Tahun 2007. Pada kursi panjang di
ruangan itu, seorang anak muda berpakaian rapih duduk menunggu acara dimulai.
AC meruapkan bau pewangi ke seluruh ruangan. Sementara di luar, matahari pagi
di musim panas yang selalu tepat waktu, bersinar jumawa. Pemuda itu menjadi
salah satu peserta yang paling awal tiba. Suasana masih sepi. Baru beberapa
menit kemudian, beberapa orang datang memenuhi ruangan. Beberapa orang lewat di
depan pemuda itu tanpa menegur. Beberapa orang hanya melempar senyum.
Dua puluh menit kemudian acara
dimulai. Dalam acara, ia bertemu dengan seorang wanita yang kelak menjadi
istrinya. Itu adalah pertemuan pertama mereka. Wanita itu menjadi salah satu
pengisi acara. Ia pintar dan mandiri, itu kesan pertama pemuda itu. Semakin
lama mengenalnya lebih dekat, setiap orang akan setuju bahwa ia memiliki segala
hal untuk menjadi seorang wanita yang sempurna.
Bertahun-tahun kemudian, pemuda
itu berpikir bahwa bagaimana dua orang yang awalnya tidak saling kenal bertemu
adalah sebuah rahasia semesta. Bagaimana dua orang itu kemudian menjalin
persahabatan sampai akhirnya menikah juga merupakan jalan yang misterius.
Mungkin jika mereka tidak ikut acara tersebut, mereka tidak akan bertemu. Namun
mungkin juga mereka bisa bertemu di tempat dan waktu yang lain, seperti memang
jalannya sudah begitu. Pemuda itu mengenal hal tersebut dengan istilah maktub.
Hari bergerak maju, sampai suatu
waktu, mereka menjadi rekan kerja yang sangat akrab. Menjadi kawan dekat. Suatu
hari, ketika pemuda itu ulang tahun, ia dihadiahi sebuah buku yang selalu ia
bicarakan dengan si wanita, The Alchemist.
Buku itu bercerita tentang
sesuatu yang sederhana.Tentang Santiago, seorang pengembala domba yang ingin
membuktikan mimpinya. Suatu hari, ketika sedang tidur pada sebuah gereja yang
terbengkalai —dengan atap yang sudah runtuh dan sebatang pohon sycamore yang
sangat besar tumbuh di empat sakristi pernah berdiri— ia bermimpi tentang harta
karun di sebuah negeri yang jauh, negeri piramida-piramida. Setelah melawati berbagai
macam rintangan dan keraguan, akhirnya ia sampai di tempat yang sangat ia kenal
dalam mimpinya. Namun sebelum ia sempat menggali harta karun itu, ia bertemu
perampok. Sang perampok bertanya dari mana Anak itu berasal dan apa tujuannya
datang ke tempat itu. Karena takut dibunuh, Anak itu menjawab jujur bahwa ia
pernah bermimpi tentang harta karun di bawah sebuah piramida dan ia datang
untuk membuktikan mimpi tersebut. Tak disangka perampok tersebut tertawa.
Perampok itu mengatakan betapa bodohnya Anak itu percaya dengan mimpi. Perampok
itu mengatakan bahwa dulu ia juga pernah bermimpi tentang harta karun yang ada
pada sebuah gereja yang terbengkalai —dengan atap yang sudah runtuh dan
sebatang pohon sycamore yang sangat besar tumbuh di tempat sakristi pernah
berdiri, pada sebuah negeri dimana rumput tumbuh subur dan para gembala
mengembalakan domba mereka. Sang perampok tidak jadi membunuh Anak itu, dan
Anak itu kembali ke tempatnya berasal. Di sana, ia menemukan harta karunnya.
Pemuda itu telah membaca The
Alchemist bertahun-tahun sebelum ia bertemu dengan wanitanya, namun buku hadiah
itu begitu istimewa karena diberikan pada hari ulang tahunnya disertai doa yang
paling tulus yang pernah ia dapat.
Begitulah hubungan mereka
terjalin dengan wajar. Obrolan yang asik, diskusi yang sengit, beserta beberapa
keinginan dan tujuan yang saling bersinggungan. Sampai akhirnya, mereka tiba
pada pengakuan diam-diam, penuh debar, penuh kegugupan.
Ingatan sungguh aneh, seketika ia
bisa menghangatkan hati, di sisi lain, ia juga bisa mencabiknya menjadi
bagian-bagian kecil. Seperti elang yang tiba-tiba menancapkan cakar yang dalam
pada diri manusia yang sering terlalu cepat bergegas.
Pemuda itu ingat, suatu pagi
setelah bangun tidur, sekonyong-konyong ia tertancap pada sebuah kalimat dalam
The Alchemist: “Remember that wherever your heart is, there you will find your
treasure.”
Dan yang terlintas dikepalanya
adalah segera melamar wanitanya.
Sebelum pagi yang mencerahka itu,
ia telah membaca kalimat tersebut beberapa kali, namun belum pernah menjadi
begitu menyentuh. Ia tidak peduli tentang enam tahun selisih usia dengan
wanitanya. Kini hatinya telah memilih.
Ayah pemuda itu berbisik
kepadanya sebelum pernikahan, “Jangan terlalu khawatir terhadap penilaian orang
lain. Kamu tidak bertanggung jawab atas apa yang mereka pikirkan, tapi apa yang
kamu kerjakan. Jalanilah apa yang telah mantap kau putuskan.”
Ah, mencerahkan sekali
kalimatnya, pikir pemuda itu dalam hati. Ia curiga ayahnya juga membaca The
Alchemist, “If someone isn't what others want them to be, the others become
angry. Everyone seems to have a clear idea of how other people should lead
their lives, but none about his or her own.”
Pemuda itu siap. Menikah adalah
tentang kesiapan mental yang di dalamnya terdapat kerelaan untuk berkorban.
Sebagaimana hal-hal lain di dunia, dalam pernikahan juga ada permasalahan.
Setiap pasangan akan menghadapi segala persoalan yang mungkin belum pernah
mereka hadapi sebelumnya. Mengatakan menikah selalu menyenangkan adalah hal
yang tidak seimbang. Lagipula, hukum menikah, menurut kesepakatan fuqoha, juga
berbeda antara satu orang dan orang lain, mulai dari wajib bahkan sampai haram.
Jadi menikah atau tidak adalah perkara yang tidak selalu mudah, dan tidak adil
menanyakan orang lain, apalagi yang tidak dikenal baik, dengan pertanyaan,
“Kapan nikah?” karena menikah memang tidak wajib bagi semua orang.
Pemuda itu sadar. Ia mengerti
bahwa dengan menikah ia akan menghadapi dua keaadaan. Makin berkembang atau
makin stagnan dan beku. Pernikahan dapat membunuh segala potensinya. Dihentikan
oleh istri dan anak-anak, dikhawatirkan oleh soal-soal rumah tangga dan
dikalahkan oleh keselamatan keluarga. Ia sadar, setelah hari itu, akan ada
banyak hal yang mungkin akan ia tinggalkan seiring dengan banyak hal lain yang
akan dilakukan. Ia akan jarang punya waktu untuk sekedar mengunjungi
kawan-kawan lama.
Ia siap dengan mental dan sadar
akan masalah dan resiko. Namun kesiapan dan kesadaran saja tidak selalu cukup
untuk mengalahkan kekhilafan. Suatu hari, ketika pemuda itu berselisih paham
dengan wanitanya, ia curhat kepada seorang kawan. Orang bilang, pria tua di
persimpangan jalan itu adalah Mikhail; artinya pemberi sejuk bagi hati-hati
yang haus. Ia selalu bisa mendengar keluh kesah dan cerita apa saja, dari siapa
saja. Orang-orang yang bercerita selalu senang. Ia hanya bicara seperlunya,
sesekali berpendapat dan bertanya, selebihnya menyimak makna.
“Bagaimana kabar kedua putrimu?” pria tua memulai berbasa-basi, tidak lama setelah pemuda itu duduk di sampingnya.
“Mereka baik.” Pemuda itu menjawab cepat.
“Setelah mereka dititipkan kepadamu, apa yang kau rasakan?”
“Aku seperti punya dua jantung tambahan yang berdetak bersamaan dalam dadaku.”
“Menyenangkan?”
“Menyenangkan juga mengkhawatirkan.” Pemuda itu berhenti sebentar, mencari kata-kata yang tepat, “Aku merasa punya semangat ganda, seperti mampu berlari tiga kali marathon, tapi di sisi lain aku tahu bahwa satu waktu jantung akan berhenti berdetak, karena mereka hanya titipan.”
Persimpangan jalan itu tidak ramai,
tidak juga sepi. Pada sebuah taman penuh pohon rindang tidak jauh dari
persimpangan itu mereka duduk pada sebuah balai-balai bambu.
“Aku butuh menjadi Professor Xavier.” Ujar pemuda itu kepada si pria tua setelah hening yang lama.
“Tidak Wolverine?”
“Ia tidak bisa membaca mbakyuku.” Pemuda itu seperti menemukan emosinya, “Aku kudu memahami apa yang tidak ia katakan. Ia senang mengatakan yang bukan ia maksudkan.”
“Tidak ada yang lebih buruk dari itu,”
“Apa yang anda bisa sarankan untukku?” pemuda itu mengharap.
“Hatinya sebentuk daun kering, dalam dunia sendiri yang terasing.” Pria tua berkomentar, tapi terdengar seperti berpuisi, “Kamu harus telah selesai dengan hidupmu ketika memutuskan menikah.”
Pemuda itu pulang dengan kepala
berat. Kata-kata pria tua itu menghujam berakar bercabang dalam dirinya.
Setelah menikah seharusnya ia tidak bersikap mau menang sendiri. Seharusnya ia
telah selesai dengan urusan sepele itu. Terkadang dia berpikir bahwa dia memang
sesekali menjadi begitu brengsek.
Ia sering menganggap istrinya
boros, tidak punya management waktu yang baik dan terlalu menyulitkan diri
dengan hal-hal remeh. Sementara, sebagai suami, pemuda itu sering lupa bahwa ia
juga tidak sempurna; sering berprasangka, kurang komunikasi, tidak
mendengarkan, cuek, keras kepala, jorok, dan mengkritik istri di depan
anak-anak.
Sekarang ia mengerti tentang
saran dari kawan yang memintanya untuk selesai dengan diri sendiri, yaitu
tentang mengurangi keegoisan dan menjalin komunikasi yang baik. Ia ingat sebuah
dialog pada The Zahir, ketika Esther memberikan penjelasan kenapa ia senang
meliput perang.
“Aku tidak tahu, tapi dengan
pergi ke sana aku bisa melihat bahwa, seaneh apa pun kedengarannya, orang
merasa bahagia waktu mereka dalam perang. Bagi mereka, dunia ini punya arti.
Seperti kukatakan tadi, kekuatan pengorbanan mereka demi suatu tujuan mulia
memberi arti bagi hidup mereka. Mereka mampu memberikan cinta yang tak
terbatas, karena mereka tidak bisa kehilangan apa pun lagi, tidak ada lagi yang
tersisa. Prajurit yang menderita luka fatal tidak pernah minta pada tim medis,
‘Tolong selamatkan aku!’ Kata-kata terakhir mereka biasanya, ‘Katakan pada
istri dan anak-anakku, aku sayang pada mereka.’ Pada saat-saat terakhir mereka,
mereka bicara tentang cinta!”
Begitulah seharusnya orang yang
telah selesai dengan dirinya. Sesekali pemuda itu membayangkan berbicara kepada
tim medis, “Katakan pada istri dan anak-anakku, mereka adalah kenangan terbaik
di dunia.”
Ia terus belajar untuk menjadi
ideal. Tidak bisa menjadi sempurnya memang, namun berusaha untuk memperbaiki
segala kekurangan, juga kembali bangkit setelah kegagalan. Walaupun terkadang,
ia merasa begitu dungu dengan kerap melakukan kesalahan yang berulang.
Beruntung istrinya bisa memahami dan memaafkan kebodohannya.
Beberapa tahun setelah menikah,
kehawatiran-kehawatiran yang pemuda itu risaukan tentang potensinya tidak
terjadi, berganti dengan hal-hal yang tidak pernah ia duga. Ia terus berkembang
dan mungkin akan terus berkembang. Seperti Jane Hawking dalam The Theory of
Everything, wanitanya membantu pemuda itu menjadi jauh lebih hebat.
Menyelesaikan kuliah, menulis beberapa buku dan membuka setiap kemampuan
mengagumkan yang dimilikinya. Ya, tidak perlu Mario Teguh untuk tahu bahwa
behind every great man there's a great woman.
Pemuda itu tidak pernah ragu
dengan pilihan hati yang ia ambil bertahun-tahun yang lalu sampai sekarang
—karena “You will never be able to escape from your heart. So it's better to
listen to what it has to say.”— dan ingin terus menjalani setiap momen hidupnya
dengan tanpa penyesalan. Hidup mengajarkan semua orang bahwa segalanya adalah
tentang momen. Kehidupan selalu bergerak maju, sesaat saja momen terlewat,
bahkan satu detik saja terlewat, ia tidak bisa diulang. Ia tidak seperti acara
TV yang jika kamu terlewat menyaksikannya, kamu bisa melihatnya di youtube.
Hidup juga mengajarkan bahwa momen yang nyata adalah sekarang. Tentang betapa
berharganya momen, lebih tepat kamu menanyakannya kepada orang yang sedang
sekarat.
Pemuda itu menginginkan momen-momen
itu. Setahun terakhir ini ia menikmati momen beranjak dewasa bersama wanitanya,
mengukir kenangan-kenangan manis bersama anak-anak, menikmati masa kecil mereka
yang akan berlalu sangat cepat. Kepolosan dan kekanak-kanakan mereka yang tidak
akanlama, yang akan segera menjadi kenangan. Ia ingin merawat kenangan baik itu
dalam ingatannya. Karena suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi
ingatan bagi sebagian yang lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.