Halaman

Jumat, 27 November 2009

Ketika Kau Tertidur

Aku lupa kapan pertama kali mengenalmu.

Lagi-lagi pada lipatan waktu yang tak tercatat. Mungkin ketika para kurcaci waktu melindungimu dari sihir perempuan gila yang ingin supaya kau musnah.

Dan kau pun hanya tertidur.

Dalam balutan sutra hijau dan tersenyum. Tidur yang paling indah yang pernah kau sajikan. Sampai datang seorang pangeran yang terobsesi dengan petualangan.

Dan kau pun hanya tertidur.

Diam.

Pangeran tampan pergi meninggalkanmu di tengah hutan, karena tak tahu yang mesti ia lakukan. “Tidurnya menyisakan perih.” Katanya kepada para hulubalang sambil ngeloyor pulang.

Dan kau pun hanya tertidur.

Ketika malam menyelimutimu dengan kedamaian, dan gerimis mulai membasahi sutra hijau yang kau kenakan.

Dan kau pun hanya tertidur.

Ketika musim terus berganti dan para pangeran berlalulalang bahkan tanpa memandang. Burung-burung akhirnya membuat sarang di rambutmu yang ikal dan hangat. Laba-laba memintal benang di wajahmu. Dan kurcaci waktu hanya diam termagu.

Dan kau pun hanya tertidur.

Sampai datang satu musim lagi. Suatu musim yang ia melupakanmu dan kamu melupakannya. Di musim yang teduh tanpa hujan. Panas tanpa kekeringan. Musim yang paling sempurna yang pernah dibuat tuhan. Semua berbahagia kecuali kamu. Karena kamu masih tertidur.

Dan kaupun hanya tertidur.

Sampai suatu hari dimana para musim enggan tuk menyapamu lagi. Setelah hewan-hewan hutan tidak lagi peduli. Dan para pangeran mati. Dan panggung sepi. Dan drama telah selesai.

Dan kaupun masih tertidur.

Menyunggingkan senyum kemarin yang telah bercampur kegetiran abab mulut. Matamu terbuka dan kembali tertutup. Terbuka dan kembali tertutup. Terbuka dan kembali tertutup. Terbuka dan memandangku tajam.

Bangkit dan mendekati,

penonton barisan depan yang tak pernah sedetikpun matanya terpejam.


Bekasi, 27 Nopember 2009