Halaman

Jumat, 03 April 2020

Merdeka Belajar dan Menghindari Bunuh Diri Masal

Beberapa bulan yang lalu, ketika pemerintah menyerukan #MerdekaBelajar, banyak orang tua dan juga guru gagal mencerna seruan itu. Jangankan untuk menerapkan, mendefinisikan belajar yang merdeka saja kebanyakan kita gagap.

Sederhananya, pendidikan yang merdeka adalah sistem belajar yang paling natural dan dipercaya yang paling berhasil untuk membuat anak belajar secara alamiah. Pemahaman disertai implementasi sistem ini tentu tidak mudah, Ki Hajar Dewantoro yang kita sebut Bapak Pendidikan Nasional saja tidak berhasil meyakinkan rekan-rekan sebangsanya tentang ini bahkan ketika beliau masih hidup.

Kebanyakan kita ragu bahkan takut tentang apakah bisa anak-anak belajar secara alamiah? Dapatkan mereka belajar secara sukarela tanpa paksaan? Dapatkah mereka belajar karena memang mereka butuh dan menyukainya?

Kita memang cenderung takut dengan hal-hal yang tidak kita pahami. Awalnya saya juga takut dan ragu, namun akhirnya takjub sendiri dengan kemampuan anak-anak yang belajar secara merdeka. Syaratnya mereka diberi kebebasan, stimulasi dan lingkungan pendidikan yang tepat. Ki Hajar mengibaratkan anak sebagai tanaman, dan para pendidik ibarat petani. Petani tidak bisa memperlakukan atau merawat tanaman padi seperti ia merawat tanaman jagung. Petani hanya memberi pupuk yang pas, merawat serta membuat lingkungan yang cocok dan nyaman sesuai jenis tanaman.

Gagasan Ki Hajar tentu sangat revolusioner pada zamannya, bahkan masih relevan sampai sekarang. Orang dewasa kadang bersikap naif dan ingin anak menguasai berbagai macam ilmu yang mereka anggap penting dan tidak jarang melupakan “jenis tanaman” apa anak tersebut. Anak hanya dianggap objek dan tidak pernah dimintai pendapat atau diamati kecenderungan naluri alami, kecerdasan dan bakatnya.

Pada prinsipnya, tidak ada anak yang tidak suka belajar. Belajar adalah naluri alami anak-anak. Orang dewasa yang membuat belajar menjadi kaku, membosankan dan tidak bermakna. Anak hanya diceramahi dan diukur keberhasilannya hanya dengan dasar bisa mengerjakan soal-soal.

#MerdekaBelajar pada saat karantina seperti sekarang menemukan momentumnya. Beberapa orang yang memahami hal ini telah melakukan jauh-jauh hari secara mandiri dengan homeschooling. Saya hanya bagian kecil dari kelompok itu. Saya tidak sedang mengajak semua orang untuk melakukan homeschooling, tapi keadaan yang membuat kita semua melakukan ini. Namun di tengah terror pandemi, kebanyakan kita kepayahan menjalankan konsep ini. Kepala sekolah menginstruksikan para guru untuk membuat segala macam tugas dan ceramah yang akan dijejalkan kepada anak-anak melalui alat-alat yang mereka baru tahu, yang menyiapkannya memakan banyak waktu dan membuat mereka tertekan. Anak-anak diangap belajar jika mereka duduk tenang, mendengarkan guru dari media-media jarak jauh itu, dan mengerjakan dengan cekatan soal-soal latihan. Anak-anak, sebagaimana kebanyakan mereka yang berbeda-beda karakter, mulai tertekan. Tuntutan orang tua kepada sekolah yang terlanjur salah kaprah semakin memperparah beban anak-anak. Orangtua juga ikut tertekan. Dan semua ini adalah cara yang ampuh untuk melakukan bunuh diri bersama.

Menurut saya tidak masuk akal jika ada yang ingin memindahkan sekolah ke rumah dengan target belajar seperti di sekolah. Tidak adil bagi guru, orangtua juga anak-anak. Dalam proses homeschooling yang sesungguhnya saja, ada masa penyesuaian yang bahkan bisa memakan waktu yang tidak sebentar. Sebab kondisi di rumah berbeda dengan sekolah, dan orang tua bukanlah guru. 

Hal awal yang fundamental yang mesti dilakukan saat ini adalah menurunkan ekspektasi. Dalam kondisi darurat seperti sekarang, kita tidak bisa mengharapkan hasil atau pola seperti kondisi normal. Mari pikirkan kembali tentang visi pendidikan, tentang hal-hal yang mesti dimiliki anak dalam hidup mereka yang masih panjang. Setelah itu, mari kita berdiskusi tentang pemahaman, strategi belajar, dan pengelolaan aktifitas belajar berbasis keluarga masing-masing.

Mengapa harus sesuai dengan konteks keluarga masing-masing? Karena itu adalah hal utama dan paling mendasar dalam melakukan homeschooling. Dimana belajar tidak bisa dipisahkan dari kehidupan keluarga, tapi disatukan dan dimanfaatkan. Jadi keberhasilah homeschooling adalah menyatukan pembelajaran anak dengan budaya dan keseharian dalam keluarga.

Mari kita berbicara pada tatanan yang lebih praktis. Memanfaatkan budaya keluarga berarti mengenali kebiasaan baik dalam keluarga dan keahlian orangtua. Orangtua yang senang mendengarkan musik, menggunakan lagu dan dan instrumen musik sebagai media belajar. Orangtua yang suka membaca, akan mudah menularkan kesukaan pada literasi atau menjadikan literasi sebagai alat belajar anak. Begitupun orang tua yang memiliki keahlian bercocok-tanam, berolahraga, menonton, menulis dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan yang disukai orang tua dan keluarga itu itu bisa dikembangkan menjadi kegiatan dan alat belajar dalam proses belajar anak. Itulah yang dimaksud mengintegrasikan dan tidak memisahkan antara keseharian dan kehidupan keluarga dengan proses belajar.

Anak-anak bisa belajar melalui hal-hal yang ada pada keseharian mereka, melalui hal-hal yang ada di lingkungan keluarga dan rumah. Belajar Matematika bisa menggunakan batu yang mereka temukan di halaman atau menggunakan mainan mereka. Memperhatikan belalang yang hinggap di daun, kemudian mengamati cara ia makan dan berkembang biak juga bisa dijadikan sarana untuk belajar. Bahkan mengobrol pun bisa dijadikan sarana belajar. Obrolan anak dan orangtua terhadap satu hal merupakan proses belajar dengan kualitas tinggi. Disitulah keterampilan orangtua dalam membangun percakapan yang nyaman dan produktif diuji.

Homeschooling memberikan kebebasan kepada setiap keluarga untuk mengurusi pendidikan anak-anak mereka. Karena bebas dan tidak baku, maka ada juga model homeschooling yang mencontoh sekolah formal, atau school-at-home. Namun seringkali bentuk itu tidak efektif dan rumit. Karena sejatinya homeschooling memang berbeda dengan sekolah. Jadi jangan membayangkan homeschooling berarti anak-anak harus belajar secara online. Bukan berarti saya mengharamkan belajar online, tapi hanya menyandarkan pendidikan pada hal tersebut, sehingga menganggap jika tidak melakukan itu berarti anak-anak tidak belajar, adalah sesuatu yang salah.

Untuk itu, pemahaman orang tua tentang belajar harus diperluas, dan keterampilan merawat anak-anak perlu ditingkatkan. Orangtua yang baik adalah orang tua yang belajar. Begitulah seharusnya orang tua punya kesadaran pribadi untuk mengupgrade pemahaman mereka dalam melihat belajar dan pendidikan. Saat ini sudah ada banyak cara yang bisa ditempuh, tinggal ada kemauan. 

Memperluas makna belajar berarti kita tidak lagi mengejar target kurikulum. Memperluas makna belajar berarti kita bisa melihat berbagai alternatif kegiatan belajar dan tidak memaksakan diri pada pandangan kaku bahwa belajar adalah mengerjakan mata pelajaran dan mengejar nilai ujian dan rapor. 

Anak tekun pada sesuatu atau hobi seperti membaca, menggambar, bermain sepeda dan lain-lain, juga merupakan belajar; belajar mengenal diri sendiri (learn to be). Menjawab pertanyaan dan keingintahuan anak dengan serius kemudian membuatnya menjadi project juga merupakan belajar; belajar memahami (learn to know). Anak-anak melakukan hal-hal keseharian seperti memasak, mencuci pakaian, menjahit, memperbaiki mainan yang rusak juga merupakan belajar; belajar keterampilan (learn to do). Anak-anak bermain dengan kawan-kawannya, berinteraksi dengan kakek-nenek, sepupu, keponakan dan bisa mencari solusi atas masalah-masalah sosial yang mereka hadapi juga merupakan belajar; belajar hidup bersama (learn to live together). Pada masa ketika tempat kegiatan hanya di rumah, pilihan kita untuk mencari sumber belajar memang menjadi terbatas. Namun pilihan itu bisa diperluas ketika kita memperluas pemahaman akan makna belajar.

Ketika saya menulis ini di depan laptop, Safa (7 tahun) bertanya, “Pak, kura-kura bisa segede apa?”

Saya berhenti mengetik kemudian mengajak Safa ke rak buku. Sambil menurunkan beberapa buku, saya mengajak, “Ayo kita cari di ensiklopedia.”

“Aku kan belum bisa baca?”

“Nanti bapak yang bacain. Sekarang kamu cari aja yang ada gambar kura-kura atau penyu.”

Begitulah proses belajar dimulai. Belajar melalui pertanyaan dan rasa penasaran. Saya tidak pernah menghawatirkan keterlambatan membaca Safa. Saya juga tidak pernah membandingkan Safa dengan Nada kakaknya (9 tahun) yang kemampuan membacanya pesat. Apakah karena kemampuan literasi Nada lebih bagus dari Safa berarti Nada lebih cerdas? Ya dalam satu hal, tapi keceradasan anak-anak itu bermacam-macam dan berbeda satu dengan yang lain. Mereka punya keunikan yang layak diamati dan dikembangkan. Kuncinya adalah fokus pada kelebihan dan tidak terlalu khawatir dengan kekurangan.

Pada kasus Safa, kita bisa mulai mengapresiasi kelebihannya. Inisiatif bertanya dan usaha mencaritahu sendiri di ensiklopedia adalah hal yang harus diapresiasi. Safa mengenal batasan bahwa ia belum lancar membaca itu juga hal yang bisa diapresiasi. Ia belajar mengenal batas dan kemampuan diri, tidak takut bertanya, tau bagaimana menjawab keingintahuan, menghargai kegelisahan diri dan pada akhirnya menjadiakan semua itu kegiatan belajar yang produktif. Ia membuka dan mencari informasi di ensiklopedia, menandai hal-hal penting yang menjadi tujuan, tidak terdistraksi dengan hal-hal lain, mencari kertas dan pensil untuk menggambar, mendengarkan penjelasan, kagum dengan fakta-fakta yang ada, menurut saya itu adalah proses belajar yang lebih bermakna dan akan selalu diingat. Safa menggali keingintahuannya sendiri, membutuhkan itu, menginginkan itu, bukan hanya disuapi informasi yang ia tidak inginkan. Lebih dari itu ia dilatih untuk bisa menjadi Pembelajar Mandiri.

Gambar awal. Karena sudah malam, saya mengajak meneruskan dan membuat grafis yang lebih bagus besok pagi.
Salah satu tujuan penting homeschooling adalah menyiapkan anak-anak untuk bisa menjadi Pembelajar Mandiri. Anak perlu belajar bagaimana mencari ilmu sendiri. Karena ilmu pengetahuan berkembang, orangtua cepat atau lambat akan dikalahkan anak-anak mereka dalam hal ilmu dan kemampuan. Maka penting anak-anak untuk tahu cara memenuhi hasrat keingintahuan dan belajar mereka.

Untuk menyiapkan anak-anak menjadi Pembelajar Mandiri ada dua kunci utama, budaya belajar dan keterampilan belajar (learning culture and learning skills). Masa-masa pandemi ini tidak bisa diprediksi, tapi sepertinya tidak akan tiba-tiba hilang besok pagi. Maka disaat seperti ini kita bisa mendorong anak-anak untuk bisa melakukan manjemen diri. Itu salah satu keterampilan belajar dimana anak mengenal tujuan belajar, mengeksekusi, dan melakukan refleksi atas proses dan hasilnya. Memang memakan waktu yang tidak sebentar dan instan, tapi hasilnya akan sepadan.

Melalui tulisan singkat ini, saya mengajak dan mengingatkan terutama kepada diri saya sendiri juga kepada semua orang yang peduli pada pendidikan anak, untuk melihat masa-masa di rumah ini sebagai masa-masa pembelajaran. Karena anak-anak lebih banyak belajar dari mencontoh. Mereka tidak hanya ingin mendengar nasihat kosong, mereka lebih meneladani contoh dari keseharian yang mereka alami. Pengasuhan bukanlah perlombaan mencari kebanggaan dan anak bukanlah sarana untuk memuaskan ego orangtua.

Semoga kita bisa mengasuh dan mendampingi anak agar bisa tumbuh sesuai dengan keunikan masing-masing. Semoga kita sekeluarga senantiasa diberi kesehatan.