Teks keagamaan yang berkaitan dengan aikidah, menghindari redaksi-redaksi yang dapat menimbulkan kerancuan pemahaman. Kata “Allah”, misainya, tidak digunakan oleh Al-Quran ketika masyarakat masih memahaminya dalam pengertian yang keliru (Amatilah wahyu-wahyu awal yang diterima Rasul). Nabi sering menguji pemahama umat tentang Tuhan, misalnya beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama terdahulu enggan menggunakan kata “ada” atau “keberadaan Tuhan” tetapi menggunakan istilah “wujud Tuhan”.
Akidah diajarkan Nabi dengan jelas, tegas, tanpa penahapan dan banyak perincian. Ini berbeda dengan syariah. Pada mulanya shalat diwajibkan hanya dua kali sehari, dan ketika itu berbicara sambal shalat pun masih dibolehkan. Ada juga semacam kompromi dalam pelaksanaan syariah, namun tidak mungkin membicarakan masalah ini di sini. Tetapi yang jelas, segala cara ditempuh untuk memelihara kemurnian akidah.
Para pakar dari berbagai agama sepakat bahwa kerukunan umat beragama yang harus diciptakan, tidak boleh mengaburkan apalagi mengorbankan akidab. Sikap yang diduga dapat mengaburkan pun dicegahnya. Dalam kaitan inilah Islam melarang umatnya menghadiri upacara ritual keagamaan non-Muslim, seperti perayaan Natal. Karena betapapun Islam menjunjung tinggi Isa Almasih, namun pandangannya terhadap beliau berbeda dengan pandangan umat Kristiani.
Di sisi lain harus pula diakui bahwa ada ayat Al-Quran yang mengabadikan ucapan selamat Natal yang pernah diucapkan oleb Nabi Isa, tidak terlarang membacanya, dan tidak keliru pula mengucapkan “selamat” kepada siapa saja, dengan catatan memahami dan menghayati maksudnya menurut Al-Quran, demi kemurniaan akidah. Mungkin bagi seorang awam sulit memahami dan menghayati catatan ini. Nah, di sinilah para pemimpin dan panutan umat dituntut agar bersikap arif dan bijaksana sehingga sikapnya tidak menimbulkan pengeruhan akidah dan kesalahpahaman kaum awam.
Dalam suasana Natal yang dirayakan oleh umat Kristen, pada tempatnya umat Islam mengenang dan menghayati ucapan Selamat Natal yang diucapkan oleh Isa a.s. dan diabadikan Al-Quran: Salam sejahtera untukku pada hari kelahiranku, wafatku dan kebangkitanku kelak (QS 19:33). Namun, harus pula diingat bahwa sebelum mengucapkan salam tersebut ditegaskan oleh Al-Quran bahwa beliau adalah hamba Allah yang diperintahkan shalat, zakat, mengabdi kepada ibu, tidak bersikap congkak, dan tidak pula celaka (lihat QS 19: 30-32), dan ditutup ucapannya dengan berkata kepada umatnya: Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus (QS 19:36).
Inilah Selamat Natal ala Al-Quran. Adakah seorang Muslim yang enggan atau melarang ucapan Selamat Natal dengan maksud demikian, sambil mempertimbangkan situasi dan kondisi di mana diucapkan? Rasanya dan logikanya: Tidak! Semoga perasaan dan logika itu tidak keliru, dan tidak pula disalahpahami. []