“Jadi apa saran lu buat gua?” Abby bertanya setelah selesai menceritakan proses mulai dekat dengan Emma —yang juga kawan saya— sampai akhirnya menyatakan perasaan kepada wanita itu.
“Gentar gua kalo nyuruh ngasih saran,” saya menjawab cepat.
“Hampir semua orang yang gua minta saran, bilang supaya jangan nyakitin dia. Gak ada satupun yang nyaranin dia, buat gak nyakitin gua. Dikira gua gak punya hati kali.”
Dan kami tertawa bersama.
Emma dan Abby baru beberapa minggu jadian. Seperti layaknya orang yang sedang jatuh cinta, Abby menceritakan betapa spesialnya Emma, betapa unik, baik dan manisnya dia. Sementara Emma juga menceritakan hal yang sama tentang Abby. Ia menceritakan betapa sayang Abby kepadanya, betapa baik dan banyak kesamaan mereka; film, warna, selera makanan, tangan yang memakai jam dan banyak lagi.
“Gua ngerasa beda banget pacaran sama dia,” Emma bercerita suatu waktu, “Kayak, asik aja gitu,”
“Asiknya gimana?” Saya penasaran.
“Gak tahu. Kayaknya emang gua lebih cocok sama orang yang lebih tua deh.”
"Yang lebih dewasa maksud lu," Saya menafsirkan.
Emma dan Abby merasa cocok satu sama lain dan ingin hubungan yang serius. Hal-hal yang mereka ceritakan adalah hal yang biasa terjadi ketika awal-awal pacaran. Bagi saya kisah mereka seperti kebanyakan cerita cinta yang saya tahu. Saya pernah mengalaminya, dan sering menyaksikan terjadi pada kawan-kawan saya, atau menghayatinya lewat “Ada Apa dengan Cinta?”
Bukan saya meremehkan kisah mereka, justru saya menghargai dan seperti bisa merasakan kembali rasa itu. Tentang kegugupan ketika mengatakan cinta untuk pertama kali, tentang pengakuan diam-diam, debar di dada, kupu-kupu dalam perut, lagu-lagu cinta yang kembali jadi punya arti, perasaan senang dan senyum yang tak henti-henti, menjaga dan memperlihatkan hal-hal baik, menyembunyikan hal-hal buruk, melakukan kebohongan-kebohongan kecil serta hal-hal yang menyenangkan lain.
“Gua belum ngerasa pantes ngasih saran. Hidup sendiri aja belom bener,” kata saya ke Abby.
“Gua gak minta saran yang macem-macem. Kasaih saran yang normal aja.” sambil menghembuskan asap rokok, Abby masih meminta.
Saya kagum dengan kerendahhatiannya. Secara umur, ia lebih tua, secara pengalaman dan pergaulan tentu ia punya lebih banyak, jadi saya tidak tahu saran apa yang sebenarnya diharapkan.
Saya berpikir sejenak.
Menyarankan untuk tidak menyakiti pasangan membuat saya gentar, karena secara langsung nasihat itu menohok diri sendiri. Lagipula, tidak menyakiti adalah pesan yang abstrak, karena ukurannya tidak jelas. Apa yang dimaksud “menyakiti”? Dan apakah manusia bisa tidak menyakiti manusia lain selama-lamanya? Pesan itu mengingatkan saya pada janji Watanabe untuk tidak pernah melupakan Naoko dalam Norwegian Wood – Haruki Murakami.
Saya mengenal Emma lebih lama daripada saya mengenal Abby. Saya ikut menyaksikan ketika Emma jatuh ke jurang cinta yang paling dalam, saya ada di sana ketika akhirnya ia patah hati yang paling remuk, saya mendengarnya menangis, memahami gugatan dan pemberontakannya untuk melepas jilbab. Namun pada akhirnya, —karena segala sesuatu pasti punya akhir— sekuat tenaga ia bangkit, dan sekarang ia jatuh cinta lagi. Saya kira Abby juga punya kepahitan yang sama. Ia adalah duda beranak satu.
Mereka adalah orang-orang yang dipertemukan trauma. Patah hati memang meninggalkan trauma, sekecil atau setipis apapun. Bisa berwujud kecemasan atau ketakutan. Tidak jarang membuat pandangan hidup menjadi buram. Satu hal yang mereka pahami, bahwa mereka tidak merencanakan hal-hal buruk terjadi kepada mereka sebelumnya. Tentu, tidak ada orang yang merencanakan apalagi mengharapkan hal itu akan terjadi lagi. Saya pribadi berharap hubungan mereka bisa berlangsung panjang.
Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungan. Gottman, peneliti dan direktur eksekutif dari Relationship Research Institute, mengklaim bahwa hanya 3 jam dengan pasangan sudah cukup baginya untuk memprediksi apakah mereka akan tetap bersama di masa depan (3-5 tahun) dengan akurasi lebih dari 90%. Saya membaca Gottman dan saran-saran untuk memperkuat hubungan, namun saya tidak bisa memprediksi apapun di masa depan karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Di luar para peneliti dan para relationship expert itu, saya juga belajar banyak dari kawan-kawan.
Saya punya beberapa kawan yang dengan tulus menceritakan kisah cinta mereka, dengan segala romansa dan masalah-masalahnya. Sebagai penikmat cerita, saya selalu senang mendengarkan. Cerita mereka bahkan sering menjadi inspirasi tulisan. Karena sejatinya mengamati manusia adalah pekerjaan penulis. Hemingway, penulis peraih Nobel itu bilang, "I like to listen. I have learned a great deal from listening carefully. Most people never listen." Walaupun sebagai orang yang tidak terlalu punya banyak teman, belakangan saya juga kaget sendiri tentang beragam cerita-cerita mereka.
Emma dan Abby merasa cocok satu sama lain dan ingin hubungan yang serius. Hal-hal yang mereka ceritakan adalah hal yang biasa terjadi ketika awal-awal pacaran. Bagi saya kisah mereka seperti kebanyakan cerita cinta yang saya tahu. Saya pernah mengalaminya, dan sering menyaksikan terjadi pada kawan-kawan saya, atau menghayatinya lewat “Ada Apa dengan Cinta?”
Bukan saya meremehkan kisah mereka, justru saya menghargai dan seperti bisa merasakan kembali rasa itu. Tentang kegugupan ketika mengatakan cinta untuk pertama kali, tentang pengakuan diam-diam, debar di dada, kupu-kupu dalam perut, lagu-lagu cinta yang kembali jadi punya arti, perasaan senang dan senyum yang tak henti-henti, menjaga dan memperlihatkan hal-hal baik, menyembunyikan hal-hal buruk, melakukan kebohongan-kebohongan kecil serta hal-hal yang menyenangkan lain.
“Gua belum ngerasa pantes ngasih saran. Hidup sendiri aja belom bener,” kata saya ke Abby.
“Gua gak minta saran yang macem-macem. Kasaih saran yang normal aja.” sambil menghembuskan asap rokok, Abby masih meminta.
Saya kagum dengan kerendahhatiannya. Secara umur, ia lebih tua, secara pengalaman dan pergaulan tentu ia punya lebih banyak, jadi saya tidak tahu saran apa yang sebenarnya diharapkan.
Saya berpikir sejenak.
Menyarankan untuk tidak menyakiti pasangan membuat saya gentar, karena secara langsung nasihat itu menohok diri sendiri. Lagipula, tidak menyakiti adalah pesan yang abstrak, karena ukurannya tidak jelas. Apa yang dimaksud “menyakiti”? Dan apakah manusia bisa tidak menyakiti manusia lain selama-lamanya? Pesan itu mengingatkan saya pada janji Watanabe untuk tidak pernah melupakan Naoko dalam Norwegian Wood – Haruki Murakami.
Saya mengenal Emma lebih lama daripada saya mengenal Abby. Saya ikut menyaksikan ketika Emma jatuh ke jurang cinta yang paling dalam, saya ada di sana ketika akhirnya ia patah hati yang paling remuk, saya mendengarnya menangis, memahami gugatan dan pemberontakannya untuk melepas jilbab. Namun pada akhirnya, —karena segala sesuatu pasti punya akhir— sekuat tenaga ia bangkit, dan sekarang ia jatuh cinta lagi. Saya kira Abby juga punya kepahitan yang sama. Ia adalah duda beranak satu.
Mereka adalah orang-orang yang dipertemukan trauma. Patah hati memang meninggalkan trauma, sekecil atau setipis apapun. Bisa berwujud kecemasan atau ketakutan. Tidak jarang membuat pandangan hidup menjadi buram. Satu hal yang mereka pahami, bahwa mereka tidak merencanakan hal-hal buruk terjadi kepada mereka sebelumnya. Tentu, tidak ada orang yang merencanakan apalagi mengharapkan hal itu akan terjadi lagi. Saya pribadi berharap hubungan mereka bisa berlangsung panjang.
Ilmu pengetahuan berkembang, begitu juga ilmu pengetahuan tentang bagaimana menjalin hubungan. Gottman, peneliti dan direktur eksekutif dari Relationship Research Institute, mengklaim bahwa hanya 3 jam dengan pasangan sudah cukup baginya untuk memprediksi apakah mereka akan tetap bersama di masa depan (3-5 tahun) dengan akurasi lebih dari 90%. Saya membaca Gottman dan saran-saran untuk memperkuat hubungan, namun saya tidak bisa memprediksi apapun di masa depan karena manusia adalah mahluk yang kompleks. Di luar para peneliti dan para relationship expert itu, saya juga belajar banyak dari kawan-kawan.
Saya punya beberapa kawan yang dengan tulus menceritakan kisah cinta mereka, dengan segala romansa dan masalah-masalahnya. Sebagai penikmat cerita, saya selalu senang mendengarkan. Cerita mereka bahkan sering menjadi inspirasi tulisan. Karena sejatinya mengamati manusia adalah pekerjaan penulis. Hemingway, penulis peraih Nobel itu bilang, "I like to listen. I have learned a great deal from listening carefully. Most people never listen." Walaupun sebagai orang yang tidak terlalu punya banyak teman, belakangan saya juga kaget sendiri tentang beragam cerita-cerita mereka.
Tentu tidak semua cerita cinta yang saya dengarkan berisi baik-baik saja. Beberapa kawan bercerita tentang masalah-masalah; sex before married, perselingkuhan, tidak ada restu orang tua, perceraian, kematian pasangan, perbedaan agama, perasaan yang hilang dan hal-hal yang tidak selesai.
Dari pengalaman dan pengetahuan mereka saya belajar bahwa seberapa mesra dan menggebu suatu hubungan di awal, gairahnya akan memudar dan sebaiknya ada perasaan lain untuk menggantikan.
Saya tidak ingin menyajikan pandangan yang muram tentang cinta, namun kita semua tahu bahwa cinta bukan sesuatu yang diam. Ia bergerak, tumbuh bahkan bisa mati. Pada jalur positifnya, cinta bisa menjadi energi yang menggerakkan, ia membuat seorang menjadi pribadi yang lebih baik.
Menutup tulisan ini, saya akan kembali mengutip Murakami.
Pada suatu hari, hiduplah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia pemuda itu delapan belas tahun; dan gadis itu enam belas tahun. Pemuda itu tidak terlalu tampan, dan gadis itu tidak terlalu cantik. Mereka adalah muda-mudi yang seperti pada umumnya cenderung kesepian. Namun mereka percaya sepenuh hati bahwa di dunia ini ada pasangan hidup yang 100% sempurna untuk mereka. Ya, mereka percaya pada mukjizat. Dan bahwa mukjizat bukanlah hal yang mustahil.
Suatu hari, si pemuda dan gadis itu tak sengaja berjumpa di ujung jalan.
“Luar biasa,” ujar si pemuda. “Aku sudah mencarimu seumur hidupku. Kau mungkin tidak mempercayai ini, tapi kau adalah gadis yang 100% sempurna untukku.”
“Dan kau,” balas gadis itu. “Kau adalah pemuda yang 100% sempurna untukku, persis seperti pemuda yang kubayangkan selama ini. Seperti mimpi rasanya.”
Mereka duduk di atas kursi taman, berpegangan tangan, dan menceritakan kisah hidup mereka masing-masing selama berjam-jam. Mereka tidak lagi kesepian. Mereka telah menemukan dan ditemukan oleh pasangan masing-masing yang 100% sempurna untuk mereka. Betapa indahnya menemukan dan ditemukan oleh pasangan yang 100% sempurna untuk kita. Sebuah mukjizat, sebuah pertanda.
Namun, saat mereka duduk dan berbincang, masih ada sedikit rasa ragu yang menggantung di dada: apa mungkin impian seseorang terkabul begitu saja dengan mudahnya?
Maka, ketika keduanya terdiam, si pemuda mengambil kesempatan untuk berkata kepada gadis itu: “Mari kita uji diri kita—sekali ini saja. Jika kita memang pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka di suatu saat, di suatu hari, kita pasti berjumpa lagi. Dan ketika itu terjadi, dan kita tahu bahwa kita adalah pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain, maka kita akan menikah saat itu juga. Bagaimana?”
“Ya,” kata si gadis. “Itu yang harus kita lakukan.”
Kemudian mereka berpisah. Si gadis melangkah ke arah timur, sementara si pemuda ke arah barat.
Meski begitu, proses uji itu sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena mereka memang benar pasangan yang 100% sempurna untuk satu sama lain—dan pertemuan awal mereka adalah sebuah mukjizat. Tapi mereka tak mungkin mengetahui semua ini di usia belia. Gelombang takdir yang dingin dan tak pandang bulu terus membuat mereka terombang-ambing tanpa akhir.
Pada suatu musim dingin, si pemuda dan si gadis menderita sakit flu yang terjangkit di mana-mana. Setelah dua minggu terkapar tanpa daya, mereka pun lupa terhadap tahun-tahun remaja mereka. Ketika mereka tersadar, ingatan mereka sama kosongnya seperti celengan baru.
Keduanya adalah individu yang cerdas dan ambisius; dan dengan usaha keras mereka berhasil membangun hidup mereka hingga menjadi sosok terpandang di masyarakat. Syukurlah, mereka juga menjadi warga yang taat peraturan dan tahu caranya naik kereta bawah tanah tanpa tersesat; yang sanggup mengirimkan surat dengan status kilat di kantor pos. Dan mereka juga sanggup jatuh cinta, terkadang cinta itu mengisi hati mereka sampai 75% atau bahkan 80%.
Waktu berlalu dengan kecepatan tak terduga; mendadak si pemuda telah berusia 32 tahun dan si gadis 30 tahun.
Di suatu pagi yang cerah di bulan April, dalam perjalanan untuk membeli secangkir kopi, si pemuda melangkah dari arah barat ke timur, sementara si gadis, dalam perjalanan ke kantor pos, melangkah dari arah timur ke barat. Keduanya menelusuri pinggiran jalan yang memanjang di sebuah area pusat perbelanjaan di Tokyo yang bernama Harajuku. Mereka saling melewati satu sama lain tepat di tengah jalan. Ingatan mereka kembali samar-samar dan untuk sesaat hati mereka bergetar. Masing-masing merasakan gemuruh yang mendesak dada. Dan mereka tahu:
Dia adalah gadis yang 100% sempurna untukku.
Dia adalah pemuda yang 100% sempurna untukku.
Namun, sayang, gema ingatan mereka terlalu lemah; dan pikiran mereka tak lagi jernih seperti empat belas tahun lalu saat pertama kali berjumpa. Tanpa mengutarakan sepatah kata pun, mereka melewati satu sama lain begitu saja, hilang di tengah keramaian. Selamanya.
(On Seeing the 100% Perfect Girl One Beatiful April Morning - Dikutip dari sini)
Seperti karya sastra yang baik, cerita itu punya banyak makna. Apa yang orang dapat dari sebuah karya terkadang berbeda satu sama lain. Murakami tidak menyuapi kita tentang norma-norma, tapi lebih dalam, ia menumbuhkan kesadaran dan membuat kita merenung kemudian bertanya kepada diri sendiri. Pada saya pertanyaan itu berupa; apakah ada jodoh yang 100% cocok? Jika itu ada, bagaimana kita tahu? Apakah kita berani untuk ambil segala resiko, atau malah terlalu gegabah dan sombong untuk pasti bisa bersamanya?
Itu pertanyaan-pertanyaan untuk saya. Bagi orang lain, pertanyaan-pertanyaan itu bisa berbeda tergantung latar belakang dan pengalaman hidup mereka. Maka saya selalu pada posisi tidak percaya diri jika diminta memberi saran, karena pengalaman dan latar belakang orang berbeda-beda.
“Tawakal.” Saran saya ke Abby akhirnya. Apa boleh buat, ia sudah dua kali meminta.
“Apaan tuh?” Abby mengernyitkan dahi.
“Di Katolik mungkin juga ada konsep itu,” saya menjelaskan.
Sebagai seorang kawan, saya senang melihat mereka bahagia. Cara menjalin hubungan harmonis tidak diajarkan di sekolah. Oleh karenanya, butuh kerendahatian, bahkan waktu seumur hidup untuk belajar mengerti dan memahami satu sama lain.
Saya percaya cinta akan menuntun mereka.