Halaman

Selasa, 15 Maret 2016

100 Kenangan

“Kalau aku meninggal, apakah mereka semua akan berkumpul?” suatu hari simbah pernah bertanya.

Setelah berpikir sejenak, saya menjawab, “Mbuh!”  


Beberapa tahun yang lalu, saat masih kuliah, saya tinggal bersama nenek. Jika di rumah, sebagian besar waktu, selain membaca buku, saya habiskan untuk mengobrol dengan beliau. Banyak hal yang ia bicarakan, tapi yang paling sering, dan selalu ia bicarakan, adalah tentang anak-anaknya. Tentang bapak, paman dan bibi saya, yang beberapa diantara mereka telah tinggal jauh; di luar kota, di luar negeri, bahkan di luar dunia [baca: akhirat].  

Tidak jarang ia fokus bercerita tentang kejadian tertentu yang ia anggap sepesial. Ia bercerita seakan-akan itu pertama kali ia menceritakannya. Dengan gaya, intonasi, diksi, dan semangat yang sama seperti yang sering saya dengar. Ya, saya telah mendengar cerita itu berulang-ulang dan simbahpun tahu kalau dia telah menceritakan kepada saya berulang-ulang. Saya pikir itulah derita menjadi orang tua, atau mungkin begitulah derita menjadi manusia. Bahwa a moment can last forever, tidak peduli berapa lamapun kamu hidup.  

Jadi ketika ia bertanya apakah anak-anaknya akan berkumpul ketika ia meninggal, saya menguras seluruh pikiran untuk menjawabnya. Saya paham mengapa beliau menanyakan hal itu. Beliau dilumpuhkan stroke, menjalani hari-hari dari atas dipan sambil mengetahui beberapa anaknya meninggal lebih dahulu. What question do you expect her to ask

Bisa saja saya menjawab pertanyaan itu dengan jawaban-jawaban lain yang beraneka ragam, tapi “mbuh” adalah jawaban filosofis yang mampu mewakili jawaban-jawaban itu.  

Seratus hari yang lalu bapak saya meninggal dunia. Umurnya 59, dan akan terus seperti itu. Di hari wafatnya, kami, lima orang anak beliau yang masih hidup berkumpul —belakangan saya tahu dari catatan harian bapak yang saya baca setelah beliau wafat, kami punya satu adik perempuan yang meninggal dalam kandungan ibu.  

Sebagai anak tertua, saya merasa bertanggung jawab untuk mengatur apa yang harus dikerjakan.  Saya dan Fikri kebagian tugas untuk memandikan, mengkafani dan menguburkan. Dua adik perempuan saya kebagian membaca Al Quran. Sementara si bontot Adil tidak bisa mengerjakan apa-apa selain menangis. Dia menangis sampai kelelahan dan tertidur, ketika dibangunkan untuk salat dzuhur, ia terbangun dan lanjut menangis. Sebenarnya seluruh anggota keluarga kami menangis pada hari itu, tapi melihat kemampuan Adil mengangis, kami menjadi minder. 

Malam itu saya pulang ke rumah dengan badan remuk. Untuk orang yang biasa bekerja di depan komputer, pekerjaan fisik menggotong keranda adalah hal yang membuat otot kaku. Dengan kelelahan semacam itu, seharusnya mudah saja bagi saya untuk tidur.  Tapi tidur bukan hanya masalah tubuh, ia juga berkaitan dengan batin. Pikiran saya belum bisa diajak berdamai. Saya meminta ijin kepada istri saya keluar kamar untuk menulis. Malam itu pukul 11, di hari normal, istri saya pasti melarang, tapi malam itu, ia seperti sadar bahwa larangannya tidak akan berguna. 

Apa yang saya tulis pada layar laptop malam itu? 

Kenangan. 

Semua orang pasti mati, tapi tidak dengan kenangan. Ada banyak kenangan dengan almarhum yang masih saya ingat, baik yang masih jelas atau samar-samar, terutama kenangan-kenangan semasa kecil.  Saya ingat beberapa kenangan masa kecil yang tidak lengkap, kadang hanya teringat kejadian, tanpa tempat dan waktu. Kenangan-kenangan puluhan tahun lalu itu samar, tapi jernih, seperti tidak bisa lepas. Lekat seperti bayangan. Semakin beranjak dewasa, saya mengerti bahwa suatu hari nanti, sebagian kita hanya akan jadi ingatan bagi sebagian yang lain, dan dalam semua kenangan itu kita hidup.

Ada satu kenangan dengan bapak yang saya tulis kemudian, dan tanpa saya sadari menjelma puisi. Saya beri judul puisi itu Di Samping Bapak Pada Suatu Petang. 

Kami berjalan ke utara,   
bersisian di pinggir jalan 
Entah dimana, entah kapan

Kita bergandengan tangan,   
bersama kami ada petang dan waktu yang bergerak maju 

Aku masih kecil, matahari besar bersinar terik   
Membuat bayang-bayang memanjang ke arah timur

Bapak memindahkanku dari sebelah barat ke sisi yang lain 
Menjadikanku berada dalam naung panjang bayang tubuhnya  

Ia menoleh ke arahku, 
dari belakang kepalanya bersinar matahari, 
Ia bilang, “Kita seperti berada dalam puisi Sapardi”