Halaman

Jumat, 26 Agustus 2022

Dua Film Thailand dan Satu Serial yang Hampir Thailand

Slamet merekomendasikan dua buah film thailand (Fast & Feel Love dan Happy Old Year) ketika di saat yang hampir bersamaan Kucey meminta saya menonton serial drama Korea berjudul Voice.

Fast & Feel Love dan Happy Old Year adalah dua film thailand yang disutradarai oleh Nawapol Thamrongrattanarit (jangan minta saya membaca apalagi menghapal nama itu), yang mengangkat isu hubungan cinta yang kandas.

"Lu emang suka film drama kayak gitu?" Tanya saya ke Slamet.

"Suka sih, Sir." Jawabnya cepat. Saat ini ia berusia 26 tahun, sudah lulus kuliah dan masih bekerja. Sewaktu SMP, ia pernah menjadi murid saya, maka ia tetap memanggil saya Sir. Sebagai egalitarian, saya tidak keberatan ia memanggil saya apapun dan saya sudah terbiasa memanggilnya sama seperti saya memanggil kawan-kawan lain.

"Relate sama kehidupan lu?" Saya tertawa.

"Sial!" ia kesal, "Bisa jadi. Kadang ya ngebayangin aja ntar kalo kejadian di gua gimana gitu,"

"Lu mo putus sama Refin?" Saya menggodanya.

"Astagaa!" Slamet kaget, "Nggak, Sir. Gak kepikiran putus. Lagi baik-baik aja."



Fast & Feel Love disajikan dalam nuansa komedi yang kuat namun tidak slapstik dan murahan, bahkan di beberapa adegan saya menangkap kesan satir dan gelap. Sinematografi dan pengambilan gambar di buat modern dengan warna pastel yang teduh, melengkapi adegan dan beberapa karakter yang sangat jelas sekali sedang memparodikan filem populer terkenal, bahkan sampai ke taraf Meta Comedy. Drama yang dimasukan, yang menjadi magnet kelucuan film ini memang terkesan lebay, namun disaat yang sama tetap memberikan bekas yang dalam.

Film ini bercerita tentang Kao, seorang juara dunia olahraga susun gelas yang dicampakkan oleh pacarnya dan harus belajar keterampilan dasar orang dewasa agar bisa hidup sendiri dan mengurus diri sendiri. Di akhir cerita, penonton terbawa emosi dengan resolusi yang menggantung namun juga dibuat senang akan perkembangan karakter Kao yang tumbuh menjadi manusia dewasa. Seperti kebanyakan kita yang tumbuh seiring dengan masalah serta orang-orang yang datang dan pergi di kehidupan, yang membuat kita menjadi lebih dewasa atau malah sadar bahwa kita terlambat dewasa.



Perpisahan yang pahit namun "baik-baik" saja juga disajikan Nawapol dalam Happy Old Year. Dibanding Fast & Feel Love, film ini lebih serius dan depresif walaupun juga masih menampilkan sedikit sisi komedi yang suram.

Saya penasaran serta punya ekspektasi tinggi ketika Slamet menceritakan premis Happy Old Year, dan itu terbayar lunas setelah saya selesai menonton. Film ini bercerita tentang Jean, wanita yang ingin mengubah design tempat tinggalnya menjadi minimalis, namun terbentur kenyataan bahwa membuang barang-barang dari masa lalu tidak semudah yang ia bayangkan, karena setiap benda punya cerita dan kenangan.

Pada beberapa adegan, penonton dibuat ikut merasakan kecanggungan, kegugupan, getaran dalam suara, serta konflik dalam klimaks yang terasa dekat karena dibuat dengan dialog datar tanpa teriakan namun berbobot, membuat nyeri dan menggugah. Itu yang membuat film ini menjadi halus, dalam serta mengaduk perasaan.

Minimalisme yang diusung film ini bukan hanya terwakili dari tampilan layar yang diubah menjadi 4:3, menurunkan kontras warna serta memasukan tema usang tentang melupakan masa lalu, namun juga karena peristiwa di dalamnya begitu sederhana, relevan, nyata bahkan sangat puitis. Ada sebuah benda metaforis yang kokoh memberikan nuansa seperti puisi dalam film ini, jika dalam Parasite metafora itu berbentuk batu, dalam film ini berbentuk piano. Ada shoot sekitar 1 menit yang hanya menampilkan wajah Jane dengan segala emosi di dalamnya. Betapa wajah bisa menapilkan visualisasi emosi yang tidak bisa dilukiskan oleh gambaran secanggih apapun.

Seperti dunia minimalis, film ini menyempitkan pandangan para karakter kepada dunia yang hitam putih, antara membuang dan melupakan, atau mengenang dan menyimpan. Dua ekstrim mutlak yang tidak punya resolusi jalan tengah. Tidak ada persahabatan, pilihannya antara meneruskan atau melupakan.

Itu sama seperti ketika saya akan memutuskan apakah akan memeruskan atau melupakan serial rekomendasi Kucey yang belum sempat saya tonton habis. So many movies and books, so little time, kata saya kepadanya melalui pesan WA.

"Mister Nailal jangan lupa nonton Voice," Sebelumnya Kucey meminta dengan emotikon berharap. Ia mungkin seumur dengan Slamet, dan tidak pernah jadi murid saya, tapi entah mengapa ia memanggil saya Mister. Saya tidak keberatan dipanggil apapun, but I've never felt like I was any teacher for her.

Voice adalah drama thriller asal Korea yang juga sudah diadaptasi ke Thailand. Serial yang tayang sejak 2017 ini bercerita tentang seorang detektif urakan dan seorang operator Emergency Call Centre dengan bakat mengenali suara, bekerja sama untuk menangkap penjahat yang membunuh orang yang mereka cintai. Saya menggoda Kucey yang merupakan fangirl NCT dengan menampilkan screenshot Voice versi Thailand, tapi sepertinya ia sedang tidak ingin bercanda, atau memang selera humor kami yang berbeda.

Saya sadar akan konsekuensi Cancel Culture karena mengolok-olok fandom K-Drama, namun bagi saya, lucu adalah ketika di telinga masih hangat terngiang "swadikaap", saya membuka Netflix dan menemukan Voice versi Thailand yang menampilkan adegan awal yang klise dengan penjahat psycho tapi dungu karena tidak menyita handphone dari orang yang ia culik. Saya sempat berharap mungkin akan lebih menarik jika sepanjang episode para karakter mengucapkan swadikap saja sebanyak-banyaknya.

Sungguh saya tidak terbiasa mendengar bahasa Thailand atau Korea. Bahkan ketika menonton Money Heist --yang saya lebih suka versi Korea dibanding Prancis, saya men-dubbing dengan Bahasa Inggris. Senang sekali bisa mendengar tokoh-tokohnya fasih berbahasa Inggris dan bisa mengucapkan huruf akhir tanpa suku kata dengan benar. Mantap! Bukan Mantapu!

Sejujurnya, Voice versi Thailand jauh lebih saya suka karena ia menghilangkan atau mengganti adegan, drama serta dialog yang tidak perlu pada versi Korea, disamping juga membuat alur dan logika cerita menjadi lebih jernih. Di episode perdana, kemampuan unik Irin/Lee Hana membuat saya teringat Patrick Jane dalam The Mentalist yang mencari psikopat pembunuh istri dan anaknya dengan keahlian mentalisme, atau crime serial Amerika seperti Castle, Lie to Me, Forever, atau Perception, yang menggunakan keahlian unik para protagonis untuk memecahkan masalah kriminal. Satu hal yang mungkin paling kentara membedakan Voice dengan serial kriminal Amerika adalah ia menyajikan ketegangan dari hasil perpaduan sound, pengambilan gambar dan pemotongan adegan yang bisa membuat penikmatnya kecanduan.

Araseo!