Anak itu menumpang sepeda,
“Mau kemana, Dik?” sopir bertanya,
“Ke barat, Kak.” Ia berkata.
“Pas kalau begitu. Aku mau ke langit.”
Ia berpegangan di kursi belakang,
sopir mengayuh sepeda dengan tenang,
sambil bersenandung ia menghitung pohon, awan, jalan dan ilalang.
Mereka melewati banyak hutan juga kuburan,
keluar masuk sambil bertanya pada kukang dan beruang,
pohon mana yang paling dekat dengan tawang.
Sampai di satu persimpangan,
hujan turun dengan riang. Ia berdebat dengan supir
tentang jalan mana yang akan diambil.
Ia turun dari atas sepeda melorotkan semua kenangan
mengakhiri sedu sedan perjalanan
masa lalu dalam telaga jingga
ketika sore hari hujan turun dan merobek lentera kertas.
Sopir terus mengayuh sepedanya ke langit,
mungkin ingin bertemu Tuhan. Anak itu merogoh saku
mencari selembar puisi yang sudah hilang,
mungkin tertinggal di kursi belakang.
Sebait yang terus menempel dalam ingatan sendirian,
“Bahagia ada dalam doa
di hati yang telah selesai dengan dirinya,”
semoga ketika Tuhan membacanya
ia sedang tertidur pulas dan merdeka
ia sedang tertidur pulas dan merdeka