Jumat, 29 Mei 2020

Norwegian Wood; Sebuah Review

Ketika sedang berjalan-jalan berdua di tepi hutan pinus di musim gugur, Naoko pernah meminta kepada Watanabe, “Aku ingin kau mengingatku. Maukah kau terus mengingatku bahwa aku ada dan pernah berada di sampingmu seperti ini?”

Dengan kepercayaan diri dan kesombongan khas anak muda yang sedang dimabuk cinta, Watanabe menjawab lantang, “Tentu saja! Aku akan terus mengingatnya,”

“Kau betul-betul tak akan melupakan aku selama-lamanya?” Naoko bertanya pelan seolah berbisik.

“Sampai kapanpun aku tak akan melupakanmu,” Watanabe masih dengan keyakinan, bahkan ia mengukuhkan janji, “Tak mungkin aku dapat melupakanmu.”

Duapuluh tahun kemudian, Watanabe menyadari keluguan dirinya ketika menjanjikan hal bodoh itu. Umurnya 37 tahun ketika menyadari itu, ia sedang duduk di dalam Boeing 747 yang mendarat di Hamburg. Orkestra yang memainkan Norwegian Wood mengalun elegan dari pengeras suara mengiringi penumpang yang mulai turun satu persatu. Watanabe masih terduduk di kursinya, membungkuk menutupi wajah dengan kedua tangan. Kepalanya bergolak seperti mau meledak. Pikirannya terbawa bersama alunan suara dari masa lalu, masa ketika Naoko masih hidup, ketika mereka berdua senang mendengar petikan gitar yang mengalunkan Norwegian Wood.

Dua puluh tahun yang lalu, tidak beberapa lama setelah Naoko meminta Watanabe berjanji, Naoko bunuh diri. Ia menggantung diri pada batang pohon di sebuah pagi yang masih sunyi. Mudah saja mengingat seseorang atau sesuatu ketika itu baru saja terjadi. Namun seiring berjalannya waktu, kenangan itu perlahan memudar, dan Watanabe terlalu banyak melupakan semuanya. Kenangan Naoko di benaknya bertahun-tahun yang lalu, perlahan tapi pasti melindap. Seiring mengaburnya ingatan itu, Watanabe menjadi lebih mengerti mengapa Naoko meminta untuk tidak pernah melupakannya. Mungkin Naoko tidak benar-benar mencintai Watanabe dan hanya ingin membuatnya nelangsa. Karena tidak ada yang lebih menyakitkan dari janji yang tidak bisa kamu lakukan kepada orang yang telah tiada. Manusia adalah mahluk lemah, menjanjikan untuk selalu mengingat sebuah kenangan selama-lamanya adalah sesuatu yang tidak realistis. Kecuali kamu ingin melanggar janji sendiri, atau ingin membuat dirimu nelangsa, sebaiknya jangan kamu ucapkan.

Itulah pesan yang saya dapat setelah membaca ulang Norwegian Wood. Adalah keahlian Murakami untuk menyajikan banyak makna, dan memang begitu karya sastra seharusnya. Apa yang orang dapat dari sebuah karya terkadang berbeda satu sama lain. Bahkan satu orang yang sama, berbeda apa yang didapat ketika ia membaca ulang sebuah karya. Begitulah yang terjadi kepada saya ketika membaca ulang Norewegian Wood.