Rabu, 06 Desember 2017

Time heals Adil, but not in the skin

Pagi itu, beberapa menit setelah dokter UGD menyatakan bapak meninggal, saya menghubungi kawan saya Njay. Dia adalah guru di tempat Adil, adik bontot saya, mondok.

Saat itu Adil sedang ada Ulangan Semester. Dalam bayangan saya, Adil telah belajar super keras untuk mengangkat nilainya lagi. Untuk mendapat rangking lagi. Karena saingannya tidak main-main; cucu kiyai.

Saya menelpon Njay. Saya tahu kemudian bahwa Njay sendiri yang mengantar Adil pulang, tanpa diberitahu bahwa bapaknya meninggal. Adil mungkin sedikit curiga dijemput saat ulangan sedang berlangsung, tapi belum bisa menerka ada apa.

“Ayo, Dil. Ikut abang bentar.” Mungkin Njay ngomong gitu.

“Ada apa, Bang Njay?”

“Ayo ikut aja!”

Adil sempet rangking 1, kemudian disalip. Mungkin saat penjemputan itu Adil berpikir akan sebuah rencana subversif; Biar gue gak bisa rangking lagi nih. Gagal rebound dah gue. Malah udah taroan goceng-goceng lagi. Rese.

Njay mengantar Adil memakai motor. Di tengah jalan, kecurigaan Adil akan sabotase memudar. Seiring dia mengenal jalan yang dilalui. Maka sampai di rumah, begitu melihat bendera kuning, Adil mulai emosional. Tidak mungkin hanya karena ayam peliharaannya mati ada bendera kuning. Kalimat Muhasabah yang biasa dipakai becandaan, “Bayang kaaaan! Ada bendera kuning di depan rumah muuuu!” sudah tidak lucu lagi.

Turun dari motor, Adil sudah terlihat sedih. Ia sudah melihat nama di bendera kuning. Ia sudah tahu siapa yang meninggal. Begitu sampai di depan rumah, Adil menghampiri sesuatu yang ditutup kain putih.

“Bapaaak!” Adil histeris.

“Sabar, Dil!” Orang-orang menenagkan.

“Diem luh!” Adil semakin emosional. Mengibaskan tangan.

“Sabar, Dil!” Orang lain menenangkan.

“Jangan peganging gue!” Adil berontak.

“Bukan gitu, Dil.” Kata saya sambil mendekat, “Jenazah bokap di sana. Itu yang lu tangisin baskom amal.”

“Oh ini baskom amal?” Adil menyeka air mata dan pindah.

Wajar Adil menjadi anak yang paling sedih, karena dia adalah anak bontot dan paling dekat dengan bapak. Sangat dekat. Saking dekatnya, mereka joinan rokok. Joinan ngopi. Nggak, nggak. Becanda. Yang bener, Adil waktu kecil disapih pake kopi. Kalian pikir Adil gosong gitu karena apa? Ampas kopi nyerep ke kulit.

Sepanjang hari itu Adil menangis tanpa henti dan tidak bisa diajak bicara. Disuruh ngaji nggak bisa, di minta bantuin gotong jenazah gak mau. Hanya menangis. Kami memindahkan Adil ke kamar. Mungkin karena lelah menangis, atau lelah karena semalam bergadang bikin kebetan, akhirnya ia tertidur.

Adil kalau sudah tidur, Korea Utara meledak juga dia nggak akan tahu. Saya membangunkan Adil untuk salat zuhur. Tapi sia-sia. Mengulet pun tidak. Saya menyerah dan meninggalkan dia di kamar. Baru selangkah meninggalkan kamar, saya mendengar suara isak. Adil menangis lagi. Berlanjut. Goodbye and Cry Album Vol. II.

Kejadian itu sudah dua tahun berlalu. Seiring bertambahnya tahun, kesedihan akan kehilangan semakin memudar. Berganti dengan hal-hal yang di luar dugaan. Saya bisa melihat kelucuan dari kejadian itu. Bahkan saya pernah bermimpi, seperti di sinetron Indosiar —dimana ada karakter yang mati tapi hidup lagi, bapak hidup lagi. Jadi kuburan yang ada adalah kuburan palsu. Saya terbangun dengan perasaan geli sendiri. Saya membayangkan bapak berada di sebuah tempat di dunia ini. Mungkin di Maldives, sedang berjemur di bawah sinar matahari.

Benar apa yang dikatakan orang bahwa waktu yang akan menyembuhkan. Tidak sekedar itu, saya mendapat hal lain, bahwa waktu juga yang mendekatkan. Entah mengapa, saat ini saya merasa lebih dekat dengan bapak. Bukan berarti saya percaya arwahnya gentayangan, bisa nyurupin orang atau bisa dimasukin ke dalam botol minyak. Bukan.

Kedekatan itu bukan secara fisik. Walaupun ada suatu waktu, terutama ketika melihat orang yang perawakannya mirip bapak, saya jadi teringat beliau. Biasanya saya segera mendoakan dan mengirimkan Al Fatihah. Kedekatan yang saya maksud lebih kepada kedekatan secara kebatinan.

Saya pernah menulis bahwa perkara terbesar dari kehilangan orang terdekat adalah penyesalan terhadap apa yang belum kita lakukan. Itu yang paling awal terasa. Lambat laun kemudian kita mengikhlaskan bahwa tidak semua yang kita inginkan terwujud. Sekarang, saya berada di sebuah fase dimana saya memahami bahwa kematian bukanlah hal yang memisahkan. Saya merasa masih terhubung. Saya yakin di alam kubur beliaupun merasakan. Itu sebabnya Nabi mengajarkan untuk mengucapkan salam ketika memasuki area pemakaman. Artinya mereka memang masih berada di sana.

Ya, sekarang saya merasa lebih dekat dengan bapak, bukan lagi secara fisik, tapi spiritual.

Al Fatihah!