SAYA tiba di rumah Njay ketika ia sedang bermain dengan anaknya di depan rumah, di pelataran mushola. Hari itu kami berniat berkunjung, berlebaran ke pesantren Kiya Fachruddin, dan menjadikan rumah Njay sebagai titik kumpul.
"Ada selang, Jay? Gue mo nyuci motor," Tanya saya ke tuan rumah sambil melepas baju koko dan peci. Saya merasa kurang enak berkunjung ke rumah guru dengan motor yang mirip sapi sehabis karapan, "Sama lap sekalian ya,"
“Waz, ada kanebo gak?” Njay bertanya ke adik Iparnya. Fawwaz menunjukan lokasi kanebo dan saya mulai mencuci.
"Yang laen gimana nih? Jadi pada ikut gak?" Njay bertanya ragu. Sambil menyiram motor dengan air keran mushola, saya memberi gestur tidak tahu.
KAMI memutuskan untuk pergi menggunakan dua motor. Njay dan Fawwaz di satu motor. Saya sendiri di motor yang sudah mentereng baru dicuci.
Tidak beberapa lama kami berkendara, telpon saya berbunyi.
"Udah sampe mana, Mi?" suara Kentung melalui earphone yang saya sambungkan ke helm.
"Pom bengsin. Gak tau daerah mana." Jawab saya cepat. Saya menyebut plang apapun yg ada di tempat itu.
"Oh, masih deket. Mampir ke tempat gua dulu. Nanti bareng-bareng ke Bang Fachruddin naek mobil gua." Kentung meminta ikut.
"Kalo itu tanya ketua dah," kata saya mengarahkan Kentung untuk bertanya kepada Njay.
"Dari tadi gua telpon Njay gak diangkat,"
Beberapa menit setelah itu, kami sudah berada di dalam Fortuner hitam. Kentung membawa full team; istri dan anaknya. Saya, Fawwaz dan Njay di kursi tengah. Kentung dan Septi, di kursi depan. Dan dua anak Kentung di kursi belakang.
“Mi, gua mo cerita, tapi awas ya, jangan lu tulis!” dari belakang kemudi Kentung memberi peringatan, sambil fokus melihat jalan dan sesekali memaki.
“Udah cerita aja.” Saya merespon. Saya tidak mengerti kenapa beberapa kawan yang bercerita tentang dirinya, suka berpesan untuk tidak saya tulis. Kentung bukan orang pertama.
“Awas ya, kalo lu tulis. Fesbuk lu gua hack.” Kentung mengancam. Saya tertawa. Jadi kalau setelah saya posting tulisan ini tiba-tiba ada video tata cara mengajukan pinjaman online di sini, kita tahu siapa pelakunya.
“Gua tuh, beberapa kali diminta aer adem sama orang-orang.” Kentung memulai cerita, “Gua juga bingung kenapa.”
“Buat apaan?” saya penasaran.
“Ya gak tau! Buat macem-macem kali. Buat sakit, tapi kebanyakan buat usaha,”
“Orang yang minta tau lu bekas anak pondok kali?” saya menebak.
“Lah tau dah. Yang gua heran, yang dateng tuh bukan dari agama kita, Mi.” Kentung menjelaskan dengan serius.
“Lah manjur, Tung.” Saya memuji sambil tertawa, “Emang lu kasih aer apa?”
“Awalnya sih gua kasih aer zam-zam. Emang kebeneran lagi ada. Tapi lama-lama gua kasih aja aer keran.” Kentung menjelaskan sambil cekikikan.
“Wah, parah luh! Serius?” saya menggeleng. Njay dan Fawwaz tidak bisa menahan geli.
“Nih ada bini gua nih. Lu tanya aja langsung kalo emang gak percaya mah,” saya memandang Septi di kursi depan yang menganggukan kepala tanda mengiyakan. Saya tidak punya alasan untuk tidak percaya.
“Lah kadang-kadang gua ditelpon, Mi.” Kentung menjelasakan sambil memperagakan sedang ditelpon karyawan tokonya. Sebagai anak bontot, Kentung mengurus toko mabel keluarga, “’Ada yang dateng ke toko minta aer, bang.’ Ya gua suruh aja isiin botol akua bekas pake aer keran.”
Saya kembali menggeleng dan cekikikan karena keisengan dan kelakuan ajaib Kentung. Keisengan itu sebenarnya sudah ada sejak saya mengenalnya pertama kali pada saat kami di pondok Tsanawaiyah puluhan tahun lalu yang kemudian saya abadikan di novel Badung Kesarung.
Beberapa waktu lalu saat saya membaca karakter Buto dalam Novel Rapijali, pikiran saya segera memvisualisasi gambaran Kentung yang sejak dulu memang sudah berwujud bangsa jin; buncit, tajir, percaya diri, iseng, blak-blakan cenderung kasar tapi juga pada saat yang sama supel, setia kawan dan perasa bahkan melankolis.
Ia tipe anak yang suka mem-bully tapi juga bersedia dan menikmati ketika ia di-bully. Memanggil kawan-kawan lain dengan macam-macam julukan seenaknya seperti Idung Cutbray, Pantat Bebek, Siluman Bibir atau dengan enteng menyapa nama bapak mereka. Kebanyakan kawan dengan mental kurang terlatih akan minder dan sakit hati dengan ejekan itu, namun Kentung hanya bisa dihadapi dengan cara balas menampar dengan kualitas tamparan yang setimpal. Impas.
Pernah suatu hari kami berkumpul untuk tahlilan wafatnya istri kawan kami Edo. Tidak beberapa lama setelah saya duduk bersila diantara kawan-kawan yang lain, Kentung menyapa, “Gimana kabarnya Haji Wahab?”
“Bokap gua udah meninggal, Lih!” kata saya datar. Sapaan pertama sudah cari masalah, pikir saya. Tapi tentu itu pertanda keakraban.
“Oh,” Kentung menjawab pendek.
Ini saatnya saya memberi tamparan yang setara, “Haji Nalih gimana? Masih idup?”
“Alhamdulilah, sehat. Kalo kagak mah gua kagak bergaul sama rakyat jelata kayak lu lu pada. Udah foya-foya gua dapet lungsuran,”
Bangsat, maki saya. Dengan santai ia bercanda tentang kematian dan kami tergelak menikmatinya.
KAMI tiba di pelataran pesantren bertepatan dengan azan zuhur, kemudian segera berwudhu untuk salat berjamaah di masjid, berharap Kiyai Fachruddin akan menjadi imam. Namun ternyata beliau sedang ada tamu dan mungkin melakukan jamaah di dalam pesantren.
Selesai salat, kami menuju bagian dalam pondok. Angin sepoy-sepoy bertiup dari arah sawah di samping bangunan santri. Menuju saung bambu yang asri, kami berpapasan dengan rombongan yang berjalan keluar karena sudah selesai sowan. Saya membayangkan saung itu tidak penah sepi dengan jamaah yang datang silih berganti. Karena ketika kami sedang bercakap-cakap dengan Kiyai Fachruddin pun, ada beberapa orang yang datang nimbrung.
Tidak jarang tamu datang jauh dari luar kota, luar pulau bahkan sampai larut malam. Kiyai Fachrudin bercerita bahwa pernah ada tamu belum pulang padahal ia sudah sangat mengantuk. Akhirnya beliau tertidur ditengah para tamu yang sedang bercengkrama.
“Cuma kalau sudah spertiga akhir malam gitu, ngomongnya jangan ngomongin kiri, saya bilang,” Kiyai Fachruddin menjelaskan, “Ngomong kanan aja,”
Awalnya kami tidak terlalu paham apa yang dimaksud, tapi beliau menjelaskan, “Coba ente bayangin. Ada orang yang janjiin ente, bakal ngasih apa aja. Dia minta ente dateng pada waktu dan tempat tertentu. Dia bakal ngasih apa aja permintaan ente. Kira-kira ente mau dateng gak?”
Kami diam manggut-manggut. Beliau melanjutkan, “Itu baru orang. Coba sekarang yang janjiin itu Tuhan. Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir dan berfirman: 'Siapa saja yang berdoa kepada-Ku akan Kukabulkan, siapa saja yang meminta sesuatu kepada-Ku akan Kuberi, siapa saja yang memohon ampunan dari-Ku akan Kuampuni."
Kami mulai mengerti apa yang dimaksud ngomong kanan, kalimat positif, optimistic attitude atau istilah-istilah lain. Dalam sehari kita dibombardir banyak omongan kiri, baik yang berasal dari diri sendiri atau orang lain. Kata-kata negatif yang sering membuat nyali ciut. Tapi kita memiliki kuasa untuk memilih akan dikemanakan sampah kata-kata itu. Apakah akan mengotori hati atau kita bisa membuang sampah pada tempatnya. Sementara itu, pada waktu-waktu tertentu bicaralah pada diri sendiri, berdoa kepada Tuhan dengan kalimat-kalimat kanan, dengan kata-kata positif.
Saya sangat mengerti bahwa kata-kata adalah doa. Apalagi diucapkan oleh seorang guru yang mulia, seorang mursyid. Saya percaya bahwa sampai saya bisa menulis beberapa buku sekarang ini adalah karena berkah dan doa beliau. Saya masih ingat ketika beliau mengomentari saya selepas Muhadoroh bertahun-tahun lalu, beliau bilang saya pencerita yang bagus. Dan begitulah kata-kata baik itu membawa saya sampai saat ini.
Kiyai Fachrudin adalah seorang guru yang mengerti arti penting dari kata-kata. Saya merasakan itu ketika memperhatikan pilihan kata yang beliau ucapkan ketika bercakap-cakap dengan kami.
Di tengah percakapan, ketika ada waktu saya iseng menyela, “Kentung sering diminta aer adem, Guru.”
Kentung memandang saya dengan wajah kesal gua-tabok-beneran-lu-Mi. Kiyai Fachruddin menanggapi cerita saya dengan tertawa. Terutama ketika saya ceritakan tentang air keran.
SEBELUM pulang, Kentung memberi gestur seperti enggan beranjak, “Enak nih, Kiyai. Kalo lagi kabur dari rumah bisa ke sini,” Kentung sambil nyengir.
“Iya boleh. Asal kemari bawa aer adem ya,” Kiyai Fachruddin sambil tersenyum. Semua orang terbahak kecuali Kentung.
Di kendaraan arah pulang, Kentung sewot, “Bener-bener lu, Mi. Udah gua bilang jangan diceritain.”
Saya tertawa, “Lah lu bilang kan gak boleh gua tulis, bukan gua ceritain.”
“Iya, ya. Lupa gua lagi ngomong ama bekas anak pondok.” Kentung pasrah.
Saya meneruskan tawa disusul Njay dan Fawwaz.