermain game, tidak berkumpul dengan komunitas sepeda atau otomotif, atau mengoleksi mainan, atau menggilai klub bola. Bahkan saat ini aku tidak punya sosial media. Bukan alergi, tapi pada akhirnya manusia akan sampai pada rasa cukup.

Jadi bisakah manusia bersenang-senang tanpa hobi?

Aku senang menulis; meletakan kesadaran pada setiap aktifitas yang aku lakukan. Memikirkan orang lain. Tidak masalah orang yang sedang aku pikirkan tidak memikirkanku. Mendengarkan dan membayangkan kehidupan lain. Belajar. Bertanya tentang apa saja walau lebih sering tidak menemukan jawaban. Kesenangan belajar dan berempati pada orang lain itu yang akhirnya banyak menjadi tulisan. Tidak semua, tapi sebagian besar tulisanku adalah tentang manusia.

Meniru Gus Baha, aku senang melakukan hal-hal biasa dalam keseharian yang dibolehkan Tuhan. Ini adalah perkara perspektif. Kegiatan dan keadaan kita yang biasa saja, bisa jadi merupakan privilege bagi orang lain. Sementara hobi adalah kesenangan untuk melakukan kegiatan yang berlainan dari rutinitas. Beliau bilang, "Biasanya orang merasa tidak bahagia, karena standar atau ekspektasi yang terlalu tinggi, maka usahakan kita bahagia dengan standar yang paling sedikit, paling minimal."

Aku senang saat ini. Aku senang saat lelah dan pusing karena bekerja. Aku senang ketika bersujud. Aku senang merawat dan menemani anak-anak tumbuh. Aku senang menjalani kehidupan yang biasa saja; membantu pekerjaan rumah, memasak, mencuci piring, memperbaiki barang-barang, berkebun. Aku juga senang saat membawamu ke tempat yang belum pernah kita kunjungi dengan motor yang sudah 15 tahun terakhir ini menemani kehidupan kita.

Sebelum bangkit pulang, aku masih bisa mendengar Tami menyanyikan Melukis Senja:

Aku di sini walau letih coba lagi jangan berhenti
Ku berharap meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang menaklukankan hari-harimu yang tak indah
Biar ku menemanimu membasuh lelahmu

Izinkan ku lukis senja
Mengukir namamu di sana
Mendengar kamu bercerita
Menangis tertawa

Biar ku lukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Tuk temanimu yang terluka
Hingga kau bahagia



Senja perlahan-lahan ditelan gelap malam ketika kita kembali berada di jalan pulang. Waktu berjalan ke depan dan zaman terus berubah. Tidak ada satupun dari kita yang tetap sama seperti masa lalu, dan memang kita tidak bisa lagi menjadi diri kita di masa lalu. Aku dan kamu adalah musafir di jalan panjang bernama kehidupan. Sebuah jalan yang selalu mengarah ke sebuah pintu. Ditemani malam, dari atas kendaraan, aku merasa berada dalam lagu The Long and Winding Road – The Beatles.


The long and winding road
That leads to your door
Will never disappear
I've seen that road before
It always leads me here
Lead me to you door

The wild and windy night
That the rain washed away
Has left a pool of tears
Crying for the day
Why leave me standing here?
Let me know the way

Many times I've been alone
And many times I've cried
Anyway, you'll never know
The many ways I've tried

And still they lead me back
To the long winding road
You left me standing here
A long, long time ago
Don't leave me waiting here
Lead me to your door







Jumat, 01 Juli 2022

Tangisan pada Suatu Pagi

Pada suatu pagi, perempuan itu menangis di depan saya. Di tangannya ada sebuah naskah buku. Entah pada halaman atau paragraf berapa ia menutup buku itu kemudian terisak. Tubuhnya terguncang, ia melepas kaca mata, beberapa kali mengusap air mata dan menekan hidungnya yang mulai berair dengan tisu. Dari tempat duduknya, dengan suara bergetar ia bilang, "Kalau aja cewek, udah gua peluk lu dari tadi,"

Sebagai kawan, secara naluri saya ingin memeluk untuk meredakan tangisnya. Namun karena norma, itu tidak bisa saya lakukan. 

Naskah buku yang barusan ia baca adalah naskah buku yang saya tulis tentang dirinya. Mungkin dia baru saja membaca bagian yang mengingatkan kembali akan luka di hati. Tujuan saya menulis cerita tentangnya adalah untuk membantu melewati masa-masa yang tidak mudah. Masa penuh tangis dan trauma. Secara singkat buku itu menceritakan tentang patah hati, penghianatan, masalah-masalah percintaan dan tentu saja usaha untuk kembali bangkit dari masa-masa kelam itu.

Saat ini ia kembali menangis karena kembali menghadapi masa-masa yang gelap. Bahkan lebih berat dari yang sebelumnya. Ia sedang menjalani hubungan beda agama dan berencana menikah. Ia bertanya, "Kalo gua nikah di gereja, lu mau dateng?"

"Dateng kalau memang diundang." Saya menjawab cepat.

Keluarga besar melarang pernikahan itu. Orang tuanya tidak merestui. Juga yang paling menyesakan dada, keluarga terdekatnya sudah menganggapnya tidak ada; dikucilkan, tidak dipedulikan, tidak dihargai. Terkadang jika mengingat apa yang sudah ia berikan pada keluarga, ia merasa semakin nelangsa. Karena balasan dari apa yang sudah ia perjuangkan untuk keluarga adalah mereka tidak mau memikirkan perasaannya, bersikap keras, bahkan enggan untuk sekedar berkata yang tidak menyakiti hati. Sampai ada yang mengatakan bahwa Almarhumah ibunya meninggal karena terlalu memikirkannya. Itu tuduhan yang menyakitkan. Dan makin akan banyak tuduhan atau mungkin fitnah lain jika sesuatu yang buruk kembali terjadi padanya. 

"Gua sempet mikir, apa ini kutukan ya?" ia melanjutkan. Entah karena benar ia ingin tahu jawabannya, atau mungkin hanya mengungkap apa yang ada di kepala. 

Pertanyaan itu mengingatkan saya akan film-film Disney tentang putri, penyihir dan pangeran penyelamat. Sebagai orang yang logis saya menjawab, “Gak tau. Gak bisa diverifikasi juga,”

Mungkin kamu menganggap apa yang ia lakukan keterlaluan, mencari masalah, berlebihan dan emosional. Ya, sebagian besar orang yang ia kenal juga berpikiran sama. Semua orang bebas bicara dan berpendapat. Semua orang bisa mengatakan bahwa orang lain yang tidak sepemahaman dengan mereka adalah salah. Namun berkata kasar, mengancam, mengutuk, memfitnah, menyakiti hati adalah tindakan yang punya konsekuensi yang terkadang sangat merusak. Ia sempat berpikir untuk mati atau dimatikan.

Saya ingat apa yang selalu diulang-ulang Ustad Adi Hidayat dalam ceramah ketika bercerita tentang Allah yang memerintahakan Nabi Musa dan Harun untuk mendatangi Firaun dan berkata padanya dengan lemah lembut, “Anda tidak sesaleh Nabi Musa dan Harun. Orang yang anda anggap salah juga tidak seburuk Firaun. Tapi anda berkata padanya dengan perkataan yang kasar. Anda ini mencontoh siapa?”

"Gua udah kehilangan support system. Keluarga paling deket udah nganggap gua gak ada," katanya suatu saat.

Saya sayang padanya tapi tidak bisa menjanjikan apapun. 

"Apa yang membuat lu bertahan dengan kondisi ini?" Saya bertanya.

"Karena gua tau masih ada yang lebih buruk kondisinya dari gua. Gua sering keliling jalan-jalan buat nenangin pikiran kalau lagi ada masalah. Gua liat orang-orang di jalan yang gak punya rumah, gua ngerasa masalah hidup gua bukan apa-apa. Gua merasa masalah gua kecil."

Sebagai manusia memang kita seharusnya merasa kecil dan lemah. Kita bahkan tidak tahu apa yang akan terjadi beberapa jam yang akan datang. Kesombongan menjadikan manusia bertindak seakan-akan mereka adalah Tuhan yang mengetahui segalanya. Orang yang beragama dengan kesombongan sebenarnya sedang mematikan ruh religiusitas, menentang makna penghambaan pada Tuhan. Dalam penghambaan, kita kecil karena yang besar hanya Tuhan.

Gus Baha pernah bercerita tentang orang saleh yang Ujub dan orang yang durhaka namun tetap melakukan Salat, “Kita tidak pernah tahu. Bisa saja suatu saat mungkin Allah ridha dan menerima salatnya kemudian dia jadi Wali. Kita tidak pernah tahu kapan Allah ridha atau benci pada kita. Kita gak pernah tahu Allah meletakan ridhanya dimana dan murkanya dimana.”

Rahmat Allah ada pada tiap hal. Bahkan pelacur yang memberi minum anjing kehausan bisa masuk surga karena ridha Allah. Jadi manusia tidak diberi kesanggupan untuk mengetahui bagaimana akhir hidup mereka nanti. Jika kehidupan manusia diibaratkan hari, maka segala hal bisa saja terjadi sampai sore tiba. Bisa saja perempuan yang menangis pada pagi hari itu tersenyum di sore harinya. 

Saya selalu mendoakan itu.

Wallahu ‘alam.