Halaman

Kamis, 30 Desember 2021

Menemanimu Menunggu Hujan Reda

1

Di dalam kepalaku ada pikiran-pikiran yang menabrak norma, seperti kehidupan yang merampas tidur siang, atau TV yang menampilkan wajah orang-orang yang berpura-pura senang, atau anak-anak yang diajari memaki orang tua mereka sendiri.

Aku ingin mengasihi setiap wajah yang ada di sana sebagaimana oksigen yang merelakan dirinya berubah menjadi energi lain. Kasih dan kepedulian padaku adalah langit yang tidak bisa kupilih sendiri warnanya.

2

Pukul dua dini hari. Hujan dan keheningan membangunkan dengan hantaman kesadaran. Jarum jam berdetak pelan. Lampu sengaja tidak kuhidupkan. Rumah menjadi ruangan yang sangat kuhapal lekuknya, bahkan dengan mata terpejam.

Ia menjadi hal yang paling nyaman, dengan atap yang bocor, tembok yang retak dan kusam, aroma serta anak-anak yang berselimut mimpi sebelum subuh merekah. Hatiku tidak akan pernah utuh. Rumah dan kesunyian yang membuatnya penuh.

3

Sepagi itu aku menjelma air dalam gemericik runcing hujan di halaman. Kamu adalah tanah dan atap yang menerima dengan tangan terbuka, mengalirkan ke setiap liku selokan sungai hingga sampai ke samudra tempat segala melenyapkan diriku yang lama.

Dan aku mengerti mengapa cinta dan samudra membuat semuanya tampak kecil—

Katakan pada siapa saja bahwa cinta adalah ruh, tidak butuh jasad yang purna, cukup kumpulan dari ketidaksempurnaan kita, juga kata.

4

Kita duduk bersisian pada sebuah bahtera. Biru memenuhi angkasa dan segara. Perasaan adalah bayu kemayu yang bertiup menggerakan aku dan kamu. Menerjang dari segala penjuru dan dikendalikan layar yang terkembang dan layu.

Langit mengirim angin dan kita menikmatinya tanpa harus merasa bersalah. Kadang ia menjadi badai, kadang membunyikan gemerisik suara daun, kadang membawa aroma rempah dari negeri jauh yang kita baca dalam buku-buku sejarah.

5

Aku akan mengajakmu menjadi anak kecil yang bersekongkol untuk berlama-lama di kamar mandi, membuat gelembung dari sabun dan shampo, berlarian tertawa di bawah hujan di taman bermain bernama dunia, sambil menggenggam tanganmu melintasi pematang dan tidak takut akan dosa.

Kita adalah dua anak kecil yang sedang berlindung dari kepungan hujan dalam saung di tengah sawah. Petir menggelegar, tubuh kita makin gemetar. Kamu rebahan dalam pelukanku, aku berselimut di balik kelopak matamu. Matamu adalah puisi dan memahaminya adalah kemewahan, berisi metafora sederhana dan pembaca yang malas berpikir.

Kita masuk ke dalam badai. Di ujung sana ada cahaya tempat segalanya berakhir. Suatu hari nanti mungkin kita tidak akan ingat bagaimana bisa bertahan. Badai mengubah setiap yang datang dan pergi, menyisakan diri kita yang sejati.

6

Suatu siang di pinggir jalan aku menepi menonton kendaraan berkejaran dengan hujan sambil sekali lagi mendengarkanmu berbicara tentang kesedihan. Ditemani mendung, duka menjadi kaldera yang tidak sanggup kupijak dasarnya.

Aku memandang dunia dari balik rupamu. Aku tidak ingin derita, tapi kamu adalah mata dan aku air matamu. Aku tidak ingin perih, tapi aku adalah darah dari luka goresmu. Aku tidak ingin murka, tapi kamu adalah api dan aku adalah nyala. Bagaimana cara memisahkan diriku dari dirimu?

Aku bersedia menerobos hujan itu demi menjadi gigil tubuhmu. Sampai aromamu mengisi ruangan tempat kenangan, kehilangan dan cinta yang tidak pernah datang tepat waktu.

7

Kamu mencoba memahami perasaan ini dengan sebuah tangisan panjang dalam perjalanan. Sesuatu yang tidak bisa dibendung di dada akan meluap lewat mata. Padahal ketika tidak bicara dan cukup lama setia, perjalanan akan mengajakmu memahami makna.

Kamu berdoa semoga ingatan dan rindu menusuk jantungku kemudian membunuh dengan perlahan. Aku ingin cinta juga mengalir dalam nadi seperti ketika kamu menyebut namaku dalam hening dan rindu yang akan selalu sendu. Dan kita akan terluka bersama.

8

Jalan-jalan makin sepi. Langit masih gelap dan hujan seperti tidak punya usaha untuk sunyi.

Pada hal-hal yang tidak sempat terucap, nadi kita bermuara ke tempat yang satu jantung kita bersama berdetak. Setelah itu kita tetaplah sepasang anak kecil yang tertawa bersama derai gerimis. Tangan kita bergandengan dan air hujan menghapus jejak lumpur di belakang.