Percakapan dengan kawan lama tidak pernah berlangsung sebentar, dan hujan di malam 31 Desember membuat percakapan selama apapun menjadi wajar, karena kami jadi punya alasan untuk tidak buru-buru pulang. Bahkan jika banjir melanda sebagian negara, kami akan meneruskan percakapan di atas bahtera Nabi Nuh.
“Bagi orang yang terlalu sering sakit hati, juara memang terdengar bercanda.” Kata saya ke Qoffal. Saya sudah memprediksi, bahkan dari sebelum peretengahan musim, bahwa Liverpool akan juara Liga Inggris. Saat itu Qoffal masih belum yakin, katanya semua hal masih bisa terjadi.
Benar saja. Kami bertiga yang malam itu berada di pelataran rumah sakit tidak ada yang menyangka bahwa saat itu, jauh di tempat lain, sebuah virus telah menjangkit dan akan menyebar untuk mengacaukan tatanan dunia, termasuk sepakbola. Jadi kemungkinan Liverpool juara bisa gagal atau paling tidak tertunda sampai waktu yang entah kapan.
“Liperpul emang lagi keren-kerennya sih.” Edo menimpali.
“Nanti saya baru yakin kalo sepertiga musim masih konsisten kayak gini, bang.” Qoffal sangsi.
Saya tidak punya keresahan sama sekali ketika Si Merah tidak menjuarai apapun musim ini, atau gagal secara dramatis di Champion saat melawan Atleti. Mungkin Liverpudlian bisa merasakan bagaimana sakitnya fans Barca dengan kekalahan yang sama pahitnya musim lalu, tapi bagi saya itu malam yang biasa saja. Saya tetap bangun selepas azan subuh dan dua kali menekan snooze alarm.
Keresahan satu orang bisa menjadi keresahan orang lain tapi bisa juga tidak, maka malam itu kami lebih banyak mendiskusikan keresahan bersama. Kami punya banyak keresahan; tentang keimanan, praktek agama, pendidikan dan anak-anak.
Edo sedang meresahkan anaknya yang tahun ini lulus SD dan akan masuk pesantren. Saya meresahkan praktek agama dan keimanan yang arogan. Sementara Qoffal saat itu sedang resah karena Syatir, anaknya yang baru berumur beberapa Minggu, sedang berjuang melawan Serratia Marcescens di ruang ICU. Ia masih ragu dan menimbang tindakan Bronkoskopi. Di ruangan sebelah ICU tempat berkumpul keluarga pasien, ketika panggilan terdengar dari paging pengeras suara, para keluarga khawatir itu adalah panggilan pemberitahuan tentang kematian. Bagi seorang bapak, saya bisa merasakan beratnya beban itu. Bagi saya, yang selalu memindahkan saluran atau mematikan TV ketika ada berita tentang kekerasan pada anak, tidak bisa membayangkan akan kuat berada di posisi Qoffal saat itu.
Nada juga pernah bertarung melawan bakteri yang menyerang Bronkus-nya. Maka saya sedang tidak menyenangkan siapapun ketika bilang bisa merasakan apa yang dirasakan Qoffal. Keinginan setiap bapak ketika melihat anak dalam kepedihan pasti sama, berharap sakit itu bisa berpindah kepada dirinya. Namun sebagai manusia yang lemah, kita tidak bisa sombong. Kita hanya mampu berusaha, bersabar dan berdoa, pada akhirnya Allah yang punya rencana.
Mei tanggal 22, Qoffal menghubungi saya minta doa untuk Si Bontot, karena ngedrop dan tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya 26 Mei yang lalu, Syatir menghembuskan nafas terakhir. Alhamdulillah inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
Saya belajar bahwa sekuat apapun kita mencoba melindungi anak kita, pada akhirnya mereka akan terluka juga, dan kita akan terluka dalam proses itu.
Ya Allah yang Maha Pengasih, jadikan dia sebagai pahala yang disegerakan, dan simpanan abadi, dan sumber pahala bagi orang tuanya.
Ya Allah yang Maha Pemurah, jadikan dia yang menunggu kedua orang tuanya, simpanan dan pemberi syafaat yang dikabulkan.
Alfatihah...