Halaman

Minggu, 02 Januari 2022

Tahannuts

Kawan yang sudah bertahun-tahun tidak saya temui itu mengirim pesan melalui WA dan menanyakan kenapa saya mendeaktifasi akun Facebook.

Saya menjawab dengan canda kemudian serius. Sedang Tahannuts atau Uzlah, saya bilang. Gak ngerti, dia merespon. Biarin, saya jawab sambil tertawa.

“Awas, ya,” Ia mengancam, kemudian mengirimkan definisi yang ia dapatkan sendiri entah dari mana.

“Aku dari dulu gak suka FB,” ia menjelaskan ketika saya bertanya. Sebenarnya ia juga menonaktifkan Facebook, jadi ia mengirim pesan di WA bukan karena tidak bisa mencari saya di Fb, tapi karena saya tidak bisa memberi Gift di akun WeSing. Tentang kenapa ia punya akun WeSing dan saya adalah kawan satu-satunya yang ia harapkan Gift-nya, tidak akan saya ceritakan di sini.

Ia kawan wanita yang dulu sangat dekat. Dulu kami sering berbagi cerita dan banyak hal bersama. Sampai kami tiba di suatu titik untuk berpisah. Ia terluka karena kepergian saya, sementara saya menangis karena meninggalkannya. Kami sama-sama menderita, tapi akhirnya waktu yang menyembuhkan, karena waktu memberi kami jarak dan juga kesadaran.

Tentang memberi jarak pada segala hal, itu yang sedang saya lakukan. Tahannuts atau menyendiri adalah tradisi nabi-nabi. Nabi Muhammad mendapat Wahyu pertama ketika beliau ber-Tahannuts di gua Hira, setelah beliau melakukan itu secara rutin pada waktu tertentu. Tahannuts merupakan kesinambungan ajaran atau tradisi penganut ajaran Hanif yang sumbernya sampai kepada kakek beliau Nabi Ibrahim. Walau dengan praktik yang sedikit berbeda, tradisi ini sejatinya sudah ada sejak zaman para nabi terdahulu, terutama yang dikisahkan Al-Qur’an tentang Nabi Ibrahim, Ashabul Kahfi, atau Nabi Musa.

Secara prinsip Tahannuts yang saya lakukan sama. Menyendiri dari hiruk-pikuk dunia guna semacam recharge dan memikirkan ulang banyak hal. Itu adalah jalan yang seharusnya diambil manusia secara rutin berapapun usia mereka, karena rutinitas sering membuat manusia kehilangan ruh.

Tentu ini berbeda dengan budaya asketisme ekstrim yang sama sekali tidak ingin berhubungan dengan kesenangan dunia. Meninggalkan hal-hal duniawi selama-lamanya menurut saya adalah tindakan yang tidak manusiawi. Agama tidak mendorong hal itu, tapi menganjurkan untuk menjauh sejenak untuk merenung kemudian kembali mengingat dan memberi arti yang pantas untuk setiap hal. Manusia membutuhkan jeda untuk bisa kembali menentukan mana yang sejati, dan mana yang permainan serta senda gurau.

Wallahu a’lam bissawab.