Qoffal Shoghir meminta saya menulis tentang bola, “Bikin tulisan lagi dong, Bang!”
Dia tidak pernah belajar, karena kalimat itu di kepala saya terdengar, “Bully saya lagi dong, bang!”
Permintaan itu bermula ketika saya mengomentari status WA-nya tentang kekalahan City.
“Akan tiba waktunya…” saya berkomentar.
“Semoga Tuhan mengiyakan.” Qoffal menjawab senang. LFC, tim kesayangannya, berpotensi memenangi liga musim ini. Punya poin terbanyak sampai paruh musim, dari awal pertandingan tidak pernah terkalahkan. Maka kekalahan City malam itu —saingan terdekat LFC— merupakan hal yang ia sukuri.
Tapi seperti yang saya bilang, Qoffal tidak pernah belajar, karena saya meneruskan komentar, “Akan tiba waktunya… untuk kekalahan pertama.”
Dan saya balas komen “Semoga Tuhan mengiyakan.” dengan amin.
Beberapa hari setelahnya, doa yang saya amini itu terkabul. Kalah dari Wolves dan gugur di Piala FA, kemudian kalah dari City di Premier League. Bukan salah saya, ia yang berdoa, saya hanya mengamini.
“Ada komentar, Bung Ahay?” saya bertanya setelah kekalahan pertama.
“Begini ya rasanya kalah?”
“Jadi murtad ke Wolf, Bung?"
“Sebentar lagi jersey Wolves sampe rumah.”
Saya kira dia sudah mulai terbiasa kembali dengan perasaan inferior; tidak mendapat apa yang diharapkan.
Pada kesempatan selanjutnya, ia membalas dengan bilang kalau tampang saya di foto yang baru diposting Ahmad Rifai seperti Bang Udin di sinetron Tukang Ojek Pengkolan. Itu serangan balik yang tidak elegan. Tapi saya cukup terhibur.